Surat pertama Paulus kepada jemaat di Korintus adalah sebuah dokumen yang luar biasa, tidak hanya karena kedalaman teologisnya tetapi juga karena relevansinya yang abadi bagi tantangan-tantunangan yang dihadapi gereja sepanjang sejarah. Dalam bagian khusus ini, 1 Korintus 1:10-18, Rasul Paulus dengan tegas menyentuh inti permasalahan yang melanda jemaat Korintus: perpecahan. Dengan kebijaksanaan ilahi, ia tidak hanya mengidentifikasi sumber masalahnya tetapi juga menawarkan solusi radikal yang berakar pada inti Kekristenan: Salib Kristus.
Mari kita selami lebih dalam perikop ini, menggali setiap ayat, dan merenungkan implikasinya bagi kehidupan kita sebagai individu dan sebagai gereja di era modern.
Konteks Historis dan Latar Belakang Jemaat Korintus
Untuk memahami pesan Paulus dengan sepenuhnya, kita harus terlebih dahulu memahami latar belakang jemaat di kota Korintus. Korintus adalah kota pelabuhan yang makmur dan strategis, pusat perdagangan dan kebudayaan di dunia kuno. Namun, kemakmuran ini datang dengan harga: Korintus dikenal karena imoralitasnya yang merajalela, sinkretisme agamanya, dan kecenderungannya untuk menghargai filosofi Yunani serta retorika yang ulung. Jemaat Kristen di Korintus, yang sebagian besar terdiri dari orang-orang non-Yahudi, mencerminkan lingkungan ini. Mereka membawa serta kebiasaan, pola pikir, dan nilai-nilai duniawi ke dalam komunitas iman mereka, menciptakan berbagai masalah, termasuk perpecahan, imoralitas, salah tafsir karunia rohani, dan kesalahpahaman tentang kebangkitan.
Paulus menulis surat ini untuk menegur, mengoreksi, dan membimbing jemaat tersebut kembali ke kebenaran Injil. Perpecahan adalah salah satu masalah paling mendesak yang harus segera ditangani, karena mengancam fondasi kesaksian dan keberadaan jemaat itu sendiri.
1 Korintus 1:10 - Panggilan untuk Kesatuan yang Hakiki
10 Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, melainkan supaya kamu erat bersatu dalam satu pikiran dan satu pendirian.
Paulus memulai dengan sebuah seruan yang mendalam dan penuh kuasa. Frasa "demi nama Tuhan kita Yesus Kristus" bukanlah sekadar formalitas; itu adalah penekanan ilahi. Paulus menegaskan bahwa panggilan untuk kesatuan ini bukan atas otoritasnya sendiri, melainkan atas otoritas Kristus. Ini berarti bahwa perpecahan dalam jemaat bukan hanya masalah sosial atau psikologis; itu adalah masalah teologis yang secara langsung melukai nama dan kehormatan Yesus Kristus.
Kata-kata "seia sekata" (Yunani: lego, berbicara sama) dan "jangan ada perpecahan" (Yunani: schismata, robekan, celah) menggambarkan kondisi ideal dan masalah yang ada. Jemaat Korintus sedang terkoyak. Paulus ingin mereka "erat bersatu dalam satu pikiran dan satu pendirian." Ini bukan berarti homogenitas mutlak di mana setiap orang berpikir persis sama tentang segala hal. Itu adalah kesatuan hati dan tujuan yang mendasari keragaman pendapat. Mereka harus memiliki tujuan yang sama: memuliakan Kristus dan menyebarkan Injil. Kesatuan ini berpusat pada Kristus, bukan pada preferensi pribadi, karisma pemimpin, atau latar belakang sosial.
Panggilan untuk kesatuan ini sangat relevan di zaman kita. Gereja-gereja modern seringkali terpecah belah oleh hal-hal yang kurang penting daripada doktrin inti: gaya ibadah, preferensi musik, politik, atau bahkan kepribadian pemimpin. Paulus mengingatkan kita bahwa prioritas utama adalah kesatuan dalam Kristus, yang melampaui segala perbedaan duniawi.
