Dalam rentetan pengajaran Yesus yang seringkali menantang dan mendalam, Lukas 12 menyajikan serangkaian kebenaran yang tidak hanya memprovokasi pikiran tetapi juga menuntut respons radikal dari para pendengar-Nya. Setelah memperingatkan tentang kemunafikan, keserakahan, kekhawatiran, dan urgensi kesiapsiagaan, Yesus beralih ke pernyataan yang mungkin terdengar kontradiktif bagi sebagian orang: Ia datang bukan untuk membawa damai, melainkan perpecahan. Ayat-ayat 49 hingga 53 dari pasal ini adalah permata teologis yang kaya, sering disalahpahami, namun esensial untuk memahami sifat misi Kristus yang sebenarnya dan implikasinya bagi setiap orang percaya.
Kita akan menyelami pernyataan-pernyataan Yesus ini, menguraikan makna "api" dan "baptisan" yang Ia sebutkan, serta memahami mengapa misi-Nya, yang pada dasarnya adalah misi damai sejahtera, justru membawa perpecahan. Pemahaman yang benar tentang bagian ini akan memperkaya iman kita, mempersiapkan kita menghadapi realitas kekristenan yang tidak selalu nyaman, dan memanggil kita pada komitmen yang lebih dalam kepada Kristus. Mari kita mulai perjalanan ini dengan hati yang terbuka dan pikiran yang siap untuk disentuh oleh kebenaran Firman Tuhan.
Lukas 12:49-53 (TB):
49"Aku datang melemparkan api ke bumi; dan apakah yang Kukehendaki, kalau api itu sudah menyala?
50Aku harus dibaptis dengan suatu baptisan, dan betapa susahnya hati-Ku, sebelum hal itu terlaksana!
51Kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai ke atas bumi? Bukan, kata-Ku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan.
52Karena mulai dari sekarang akan ada lima orang dalam satu rumah tangga yang terbagi-bagi, tiga melawan dua dan dua melawan tiga.
53Mereka akan saling bertentangan, ayah melawan anaknya laki-laki dan anak laki-laki melawan ayahnya, ibu melawan anaknya perempuan, dan anak perempuan melawan ibunya, ibu mertua melawan menantunya perempuan dan menantu perempuan melawan ibu mertuanya."
I. Api yang Dilemparkan Yesus ke Bumi (Ayat 49)
"Aku datang melemparkan api ke bumi; dan apakah yang Kukehendaki, kalau api itu sudah menyala?"
Pernyataan ini adalah pembuka yang mencengangkan. Yesus, yang sering digambarkan sebagai pembawa damai dan kasih, kini berbicara tentang melemparkan "api" ke bumi. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan "api" ini? Konsep api dalam Alkitab memiliki banyak konotasi, mulai dari penghakiman ilahi, pemurnian, keberadaan Tuhan, hingga gairah dan semangat rohani. Dalam konteks ini, "api" yang Yesus maksudkan tampaknya mencakup beberapa makna penting yang saling terkait.
A. Api Sebagai Lambang Kehadiran Ilahi dan Kuasa Roh Kudus
Dalam Perjanjian Lama, api sering kali melambangkan kehadiran Allah yang kudus dan berkuasa. Ingatlah semak belukar yang menyala tetapi tidak dimakan api di hadapan Musa (Keluaran 3), atau tiang api yang menuntun bangsa Israel di padang gurun (Keluaran 13:21). Api adalah manifestasi kemuliaan dan kekudusan Allah. Ketika Yesus berkata Ia datang melemparkan api, Ia mungkin merujuk pada kedatangan Kerajaan Allah yang penuh kuasa, yang akan mengubah segalanya. Api ini akan mewujudkan kehadiran Allah secara nyata di tengah-tengah manusia melalui pelayanan-Nya, kematian-Nya, dan kebangkitan-Nya.
Namun, makna yang lebih kuat dan profetis di sini adalah terkait dengan Roh Kudus. Yohanes Pembaptis telah bernubuat bahwa Yesus akan membaptis dengan Roh Kudus dan api (Matius 3:11, Lukas 3:16). Perjanjian Baru menyaksikan penggenapan nubuat ini secara dramatis pada hari Pentakosta, di mana "lidah-lidah seperti api" hinggap di atas kepala para murid, dan mereka dipenuhi Roh Kudus (Kisah Para Rasul 2:3-4). Api ini adalah kuasa transformatif Roh Kudus yang memurnikan, menyucikan, memberikan keberanian, dan memperlengkapi orang percaya untuk menjadi saksi Kristus.
Yesus sendiri sangat merindukan api ini "sudah menyala." Ini menunjukkan kerinduan-Nya yang mendalam agar kuasa ilahi yang transformatif ini dilepaskan ke dunia, membawa perubahan radikal dalam hati manusia dan masyarakat. Ini bukan api yang menghancurkan secara fisik, melainkan api yang menghancurkan kuasa dosa, kegelapan, dan keacuhan rohani. Ini adalah api yang membangkitkan gairah bagi Allah, keadilan, dan kebenaran.
Api yang dilemparkan Yesus, melambangkan kuasa Roh Kudus, pemurnian, dan gairah rohani.
B. Api Sebagai Lambang Pemurnian dan Penghakiman
Selain Roh Kudus, api juga seringkali dikaitkan dengan pemurnian dan penghakiman. Dalam Perjanjian Lama, para nabi sering berbicara tentang "api ilahi" yang akan membersihkan umat Allah dari dosa-dosa mereka (Maleakhi 3:2-3). Api ini membakar habis kotoran, memisahkan yang berharga dari yang tidak berguna. Dalam konteks misi Yesus, api ini adalah kebenaran Injil yang membakar habis kemunafikan, kesombongan, dan standar-standar duniawi. Ia mengekspos kegelapan dan dosa dalam hidup manusia, memanggil mereka untuk bertobat dan hidup dalam kekudusan.
Pemurnian ini tidak selalu nyaman. Ia seringkali menyakitkan, seperti emas yang ditempa dalam api untuk menghilangkan segala kotorannya. Injil Yesus Kristus menuntut standar yang tinggi, memanggil orang untuk meninggalkan dosa dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Proses ini adalah "api" yang membakar habis segala ikatan duniawi dan dosa yang menghalangi kita untuk sepenuhnya mengikut Kristus. