Panggilan untuk Persatuan: Renungan 1 Korintus 1:10-17

Mengenal Kristus yang Tidak Terbagi

Pendahuluan: Konflik di Korintus dan Seruan Paulus

Jemaat Korintus adalah salah satu jemaat paling dinamis namun juga paling bermasalah yang dihadapi oleh rasul Paulus. Terletak di kota metropolitan yang kosmopolitan, kaya akan budaya, perdagangan, dan filsafat Yunani-Romawi, Korintus menjadi tempat bertemunya berbagai ideologi dan gaya hidup. Keberagaman ini, meskipun seringkali menjadi kekuatan, di dalam jemaat justru menjadi sumber perpecahan yang serius. Surat Paulus yang pertama kepada jemaat ini, khususnya bagian awal yang akan kita renungkan, langsung menyentuh akar masalah: perselisihan dan kelompok-kelompok yang mengancam inti dari kesaksian Kristen mereka.

Dalam 1 Korintus 1:10-17, Paulus tidak membuang waktu untuk menyinggung isu paling mendesak ini. Setelah sapaan dan ucapan syukurnya yang hangat, ia beralih ke nada yang lebih serius, memohon agar jemaat hidup dalam kesatuan pikiran dan tujuan. Bagian ini bukan hanya sekadar teguran, tetapi merupakan fondasi teologis yang mendalam tentang identitas Kristen, peran kepemimpinan, makna baptisan, dan yang terpenting, sentralitas Injil Salib Kristus.

Renungan ini akan membawa kita menyelami setiap ayat, menggali konteks historis dan budaya, menganalisis pilihan kata Paulus, dan mencari relevansi abadi bagi gereja dan setiap orang percaya di masa kini. Kita akan melihat bagaimana Paulus dengan tegas mengarahkan pandangan jemaat dari pemimpin karismatik atau ritual eksternal, kembali kepada Kristus yang disalibkan – satu-satunya dasar yang kokoh bagi persatuan dan iman yang sejati.

Penjelajahan Mendalam Ayat demi Ayat

1 Korintus 1:10 – Seruan untuk Persatuan

“Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu, sehati sepikir.”

Paulus memulai seruannya dengan sebuah ajakan yang kuat, "Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus." Frasa "demi nama Tuhan kita Yesus Kristus" bukanlah sekadar retorika. Ini adalah penekanan otoritas ilahi dan signifikansi spiritual dari nasihatnya. Paulus tidak berbicara atas nama dirinya sendiri, melainkan sebagai utusan Kristus, dengan Kristus sebagai sumber dan tujuan dari segala seruan. Ini mengangkat urgensi dan bobot pesannya di atas preferensi pribadi atau opini manusia.

Inti dari nasihat ini adalah dua perintah yang saling melengkapi: "supaya kamu seia sekata" (Yunani: lego to auto, 'berbicara hal yang sama') dan "jangan ada perpecahan di antara kamu" (Yunani: schismata, 'celah', 'perpecahan'). "Berbicara hal yang sama" bukan berarti setiap orang harus memiliki pendapat yang identik dalam segala hal, melainkan adanya keselarasan fundamental dalam hal-hal esensial iman dan pengajaran. Ini adalah panggilan untuk mencapai konsensus yang berasal dari inti keyakinan Kristen mereka. "Jangan ada perpecahan" secara harfiah berarti tidak ada "celah" atau "robekan" dalam kain persatuan jemaat. Perpecahan adalah efek samping yang merusak dari ketidaksepahaman yang tidak diatasi, yang mengancam integritas tubuh Kristus.

Sebaliknya, Paulus memohon agar mereka "erat bersatu, sehati sepikir" (Yunani: katartizo, 'diperbaiki', 'dilengkapi', 'disempurnakan'). Kata katartizo sering digunakan untuk memperbaiki jaring nelayan atau mengatur tulang yang patah. Ini menyiratkan bahwa jemaat Korintus sudah "rusak" atau "terpecah" dan membutuhkan perbaikan, pemulihan ke kondisi semula yang utuh. "Sehati sepikir" (Yunani: en to auto noi kai en te aute gnome) menekankan keselarasan dalam pemikiran dan penilaian. Ini berarti memiliki tujuan yang sama, pandangan yang sama tentang apa yang penting, dan cara berpikir yang konsisten, semuanya berakar pada Kristus.

Seruan ini sangat relevan bagi gereja di setiap zaman. Perpecahan dapat muncul dari berbagai sumber: perbedaan doktrin yang non-esensial, preferensi gaya ibadah, latar belakang sosial ekonomi, loyalitas terhadap pemimpin tertentu, atau bahkan perbedaan politik. Paulus mengingatkan bahwa persatuan bukanlah pilihan sekunder, melainkan mandat ilahi yang krusial untuk kesaksian Injil dan pertumbuhan rohani jemaat.

1 Korintus 1:11 – Sumber Informasi Paulus

“Sebab, saudara-saudaraku, aku telah mendengar tentang kamu dari orang-orang Kloe, bahwa ada perselisihan di antara kamu.”

Paulus menjelaskan bagaimana ia mengetahui tentang masalah di Korintus: "dari orang-orang Kloe." Ini adalah rujukan konkret kepada sebuah rumah tangga atau kelompok orang yang kemungkinan besar adalah anggota jemaat Korintus atau memiliki hubungan dekat dengan mereka, dan telah melakukan perjalanan ke Efesus (tempat Paulus berada saat menulis surat ini). Informasi ini tidak berasal dari gosip atau desas-desus semata, melainkan dari sumber yang kredibel dan dapat dipercaya.

Penting untuk dicatat bahwa Paulus tidak mengecam orang-orang Kloe karena "mengadu" atau "mengeluh." Sebaliknya, ia menerima laporan mereka sebagai informasi yang sah dan penting untuk tindakan pastoralnya. Ini mengajarkan kita tentang pentingnya komunikasi yang jujur dan kepedulian di dalam tubuh Kristus. Kadang kala, diperlukan keberanian untuk menyampaikan kebenaran yang sulit kepada pemimpin rohani, dengan motivasi yang benar, demi kebaikan bersama. Tujuannya bukan untuk memperburuk keadaan, melainkan untuk mencari solusi dan pemulihan.

Kata "perselisihan" (Yunani: erides) di sini mengacu pada pertengkaran, perdebatan, dan konflik yang muncul dari semangat kompetitif atau egois. Ini adalah manifestasi eksternal dari "perpecahan" (schismata) yang disebutkan di ayat 10. Paulus sedang menghadapi masalah nyata, bukan hanya kekhawatiran teoretis. Ini menunjukkan bahwa masalah perpecahan di Korintus sudah sangat parah hingga menjadi pembicaraan dan memerlukan intervensi rasuli.

1 Korintus 1:12 – Spirit Partisan

“Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau: Aku dari golongan Apolos. Atau: Aku dari golongan Kefas. Atau: Aku dari golongan Kristus.”

Di ayat ini, Paulus secara spesifik mengidentifikasi bentuk-bentuk perpecahan yang ada. Jemaat Korintus telah terbagi menjadi setidaknya empat kelompok, masing-masing loyal kepada seorang pemimpin atau identitas tertentu: Paulus, Apolos, Kefas (Petrus), dan bahkan "Kristus." Ini adalah manifestasi dari apa yang disebut "spirit partisan" atau "roh kelompok."

Mari kita telaah masing-masing kelompok:

  1. "Aku dari golongan Paulus": Paulus adalah pendiri jemaat di Korintus (Kisah Para Rasul 18). Ia adalah rasul yang memperkenalkan Injil kepada mereka. Loyalitas kepada Paulus mungkin didasari rasa hormat dan penghargaan atas pelayanannya yang luar biasa. Mungkin juga mereka menghargai pendekatannya yang berani dan kebebasan dari Taurat.
  2. "Aku dari golongan Apolos": Apolos adalah seorang penginjil Yahudi dari Aleksandria yang sangat fasih berbicara dan mahir dalam Alkitab (Kisah Para Rasul 18:24-28). Ia kemudian datang ke Korintus setelah Paulus dan melanjutkan pengajaran. Jemaat yang mengikutinya mungkin tertarik pada kefasihan retorikanya, kecerdasan intelektualnya, atau gaya pengajarannya yang lebih filosofis, yang mungkin menarik bagi latar belakang Yunani di Korintus.
  3. "Aku dari golongan Kefas": Kefas adalah nama Aram untuk Petrus, salah satu dari dua belas rasul utama Yesus. Mungkin ada anggota jemaat Korintus yang berasal dari latar belakang Yahudi-Kristen dan merasa lebih dekat dengan otoritas "asli" dari para rasul di Yerusalem. Mereka mungkin menganggap Petrus sebagai jembatan langsung ke Yesus yang sejarahiah.
  4. "Aku dari golongan Kristus": Pada pandangan pertama, kelompok ini mungkin tampak paling "rohani" atau benar. Namun, dalam konteks perpecahan yang dikecam Paulus, bahkan mengklaim "Aku dari golongan Kristus" bisa menjadi tanda kesombongan rohani atau elitisme. Mereka mungkin menganggap diri mereka lebih superior, tidak membutuhkan pemimpin manusia, atau mengklaim kepemilikan khusus atas Kristus, yang ironisnya malah menciptakan perpecahan alih-alih persatuan. Ini adalah bentuk ekstrem dari individualisme rohani yang justru merusak tubuh Kristus.

Masalahnya bukan pada pemimpin-pemimpin itu sendiri. Baik Paulus, Apolos, maupun Petrus, semuanya adalah hamba-hamba Kristus yang setia. Masalahnya adalah cara jemaat Korintus mengidentifikasi diri mereka melalui pemimpin-pemimpin ini, menjadikan pemimpin-pemimpin tersebut sebagai simbol perpecahan dan persaingan, bukan sebagai pelayan-pelayan Kristus yang bekerja untuk tujuan yang sama.

Fenomena ini masih sering kita temui di gereja masa kini, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Perpecahan bisa terjadi karena loyalitas berlebihan pada pendeta, gereja denominasional, teolog favorit, atau bahkan gerakan rohani tertentu, sehingga melupakan kesatuan yang lebih besar dalam Kristus.

A B C Perpecahan dalam Kelompok
Ilustrasi sederhana perpecahan dalam kelompok, di mana setiap individu menarik ke arah yang berbeda, bukan bersatu pada satu titik pusat.

1 Korintus 1:13 – Pertanyaan Retoris yang Menusuk

“Adakah Kristus terbagi-bagi? Adakah Paulus disalibkan untuk kamu? Atau adakah kamu dibaptis dalam nama Paulus?”

Paulus merespons spirit partisan di ayat 12 dengan tiga pertanyaan retoris yang kuat dan menusuk, yang dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran dan menghancurkan logika di balik perpecahan mereka. Setiap pertanyaan mengarah kembali ke kebenaran fundamental Injil:

  1. "Adakah Kristus terbagi-bagi?" Jawaban yang jelas adalah "Tidak!" Konsep Kristus yang terbagi adalah penistaan terhadap inti keilahian dan persatuan-Nya. Kristus adalah satu, tidak terbagi, dan tidak dapat dibagi. Jika mereka adalah tubuh Kristus (1 Korintus 12), dan Kristus tidak terbagi, maka tubuh-Nya juga tidak boleh terbagi. Pertanyaan ini langsung menyingkap absurditas memecah-mecah gereja berdasarkan pemimpin manusiawi, karena itu secara implisit memecah Kristus sendiri.
  2. "Adakah Paulus disalibkan untuk kamu?" Jawaban yang juga tegas adalah "Tidak!" Hanya Kristus yang disalibkan untuk menebus dosa umat manusia. Ini adalah pengingat yang tajam bahwa tidak ada pemimpin manusia, betapa pun hebatnya, yang dapat menjadi penyelamat atau sumber keselamatan. Paulus dengan rendah hati mengalihkan fokus dari dirinya sendiri sebagai seorang pemimpin kepada Kristus sebagai Penebus tunggal. Keselamatan tidak didasarkan pada siapa yang menginjili kita, tetapi pada siapa yang mati bagi kita.
  3. "Atau adakah kamu dibaptis dalam nama Paulus?" Sekali lagi, jawabannya adalah "Tidak!" Baptisan adalah ritual inisiasi yang melambangkan identifikasi dengan Kristus, kematian-Nya, kebangkitan-Nya, dan penyatuan dengan tubuh-Nya. Dibaptis dalam nama seseorang berarti menjadi milik orang tersebut. Baptisan mereka adalah dalam nama Kristus, menandakan kepemilikan mereka oleh Kristus. Mengklaim dibaptis dalam nama Paulus (atau Apolos atau Kefas) akan menjadi penolakan esensi baptisan Kristen dan pengalihan kesetiaan dari Kristus kepada manusia.

Ketiga pertanyaan ini secara kolektif membongkar fondasi argumen untuk perpecahan. Mereka menunjuk pada satu kebenaran yang tidak dapat disangkal: Kristus adalah pusat dari iman Kristen, satu-satunya Juruselamat, dan satu-satunya Kepala Gereja. Semua hal lain, termasuk pemimpin dan ritual, harus selalu mengarah kepada-Nya dan tidak pernah menggantikan-Nya.