1 Korintus 1:11-12 - Sumber-Sumber Perpecahan
11 Sebab, saudara-saudaraku, oleh orang-orang dari keluarga Kloe telah diberitahukan kepadaku tentang kamu, bahwa ada perselisihan di antara kamu.
12 Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus! Atau: Aku dari golongan Apolos! Atau: Aku dari golongan Kefas! Atau: Aku dari golongan Kristus!
Paulus tidak berbicara tanpa dasar. Dia telah menerima laporan konkret dari "orang-orang dari keluarga Kloe" mengenai "perselisihan" (Yunani: erides, pertengkaran) di Korintus. Ini menunjukkan bahwa Paulus memiliki sumber informasi yang dapat dipercaya dan bahwa masalah ini sudah menjadi rahasia umum.
Ayat 12 mengungkapkan inti dari perpecahan tersebut: kesetiaan yang terbagi kepada para pemimpin manusia. Jemaat telah membentuk faksi-faksi berdasarkan siapa yang membimbing atau mengajar mereka. Paulus, Apolos, dan Kefas (Petrus) adalah tokoh-tokoh penting dalam pelayanan gereja mula-mula. Paulus adalah pendiri jemaat Korintus. Apolos adalah seorang orator ulung yang datang setelah Paulus dan membangun lebih lanjut pengajaran. Kefas, atau Petrus, adalah salah satu rasul utama.
Mengapa ini menjadi masalah? Karena fokusnya telah bergeser dari Kristus kepada hamba-hamba-Nya. Ketika orang-orang Kristen mulai mengidentifikasi diri mereka lebih kuat dengan seorang pemimpin daripada dengan Kristus itu sendiri, itu adalah tanda bahaya. Ini menciptakan kultus kepribadian, persaingan, dan hilangnya pandangan bahwa semua pemimpin adalah hamba-hamba Kristus yang bekerja di bawah satu otoritas. Bahkan faksi "Aku dari golongan Kristus!" yang tampaknya benar pun disalahgunakan jika digunakan untuk memecah belah dan menghakimi orang lain, seolah-olah mereka adalah satu-satunya yang memiliki hubungan "murni" dengan Kristus.
Di era modern, kita melihat fenomena serupa. Gereja-gereja terpecah karena loyalitas kepada seorang pendeta karismatik, denominasi tertentu, atau bahkan teolog populer. Paulus dengan tegas mengingatkan bahwa kesetiaan kita yang utama adalah kepada Kristus sendiri, dan bukan kepada siapa pun yang melayani Dia.
1 Korintus 1:13 - Pertanyaan Retoris Paulus tentang Kristus
13 Adakah Kristus terbagi-bagi? Adakah Paulus disalibkan untuk kamu? Atau adakah kamu dibaptis dalam nama Paulus?
Di sini Paulus menggunakan serangkaian pertanyaan retoris yang tajam untuk mengekspos absurditas perpecahan di Korintus. Ini adalah salah satu momen paling kuat dalam argumennya. Setiap pertanyaan dirancang untuk menggiring jemaat pada satu kesimpulan yang tak terhindarkan: Kristus adalah satu-satunya pusat iman mereka, bukan pemimpin manusia mana pun.
- "Adakah Kristus terbagi-bagi?" Jawabannya jelas: Tidak! Kristus tidak dapat dibagi-bagi. Dia adalah kepala yang satu dari tubuh yang satu, yaitu gereja. Membagi jemaat berdasarkan kesetiaan kepada manusia adalah sama dengan mencoba membagi Kristus itu sendiri, sebuah gagasan yang heretis dan tidak mungkin. Ini menunjukkan betapa seriusnya perpecahan di mata Allah.
- "Adakah Paulus disalibkan untuk kamu?" Kembali, jawabannya adalah tidak. Hanya Kristus yang disalibkan untuk menebus dosa-dosa manusia. Para pemimpin manusia, seberapa pun hebatnya mereka, tidak pernah bisa mengambil tempat Kristus sebagai Juruselamat dan penebus. Fondasi iman Kristen adalah pengorbanan Kristus di kayu salib, bukan pelayanan seseorang.
