Renungan Mendalam: 1 Timotius 1:1-11

Kasih Karunia, Ajaran Sejati, dan Tujuan Ilahi dalam Pelayanan

Kitab 1 Timotius adalah surat pastoral yang ditulis oleh Rasul Paulus kepada Timotius, seorang murid mudanya yang dipercayakan untuk memimpin gereja di Efesus. Surat ini, yang sarat dengan bimbingan dan nasihat, berfungsi sebagai manual penting bagi kepemimpinan gereja dan doktrin Kristen yang benar. Bagian pembuka, 1 Timotius 1:1-11, bukan sekadar salam pembuka biasa, melainkan fondasi kokoh yang memperkenalkan tema-tema sentral surat ini: otoritas kerasulan, hubungan mentor-murid yang mendalam, bahaya ajaran palsu, dan tujuan sejati dari hukum serta Injil. Mari kita selami setiap ayat untuk mengungkap kekayaan maknanya dan relevansinya bagi kita hari ini.

Sebuah gambar hati di atas buku terbuka, melambangkan kebenaran Alkitab dan kasih yang murni.

I. Salam dan Landasan Pelayanan (1 Timotius 1:1-2)

Dari Paulus, rasul Kristus Yesus menurut perintah Allah, Juruselamat kita, dan Kristus Yesus, harapan kita,

kepada Timotius, anakku yang sah di dalam iman: kasih karunia, rahmat, dan damai sejahtera dari Allah Bapa dan Kristus Yesus, Tuhan kita, menyertai engkau.

1 Timotius 1:1-2

A. Identitas Paulus: Rasul Kristus Yesus

Paulus memulai suratnya dengan menegaskan otoritasnya sebagai "rasul Kristus Yesus". Kata "rasul" (apostolos) berarti "seseorang yang diutus" atau "utusan". Namun, bagi Paulus, gelar ini lebih dari sekadar jabatan; itu adalah panggilan ilahi, sebuah penugasan langsung dari Allah sendiri. Ia menyatakan bahwa kerasulannya adalah "menurut perintah Allah, Juruselamat kita, dan Kristus Yesus, harapan kita." Ini bukan inisiatif pribadi Paulus, melainkan mandat dari Yang Mahatinggi. Penekanan pada "perintah Allah" menghilangkan keraguan apa pun tentang legitimasinya, terutama mengingat tantangan yang sering ia hadapi dari para penentang. Identitas ini menjadi dasar mengapa Timotius, dan juga kita, harus memperhatikan ajarannya. Ini mengingatkan kita bahwa pelayanan sejati berasal dari panggilan Allah, bukan ambisi pribadi. Setiap orang percaya, dalam konteksnya masing-masing, dipanggil untuk melayani sesuai dengan anugerah dan panggilan yang Tuhan berikan. Pengenalan diri Paulus ini juga menempatkan fondasi teologis yang kuat, menghubungkan pelayanan kerasulannya langsung kepada Allah sebagai Juruselamat dan Kristus Yesus sebagai harapan. Ini bukan hanya formalitas, tetapi sebuah deklarasi iman yang mendalam.

Dalam konteks gereja mula-mula, pengakuan otoritas rasuli sangat vital untuk menjaga kemurnian doktrin. Paulus seringkali harus membela gelar kerasulannya karena ada pihak-pihak yang berusaha meremehkan atau menolaknya. Dengan menyatakan kerasulannya berasal dari "perintah Allah," Paulus mengindikasikan bahwa ia bertindak sebagai corong ilahi, menyampaikan kebenaran yang bukan berasal dari dirinya sendiri. Gelar ini menuntut rasa hormat dan ketaatan terhadap ajarannya. Bagi Timotius, ini adalah penegasan kembali sumber otoritas mentornya dan sekaligus sumber otoritas yang harus ia tegakkan di Efesus. Ini adalah pengingat bahwa di tengah kebingungan dan ajaran palsu, ada suara yang jelas dan otoritatif yang berasal dari Allah sendiri.

Lebih jauh lagi, deskripsi Allah sebagai "Juruselamat kita" dan Kristus Yesus sebagai "harapan kita" berfungsi sebagai miniatur pernyataan Injil. Ini bukan hanya sebuah kredensial, tetapi juga sebuah pengingat akan esensi iman Kristen. Allah telah bertindak untuk menyelamatkan, dan Yesus Kristus adalah satu-satunya objek harapan bagi umat manusia. Ini menjadi konteks di mana semua nasihat Paulus kepada Timotius akan diberikan. Pelayanan yang sejati selalu berakar pada kesadaran akan anugerah keselamatan dan pengharapan yang kita miliki di dalam Kristus. Tanpa pengakuan ini, pelayanan bisa menjadi pekerjaan manusiawi yang kosong, didorong oleh ego atau tradisi, bukan oleh kuasa dan tujuan ilahi.

B. Hubungan Paulus dengan Timotius: Anak yang Sah dalam Iman

Paulus kemudian menyapa Timotius sebagai "anakku yang sah di dalam iman." Ini bukan berarti Timotius adalah anak kandung Paulus, melainkan menunjukkan hubungan spiritual yang sangat dekat dan mendalam. Paulus adalah mentor rohani yang telah membimbing Timotius, kemungkinan besar membawa Timotius kepada iman Kristus, dan membentuknya menjadi pemimpin yang kompeten. Kata "sah" (gnēsios) menekankan keaslian hubungan ini, bukan sekadar hubungan profesional, tetapi ikatan bapak-anak yang sejati dalam ranah spiritual. Ini adalah pengakuan akan dedikasi Timotius dan kesetiaannya terhadap Injil yang Paulus ajarkan. Hubungan ini juga menyoroti pentingnya mentoring dalam gereja. Pemimpin yang berpengalaman perlu membimbing generasi berikutnya, menularkan bukan hanya pengetahuan, tetapi juga karakter dan semangat pelayanan.