1 Korintus 1:14-16 – Paulus dan Baptisan

“Aku mengucap syukur bahwa tidak seorang pun juga di antara kamu yang aku baptis selain Krispus dan Gayus, supaya jangan ada orang yang berkata, bahwa kamu dibaptis dalam namaku. Memang aku juga yang membaptis keluarga Stefanus. Selain dari pada itu aku tidak tahu, entahkah ada orang lain lagi yang aku baptis.”

Setelah menanyakan apakah mereka dibaptis dalam namanya, Paulus segera mengucap syukur bahwa ia hanya membaptis sangat sedikit orang di Korintus. Ini adalah pernyataan yang mengejutkan dari seorang rasul yang sangat aktif. Ia menyebutkan Krispus (mantan kepala sinagoge, Kisah Para Rasul 18:8), Gayus (tuan rumah Paulus, Roma 16:23), dan keluarga Stefanus. Paulus bahkan menambahkan dengan agak ragu, "Selain dari pada itu aku tidak tahu, entahkah ada orang lain lagi yang aku baptis." Pernyataan ini menunjukkan bahwa pembaptisan bukanlah fokus utama pelayanannya, dan ia tidak terlalu mengingat detailnya, apalagi menggunakannya sebagai dasar untuk membangun kelompok pengikut.

Mengapa Paulus bersyukur karena sedikit membaptis? Alasannya jelas: "supaya jangan ada orang yang berkata, bahwa kamu dibaptis dalam namaku." Paulus ingin memastikan tidak ada keraguan sedikit pun bahwa ia mencari kemuliaan untuk dirinya sendiri atau membangun sekte yang berpusat padanya. Ia menghindari segala sesuatu yang bisa menjadi dasar bagi perpecahan yang ia kecam. Ini adalah pelajaran penting tentang kepemimpinan yang berpusat pada Kristus: pemimpin sejati mengarahkan orang kepada Kristus, bukan kepada diri mereka sendiri.

Ayat-ayat ini juga memberikan wawasan tentang praktik baptisan di gereja mula-mula. Meskipun baptisan adalah tindakan penting dalam iman Kristen, Paulus dengan jelas mengindikasikan bahwa itu bukanlah fungsi sentral atau tertinggi dari pelayanan kerasulannya. Ini bukan untuk meremehkan baptisan, tetapi untuk menegaskan bahwa fokus utama adalah pada pekabaran Injil.

1 Korintus 1:17 – Prioritas Pelayanan Paulus: Pemberitaan Injil Salib

“Sebab Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, melainkan untuk memberitakan Injil; dan itu pun bukan dengan hikmat perkataan, supaya salib Kristus jangan menjadi sia-sia.”

Ini adalah klimaks dari argumen Paulus mengenai prioritas pelayanannya dan inti dari Injil. Ia menyatakan dengan tegas, "Sebab Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, melainkan untuk memberitakan Injil." Ini bukan berarti baptisan tidak penting; tetapi dalam skala prioritas kerasulan, pemberitaan Injil mendahului baptisan. Baptisan adalah respons terhadap Injil yang diberitakan, dan dilakukan oleh banyak orang, bukan hanya para rasul. Misi inti Paulus adalah menjadi duta besar Kristus untuk menyampaikan kabar baik keselamatan.

Kemudian Paulus menambahkan batasan penting tentang cara memberitakan Injil: "dan itu pun bukan dengan hikmat perkataan, supaya salib Kristus jangan menjadi sia-sia." Ini adalah kontras yang krusial. Kata "hikmat perkataan" (Yunani: sophia logou) mengacu pada retorika yang elegan, argumen filosofis yang persuasif, atau keterampilan berbicara yang memukau – sesuatu yang sangat dihargai dalam budaya Yunani Korintus (dan mungkin menjadi daya tarik Apolos bagi sebagian orang). Paulus tahu bahwa jika Injil diberitakan dengan kekuatan argumen manusia atau kefasihan retorika, orang mungkin akan percaya karena oratornya, bukan karena kuasa Salib itu sendiri. Mereka mungkin mengira iman itu hanyalah salah satu bentuk kebijaksanaan manusia.

Tujuannya adalah "supaya salib Kristus jangan menjadi sia-sia." Jika Injil Salib diselimuti atau disalahpahami sebagai sekadar produk dari kecerdasan manusia, maka kuasa dan makna penebusan yang melekat pada Salib akan hilang atau "kosong" (Yunani: kenoo). Kuasa Injil terletak pada kebodohan dan kelemahan Salib di mata dunia (yang akan ia kembangkan di ayat-ayat selanjutnya), bukan pada kebijaksanaan atau kekuatan manusiawi. Paulus sengaja memilih pendekatan yang sederhana dan langsung, agar kemuliaan sepenuhnya menjadi milik Allah dan kuasa Injil itu sendiri.