- "Atau adakah kamu dibaptis dalam nama Paulus?" Sekali lagi, jawabannya adalah tidak. Baptisan adalah tanda identifikasi dengan Kristus, bukan dengan orang yang membaptis. Ini adalah inisiasi ke dalam komunitas yang berpusat pada Kristus, bukan klub penggemar seorang rasul.
Ketiga pertanyaan ini secara efektif meruntuhkan argumen di balik perpecahan mereka. Mereka menekankan bahwa Kristus adalah satu-satunya pusat, satu-satunya Juruselamat, dan satu-satunya fondasi identitas Kristen. Loyalitas yang terbagi menunjukkan pemahaman yang salah tentang siapa Kristus dan apa artinya menjadi bagian dari tubuh-Nya.
1 Korintus 1:14-16 - Prioritas Baptisan
14 Aku bersyukur kepada Allah, bahwa aku seorang pun tidak membaptis dari antara kamu, kecuali Krispus dan Gayus,
15 supaya jangan ada orang yang dapat mengatakan, bahwa kamu dibaptis dalam namaku.
16 Memang aku juga membaptis keluarga Stefanus. Selain dari pada itu aku tidak tahu, adakah aku membaptis orang lain.
Setelah menanyakan pertanyaan retoris yang tajam, Paulus kemudian mengungkapkan rasa syukurnya karena ia hanya membaptis sedikit orang di Korintus. Sekilas, pernyataan ini mungkin tampak mengejutkan atau bahkan meremehkan sakramen baptisan. Namun, maksud Paulus sama sekali bukan itu.
Paulus bersukacita karena kenyataan bahwa ia membaptis sedikit orang justru akan menyingkirkan satu alasan lagi bagi jemaat untuk membentuk faksi-faksi. Jika ia telah membaptis banyak orang, kelompok yang "dari golongan Paulus" mungkin akan lebih kuat dan lebih merasa benar dengan dasar bahwa "Pauluslah yang membaptis kami." Dengan membaptis sedikit, Paulus menegaskan bahwa identitas iman mereka bukan berasal dari "siapa yang membaptis," tetapi dari "siapa yang dibaptis"—yaitu, di dalam Kristus.
Ini adalah pengingat penting bahwa ritual keagamaan, meskipun penting, tidak boleh menjadi sumber kebanggaan atau perpecahan. Yang terpenting bukanlah hamba yang melakukan ritual, tetapi Tuhan yang dilayani melalui ritual itu. Baptisan adalah tanda kesetiaan kepada Kristus, bukan tanda kesetiaan kepada pembaptis.
1 Korintus 1:17 - Misi Paulus: Pemberitaan Salib, Bukan Kebijaksanaan Kata-Kata
17 Sebab Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, melainkan untuk memberitakan Injil; dan itu pun bukan dengan hikmat perkataan, supaya salib Kristus jangan menjadi sia-sia.
Di sini, Paulus semakin memperjelas misi dan prioritas pelayanannya. Ia tidak diutus terutama untuk membaptis, melainkan "untuk memberitakan Injil." Ini adalah pernyataan fundamental tentang esensi kerasulan dan penginjilan. Tugas utama seorang rasul, dan oleh ekstensi, setiap penginjil, adalah untuk memproklamasikan kabar baik tentang Yesus Kristus.
Namun, bagian kedua dari ayat ini bahkan lebih krusial: "dan itu pun bukan dengan hikmat perkataan, supaya salib Kristus jangan menjadi sia-sia." Ini adalah titik balik dalam argumen Paulus yang akan ia kembangkan di pasal-pasal berikutnya. Kota Korintus sangat menghargai retorika, kefasihan berbicara, dan filosofi yang canggih. Orang-orang Yunani pada masa itu sering menganggap Injil sebagai sesuatu yang "bodoh" karena disajikan dalam bahasa yang sederhana, tanpa orasi yang memukau atau argumen filosofis yang kompleks seperti yang mereka dambakan.
Paulus dengan sengaja memilih untuk tidak menggunakan "hikmat perkataan" atau "kebijaksanaan duniawi" yang memukau. Mengapa? Karena ia tidak ingin "salib Kristus menjadi sia-sia" (Yunani: kenoo, mengosongkan, membuat tidak berdaya). Jika Injil disampaikan dengan cara yang mengandalkan kefasihan manusia, daya tarik intelektual, atau kekuatan argumen yang canggih, maka orang mungkin akan mengira bahwa kekuatan Injil berasal dari oratornya, bukan dari kuasa ilahi di balik salib itu sendiri. Kekuatan Injil tidak terletak pada bagaimana itu dikemas, tetapi pada pesan intinya: kematian dan kebangkitan Kristus.
Pesan ini menantang gereja modern yang kadang-kadang terlalu fokus pada presentasi yang memukau, program yang canggih, atau pemimpin yang karismatik, sehingga melupakan kesederhanaan dan kekuatan radikal dari pesan salib itu sendiri. Salib tidak membutuhkan hiasan atau pembelaan filosofis yang rumit untuk menjadi kuat; kuasanya inheren.
1 Korintus 1:18 - Kekuatan Salib: Kebodohan bagi yang Binasa, Kekuatan Allah bagi yang Diselamatkan
18 Sebab pemberitaan tentang salib memang kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan, pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.
Ayat ini adalah puncak argumen Paulus dan merupakan salah satu pernyataan teologis paling mendalam dalam seluruh Alkitab. Ini adalah inti dari "filosofi" Kristen yang berlawanan dengan kebijaksanaan dunia.
- "Sebab pemberitaan tentang salib memang kebodohan bagi mereka yang akan binasa." Bagi orang-orang Yunani yang menjunjung tinggi kebijaksanaan dan kekuatan manusia, gagasan tentang seorang mesias yang disalibkan adalah skandal dan kebodohan. Penyaliban adalah metode eksekusi yang paling memalukan, dirancang untuk penjahat terburuk. Bagaimana mungkin seorang Tuhan yang agung bisa mati dengan cara yang begitu hina? Bagi mereka, ini adalah kontradiksi yang tidak masuk akal, tanda kelemahan, dan kegagalan. Ini menunjukkan bahwa standar duniawi (kekuatan, kebijaksanaan, kekuasaan) tidak dapat memahami atau menerima kebenaran ilahi. Mereka yang "akan binasa" adalah mereka yang, dalam kesombongan intelektual atau moral mereka, menolak kebenaran Injil.
- "Tetapi bagi kita yang diselamatkan, pemberitaan itu adalah kekuatan Allah." Sebaliknya, bagi mereka yang telah menerima anugerah keselamatan melalui iman kepada Kristus, salib adalah manifestasi tertinggi dari hikmat dan kuasa Allah.
- Hikmat Allah: Salib adalah cara Allah yang paling bijaksana untuk menangani dosa manusia, untuk mendamaikan manusia dengan diri-Nya, dan untuk menunjukkan kasih-Nya yang tak terbatas. Tidak ada kebijaksanaan manusia yang bisa merancang rencana keselamatan sehebat ini.
- Kuasa Allah: Di kayu salib, Allah mengalahkan dosa, maut, dan kuasa kegelapan. Kebangkitan Kristus dari kematian adalah bukti pamungkas dari kuasa ini. Melalui salib, kita menerima pengampunan, hidup baru, dan pengharapan kekal. Kekuatan salib tidak terletak pada kekerasan fisik atau kemampuan militer, melainkan pada kemampuannya untuk mengubah hati, memperdamaikan musuh, dan memberikan hidup kepada yang mati secara rohani.
Perbedaan antara "mereka yang akan binasa" dan "kita yang diselamatkan" bukan hanya tentang hasil akhir, tetapi juga tentang bagaimana mereka memandang salib. Satu kelompok memandang salib sebagai batu sandungan dan kebodohan; kelompok lain memandangnya sebagai batu fondasi iman dan sumber kekuatan ilahi. Ini adalah garis pemisah fundamental antara iman dan ketidakpercayaan.
Tema-tema Utama dan Elaborasi
1. Hikmat Dunia vs. Hikmat Allah
Perikop ini secara tajam mengkontraskan "hikmat perkataan" atau "kebijaksanaan dunia" dengan "kekuatan Allah" yang termanifestasi dalam "pemberitaan salib." Bagi orang Korintus yang terpengaruh budaya Yunani, retorika yang ulung dan filosofi yang kompleks adalah segalanya. Mereka mencari keindahan kata-kata, argumen yang meyakinkan secara intelektual, dan pembicara yang karismatik.
