Renungan Mendalam: Panggilan untuk Persatuan dalam Kristus (1 Korintus 1:10)
Dalam riuhnya kehidupan gereja mula-mula di Korintus, sebuah komunitas yang kaya akan karunia rohani namun juga bergejolak dengan berbagai permasalahan, Rasul Paulus menulis sebuah surat yang penuh dengan nasihat, teguran, dan dorongan. Di tengah surat yang membahas berbagai topik, dari moralitas hingga ibadah dan kebangkitan, Paulus memulai suratnya dengan sebuah seruan yang mendesak dan fundamental, sebuah fondasi yang krusial untuk setiap aspek kehidupan Kristen. Seruan itu tercatat dalam 1 Korintus 1:10:
"Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan janganlah ada perpecahan di antara kamu, melainkan hendaklah kamu bersatu dalam satu pikiran dan satu pendirian."
Ayat ini bukan sekadar sebuah kalimat pembuka yang sopan, melainkan sebuah proklamasi yang mengguncang dan sebuah panggilan profetis yang bergema melintasi abad, relevan tidak hanya bagi jemaat Korintus kuno tetapi juga bagi setiap gereja dan setiap orang percaya di masa kini. Ini adalah sebuah desakan untuk persatuan yang sejati, yang berakar pada Kristus sendiri, dan menjadi penangkal bagi perpecahan yang sering kali mengancam integritas dan kesaksian tubuh Kristus.
I. Konteks Korintus: Akar Perpecahan
Untuk memahami sepenuhnya urgensi seruan Paulus, kita harus terlebih dahulu menyelami latar belakang jemaat Korintus. Kota Korintus adalah salah satu kota terbesar dan paling makmur di dunia Romawi kuno. Terletak di jalur perdagangan yang strategis, kota ini merupakan pusat komersial, budaya, dan keagamaan yang ramai. Namun, kemakmuran ini juga membawa serta tantangan moral dan filosofis yang kompleks.
A. Keberagaman dan Keterbukaan
Sebagai kota pelabuhan yang kosmopolitan, Korintus dihuni oleh orang-orang dari berbagai latar belakang etnis, sosial, dan agama. Masyarakat Korintus dikenal sangat terbuka terhadap berbagai ide dan praktik, termasuk yang bersifat hedonistik. Jemaat Kristen di Korintus sendiri adalah cerminan dari keberagaman ini, terdiri dari orang Yahudi dan Yunani, orang merdeka dan budak, serta orang kaya dan miskin.
B. Pengaruh Budaya Yunani: Hikmat Duniawi
Salah satu pengaruh dominan dalam masyarakat Korintus adalah filosofi dan retorika Yunani. Orang-orang Korintus sangat menghargai hikmat duniawi, kemampuan berdebat, dan kefasihan berbicara. Mereka cenderung mengidolakan pemimpin dan pembicara yang karismatik, yang dapat menyajikan argumen dengan gaya yang memukau. Fenomena ini meresap ke dalam jemaat, di mana anggota jemaat mulai membentuk faksi-faksi berdasarkan para pemimpin rohani yang mereka kagumi.
C. Fraksi-fraksi di Jemaat
Inilah inti dari perpecahan yang dihadapi Paulus. Beberapa anggota jemaat mengidentifikasikan diri sebagai "golongan Paulus," yang lain "golongan Apolos," ada pula "golongan Kefas (Petrus)," dan bahkan ada yang mengklaim diri sebagai "golongan Kristus." Sekilas, mengidentifikasi diri sebagai "golongan Kristus" mungkin terdengar paling rohani, tetapi dalam konteks ini, itu justru bisa menjadi bentuk kesombongan rohani yang mengeksklusifkan orang lain, dan tetap merupakan sebuah faksi.
- Golongan Paulus: Mungkin menganggap diri mereka lebih ortodoks, mengikuti pengajaran Paulus yang misionaris.
- Golongan Apolos: Kagum pada kefasihan berbicara dan kemampuan Apolos dalam menafsirkan Kitab Suci.
- Golongan Kefas (Petrus): Mungkin lebih konservatif, cenderung kepada tradisi Yahudi-Kristen dan otoritas Petrus sebagai rasul terkemuka.