Hubungan spiritual antara Paulus dan Timotius adalah model yang indah tentang bagaimana iman diturunkan dan diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ini adalah hubungan yang dibangun di atas kasih, kepercayaan, dan komitmen bersama terhadap Injil. Bagi Timotius, sapaan "anakku yang sah" pastilah merupakan sumber kekuatan dan dorongan di tengah tugas berat yang menantinya di Efesus. Ini menegaskan bahwa ia tidak sendirian; ia memiliki dukungan dan pengakuan dari rasul besar tersebut. Hal ini juga menunjukkan bahwa di mata Paulus, Timotius bukan hanya seorang rekan kerja, melainkan seseorang yang ia kasihi dan tempatkan harapan besar padanya, seolah-olah ia adalah pewaris rohaninya. Aspek "sah" juga mengisyaratkan adanya anak-anak rohani yang 'tidak sah', mungkin mereka yang mengikuti ajaran yang berbeda atau memiliki motif yang tidak murni. Ini mengkontraskan keaslian Timotius.

Dalam konteks yang lebih luas, hubungan ini mengajarkan kita tentang pentingnya membentuk hubungan discipleship yang sehat. Gereja tidak akan bertumbuh dan bertahan jika tidak ada generasi baru yang siap mengambil tongkat estafet kepemimpinan dan pelayanan. Paulus, meskipun seorang rasul dengan otoritas luar biasa, tidak bekerja sendirian. Ia berinvestasi dalam kehidupan orang lain, seperti Timotius dan Titus, untuk memastikan Injil terus diberitakan dan gereja terus dibangun. Ini adalah contoh konkret dari bagaimana iman dan ajaran yang sehat diturunkan: melalui hubungan pribadi, bimbingan yang tulus, dan kesetiaan yang teruji. Ini adalah fondasi etos pelayanan Kristen yang esensial, menekankan bahwa di luar doktrin yang benar, ada kehangatan dan keintiman hubungan yang juga penting.

C. Berkat Tripartit: Kasih Karunia, Rahmat, Damai Sejahtera

Paulus mengakhiri salamnya dengan berkat yang khas baginya: "kasih karunia, rahmat, dan damai sejahtera dari Allah Bapa dan Kristus Yesus, Tuhan kita, menyertai engkau." Uniknya, dalam surat-surat pastoralnya (1 dan 2 Timotius, Titus), ia menambahkan "rahmat" (eleos) di antara "kasih karunia" (charis) dan "damai sejahtera" (eirēnē), yang biasanya hanya "kasih karunia dan damai sejahtera". Penambahan "rahmat" ini mungkin mencerminkan pengakuan Paulus akan tantangan dan kesulitan besar yang akan dihadapi Timotius dalam pelayanannya di Efesus. Timotius membutuhkan bukan hanya anugerah keselamatan dan kedamaian dengan Allah, tetapi juga belas kasihan dan pertolongan ilahi untuk menghadapi tekanan, kritik, dan tugas yang berat. Berkat ini adalah penegasan bahwa semua kekuatan dan kemampuan Timotius untuk melayani berasal dari Allah. Itu adalah sumber penyemangat yang tak tergantikan bagi seorang pemimpin muda yang menghadapi tugas yang maha berat.

Kasih karunia (grace) adalah anugerah Allah yang tidak layak kita terima, yang dengannya kita diselamatkan dan diberdayakan untuk hidup kudus. Rahmat (mercy) adalah belas kasihan Allah yang menahan hukuman yang seharusnya kita terima dan memberikan kebaikan di tengah kelemahan dan kegagalan kita. Damai sejahtera (peace) adalah ketenangan batin dan harmoni dengan Allah dan sesama, yang merupakan buah dari kasih karunia dan rahmat. Ketiga berkat ini saling terkait dan esensial bagi kehidupan dan pelayanan Kristen. Mereka berasal dari "Allah Bapa dan Kristus Yesus, Tuhan kita," menekankan kesatuan ilahi dalam penyediaan berkat-berkat ini. Ini adalah jaminan bahwa Timotius tidak akan berjuang sendirian; Tuhan yang Mahakuasa akan menyertainya dengan segala kelimpahan-Nya.

Implikasi bagi kita adalah bahwa di tengah pelayanan, di tengah badai kehidupan, atau di tengah perjuangan untuk hidup saleh, kita selalu membutuhkan dan menerima kasih karunia, rahmat, dan damai sejahtera dari Allah. Ini adalah sumber kekuatan kita, perlindungan kita, dan penghiburan kita. Tanpa berkat-berkat ini, pelayanan akan menjadi beban yang tak tertahankan, dan kehidupan Kristen akan menjadi perjuangan yang sia-sia. Paulus, yang sangat memahami beratnya pelayanan, tahu persis apa yang dibutuhkan Timotius. Berkat ini bukan sekadar kalimat penutup yang indah, tetapi sebuah doa dan penegasan teologis tentang sumber daya ilahi yang tersedia bagi setiap pelayan Tuhan. Mereka membentuk kerangka spiritual di mana semua instruksi berikutnya harus dipahami dan diterapkan. Itu adalah pengingat bahwa tujuan akhir dari semua ajaran dan upaya adalah untuk membawa jiwa-jiwa kepada sumber dari kasih karunia, rahmat, dan damai sejahtera ini.

Sebuah jalan yang lurus yang terpecah menjadi banyak cabang yang kusut, dengan satu jalan lurus di tengah, melambangkan ajaran yang benar di tengah kebingungan.

II. Mandat Melawan Ajaran Palsu (1 Timotius 1:3-4)

Ketika aku berangkat ke Makedonia, aku sudah menasihatkan engkau supaya tinggal di Efesus dan menasihati orang-orang tertentu, agar mereka jangan mengajarkan ajaran lain,

jangan berkutat dengan mitos-mitos dan silsilah-silsilah tanpa akhir, yang lebih mengarah pada perdebatan daripada rencana Allah yang bekerja melalui iman.

1 Timotius 1:3-4

A. Tugas Berat di Efesus: Melawan Ajaran Lain

Setelah salam pembuka, Paulus segera beralih ke inti masalah yang menjadi alasan utama surat ini. Ia mengingatkan Timotius akan misi khususnya di Efesus: "supaya tinggal di Efesus dan menasihati orang-orang tertentu, agar mereka jangan mengajarkan ajaran lain." Frasa "ajaran lain" (heterodidaskalein) adalah kunci. Ini bukan sekadar ajaran yang berbeda sedikit, tetapi ajaran yang secara fundamental bertentangan dengan kebenaran Injil yang telah mereka terima. Efesus adalah kota besar dan penting, pusat kebudayaan dan agama, termasuk penyembahan dewi Artemis. Di tengah pluralitas ideologi dan kepercayaan, gereja di Efesus menghadapi ancaman serius dari internal—dari orang-orang yang mengaku Kristen tetapi menyebarkan doktrin yang menyimpang. Tugas Timotius sangat krusial: menjaga kemurnian Injil dan melindungi jemaat dari racun ajaran palsu. Ini bukan tugas yang mudah; dibutuhkan keberanian, ketegasan, dan ketaatan kepada kebenaran.