Namun, Paulus dengan sengaja menolak pendekatan ini. Ia tahu bahwa mengandalkan hikmat duniawi akan mengosongkan salib dari kekuatannya. Hikmat dunia cenderung meninggikan manusia, argumennya, dan kemampuannya untuk memahami Tuhan dengan akal budi semata. Sebaliknya, Injil Kristus merendahkan kebanggaan manusia, menuntut pertobatan, dan bersandar sepenuhnya pada anugerah ilahi.
Hikmat Allah seringkali tampak "bodoh" di mata duniawi karena tidak sesuai dengan logika atau harapan manusia. Salib, yang merupakan tanda kehinaan, justru menjadi alat penebusan yang paling mulia. Ini adalah paradoks ilahi. Kebenaran bahwa Allah memilih apa yang lemah dan "bodoh" di mata dunia untuk mempermalukan yang kuat dan bijaksana adalah tema yang akan Paulus kembangkan lebih lanjut di pasal 1 Korintus ini.
Dalam konteks modern, godaan untuk mengemas Injil agar lebih "menarik" atau "masuk akal" bagi masyarakat yang didominasi oleh sains, filsafat sekuler, atau pragmatisme masih sangat kuat. Gereja kadang-kadang tergoda untuk meniru tren dunia, menggunakan strategi pemasaran yang canggih, atau menyajikan Injil dengan cara yang menghilangkan aspek "skandal" dari salib. Paulus mengingatkan kita bahwa kekuatan Injil bukan pada adaptasi kita terhadap budaya, melainkan pada keunikan dan kebenaran radikalnya yang melampaui segala kebijaksanaan manusia.
2. Kuasa Salib
Salib adalah pusat gravitasi dari Injil Paulus. Ini bukan sekadar simbol religius atau peristiwa sejarah masa lalu; itu adalah manifestasi hidup dari kuasa Allah. Bagi dunia, salib adalah kegagalan, kebodohan, dan kelemahan. Bagi Paulus dan semua yang diselamatkan, salib adalah:
- Tempat Kemenangan Ilahi: Di kayu salib, Kristus, melalui kematian-Nya, mengalahkan dosa, maut, dan kuasa kegelapan. Itu adalah medan perang di mana kemenangan terbesar Allah atas kejahatan diwujudkan.
- Manifestasi Kasih Allah yang Tak Terbatas: Salib adalah bukti tertinggi dari kasih Allah yang rela mengorbankan Putra-Nya yang tunggal demi penebusan manusia yang berdosa.
- Sumber Pengampunan dan Pendamaian: Melalui darah Kristus yang tercurah di salib, dosa-dosa kita diampuni, dan kita didamaikan kembali dengan Allah. Ini adalah jembatan antara manusia yang berdosa dan Allah yang kudus.
- Fondasi Hidup Baru: Salib bukan hanya tentang kematian, tetapi tentang kebangkitan. Orang-orang yang beriman disatukan dengan Kristus dalam kematian-Nya terhadap dosa dan kebangkitan-Nya menuju hidup yang baru.
- Kekuatan Transformasi: Kuasa salib bukan hanya doktrin, tetapi realitas yang mengubah hidup. Ia memecahkan kekuatan dosa dalam diri kita, memberi kita kekuatan untuk hidup kudus, dan menumbuhkan kasih, damai sejahtera, serta sukacita.
Pemberitaan tentang salib harus selalu menjadi inti dari misi gereja. Ini adalah satu-satunya pesan yang memiliki kekuatan untuk menyelamatkan, merekonsiliasi, dan mengubah. Mengkompromikan pesan salib demi daya tarik atau penerimaan dunia adalah sama dengan mengosongkan Injil dari kekuatannya yang ilahi.
3. Kesatuan dalam Kristus
Seluruh perikop ini dimulai dengan panggilan untuk kesatuan dan diakhiri dengan penegasan tentang salib. Ada hubungan yang tak terpisahkan antara keduanya. Perpecahan di Korintus disebabkan oleh kesetiaan yang terbagi kepada pemimpin manusia dan penghargaan yang berlebihan terhadap kebijaksanaan dunia. Paulus menunjukkan bahwa solusi untuk perpecahan ini adalah kembali kepada pusat yang sejati: Salib Kristus.
Ketika semua orang percaya menjadikan salib sebagai satu-satunya dasar dan fokus mereka, perbedaan-perbedaan kecil akan memudar. Apakah Anda dari Paulus, Apolos, atau Kefas tidak lagi relevan, karena semua pemimpin ini menunjuk kepada satu Kristus yang disalibkan. Kebanggaan terhadap kebijaksanaan atau kefasihan pribadi juga akan hancur di hadapan "kebodohan" salib.
Kesatuan Kristen yang sejati tidak dicapai dengan menyamakan semua perbedaan atau dengan kompromi doktrinal. Sebaliknya, kesatuan sejati tumbuh ketika setiap orang mengakui bahwa mereka semua sama-sama berdosa dan sama-sama diselamatkan hanya oleh anugerah melalui salib Kristus. Dalam kerendahan hati di kaki salib, kita menemukan identitas bersama dan ikatan yang tak terpisahkan sebagai anak-anak Allah.
Ini berarti bahwa gereja harus terus-menerus meninjau ulang prioritasnya. Apakah kita mengizinkan perbedaan-perbedaan sekunder untuk memecah belah kita? Apakah kita terlalu bergantung pada karisma individu daripada pada Kristus yang adalah kepala gereja? Paulus menantang kita untuk mencari kesatuan yang berakar kuat pada kebenaran dan kuasa salib.
Aplikasi Kontekstual di Era Modern
Meskipun ditulis hampir dua milenium yang lalu, surat Paulus kepada jemaat Korintus, khususnya bagian ini, tetap sangat relevan bagi gereja dan orang percaya di abad ke-21.
1. Menghadapi Perpecahan di Gereja Kontemporer
Perpecahan masih menjadi momok bagi gereja. Alih-alih faksi "Paulus" atau "Apolos", kita mungkin melihat perpecahan berdasarkan:
- Denominasi atau Aliran Teologi: Seringkali terjadi permusuhan dan ketidakpercayaan antara berbagai denominasi atau kelompok teologis, yang masing-masing mengklaim memiliki pemahaman "yang lebih benar" tentang Injil. Paulus akan menanyakan, "Adakah Kristus terbagi-bagi?"
- Gaya Ibadah dan Musik: Pertengkaran tentang musik tradisional versus kontemporer, liturgi formal versus ibadah yang lebih bebas, bisa menjadi sumber ketidakpuasan dan pemisahan.
- Preferensi Politik dan Sosial: Di banyak negara, gereja-gereja terpecah belah karena perbedaan pandangan politik, isu-isu sosial yang sensitif, atau bagaimana gereja harus terlibat dalam masyarakat. Loyalitas kepada partai politik atau ideologi tertentu dapat menggantikan loyalitas kepada Kristus.
- Kultus Kepribadian Pemimpin: Fenomena "pendeta selebriti" atau gereja yang dibangun di sekitar karisma seorang pemimpin tertentu masih ada. Ketika seorang pemimpin jatuh, seluruh jemaat bisa ikut runtuh atau terpecah. Ini mengabaikan pesan Paulus bahwa para pemimpin hanyalah hamba-hamba, dan Kristus adalah satu-satunya Kepala.
Panggilan Paulus untuk "satu pikiran dan satu pendirian" menuntut kita untuk mengedepankan Kristus dan salib-Nya di atas segala perbedaan ini. Persatuan sejati tidak berarti keseragaman, tetapi kebersamaan dalam tujuan inti, sambil menerima perbedaan-perbedaan non-esensial.
2. Menolak Hikmat Dunia dalam Pemberitaan Injil
Di era informasi dan skeptisisme ilmiah, ada godaan kuat untuk membuat Injil "lebih masuk akal" atau "lebih bisa diterima" oleh dunia. Ini bisa termanifestasi dalam:
- Mengencerkan Pesan Salib: Menghilangkan aspek dosa, penghakiman, dan penebusan darah dari Injil, dan menggantinya dengan pesan tentang "motivasi diri," "kesehatan dan kemakmuran," atau "kebahagiaan semata."
- Mengandalkan Retorika dan Kecanggihan Presentasi: Terlalu banyak fokus pada produksi ibadah yang sempurna, khotbah yang sangat cerdas tetapi miskin substansi Alkitabiah, atau menggunakan strategi pemasaran gereja yang menyerupai perusahaan sekuler. Meskipun kualitas presentasi bisa membantu, Paulus memperingatkan agar kekuatan Injil tidak ditempatkan pada "hikmat perkataan."
- Mengejar Penerimaan Intelektual Semata: Mencoba membuktikan Injil hanya dengan argumen filosofis atau ilmiah, tanpa mengakui bahwa iman pada akhirnya adalah respons spiritual terhadap pewahyuan Allah, yang seringkali melampaui kemampuan akal budi manusia sepenuhnya.
Paulus mengajarkan kita untuk tidak malu dengan "kebodohan" salib. Kekuatan Injil tidak bergantung pada seberapa baik kita menjualnya, tetapi pada kuasa inheren dari Allah yang bekerja melaluinya. Kita harus berani memberitakan Kristus yang disalibkan, bahkan jika itu dianggap kuno atau tidak relevan oleh dunia.
3. Menghargai Salib sebagai Kekuatan Allah
Bagi orang percaya, salib harus selalu menjadi sumber kekuatan, pengharapan, dan identitas kita. Dalam kehidupan pribadi, ini berarti:
- Ketergantungan Total pada Kristus: Mengakui bahwa semua kebaikan dan kekuatan kita berasal dari apa yang telah Kristus lakukan bagi kita, bukan dari usaha atau pencapaian kita sendiri.
- Kerendahan Hati: Salib merendahkan kebanggaan kita dan mengingatkan kita bahwa kita semua adalah orang berdosa yang membutuhkan anugerah. Ini mendorong kerendahan hati dalam interaksi kita dengan orang lain.
- Pengharapan di Tengah Penderitaan: Ketika kita menghadapi kesulitan, salib mengingatkan kita bahwa Allah telah melalui penderitaan terburuk untuk kita. Kuasa-Nya dapat menopang kita, bahkan di tengah keputusasaan.
- Hidup yang Berpusat pada Kristus: Setiap keputusan, setiap aspirasi, harus berpusat pada Kristus dan memuliakan pengorbanan-Nya di kayu salib.
Dalam gereja, menghargai salib sebagai kekuatan Allah berarti memastikan bahwa setiap program, setiap pengajaran, dan setiap aktivitas gereja pada akhirnya menunjuk kepada Kristus yang disalibkan dan dibangkitkan. Ini berarti melayani dengan semangat kasih dan pengorbanan, meneladani Kristus sendiri.
Refleksi Akhir
Pesan Paulus dalam 1 Korintus 1:10-18 adalah panggilan yang mendesak untuk kesatuan, bukan kesatuan yang didasarkan pada kesamaan pendapat atau karisma manusia, tetapi kesatuan yang berakar dalam Kristus yang disalibkan. Dia dengan tegas mengingatkan kita bahwa Injil Kristus tidak membutuhkan retorika yang canggih atau kebijaksanaan duniawi untuk menjadi efektif. Sebaliknya, kekuatan Injil terletak pada pesan salib yang, meskipun "bodoh" bagi yang binasa, adalah "kekuatan Allah" bagi mereka yang diselamatkan.
Marilah kita sebagai individu dan sebagai gereja di era ini, senantiasa merenungkan kembali kebenaran yang mendalam ini. Semoga kita menolak perpecahan yang didasarkan pada preferensi manusia, menolak godaan untuk mengemas ulang Injil agar lebih menarik bagi dunia, dan sebaliknya, dengan bangga dan rendah hati memproklamasikan Kristus yang disalibkan sebagai satu-satunya harapan dan kekuatan kita.
Dalam persatuan kasih dan kebenaran yang berpusat pada salib, gereja akan bersinar terang sebagai mercusuar pengharapan di tengah dunia yang terpecah dan mencari kebijaksanaan yang fana.