Ayat ini berfungsi sebagai jembatan penting menuju bagian selanjutnya dari surat ini, di mana Paulus akan membahas secara lebih luas tentang "hikmat dunia" berbanding dengan "hikmat Allah" yang terwujud dalam Salib Kristus.

Tema-tema Kunci dan Aplikasi Kontemporer

1. Panggilan Tegas untuk Persatuan dalam Kristus

Seruan Paulus di 1 Korintus 1:10 adalah fondasi dari seluruh argumennya. Ia tidak menganggap perpecahan sebagai masalah sepele yang bisa diabaikan. Bagi Paulus, perpecahan adalah luka parah dalam tubuh Kristus, yang merusak kesaksian gereja dan menghalangi pertumbuhan rohani. Persatuan yang diinginkan Paulus bukanlah keseragaman total yang menekan keberagaman individual. Sebaliknya, ini adalah persatuan yang berakar pada keselarasan hati dan pikiran dalam hal-hal esensial iman, yaitu Kristus sendiri.

Dalam konteks modern, gereja seringkali terpecah oleh berbagai faktor: perbedaan doktrin non-esensial, gaya ibadah, preferensi politik, latar belakang sosial-ekonomi, atau bahkan loyalitas terhadap pemimpin tertentu. Paulus mengingatkan kita bahwa identitas utama kita adalah "dalam Kristus," bukan "dalam denominasi X," "dalam gereja Y," atau "dalam pemimpin Z." Persatuan yang sejati mengharuskan kita untuk:

  • Mengutamakan Kristus: Memastikan bahwa Kristus dan Injil-Nya adalah pusat dari segala identitas dan kesetiaan kita.
  • Membedakan Esensial dari Non-Esensial: Belajar untuk bersatu dalam hal-hal esensial iman sambil menghormati perbedaan pendapat dalam hal-hal yang tidak mempengaruhi keselamatan atau kebenaran inti Injil.
  • Berkomunikasi dengan Kasih: Mengatasi perselisihan melalui dialog yang konstruktif dan penuh kasih, bukan dengan memecah belah atau mengucilkan.
  • Melihat Diri Sendiri sebagai Bagian dari Tubuh: Mengakui bahwa kita semua, dengan segala perbedaan kita, adalah anggota dari satu tubuh Kristus, yang saling membutuhkan dan melengkapi.

Harmoni dan Kesatuan
Ilustrasi harmonis dari berbagai elemen yang membentuk satu kesatuan, melambangkan persatuan dalam keragaman.

2. Bahaya Pemujaan Pemimpin dan Spirit Partisan

Fenomena "Aku dari golongan Paulus," "Aku dari golongan Apolos," atau "Aku dari golongan Kefas" menyoroti bahaya pemujaan pemimpin. Meskipun menghargai dan menghormati pemimpin rohani adalah hal yang baik, masalah muncul ketika loyalitas kepada pemimpin menggantikan atau melebihi loyalitas kepada Kristus. Pemimpin-pemimpin gereja, betapapun karismatik, cerdas, atau berpengaruhnya mereka, hanyalah hamba Kristus. Mereka adalah alat yang dipakai Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri.

Spirit partisan semacam ini dapat menyebabkan:

  • Persaingan yang Tidak Sehat: Mengubah pelayanan menjadi ajang kompetisi antar pemimpin atau gereja, alih-alih kerja sama untuk kemuliaan Allah.
  • Pengabaian Kebenaran: Membuat jemaat lebih loyal pada interpretasi atau gaya pemimpin tertentu daripada pada keseluruhan kebenaran Alkitab.
  • Kelemahan Kesaksian: Gereja yang terpecah tidak dapat bersaksi secara efektif kepada dunia tentang kasih dan persatuan Kristus.
  • Kekecewaan dan Kepahitan: Ketika pemimpin manusiawi pasti akan memiliki kelemahan atau melakukan kesalahan, pengikut yang memuja pemimpin tersebut akan mudah kecewa dan menjadi pahit.

Paulus dengan tegas mengarahkan kembali fokus pada Kristus, satu-satunya yang disalibkan dan satu-satunya yang patut untuk semua kesetiaan kita. Para pemimpin sejati selalu berusaha untuk merendahkan diri dan meninggikan Kristus.

3. Makna Baptisan yang Benar

Penjelasan Paulus tentang sedikitnya orang yang ia baptis menegaskan bahwa baptisan, meskipun penting sebagai penanda identifikasi dengan Kristus dan bergabung dengan gereja, bukanlah inti dari Injil itu sendiri. Baptisan adalah tanda eksternal dari transformasi internal, sebuah deklarasi publik atas iman pribadi. Namun, itu bukanlah sumber keselamatan, dan juga tidak boleh menjadi dasar untuk menciptakan kelompok atau perpecahan.

Mengapa ini penting?

  • Menghindari Ritualisme: Ada kecenderungan manusia untuk menjadikan ritual sebagai fokus utama, bahkan mengaitkannya dengan keselamatan atau superioritas spiritual. Paulus mengoreksi pandangan ini, menekankan bahwa iman kepada Kristuslah yang menyelamatkan.
  • Menjaga Fokus pada Penginjilan: Misi utama gereja adalah memberitakan Injil. Baptisan adalah respons terhadap Injil yang diterima. Dengan tidak menjadikan baptisan sebagai prioritas utama, Paulus memastikan bahwa pesannya tetap berpusat pada inti keselamatan.
  • Mencegah Elitisme: Jika seseorang membanggakan siapa yang membaptisnya, itu menciptakan hierarki dan eksklusivitas yang tidak alkitabiah. Baptisan oleh Paulus tidak membuat seseorang lebih "Kristen" daripada baptisan oleh orang lain.
Baptisan adalah anugerah Allah yang mengidentifikasi kita dengan kematian dan kebangkitan Kristus, bukan tanda loyalitas kepada pembaptis.

4. Kekuatan Injil Salib Melawan Hikmat Dunia

Ayat 17 adalah fondasi untuk argumen Paulus yang lebih luas di 1 Korintus 1-2 tentang "hikmat dunia" berbanding "hikmat Allah." Paulus menolak memberitakan Injil dengan "hikmat perkataan" karena itu akan membuat "salib Kristus menjadi sia-sia." Ini adalah penolakan terhadap pendekatan yang mengandalkan kefasihan manusia, daya tarik intelektual, atau retorika yang memukau sebagai sarana untuk meyakinkan orang akan kebenaran Injil.

Masyarakat Korintus sangat menghargai kefasihan berbicara dan argumen filosofis. Mereka mungkin mengharapkan Injil disampaikan dengan cara yang sama seperti filsuf-filsuf Yunani menyampaikan ajarannya. Namun, Injil tentang Kristus yang disalibkan adalah "kebodohan" bagi orang Yunani dan "batu sandungan" bagi orang Yahudi (1 Korintus 1:23). Itu tidak menarik bagi kebanggaan intelektual atau kekuatan manusiawi.

Pelajaran bagi kita:

  • Kekuatan Injil ada pada isinya: Bukan pada kecanggihan penyampainya. Meskipun penting untuk berkomunikasi dengan jelas dan efektif, kita harus hati-hati agar tidak mengandalkan teknik atau strategi manusia semata yang mengalihkan perhatian dari kuasa inheren Injil itu sendiri.
  • Menghindari Kompromi: Jangan pernah mengkompromikan isi Injil demi membuatnya lebih "populer" atau "menarik" bagi khalayak tertentu. Kebenaran Salib, dengan segala kebodohan dan kelemahannya di mata dunia, adalah kuasa Allah untuk keselamatan.
  • Fokus pada Kristus yang Tersalib: Ini adalah pesan sentral yang harus selalu kita beritakan. Salib bukan hanya simbol, tetapi inti dari penebusan, pengampunan dosa, dan jalan menuju hidup yang baru.

5. Relevansi untuk Gereja Kontemporer

Pesan Paulus kepada jemaat Korintus tidak usang dimakan waktu. Tantangan perpecahan, pemujaan pemimpin, ritualisme, dan godaan untuk mengkompromikan Injil dengan kebijaksanaan duniawi masih ada di gereja hari ini.