Perintah Paulus kepada Timotius untuk "menasihati" (paraggellō) menyiratkan instruksi yang kuat, sebuah perintah yang harus dilaksanakan dengan otoritas. Timotius harus secara aktif menghadapi para penyebar ajaran palsu ini. Ini bukan hanya tentang pasif mengamati, tetapi tentang bertindak. Hal ini mengingatkan kita akan tanggung jawab setiap pemimpin gereja untuk menjaga kawanan domba dari serigala berbulu domba. Ajaran palsu seringkali tidak datang dalam bentuk penolakan terang-terangan terhadap Kristus, melainkan melalui penekanan yang salah, penambahan yang tidak Alkitabiah, atau distorsi kebenaran yang halus namun merusak. Oleh karena itu, diperlukan kewaspadaan dan pemahaman yang mendalam tentang doktrin yang sehat untuk dapat mengidentifikasi dan menolak "ajaran lain" ini.

Kata "tinggal" di Efesus juga mengandung makna penting. Ini menunjukkan bahwa Timotius mungkin tergoda untuk meninggalkan situasi yang sulit di Efesus, tetapi Paulus menekankan pentingnya ia bertahan di posisinya. Pelayanan sejati seringkali memerlukan ketekunan di tempat-tempat yang menantang, tempat di mana konflik doktrinal dan spiritual merajalela. Ini bukan hanya tentang menyampaikan kebenaran, tetapi tentang berakar dalam komunitas yang membutuhkan kepemimpinan yang teguh. Konteks historis Efesus, dengan campuran Yudaisme dan paganisme, serta munculnya Gnostisisme, menjadikan lingkungan itu sangat rentan terhadap infiltrasi ajaran yang menyimpang. Oleh karena itu, Timotius harus menjadi penjaga doktrin yang teguh, seorang yang mampu berdiri kokoh di tengah badai teologis.

B. Karakteristik Ajaran Palsu: Mitos dan Silsilah Tanpa Akhir

Paulus memberikan gambaran spesifik tentang sifat ajaran palsu ini: "jangan berkutat dengan mitos-mitos dan silsilah-silsilah tanpa akhir." Kata "mitos" (mythos) merujuk pada cerita-cerita fiktif atau khayalan, yang mungkin berakar pada tradisi Yahudi yang menyimpang atau spekulasi filosofis. Ini adalah narasi-narasi yang tidak memiliki dasar Alkitabiah yang kuat, namun disajikan sebagai kebenaran rohani. "Silsilah-silsilah tanpa akhir" kemungkinan merujuk pada spekulasi yang berlebihan tentang garis keturunan, mungkin dari para malaikat atau tokoh-tokoh Alkitabiah kuno, yang pada akhirnya tidak memiliki relevansi praktis bagi iman Kristen. Ini mungkin bentuk awal dari Gnostisisme atau Yudaisme mistik yang obsesif terhadap detail-detail yang tidak penting.

Paulus menggarisbawahi dampak negatif dari ajaran-ajaran semacam itu: "yang lebih mengarah pada perdebatan daripada rencana Allah yang bekerja melalui iman." Ajaran palsu seringkali menciptakan perpecahan dan konflik. Mereka mengalihkan fokus dari esensi iman Kristen—keselamatan oleh kasih karunia melalui iman—ke hal-hal sekunder yang memicu perdebatan tak berujung. Tujuan utama dari ajaran Kristen adalah untuk membangun umat dalam iman dan ketaatan kepada Allah, bukan untuk memicu diskusi kosong yang tidak menghasilkan pertumbuhan rohani. Para pengajar palsu ini, mungkin dengan niat baik di awal, menjadi terlalu terobsesi dengan hal-hal yang tidak penting, sehingga melupakan inti dari Injil.

Dalam konteks modern, kita juga menghadapi "mitos-mitos dan silsilah-silsilah tanpa akhir" dalam bentuk berbeda. Ini bisa berupa teori konspirasi yang mengatasnamakan kekristenan, spekulasi eskatologis yang berlebihan, diskusi yang tidak sehat tentang demonologi, atau penekanan berlebihan pada hal-hal sampingan yang mengalihkan perhatian dari Injil Kristus yang sederhana namun kuat. Pesan Paulus relevan: kita harus fokus pada "rencana Allah yang bekerja melalui iman," yaitu pesan Injil yang transformatif dan membangun iman. Hal-hal yang tidak mendatangkan pembentukan karakter Kristus dan tidak mendorong kepada kasih kepada Allah dan sesama, cenderung adalah mitos dan spekulasi kosong. Timotius harus berani mengarahkan kembali fokus jemaat kepada kebenaran yang esensial, dan kita pun dipanggil untuk melakukan hal yang sama di zaman kita.

Sebuah hati bersinar di tengah dengan tangan yang memegang, melambangkan kasih yang murni dari hati yang bersih.

III. Inti dari Perintah: Kasih dari Hati Murni (1 Timotius 1:5)

Tujuan dari perintah itu adalah kasih yang berasal dari hati yang murni, dari hati nurani yang baik, dan dari iman yang tulus.

1 Timotius 1:5

A. Tujuan Sejati: Kasih

Setelah memperingatkan tentang bahaya ajaran palsu, Paulus segera mengalihkan perhatian ke tujuan yang benar dari ajaran Kristen. Ayat 5 ini adalah salah satu ayat kunci dalam surat ini dan bahkan dalam seluruh teologi Paulus. Ia menyatakan, "Tujuan dari perintah itu adalah kasih." Kata "perintah" (paraggelia) merujuk pada instruksi yang diberikan Paulus kepada Timotius di ayat 3-4, yaitu untuk melawan ajaran palsu. Namun, ini juga dapat dipahami sebagai keseluruhan pengajaran dan tuntutan Injil. Intinya adalah bahwa semua ajaran, semua hukum, semua disiplin, pada akhirnya harus bermuara pada kasih. Jika suatu ajaran tidak menghasilkan kasih, maka itu telah menyimpang dari tujuan ilahi-Nya. Kasih adalah esensi dari hukum Taurat (Matius 22:37-40) dan buah roh yang utama (Galatia 5:22). Ini bukan sekadar emosi, melainkan tindakan yang berpusat pada orang lain, sebuah komitmen yang mendalam yang mencerminkan karakter Allah sendiri.