- Golongan Kristus: Kemungkinan mengklaim memiliki hubungan langsung dengan Kristus, menolak otoritas manusiawi lainnya, dan mungkin menjadi yang paling sombong dalam klaim spiritualitas mereka.
Perpecahan ini bukan hanya sekadar preferensi pribadi, tetapi telah menyebabkan persaingan, iri hati, dan kesombongan di dalam jemaat. Ini mengikis kesaksian Kristen dan menghambat pertumbuhan rohani.
D. Permasalahan Lain yang Timbul dari Perpecahan
Perpecahan faksional ini tidak berdiri sendiri. Ia menjadi akar dari berbagai masalah lain yang Paulus bahas dalam suratnya, seperti:
- Keangkuhan dan Kesombongan: Anggota jemaat saling membanggakan pemimpin mereka, meremehkan yang lain.
- Perkara Hukum di Pengadilan Sekuler: Orang Kristen Korintus membawa masalah internal ke pengadilan kafir, yang menunjukkan kurangnya kasih dan kemampuan menyelesaikan konflik secara internal.
- Masalah Moralitas: Kasus perzinahan yang parah tidak ditangani dengan tegas, menunjukkan kurangnya kepedulian bersama terhadap kemurnian jemaat.
- Penyalahgunaan Karunia Rohani: Karunia digunakan untuk pamer, bukan untuk membangun tubuh Kristus.
- Ketidaktertiban dalam Perjamuan Kudus: Yang kaya makan kenyang sementara yang miskin kelaparan, menunjukkan perpecahan sosial dan kurangnya kasih.
Semua ini adalah manifestasi dari satu masalah mendasar: kurangnya persatuan yang berakar pada Kristus. Jemaat telah melupakan bahwa mereka semua adalah satu dalam Kristus, tidak peduli siapa yang membaptis mereka atau siapa yang mereka kagumi.
II. Analisis Mendalam 1 Korintus 1:10
Dengan latar belakang Korintus yang bergejolak, mari kita bedah setiap frasa dalam 1 Korintus 1:10 untuk menggali makna dan urgensinya.
A. "Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus"
Paulus memulai dengan sebuah nasihat (parakalo), sebuah ajakan yang kuat namun disertai kelembutan, bukan perintah otoriter. Kata ini bisa berarti "memohon," "mendorong," atau "menghibur." Ini menunjukkan kasih dan kepedulian Paulus yang mendalam terhadap jemaat. Namun, penegasannya bukan didasarkan pada otoritas pribadinya sebagai rasul semata, melainkan pada otoritas tertinggi: "demi nama Tuhan kita Yesus Kristus."
- Kekuasaan Nama Yesus: Menyebut nama Yesus Kristus berarti Paulus berbicara atas otoritas-Nya, memohon agar mereka mendengarkan bukan karena Paulus, melainkan karena Kristus. Ini mengangkat masalah persatuan ke tingkat spiritual yang paling tinggi. Perpecahan bukan hanya melukai hubungan antarmanusia, tetapi juga menodai nama Kristus dan melukai hati-Nya.
- Fondasi Bersama: Nama Yesus Kristus adalah fondasi di mana semua orang percaya bertemu dan menjadi satu. Ia adalah pusat dari iman Kristen, kepala dari tubuh, dan alasan utama keberadaan gereja.
B. "Supaya kamu seia sekata" (τὸ αὐτὸ λέγητε – to auto legete: "berbicara hal yang sama")
Frasa ini secara harfiah berarti "berbicara hal yang sama." Ini bukan berarti setiap orang harus mengatakan persis kata yang sama setiap saat, melainkan mengacu pada keselarasan dalam kesaksian dan pengajaran fundamental.
- Keselarasan Doktrinal: Gereja harus memiliki kesepakatan dalam hal-hal pokok iman Kristen. Meskipun mungkin ada perbedaan pendapat tentang hal-hal sekunder, doktrin dasar seperti ketuhanan Kristus, kebangkitan-Nya, dan keselamatan melalui anugerah haruslah seragam.
- Keselarasan Kesaksian: Jika jemaat berbicara dengan suara yang berbeda tentang hal-hal penting, kesaksian mereka di dunia menjadi kabur dan tidak meyakinkan. Persatuan dalam perkataan menunjukkan integritas dan otoritas pesan Injil.
- Keselarasan Tujuan: Berbicara hal yang sama juga bisa berarti menyetujui tujuan dan misi gereja. Jika setiap orang menarik ke arah yang berbeda, gereja tidak akan bergerak maju.
C. "Dan janganlah ada perpecahan di antara kamu" (μὴ σχίσματα ἐν ὑμῖν ᾖ – me schismata en hymin e: "jangan ada perpecahan/skisma di antaramu")
Kata "perpecahan" di sini adalah schisma, dari mana kita mendapatkan kata "skisma." Ini mengacu pada pemisahan, keretakan, atau perpecahan yang nyata dalam tubuh gereja. Paulus bukan hanya berbicara tentang perbedaan pendapat yang sehat (yang kadang diperlukan untuk pertumbuhan), tetapi tentang faksionalisme yang merusak.
- Lebih dari Sekadar Perbedaan: Perpecahan melampaui perbedaan pendapat. Ia adalah sikap memecah belah, berpihak, dan menolak bersekutu dengan saudara seiman karena hal-hal yang tidak esensial.
- Merusak Tubuh Kristus: Paulus sering menggunakan metafora tubuh untuk gereja. Skisma seperti luka terbuka pada tubuh, yang melemahkan fungsinya dan membuatnya rentan terhadap infeksi.
- Tantangan bagi Kesaksian: Perpecahan di antara orang percaya menjadi batu sandungan bagi mereka yang di luar gereja, membuat Injil terlihat tidak efektif atau bahkan munafik. Bagaimana mungkin kita menyerukan dunia untuk bersatu dalam Kristus jika kita sendiri tidak bisa bersatu?
D. "Melainkan hendaklah kamu bersatu dalam satu pikiran dan satu pendirian" (κατηρτισμένοι δὲ ἐν τῷ αὐτῷ νοῒ καὶ ἐν τῇ αὐτῇ γνώμῃ – katertismenoi de en to auto noi kai en te aute gnome: "kamu diperlengkapi/disempurnakan dalam pikiran yang sama dan dalam pertimbangan yang sama")
Bagian ini menyajikan gambaran positif tentang apa yang harus ada sebagai ganti perpecahan. Kata katartizo (bersatu/diperlengkapi/disempurnakan) adalah istilah teknis yang digunakan untuk memperbaiki jaring ikan yang robek, atau menyetel tulang yang patah, atau mempersiapkan kapal untuk berlayar. Ini menyiratkan pemulihan, perbaikan, dan penyelarasan yang disengaja.
- Satu Pikiran (ἐν τῷ αὐτῷ νοῒ – en to auto noi): Ini bukan berarti semua orang harus memiliki pikiran yang identik tentang setiap hal. Itu tidak mungkin dan tidak sehat. Sebaliknya, ini merujuk pada keselarasan fundamental dalam cara pandang, nilai-nilai, dan pemahaman tentang kebenaran rohani. Ini adalah tentang memiliki perspektif yang sama yang berakar pada Injil Kristus. Pikiran yang dikuduskan oleh Roh Kudus, berpusat pada Kristus.
- Satu Pendirian (ἐν τῇ αὐτῇ γνώμῃ – en te aute gnome): Kata gnome di sini mengacu pada keputusan, penilaian, atau tujuan. Jadi, "satu pendirian" berarti memiliki kesepakatan dalam tujuan, kebijakan, dan keputusan penting yang memengaruhi misi dan arah gereja. Setelah pikiran diselaraskan oleh kebenaran Kristus, secara alami akan menghasilkan penilaian dan keputusan yang selaras pula, terutama dalam hal-hal yang esensial bagi kehidupan jemaat dan pelayanan.
Paulus tidak menuntut keseragaman yang membosankan atau hilangnya individualitas. Sebaliknya, ia menyerukan kesatuan yang mendalam yang melampaui perbedaan dangkal, berakar pada kebenaran Injil, dan bermanifestasi dalam keselarasan tujuan dan tindakan.
III. Mengapa Persatuan Begitu Penting?
Panggilan Paulus untuk persatuan bukan sekadar preferensi estetika atau keinginan agar gereja terlihat rapi. Ini adalah inti dari sifat Allah sendiri, esensi dari misi Kristus, dan fondasi bagi kesaksian dan efektivitas gereja di dunia.
A. Mencerminkan Sifat Allah Tritunggal
Allah Tritunggal – Bapa, Anak, dan Roh Kudus – adalah teladan utama dari persatuan. Meskipun tiga pribadi yang berbeda, mereka adalah satu Allah, sempurna dalam kasih, tujuan, dan kehendak. Ketika gereja bersatu, ia mencerminkan sifat Allah ini kepada dunia yang terpecah belah. Persatuan kita menjadi kesaksian nyata tentang Allah yang kita sembah.
B. Doa Kristus untuk Persatuan (Yohanes 17)
Sebelum penyaliban-Nya, dalam doa agung-Nya kepada Bapa, Yesus berdoa secara khusus untuk persatuan murid-murid-Nya. Dalam Yohanes 17:21-23, Dia berdoa, "supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, supaya mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku." Doa ini mengungkapkan beberapa kebenaran vital:
- Kesaksian kepada Dunia: Persatuan adalah kunci untuk evangelisasi. Ketika dunia melihat persatuan di antara orang percaya, itu menjadi bukti nyata kebenaran Injil dan identitas Yesus sebagai Kristus yang diutus oleh Allah.
- Kemuliaan Kristus: Yesus berdoa agar Bapa memuliakan Dia, dan kemuliaan itu terwujud melalui kesatuan orang percaya.
- Bukan Pilihan, tapi Mandat: Doa ini bukan hanya harapan, melainkan sebuah mandat ilahi. Mengabaikan persatuan berarti mengabaikan doa Kristus sendiri.
C. Gereja sebagai Tubuh Kristus (1 Korintus 12; Efesus 4)
Paulus sering menggunakan metafora "tubuh Kristus" untuk menggambarkan gereja. Dalam tubuh, ada banyak anggota dengan fungsi yang berbeda-beda, tetapi semuanya adalah satu tubuh yang saling bergantung. Dalam 1 Korintus 12, Paulus menjelaskan bagaimana Roh Kudus memberikan karunia yang berbeda-beda, tetapi semua karunia itu bertujuan untuk membangun satu tubuh. Dalam Efesus 4:1-6, ia mendesak jemaat untuk "berusaha memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera," karena "satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua."
- Saling Ketergantungan: Setiap anggota penting. Tidak ada bagian yang bisa berkata kepada yang lain, "Aku tidak membutuhkanmu." Perpecahan berarti anggota tubuh saling menyerang atau memisahkan diri, yang menyebabkan disfungsi dan penderitaan.
- Pertumbuhan yang Sehat: Tubuh hanya bisa bertumbuh dengan sehat dan mencapai potensi penuhnya jika semua anggotanya bekerja sama dalam kesatuan.
D. Efektivitas Pelayanan dan Misi
Perpecahan menguras energi, sumber daya, dan fokus. Jika gereja menghabiskan waktunya untuk konflik internal, ia tidak akan memiliki kekuatan atau sumber daya untuk melayani dunia di sekitarnya atau menjalankan misi evangelisasi. Sebaliknya, gereja yang bersatu dapat memfokuskan energinya secara kolektif untuk Injil, membuat dampak yang jauh lebih besar bagi Kerajaan Allah.
E. Mengungkapkan Kasih Ilahi
Yesus berkata, "Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi" (Yohanes 13:35). Kasih yang sejati selalu mendorong persatuan, bukan perpecahan. Ketika orang percaya saling mengasihi dan menunjukkan persatuan, itu adalah manifestasi kasih Allah di bumi.
IV. Akar Masalah Perpecahan: Tantangan bagi Persatuan
Jika persatuan begitu vital, mengapa begitu sulit untuk mencapainya dan mempertahankannya? Paulus di Korintus mengidentifikasi beberapa akar masalah yang tetap relevan hingga hari ini.
A. Keangkuhan dan Kesombongan Rohani
Inilah masalah utama di Korintus. Anggota jemaat sombong dengan pemimpin mereka, karunia mereka, atau pengetahuan mereka. Mereka menganggap diri lebih unggul dari yang lain. Keangkuhan selalu memecah belah karena ia menempatkan diri sendiri di atas orang lain dan kehendak pribadi di atas kehendak Kristus dan kebutuhan tubuh.
- Perbandingan dan Persaingan: Kesombongan sering mendorong perbandingan dan persaingan. "Saya lebih rohani karena saya mengikuti Paulus," atau "Saya lebih cerdas karena saya memahami ajaran Apolos lebih baik."
- Klaim Eksklusivitas: "Hanya cara saya yang benar," atau "Gereja saya adalah satu-satunya yang mengajarkan kebenaran sejati." Ini adalah racun bagi persatuan.
B. Hikmat Duniawi vs. Hikmat Ilahi
Orang Korintus sangat menghargai kefasihan berbicara dan argumen yang meyakinkan, ciri khas hikmat duniawi. Mereka mencoba menerapkan standar duniawi ini pada Injil dan kepemimpinan rohani. Paulus dengan tegas menolak ini dalam 1 Korintus 1:18-25, menyatakan bahwa Injil adalah "kebodohan bagi mereka yang akan binasa" tetapi "kekuatan Allah bagi kita yang diselamatkan."
- Prioritas yang Salah: Ketika gereja mulai mengutamakan daya tarik retorika, popularitas, atau kecerdasan manusia di atas kebenaran sederhana tentang Kristus yang disalibkan, perpecahan pasti akan terjadi.
- Subjektivitas: Hikmat duniawi seringkali bersifat subjektif dan relatif, yang menyebabkan dasar perdebatan yang tak ada habisnya dan sulit mencapai konsensus yang kokoh.
C. Kedagingan (Karnalitas)
Dalam 1 Korintus 3:1-3, Paulus menegur mereka sebagai "manusia duniawi, yaitu manusia daging, yang hidup menurut daging." Karakteristik kedagingan termasuk iri hati, perselisihan, dan perpecahan. Ini adalah tanda ketidakdewasaan rohani.
- Egoisme: Kedagingan berpusat pada diri sendiri, bukan pada Kristus atau orang lain. Ini adalah kebalikan dari kasih Kristus yang rela berkorban.
- Kurangnya Penguasaan Diri: Emosi yang tidak terkendali, gosip, dan kritik yang merusak adalah produk dari kedagingan yang mengikis persatuan.
D. Melebih-lebihkan Hal-hal Sekunder
Seringkali, perpecahan terjadi bukan karena perbedaan doktrin fundamental, tetapi karena perbedaan pandangan tentang hal-hal yang kurang esensial (misalnya, gaya musik ibadah, tata cara pelayanan, preferensi denominasi, metode pelayanan, atau bahkan isu-isu sosial-politik yang tidak secara langsung merupakan doktrin inti Alkitab). Ketika kita meninggikan preferensi pribadi atau tradisi di atas panggilan untuk kasih dan persatuan dalam Kristus, kita menciptakan faksi.
- Ketidakmampuan Berkompromi: Dalam hal-hal sekunder, Roh Kudus memampukan orang percaya untuk bersepakat dalam ketidaksepakatan dan tetap memelihara persekutuan. Jika kita bersikeras bahwa cara kita adalah satu-satunya cara, persatuan akan mustahil.
- Kurangnya Proporsi: Kita harus memiliki kebijaksanaan untuk membedakan antara yang esensial dan yang sekunder, serta menempatkan kasih dan persatuan di atas preferensi pribadi.
V. Jalan Menuju Persatuan: Penerapan Prinsip 1 Korintus 1:10
Panggilan untuk persatuan bukan hanya sebuah cita-cita yang mulia, tetapi sebuah panggilan untuk tindakan yang disengaja. Bagaimana kita dapat mewujudkan "satu pikiran dan satu pendirian" yang Paulus serukan?
A. Memusatkan Diri pada Kristus: Fondasi Tunggal
Ini adalah langkah pertama dan terpenting. Jika nama Kristus adalah dasar dari seruan Paulus, maka Kristus pulalah yang harus menjadi pusat persatuan kita. Perpecahan terjadi ketika kita menggeser fokus dari Kristus kepada pemimpin manusia, doktrin sekunder, preferensi pribadi, atau bahkan pengalaman rohani kita sendiri.
- Kristosentrisme: Injil Kristus yang disalibkan adalah kebenaran universal yang menyatukan semua orang percaya, terlepas dari latar belakang atau denominasi mereka.
- Mengutamakan Kristus dalam Segala Hal: Setiap keputusan, setiap pengajaran, setiap pelayanan haruslah bermuara pada kemuliaan Kristus dan pembangunan tubuh-Nya.
- Melihat Kristus dalam Sesama: Mengembangkan mata rohani untuk melihat gambar Kristus dalam setiap saudara seiman, meskipun ada perbedaan.
B. Kerendahan Hati dan Penyangkalan Diri
Jika keangkuhan adalah akar perpecahan, maka kerendahan hati adalah kunci persatuan. Paulus sendiri menjadi teladan kerendahan hati. Filosofi Kristus adalah pelayanan, bukan dominasi. Filipi 2:3-4 berkata, "Janganlah melakukan sesuatu karena perselisihan atau karena keangkuhan yang kosong, tetapi dengan rendah hati hendaklah yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi juga kepentingan orang lain."
- Mengakui Keterbatasan Diri: Tidak ada yang memiliki monopoli atas kebenaran. Kita semua melihat "remang-remang seperti pada cermin" (1 Korintus 13:12).
- Mencari Kebaikan Bersama: Mendahulukan kepentingan bersama di atas preferensi pribadi, melepaskan hak untuk "selalu benar."
- Belajar Mendengarkan: Kerendahan hati memampukan kita untuk mendengarkan perspektif orang lain dengan pikiran terbuka dan kasih, bahkan jika kita pada akhirnya tidak setuju.
C. Kasih Agape sebagai Pengikat
Kasih agape adalah kasih ilahi yang tanpa pamrih dan rela berkorban. Dalam 1 Korintus 13, Paulus menjelaskan bahwa tanpa kasih, karunia-karunia rohani yang luar biasa pun tidak ada gunanya. Kasih agape adalah "ikatan kesempurnaan" (Kolose 3:14) yang menyatukan tubuh Kristus.
- Menutupi Banyak Dosa: Kasih memampukan kita untuk mengampuni kesalahan, melupakan luka, dan melihat melampaui kelemahan saudara seiman.
- Mencari Rekonsiliasi: Ketika ada perpecahan, kasih mendorong kita untuk mencari jalan rekonsiliasi dan restorasi, bukan memelihara dendam.
- Memberi Ruang untuk Perbedaan: Kasih memampukan kita untuk menghargai dan menerima orang-orang yang mungkin berbeda dalam pandangan sekunder, tanpa mengorbankan kebenaran inti Injil.
D. Prioritas pada Ajaran Utama (Ortodoksi Esensial)
Untuk memiliki "satu pikiran," kita harus sepakat pada ajaran-ajaran fundamental Kekristenan. Ini termasuk:
- Ketuhanan Yesus Kristus.
- Alkitab sebagai Firman Allah yang diilhamkan dan tidak sesat.
- Kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus Kristus sebagai dasar keselamatan.
- Keselamatan oleh anugerah melalui iman saja.
- Sifat Allah Tritunggal.
- Kedatangan Kristus yang kedua.
Pada hal-hal ini, tidak boleh ada perpecahan. Namun, pada hal-hal yang tidak esensial (seperti bentuk pemerintahan gereja, urutan karunia rohani, rincian eskatologi, atau preferensi ibadah), kita harus berlapang dada dan mengizinkan adanya perbedaan pandangan, dengan tetap memelihara kasih dan persatuan.
E. Disiplin Rohani dan Resolusi Konflik yang Alkitabiah
Ketika perpecahan terjadi, gereja harus memiliki mekanisme alkitabiah untuk menyelesaikan konflik dan menegakkan disiplin. Matius 18:15-20 memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana menangani perselisihan antar saudara seiman, dimulai dengan pembicaraan pribadi dan kemudian melibatkan gereja jika perlu.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Masalah harus ditangani secara jujur dan terbuka, bukan diabaikan atau disembunyikan.
- Tujuan Restorasi: Disiplin gereja bertujuan untuk restorasi dan rekonsiliasi, bukan penghukuman dan pengucilan permanen.
F. Peran Kepemimpinan yang Rohani
Para pemimpin gereja memiliki peran krusial dalam mempromosikan dan memelihara persatuan. Mereka harus menjadi teladan kerendahan hati, kasih, dan komitmen pada kebenaran. Mereka bertanggung jawab untuk mengajar kebenaran, menegur kesalahan, dan memimpin jemaat menuju kematangan rohani yang menghasilkan persatuan.
- Pengajaran yang Kokoh: Mengajarkan doktrin yang sehat secara konsisten untuk membangun fondasi yang kuat bagi kesatuan.
- Melerai Konflik: Bertindak sebagai pembawa damai dan mediator ketika perselisihan muncul.
- Membangun Budaya Persatuan: Menciptakan lingkungan di mana persatuan dihargai dan perpecahan tidak ditoleransi.
VI. Manfaat Nyata dari Persatuan dalam Kristus
Meskipun jalan menuju persatuan seringkali sulit dan membutuhkan pengorbanan, imbalannya jauh lebih besar. Persatuan yang sejati dalam Kristus membawa manfaat yang tak terhingga bagi gereja dan dunia.
A. Kesaksian yang Kuat dan Mengubahkan
Ketika jemaat bersatu, itu adalah kesaksian yang paling ampuh bagi dunia yang haus akan kebenaran dan keutuhan. Dunia melihat sesuatu yang berbeda, sesuatu yang ilahi, di tengah perpecahan dan konflik yang melanda masyarakat. Persatuan menjadi bukti hidup bahwa Kristus sanggup mengubahkan hati dan menyatukan orang-orang dari latar belakang apa pun.
B. Efektivitas Misi dan Pelayanan yang Maksimal
Gereja yang bersatu dapat mengerahkan sumber daya, energi, dan karunia-karunia rohaninya secara sinergis. Alih-alih terpecah belah dan terganggu oleh konflik internal, mereka dapat memfokuskan semua upaya untuk memenuhi Amanat Agung: memberitakan Injil, memuridkan bangsa-bangsa, dan melayani sesama dengan kasih. Misi tidak akan terhambat oleh pertikaian, dan pelayanan akan mengalir dengan lebih lancar dan berbuah.
C. Pertumbuhan Rohani dan Kedewasaan
Dalam lingkungan yang bersatu, setiap anggota merasa aman dan dihargai. Ini menciptakan suasana yang kondusif bagi pertumbuhan rohani. Orang percaya dapat belajar satu sama lain, saling membangun, dan dengan bebas menggunakan karunia-karunia mereka untuk kebaikan bersama. Perpecahan justru menghambat pertumbuhan, karena energi dihabiskan untuk mempertahankan faksi daripada untuk mengembangkan karakter Kristus.
D. Kesenangan dan Kehadiran Allah
Mazmur 133:1-3 dengan indahnya menyatakan, "Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun! ... Sebab ke sanalah TUHAN memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya." Ada berkat khusus dari Allah yang dicurahkan atas jemaat yang hidup dalam kesatuan. Kehadiran Roh Kudus menjadi lebih nyata, sukacita melimpah, dan doa-doa dijawab dengan lebih dahsyat. Keindahan persatuan menyenangkan hati Allah dan membawa sukacita bagi jemaat.
E. Kekuatan dalam Menghadapi Tekanan Eksternal
Gereja yang bersatu adalah gereja yang kuat. Ketika menghadapi penganiayaan, tantangan sosial, atau tekanan budaya, jemaat yang solid dan bersatu akan mampu bertahan dan bahkan berkembang. Musuh tidak akan bisa mengeksploitasi keretakan internal. Pepatah lama "bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh" sangat relevan bagi tubuh Kristus.
F. Manifestasi Kasih Kristus yang Otentik
Persatuan adalah salah satu ekspresi paling jelas dari kasih Kristus yang hidup dalam kita. Ketika kita bersedia mengesampingkan perbedaan demi Kristus, ketika kita memaafkan dan mencari rekonsiliasi, itu adalah tanda bahwa kasih Allah yang agape benar-benar menguasai hati kita. Ini bukan sekadar teori, tetapi kasih yang nyata dalam tindakan yang dapat dilihat dan dirasakan oleh orang lain.
VII. Refleksi dan Aplikasi Pribadi
Panggilan untuk persatuan dalam 1 Korintus 1:10 bukan hanya untuk gereja secara kolektif, tetapi juga untuk setiap individu orang percaya. Setiap kita memiliki peran dalam membangun atau meruntuhkan persatuan.
A. Periksa Hati Kita Sendiri
Tanyakan pada diri sendiri: Apakah ada benih-benih keangkuhan, kedagingan, atau preferensi yang diidolakan dalam hati saya yang mungkin mengancam persatuan? Apakah saya lebih mengasihi pendapat saya sendiri daripada kedamaian dan kesatuan tubuh Kristus? Apakah saya cenderung mengkritik atau menghakimi saudara seiman yang berbeda pandangan dalam hal-hal sekunder?
B. Jadilah Pembawa Damai
Matius 5:9 berkata, "Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah." Carilah kesempatan untuk menjadi jembatan daripada tembok. Jika ada konflik, beranikan diri untuk mengambil langkah pertama menuju rekonsiliasi, dengan kerendahan hati dan kasih.
C. Prioritaskan Kasih dan Pengampunan
Ingatlah bahwa kita semua adalah penerima anugerah dan pengampunan Allah. Sebagaimana Kristus telah mengampuni kita, demikian pula kita harus mengampuni sesama. Pilihlah kasih di atas kebencian, penerimaan di atas penolakan, dan kebaikan di atas gosip.
D. Fokus pada Hal-hal Esensial
Pelajari Alkitab agar Anda dapat membedakan dengan jelas antara doktrin inti yang tidak dapat ditawar dan isu-isu sekunder yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat. Jangan biarkan perbedaan dalam hal-hal yang tidak esensial memecah belah persekutuan yang berharga.
E. Berdoa untuk Persatuan
Ikutilah teladan Yesus dan Paulus. Doakanlah agar gereja lokal Anda, denominasi Anda, dan tubuh Kristus di seluruh dunia dipersatukan dalam Roh dan kebenaran. Berdoalah agar Roh Kudus bekerja untuk menghancurkan tembok-tembok perpecahan dan membangun jembatan-jembatan kasih.
Kesimpulan: Sebuah Panggilan Abadi
1 Korintus 1:10 adalah lebih dari sekadar nasihat; ia adalah panggilan yang mendalam dan abadi untuk kehidupan Kristen yang otentik. Ia menantang kita untuk melihat melampaui perbedaan-perbedaan permukaan dan berpegang teguh pada fondasi tunggal kita: Tuhan kita Yesus Kristus. Di dalam nama-Nya, kita dipanggil untuk berbicara hal yang sama, menolak perpecahan, dan bersatu dalam satu pikiran dan satu pendirian.
Perpecahan, baik di masa Paulus maupun di era modern, adalah musuh yang licik bagi tubuh Kristus. Ia merampas sukacita, menghalangi pertumbuhan, merusak kesaksian, dan yang paling penting, mendukakan hati Allah. Sebaliknya, persatuan yang sejati, yang dijiwai oleh kasih, kerendahan hati, dan berpusat pada Kristus, adalah kekuatan yang tak tertandingi. Ia memuliakan Allah, menarik dunia kepada Injil, dan membangun gereja menjadi kekuatan yang efektif untuk Kerajaan-Nya.
Marilah kita, sebagai orang percaya, menanggapi seruan Paulus ini dengan sungguh-sungguh. Marilah kita berusaha keras, dengan anugerah Roh Kudus, untuk menjadi jemaat yang seia sekata, tanpa perpecahan, melainkan bersatu dalam satu pikiran dan satu pendirian, semuanya demi nama Tuhan kita Yesus Kristus yang mulia. Hanya dengan demikian, kita dapat menjadi terang yang sesungguhnya di tengah kegelapan dunia, dan menjadi kesaksian hidup yang meyakinkan tentang kebenaran dan kasih Allah.
Semoga renungan ini mendorong kita semua untuk merangkul dan menghidupi panggilan vital untuk persatuan dalam Kristus.