  • Perpecahan Denominasional: Meskipun beberapa denominasi memiliki dasar teologis yang sah, kita harus terus-menerus bertanya apakah batas-batas yang kita bangun lebih memecah belah daripada menyatukan tubuh Kristus secara keseluruhan.
  • Kultus Personalitas: Dalam era media sosial dan "mega-gereja," ada risiko nyata untuk memuliakan pendeta atau pembicara karismatik melebihi Kristus. Kita harus ingat bahwa semua pemimpin adalah hamba, bukan penyelamat.
  • Perdebatan Doktrinal: Penting untuk menjunjung tinggi kebenaran, tetapi kita harus belajar membedakan doktrin inti yang penting untuk keselamatan dari doktrin sekunder yang dapat memiliki beragam interpretasi tanpa merusak Injil. Perdebatan tentang hal-hal non-esensial seringkali menjadi sumber perpecahan yang tidak perlu.
  • Injil yang "Relevan" vs. Injil Salib: Ada tekanan untuk membuat Injil "relevan" dengan budaya modern. Meskipun penting untuk menyampaikannya dalam bahasa yang dapat dipahami, kita harus waspada agar tidak mengikis kekuatan Salib dengan mengurangi pesannya menjadi sekadar nasihat moral, filsafat positif, atau strategi pengembangan diri.

Panggilan untuk persatuan, yang berpusat pada Kristus yang disalibkan dan dibangkitkan, adalah seruan yang terus bergema. Ini menuntut kerendahan hati, kasih, dan komitmen yang tak tergoyahkan pada inti Injil.

Menghadirkan Persatuan dalam Praktek Sehari-hari

Bagaimana kita bisa menerapkan prinsip-prinsip dari 1 Korintus 1:10-17 dalam kehidupan pribadi dan gerejawi kita? Ini bukan hanya tentang menghindari perpecahan, tetapi secara aktif mengejar persatuan yang sehat dan berpusat pada Kristus.

1. Mengenali dan Mengatasi Akar Perpecahan

Perpecahan seringkali berakar pada ego, kebanggaan, dan kurangnya kasih. Kita cenderung lebih menyukai "golongan" kita sendiri, pandangan kita sendiri, dan pemimpin yang kita kagumi. Paulus mendorong kita untuk melihat lebih dalam dari preferensi pribadi kita dan memeriksa motivasi hati kita. Apakah kita lebih peduli dengan siapa yang benar atau dengan apa yang benar (yaitu, Kristus)? Apakah kita rela mengesampingkan pendapat pribadi kita demi kebaikan yang lebih besar dari tubuh Kristus?

  • Introspeksi Pribadi: Tanyakan pada diri sendiri, "Apakah ada loyalitas yang saya miliki (selain kepada Kristus) yang mungkin menjadi sumber perpecahan, baik dalam pikiran saya sendiri maupun dalam interaksi saya dengan orang lain?"
  • Mencari Pengampunan dan Rekonsiliasi: Jika perpecahan telah terjadi, langkah pertama menuju persatuan adalah mencari pengampunan dan rekonsiliasi, baik dari kita sendiri maupun dari orang lain.
  • Fokus pada Kesamaan: Alih-alih terpaku pada perbedaan, fokuslah pada apa yang menyatukan kita sebagai orang percaya: iman kepada Kristus, Alkitab sebagai Firman Tuhan, Roh Kudus yang sama, dan panggilan untuk menyebarkan Injil.

2. Kepemimpinan yang Berpusat pada Kristus

Para pemimpin gereja memiliki tanggung jawab besar untuk mencegah perpecahan. Mereka harus meneladani Paulus dengan mengarahkan setiap orang kepada Kristus, bukan kepada diri mereka sendiri. Ini berarti:

  • Kerendahan Hati: Mengakui bahwa semua karunia dan pelayanan berasal dari Tuhan dan untuk kemuliaan-Nya, bukan untuk pembangunan kerajaan pribadi.
  • Transparansi dan Akuntabilitas: Menjadi teladan dalam integritas dan memastikan bahwa tindakan mereka selalu memuliakan Kristus.
  • Mendorong Partisipasi: Memberdayakan jemaat untuk menemukan dan menggunakan karunia mereka, bukan menciptakan ketergantungan pada pemimpin tunggal.
  • Mengajar Kesatuan: Secara proaktif mengajarkan tentang pentingnya persatuan dan bagaimana mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.

3. Merangkul Diversitas dalam Batasan Kesatuan

Gereja yang sehat bukan berarti gereja yang monoton. Keberagaman etnis, sosial, usia, dan karunia rohani adalah anugerah Tuhan. Paulus sendiri merangkul berbagai karunia dalam jemaat Korintus (1 Korintus 12). Tantangannya adalah merangkul keberagaman ini tanpa membiarkannya menjadi pemicu perpecahan. Ini berarti menghargai sudut pandang yang berbeda, belajar dari satu sama lain, dan menyadari bahwa Tuhan memakai banyak cara untuk bekerja.

  • Membangun Jembatan: Aktif mencari cara untuk berinteraksi dan memahami orang-orang yang mungkin memiliki latar belakang atau pandangan yang berbeda dalam iman.
  • Menghormati Tradisi Lain: Dalam lingkup Kristen, menghargai tradisi denominasi lain yang berpusat pada Kristus, meskipun kita mungkin memiliki perbedaan dalam praktik atau interpretasi sekunder.
  • Fokus pada Misi Bersama: Ingatlah bahwa tujuan utama gereja adalah memuliakan Tuhan dan memberitakan Injil, yang jauh lebih besar daripada perbedaan internal kita.

4. Memegang Teguh pada Injil Salib

Di tengah dunia yang terus berubah dan mencari "kebijaksanaan" baru, gereja harus tetap berlabuh pada Injil Salib Kristus. Pesan Salib, yang mungkin tampak lemah atau bodoh bagi dunia, adalah kuasa Allah yang menyelamatkan. Ini adalah pesan yang mempersatukan orang percaya dari segala latar belakang, karena kita semua diselamatkan oleh anugerah yang sama melalui korban Kristus yang tunggal.

  • Pemberitaan yang Jelas: Terus memberitakan Kristus yang disalibkan dan dibangkitkan sebagai inti dari iman kita.
  • Penghargaan terhadap Firman Tuhan: Kembali pada Alkitab sebagai otoritas tertinggi yang mengajarkan kita tentang Salib dan segala kebenaran lainnya.
  • Hidup yang Mencerminkan Salib: Menghidupi kehidupan yang mencerminkan kerendahan hati, pengorbanan, dan kasih yang diajarkan oleh Salib Kristus.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, kita dapat menjadi jemaat yang lebih mencerminkan doa Yesus dalam Yohanes 17, "supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu," sehingga dunia dapat percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.

Penutup: Refleksi dan Komitmen

Renungan kita atas 1 Korintus 1:10-17 telah membawa kita pada panggilan yang mendalam dan mendesak untuk persatuan. Paulus tidak hanya mengidentifikasi masalah perpecahan, tetapi juga dengan jelas menunjukkan akar penyebabnya: pengalihan fokus dari Kristus kepada pemimpin manusia, penekanan berlebihan pada ritual, dan kompromi dengan kebijaksanaan duniawi yang meremehkan kuasa Salib.

Pesan utama dari bagian ini adalah satu: Kristus tidak terbagi-bagi. Keselamatan kita tidak bergantung pada siapa yang membaptis kita, siapa pendeta favorit kita, atau seberapa fasih seseorang berbicara. Keselamatan kita sepenuhnya berakar pada pribadi dan karya Yesus Kristus, Sang Juruselamat yang disalibkan dan dibangkitkan. Dialah satu-satunya fondasi yang kokoh, di atas mana kita semua dapat berdiri bersama, seia sekata, sehati sepikir.

Marilah kita merenungkan kembali kehidupan gereja kita, komunitas kita, dan bahkan hati kita sendiri. Apakah ada "spirit partisan" yang masih bersemayam? Apakah kita tanpa sadar meninggikan manusia atau metode di atas Kristus? Apakah kita membiarkan hal-hal sekunder memecah belah kita dari saudara-saudari seiman?

Tantangan untuk persatuan tidak pernah berakhir, karena natur manusia yang berdosa cenderung pada perpecahan dan kebanggaan. Namun, kita memiliki Roh Kudus yang mendiami kita, yang kuasa-Nya jauh lebih besar daripada kekuatan apa pun yang ingin memecah belah. Kita memiliki Firman Tuhan yang membimbing kita, dan teladan Yesus yang memimpin kita.

Komitmen kita hari ini haruslah untuk secara aktif mengejar persatuan: dengan kerendahan hati mendengarkan, dengan kasih mengampuni, dengan bijaksana membedakan, dan dengan berani meninggikan nama Kristus di atas segalanya. Biarlah gereja menjadi mercusuar persatuan, bukan karena keseragaman paksa, tetapi karena kesetiaan yang mendalam dan tak terbagi kepada Tuhan kita Yesus Kristus, Kepala Gereja yang tak terpisahkan.

Semoga renungan ini menginspirasi kita untuk hidup dalam kasih dan persatuan, memuliakan nama Tuhan dan menjadi kesaksian yang kuat bagi dunia yang haus akan pengharapan dan kebenaran.

Solus Christus, Soli Deo Gloria.