Para pengajar palsu mungkin fokus pada hal-hal lahiriah, ritual, atau perdebatan intelektual, tetapi mereka gagal menumbuhkan kasih. Paulus dengan tegas menyatakan bahwa indikator utama kebenaran dan keefektifan suatu ajaran adalah kemampuannya untuk menumbuhkan kasih. Kasih ini bukan kasih duniawi yang sentimental, melainkan kasih agape, kasih ilahi yang rela berkorban. Kasih ini adalah dasar bagi seluruh kehidupan Kristus dan pengajaran-Nya, dan itu seharusnya menjadi landasan bagi kehidupan gereja. Ini adalah pengingat yang kuat bagi setiap orang yang mengajar atau melayani di gereja: apakah pelayanan kita, pengajaran kita, dan tindakan kita menghasilkan kasih yang tulus? Jika tidak, ada sesuatu yang salah dalam pendekatannya, bahkan jika secara lahiriah tampak religius.

Kasih yang dimaksud di sini bukanlah suatu cita-cita yang mustahil, tetapi merupakan hasil dari transformasi batiniah yang dilakukan oleh Roh Kudus. Ketika hati seseorang dipenuhi dengan Injil, kasih yang sejati akan terpancar. Ini adalah kasih yang tidak menghakimi, yang bersabar, yang berani menghadapi konflik demi kebenaran, tetapi juga yang siap mengampuni dan melayani. Tujuan kasih ini juga merupakan antidot terhadap ajaran palsu. Ketika kasih menjadi tujuan utama, perdebatan yang kosong dan spekulasi yang tidak berguna akan kehilangan daya tariknya, karena mereka tidak mampu menumbuhkan kasih. Fokusnya bergeser dari "menjadi benar" secara intelektual menjadi "mengasihi dengan benar" secara praktis.

B. Tiga Sumber Kasih: Hati Murni, Hati Nurani yang Baik, Iman yang Tulus

Paulus tidak berhenti hanya pada "kasih" tetapi menjelaskan dari mana kasih ini harus berasal: "dari hati yang murni, dari hati nurani yang baik, dan dari iman yang tulus." Ini adalah tiga pilar yang menopang kasih sejati, dan ketiganya menunjukkan kondisi batiniah yang sehat yang dihasilkan oleh Injil. Tanpa salah satu dari ketiganya, kasih akan menjadi dangkal atau munafik.

1. Hati yang Murni (Katharos Kardia)

"Hati yang murni" (katharos kardia) berarti hati yang tidak bercela, tidak terbagi, dan tidak tercemar oleh dosa. Ini adalah hati yang dibersihkan oleh Injil Kristus, bebas dari motif tersembunyi, agenda egois, atau kepura-puraan. Kemurnian hati adalah prasyarat untuk melihat Allah (Matius 5:8) dan untuk mengalami kasih sejati. Jika hati kita dipenuhi dengan kepahitan, iri hati, atau amarah, kita tidak dapat mengasihi dengan murni. Kasih yang lahir dari hati yang murni adalah kasih yang tidak mencari keuntungan diri sendiri, yang tidak memiliki motif tersembunyi, dan yang benar-benar berpusat pada kebaikan orang lain. Ini adalah hati yang telah disucikan oleh Roh Kudus, sehingga kasih yang mengalir darinya adalah refleksi dari kasih ilahi.

Untuk mencapai hati yang murni, diperlukan pengakuan dosa dan penyerahan diri secara total kepada Kristus. Ini adalah proses penyucian yang berkelanjutan, di mana Roh Kudus bekerja untuk membersihkan kita dari segala sesuatu yang mencemari. Hati yang murni adalah hati yang utuh dalam dedikasinya kepada Allah, tanpa kompromi dengan dunia atau dosa. Ini adalah fondasi dari semua kebajikan Kristen lainnya, dan tanpa kemurnian ini, kasih kita akan selalu tercemar dan tidak otentik. Para pengajar palsu mungkin memiliki hati yang kotor karena kesombongan, ketamakan, atau keinginan untuk diakui, dan ini akan menghambat mereka untuk mengasihi dengan tulus.

Dalam praktik sehari-hari, memiliki hati yang murni berarti memeriksa motif di balik setiap tindakan kita. Apakah kita melayani karena keinginan untuk dilihat, atau karena kasih yang tulus kepada Tuhan dan sesama? Apakah kita memberi karena kewajiban, atau karena sukacita yang murni? Pertanyaan-pertanyaan ini membantu kita menggali lebih dalam kondisi hati kita dan mencari pemurnian dari Tuhan. Ini bukan hanya tentang tidak melakukan dosa, tetapi tentang memurnikan sumber dari mana tindakan kita mengalir.

2. Hati Nurani yang Baik (Syneidēsis Agathē)

"Hati nurani yang baik" (syneidēsis agathē) adalah hati nurani yang telah dibersihkan dari rasa bersalah oleh darah Kristus dan yang responsif terhadap kebenaran ilahi. Ini berarti seseorang hidup sesuai dengan kehendak Allah dan tidak memiliki beban dosa yang belum diakui atau kesalahan yang belum diperbaiki. Hati nurani yang baik memungkinkan kita untuk melayani Allah dan sesama dengan keberanian dan keyakinan, karena kita tahu bahwa kita telah hidup sesuai dengan standar-Nya. Sebaliknya, hati nurani yang kotor atau tumpul akan menghambat kemampuan kita untuk mengasihi dan melayani secara efektif. Rasa bersalah yang tidak terselesaikan atau kompromi dengan dosa akan mengikis keberanian dan integritas kita, membuat kita tidak mampu mengasihi dengan sepenuh hati.

Hati nurani yang baik adalah hasil dari hidup dalam terang dan ketaatan. Ini adalah tanda bahwa Injil telah bekerja secara efektif dalam hidup seseorang, menghasilkan perubahan dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Para pengajar palsu seringkali memiliki hati nurani yang telah "dibakar" (1 Timotius 4:2), yaitu telah tumpul atau tidak lagi responsif terhadap kebenaran. Mereka mungkin terus berbuat dosa atau menyebarkan ajaran yang salah tanpa merasa bersalah, dan ini menghancurkan kemampuan mereka untuk mengasihi dengan tulus. Bagi Timotius, menjaga hati nurani yang baik adalah krusial untuk mempertahankan integritas pelayanannya.

Bagaimana kita menjaga hati nurani yang baik? Dengan terus-menerus membawa diri di hadapan Tuhan, mengakui dosa-dosa kita, dan menerima pengampunan-Nya. Juga, dengan hidup dalam ketaatan pada Firman-Nya dan berusaha untuk hidup kudus. Hati nurani yang baik adalah fondasi bagi kehidupan Kristen yang kokoh, memungkinkan kita untuk melayani dan mengasihi tanpa beban dan tanpa kepura-puraan. Ini adalah manifestasi nyata dari kuasa Injil dalam membersihkan dan meregenerasi seluruh keberadaan kita, termasuk batiniah kita. Itu adalah keselarasan antara iman yang kita proklamasikan dan cara hidup yang kita jalani.

3. Iman yang Tulus (Pistis Anhypokritos)

"Iman yang tulus" (pistis anhypokritos) adalah iman yang sejati, tanpa kepura-puraan atau kemunafikan. Ini adalah iman yang hidup, yang bukan hanya pengakuan di bibir, melainkan keyakinan yang mendalam yang memengaruhi setiap aspek kehidupan. Iman yang tulus adalah iman yang percaya penuh kepada Kristus dan janji-janji-Nya, tanpa keraguan atau motif tersembunyi. Ini adalah lawan dari iman yang hanya tampak luar, yang sekadar mengikuti tradisi atau mencari keuntungan pribadi. Iman yang tulus menghasilkan kasih yang tulus, karena kasih yang sejati berakar pada kepercayaan yang teguh kepada Allah yang adalah Kasih itu sendiri.

Para pengajar palsu seringkali memiliki iman yang tidak tulus. Mereka mungkin berbicara tentang Tuhan, tetapi hati mereka jauh dari Dia. Motivasi mereka mungkin adalah popularitas, uang, atau kekuasaan, bukan kasih kepada Allah dan kebenaran-Nya. Iman yang tulus akan selalu menghasilkan buah-buah Roh, termasuk kasih, dan akan menuntun seseorang untuk hidup sesuai dengan Injil. Ini adalah iman yang telah melalui ujian dan tetap teguh, yang tidak goyah di tengah kesulitan atau godaan. Tanpa iman yang tulus, kasih akan menjadi kosong, hati yang murni akan sulit dipertahankan, dan hati nurani yang baik akan cepat ternoda.

Mengejar iman yang tulus berarti secara konsisten memperbaharui komitmen kita kepada Kristus, mencari kebenaran dalam Firman-Nya, dan membiarkan Roh Kudus membentuk kita. Ini juga berarti hidup secara otentik, membiarkan iman kita terlihat dalam tindakan kita, dan tidak menyembunyikan perjuangan atau keraguan kita di hadapan Tuhan. Iman yang tulus adalah kunci untuk mengalami kuasa Injil yang transformatif dan untuk mengasihi dengan cara yang memuliakan Tuhan dan memberkati sesama. Ketiga pilar ini—hati yang murni, hati nurani yang baik, dan iman yang tulus—adalah fondasi bagi kasih agape yang menjadi tujuan utama dari seluruh "perintah" ilahi. Mereka adalah cermin dari keindahan dan kebenaran Injil Kristus yang berkuasa mengubah hati manusia.

Sebuah jalan lurus dengan dua jalur buntu di sampingnya, melambangkan ajaran yang benar dan ajaran palsu yang menyesatkan.

IV. Penyimpangan dari Tujuan Sejati (1 Timotius 1:6-7)

Ada beberapa orang yang telah menyimpang dari hal-hal ini dan menyimpang kepada perdebatan yang kosong,

mereka ingin menjadi pengajar hukum Taurat, padahal mereka tidak mengerti apa yang mereka katakan atau apa yang mereka tegaskan.

1 Timotius 1:6-7

A. Penyimpangan kepada Perdebatan Kosong

Paulus melanjutkan dengan kontras yang tajam antara tujuan sejati Injil (kasih dari hati murni, hati nurani yang baik, dan iman yang tulus) dengan apa yang dilakukan oleh para pengajar palsu. Ia berkata, "Ada beberapa orang yang telah menyimpang dari hal-hal ini dan menyimpang kepada perdebatan yang kosong." Kata "menyimpang" (astocheō) berarti "melenceng dari sasaran" atau "kehilangan target." Ini menunjukkan bahwa para pengajar palsu ini, pada awalnya, mungkin memiliki niat untuk melayani Tuhan, tetapi mereka telah kehilangan fokus utama—yaitu kasih. Mereka telah melenceng dari esensi kekristenan dan terjebak dalam hal-hal sampingan.

Penyimpangan mereka berujung pada "perdebatan yang kosong" (mataiologia). Ini adalah pembicaraan yang tidak berguna, tanpa substansi rohani, yang tidak membangun iman atau menumbuhkan kasih. Ini bisa berupa spekulasi teologis yang tidak ada dasarnya, diskusi tentang mitos dan silsilah yang Paulus sebutkan sebelumnya, atau argumen-argumen yang hanya bertujuan untuk memamerkan pengetahuan atau memenangkan perdebatan. Perdebatan kosong semacam ini tidak hanya membuang-buang waktu dan energi, tetapi juga merusak persekutuan dan mengalihkan perhatian dari kabar baik yang mengubah hidup. Paulus jelas mengutuk praktik ini, menunjukkan bahwa fokus pada perdebatan daripada transformasi hati adalah tanda ajaran yang menyimpang.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Efesus kuno, tetapi juga sering terlihat di gereja modern. Kita bisa saja terjebak dalam diskusi-diskusi yang tidak produktif tentang isu-isu sekunder, atau bahkan tentang hal-hal yang tidak ada dasarnya dalam Alkitab, sementara kebutuhan akan kasih, pengampunan, dan Injil yang menyelamatkan diabaikan. Ini adalah peringatan bagi kita untuk selalu memeriksa tujuan dari setiap diskusi dan pengajaran kita: apakah itu membangun kasih dan iman yang tulus, atau hanya memicu perdebatan kosong yang memecah belah dan menguras energi?

B. Keinginan Menjadi Pengajar Hukum Taurat Tanpa Pemahaman

Paulus mengungkapkan akar masalah para penyimpang ini: "mereka ingin menjadi pengajar hukum Taurat, padahal mereka tidak mengerti apa yang mereka katakan atau apa yang mereka tegaskan." Ini adalah ironi yang tragis. Mereka memiliki ambisi untuk mengajar, bahkan mengajar hukum Taurat yang sakral, tetapi mereka sama sekali tidak memiliki pemahaman yang benar tentang apa yang mereka ajarkan. Mereka adalah orang-orang yang berbicara banyak, tetapi kata-kata mereka hampa makna atau bahkan menyesatkan. Keinginan untuk dihormati sebagai "pengajar" (nomodidaskaloi) bisa menjadi motivasi yang kuat, tetapi jika tidak disertai dengan pemahaman yang benar tentang kebenaran ilahi, itu akan menjadi sumber kerusakan.

Hukum Taurat, dalam dirinya sendiri, adalah baik dan suci (seperti yang akan Paulus jelaskan di ayat-ayat berikutnya), tetapi harus diajarkan dan dipahami dengan benar. Para pengajar palsu ini mungkin menggunakan hukum Taurat untuk memaksakan aturan-aturan yang tidak relevan, untuk menghakimi orang lain, atau untuk mengklaim kebenaran diri sendiri, tanpa memahami tujuan sejati hukum—yaitu untuk menuntun manusia kepada Kristus dan mengungkapkan kebutuhan mereka akan anugerah. Mereka mengabaikan konteks dan tujuan ilahi dari hukum, dan sebagai akibatnya, mereka menyimpangkan Injil dan merugikan jemaat.

Ayat ini adalah peringatan keras bagi siapa pun yang ingin mengajar Firman Tuhan. Pengajaran bukan hanya tentang retorika atau kecerdasan, tetapi tentang pemahaman yang mendalam, kerendahan hati, dan integritas. Mengajar tanpa pemahaman yang benar adalah tindakan yang berbahaya, karena itu bisa menyesatkan orang lain dan merusak iman mereka. Paulus menekankan pentingnya pengetahuan yang benar dan bukan hanya keinginan untuk tampil sebagai otoritas. Ini juga menyoroti bahaya kebanggaan intelektual dalam teologi; seseorang dapat berbicara banyak tentang hal-hal rohani tanpa benar-benar memahami hati Tuhan atau dampak praktis dari ajarannya. Kita harus senantiasa berdoa untuk kebijaksanaan dan kerendahan hati agar kita mengajar dan belajar dengan pemahaman yang benar, selalu dengan tujuan untuk menumbuhkan kasih dan iman yang tulus.

Sebuah salib di atas lempengan hukum, melambangkan hukum yang dipenuhi oleh kasih karunia Injil.

V. Fungsi Hukum yang Benar dan Injil yang Mulia (1 Timotius 1:8-11)

Kita tahu bahwa hukum Taurat itu baik jika seseorang menggunakannya secara sah.

Kita juga tahu bahwa hukum Taurat tidak dibuat untuk orang benar, tetapi untuk orang-orang yang tidak menuruti hukum dan yang memberontak, untuk orang-orang fasik dan orang berdosa, untuk orang-orang yang tidak saleh dan cemar, untuk pembunuh ayah dan pembunuh ibu, untuk pembunuh,

untuk orang-orang yang melakukan percabulan, untuk orang-orang yang melakukan homoseksual, untuk penculik, untuk pendusta, untuk orang-orang yang bersumpah palsu, dan apa pun yang bertentangan dengan ajaran yang sehat,

sesuai dengan Injil yang mulia dari Allah yang penuh berkat, yang telah dipercayakan kepadaku.

1 Timotius 1:8-11

A. Hukum Taurat itu Baik, jika Digunakan secara Sah

Setelah mengkritik para pengajar yang menyalahgunakan hukum Taurat, Paulus dengan cepat mengklarifikasi posisinya tentang hukum itu sendiri. Ia menyatakan, "Kita tahu bahwa hukum Taurat itu baik jika seseorang menggunakannya secara sah." Ini adalah pernyataan penting yang menegaskan nilai intrinsik hukum Allah, namun juga menekankan pentingnya penggunaan yang benar. Paulus, seorang Yahudi yang sangat menghargai Taurat, tidak menolak hukum; ia hanya menentang penyalahgunaannya. Menggunakan hukum "secara sah" (nomimōs) berarti memahaminya dalam konteks tujuan Allah—bukan sebagai sarana keselamatan atau pembenaran diri, tetapi sebagai alat untuk mengungkapkan dosa, menuntun kepada Kristus, dan memberikan standar etika bagi umat Allah yang sudah ditebus. Hukum itu kudus, adil, dan baik (Roma 7:12), tetapi ia tidak memiliki kuasa untuk menyelamatkan.

Para pengajar palsu di Efesus mungkin menggunakan hukum Taurat sebagai alat untuk memaksakan ritual atau peraturan yang tidak lagi relevan dalam perjanjian baru, atau sebagai cara untuk menghakimi orang lain. Mereka mungkin mencoba untuk membenarkan diri mereka sendiri melalui ketaatan pada hukum, tanpa memahami bahwa keselamatan datang hanya melalui iman kepada Kristus. Paulus mengoreksi pandangan ini. Hukum itu baik, tetapi perannya telah berubah dalam era Injil. Peran utamanya kini adalah sebagai cermin yang menunjukkan dosa kita dan sebagai pedoman moral bagi mereka yang telah dibenarkan oleh iman.

Bagi orang percaya, hukum tidak lagi menjadi tuannya, tetapi menjadi penasihatnya. Kita tidak lagi di bawah kutuk hukum, tetapi kita masih belajar dari prinsip-prinsipnya untuk hidup kudus dan berkenan kepada Allah. Ini adalah paradoks yang indah dalam teologi Paulus: hukum yang tidak bisa menyelamatkan kita justru berfungsi untuk menunjukkan mengapa kita membutuhkan Juruselamat, dan setelah kita diselamatkan, hukum itu berfungsi sebagai panduan moral yang mengungkapkan kehendak Tuhan untuk hidup kita. Penggunaan hukum yang sah adalah yang menuntun kita kepada kasih dan kerendahan hati, bukan kepada kesombongan atau penghakiman.

B. Untuk Siapa Hukum Dibuat: Mengungkapkan Dosa Manusia

Paulus kemudian menjelaskan tujuan hukum dengan menyatakan untuk siapa hukum itu dibuat: "Kita juga tahu bahwa hukum Taurat tidak dibuat untuk orang benar, tetapi untuk orang-orang yang tidak menuruti hukum dan yang memberontak, untuk orang-orang fasik dan orang berdosa, untuk orang-orang yang tidak saleh dan cemar, untuk pembunuh ayah dan pembunuh ibu, untuk pembunuh, untuk orang-orang yang melakukan percabulan, untuk orang-orang yang melakukan homoseksual, untuk penculik, untuk pendusta, untuk orang-orang yang bersumpah palsu, dan apa pun yang bertentangan dengan ajaran yang sehat." Daftar panjang pelanggaran ini menunjukkan bahwa hukum berfungsi untuk mengungkap dan mengutuk dosa-dosa yang merusak masyarakat dan menyinggung kekudusan Allah.

Frasa "tidak dibuat untuk orang benar" tidak berarti orang benar tidak perlu lagi mematuhi kehendak Allah. Sebaliknya, ini berarti bahwa orang yang telah dibenarkan oleh iman dan diubah oleh Roh Kudus secara alami akan hidup sesuai dengan standar kebenaran hukum, bukan karena paksaan, tetapi karena hati yang telah diperbarui. Hukum itu diperlukan untuk menahan dan menghukum orang-orang yang secara terang-terangan melanggar kehendak Allah. Itu adalah "tangan yang kuat" dari Allah yang menunjukkan keadilan-Nya dan menuntut pertanggungjawaban dari mereka yang memilih untuk hidup dalam pemberontakan. Daftar dosa-dosa yang disebutkan Paulus mencakup pelanggaran terhadap Allah (fasik, tidak saleh, cemar) dan pelanggaran terhadap sesama (pembunuh, percabulan, homoseksual, penculik, pendusta). Ini menunjukkan cakupan universal dari hukum dalam menyoroti dosa manusia.

Setiap kategori dosa yang disebutkan oleh Paulus dalam daftar ini menggambarkan kehancuran yang ditimbulkan oleh ketidaktaatan terhadap kehendak Allah.

  1. Orang-orang yang tidak menuruti hukum dan yang memberontak (anomois kai anypotaktois): Ini adalah mereka yang secara terbuka menolak otoritas Allah dan tidak mau tunduk pada perintah-Nya. Mereka hidup tanpa hukum, mengikuti keinginan sendiri.
  2. Orang-orang fasik dan orang berdosa (asebesi kai hamartōlois): "Fasik" merujuk pada ketidakpedulian terhadap Allah atau bahkan permusuhan terhadap-Nya, sementara "berdosa" adalah istilah umum untuk mereka yang melanggar standar moral ilahi.
  3. Orang-orang yang tidak saleh dan cemar (anosioi kai bebēlois): "Tidak saleh" (anosioi) berarti tidak memiliki rasa hormat terhadap hal-hal suci atau ilahi, sedangkan "cemar" (bebēlois) mengacu pada mereka yang menganggap remeh hal-hal kudus, bahkan mencemari mereka.
  4. Pembunuh ayah dan pembunuh ibu (patralōais kai mētralōais): Ini adalah pelanggaran yang sangat keji, melanggar salah satu perintah terpenting—menghormati orang tua—dan menunjukkan tingkat kerusakan moral yang ekstrem.
  5. Pembunuh (androphonois): Secara umum membunuh manusia, pelanggaran langsung terhadap perintah keenam.
  6. Orang-orang yang melakukan percabulan (pornois): Segala bentuk perbuatan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah, merusak kesucian hubungan dan tubuh.
  7. Orang-orang yang melakukan homoseksual (arsenokoitais): Mengacu pada tindakan homoseksual, yang secara konsisten dikutuk dalam Alkitab sebagai bertentangan dengan desain Allah untuk seksualitas manusia (mis. Roma 1:26-27).
  8. Penculik (andrapodistais): Mereka yang menculik orang untuk diperbudak atau dijual, melanggar kebebasan dan martabat manusia.
  9. Pendusta (pseustais): Mereka yang tidak mengatakan kebenaran, merusak kepercayaan dan integritas.
  10. Orang-orang yang bersumpah palsu (epiorkois): Mereka yang melanggar janji atau sumpah yang dibuat di hadapan Tuhan, menunjukkan ketidaksetiaan dan tidak hormat kepada Tuhan.
  11. Apa pun yang bertentangan dengan ajaran yang sehat (kai ei ti heteron tē hygiainousē didaskalia antikeitai): Ini adalah kategori yang mencakup semua bentuk kejahatan dan penyimpangan moral atau doktrinal yang tidak disebutkan secara spesifik, yang semuanya bertentangan dengan kebenaran Injil dan kehidupan yang kudus.

Daftar ini adalah cerminan dari kekudusan Allah dan standar moral-Nya. Hukum menunjukkan bahwa semua manusia, terlepas dari latar belakang mereka, adalah berdosa dan membutuhkan penebusan. Ini adalah tujuan hukum: untuk menunjukkan dosa dan membuat kita sadar akan kebutuhan kita akan Juruselamat.

C. Injil yang Mulia dari Allah yang Penuh Berkat

Paulus mengakhiri bagian ini dengan pernyataan yang kuat tentang Injil, yang menjadi antitesis dan solusi terhadap masalah dosa yang diungkapkan oleh hukum. Semua hal yang bertentangan dengan ajaran yang sehat itu, berlawanan dengan "Injil yang mulia dari Allah yang penuh berkat, yang telah dipercayakan kepadaku." Ini adalah puncak dari argumen Paulus. Hukum menunjukkan masalahnya (dosa), dan Injil menawarkan solusinya (kasih karunia dan keselamatan melalui Kristus).

"Injil yang mulia" (to euaggelion tēs doxēs) adalah kabar baik tentang kemuliaan Allah yang terpancar melalui Kristus Yesus. Ini adalah Injil yang membawa kemuliaan bagi Allah karena menunjukkan kuasa-Nya untuk menyelamatkan, kasih-Nya yang tak terbatas, dan hikmat-Nya dalam menebus umat manusia dari dosa. Injil ini berasal dari "Allah yang penuh berkat" (tou makariou Theou), yaitu Allah yang Mahabahagia, yang adalah sumber dari segala berkat. Allah yang Mahabahagia ini tidak ingin manusia hidup dalam perbudakan dosa, melainkan ingin mereka mengalami kebahagiaan dan kebebasan yang ditemukan dalam hubungan dengan-Nya.

Paulus menutup dengan penegasan personal: Injil ini "telah dipercayakan kepadaku." Ini menghubungkan kembali ke ayat 1, di mana Paulus menyatakan dirinya sebagai rasul. Ia adalah penjaga dan penyebar Injil yang mulia ini. Kepercayaan ini adalah suatu kehormatan dan tanggung jawab yang besar. Ini adalah inti dari panggilannya dan alasan mengapa ia begitu gigih dalam melawan ajaran palsu. Karena ia telah dipercayakan dengan Injil yang sedemikian mulia, ia tidak bisa membiarkannya dicemari oleh mitos-mitos kosong atau ajaran yang menyimpang.

Bagi kita, ini adalah pengingat akan kekuatan dan keindahan Injil. Injil bukan hanya sekumpulan aturan atau ajaran, melainkan kabar baik yang mengubah hidup, yang memulihkan hubungan kita dengan Allah, dan yang memberdayakan kita untuk hidup dalam kasih dari hati murni, hati nurani yang baik, dan iman yang tulus. Ini adalah pesan yang harus kita pegang teguh, hidupi, dan sampaikan kepada dunia. Injil adalah satu-satunya jawaban atas kerusakan yang diungkapkan oleh hukum. Di sinilah kasih karunia Allah bertemu dengan kebutuhan manusia, di mana belas kasihan-Nya mengalahkan keadilan-Nya, dan di mana harapan yang sejati ditemukan. Semua pelayanan Timotius, semua perjuangannya melawan ajaran palsu, harus selalu berakar pada dan dimotivasi oleh Injil yang mulia ini. Ini adalah peta jalan menuju kebenaran, kebebasan, dan tujuan ilahi bagi setiap manusia.

Kesimpulan: Memegang Teguh Kebenaran Injil

Bagian pembuka 1 Timotius 1:1-11 adalah permata teologis yang kaya, menawarkan panduan yang tak ternilai bagi setiap orang percaya, terutama bagi mereka yang berada dalam posisi kepemimpinan. Paulus dengan cermat meletakkan dasar bagi seluruh suratnya, menyoroti pentingnya otoritas ilahi, hubungan mentoring yang sehat, dan urgensi untuk menjaga kemurnian doktrin.

Dari ayat 1-2, kita belajar tentang fondasi spiritual Paulus sebagai rasul yang diutus Allah, dan hubungan hangatnya dengan Timotius sebagai "anakku yang sah dalam iman." Berkat "kasih karunia, rahmat, dan damai sejahtera" bukan sekadar formalitas, melainkan sumber daya ilahi yang esensial untuk pelayanan yang efektif. Ini mengingatkan kita bahwa kekuatan kita berasal dari Allah, bukan dari diri kita sendiri, dan bahwa setiap pelayanan harus berakar dalam anugerah ilahi.

Ayat 3-4 memberikan peringatan keras terhadap bahaya ajaran palsu. "Mitos-mitos dan silsilah-silsilah tanpa akhir" serta "perdebatan yang kosong" adalah indikator ajaran yang menyimpang dari "rencana Allah yang bekerja melalui iman." Ini adalah panggilan bagi kita untuk berhati-hati terhadap spekulasi yang tidak produktif dan fokus pada kebenaran Injil yang esensial dan transformatif. Di tengah arus informasi yang tak ada habisnya, gereja harus menjadi mercusuar yang membedakan antara kebenaran yang membangun dan kekosongan yang merusak.

Puncak dari bagian ini adalah ayat 5, di mana Paulus menyatakan "Tujuan dari perintah itu adalah kasih yang berasal dari hati yang murni, dari hati nurani yang baik, dan dari iman yang tulus." Ini adalah kompas moral dan spiritual kita. Semua pengajaran dan pelayanan harus pada akhirnya menumbuhkan kasih. Kasih sejati ini harus berakar pada kemurnian motivasi, integritas hati nurani, dan keaslian iman. Tanpa ketiga pilar ini, kasih kita akan hampa dan ajaran kita akan mandul.

Ayat 6-7 memperingatkan kita tentang konsekuensi menyimpang dari tujuan sejati ini. Mereka yang ingin menjadi pengajar tanpa pemahaman yang benar akan terjebak dalam "perdebatan yang kosong," berbicara tanpa substansi, dan menyesatkan orang lain. Ini adalah pelajaran penting tentang kerendahan hati dan pentingnya memahami apa yang kita ajarkan. Keinginan untuk diakui sebagai "pengajar" tanpa dasar pemahaman yang kokoh adalah resep untuk kehancuran, baik bagi diri sendiri maupun bagi jemaat yang dibimbingnya.

Akhirnya, ayat 8-11 mengoreksi pandangan yang salah tentang hukum Taurat. Paulus menegaskan bahwa hukum itu "baik jika seseorang menggunakannya secara sah," yaitu untuk mengungkapkan dosa dan menahan kejahatan, bukan sebagai jalan keselamatan. Daftar panjang dosa-dosa yang disebutkan Paulus berfungsi sebagai cermin yang menunjukkan kerusakan moral manusia dan urgensi akan penebusan. Dan solusi untuk semua ini datang melalui "Injil yang mulia dari Allah yang penuh berkat," kabar baik yang telah dipercayakan kepada Paulus. Injil adalah kuasa Allah untuk menyelamatkan, mengubah, dan memberdayakan kita untuk hidup dalam kebenaran dan kasih.

Secara keseluruhan, 1 Timotius 1:1-11 adalah seruan untuk kembali kepada dasar-dasar iman Kristen: kebenaran yang diwahyukan, motivasi yang murni, dan tujuan yang berpusat pada kasih. Ini adalah cetak biru untuk pelayanan yang sehat dan kehidupan Kristen yang otentik. Di tengah dunia yang semakin kompleks dan penuh dengan berbagai ajaran, kita dipanggil untuk memegang teguh Injil yang mulia, hidup dalam kasih, dan dengan berani melawan setiap ajaran yang menyimpang dari kebenaran yang membangun iman dan menghasilkan kasih sejati. Semoga renungan ini menginspirasi kita semua untuk lebih dalam lagi mencintai kebenaran dan hidup seturut dengan Injil Kristus Yesus, harapan kita.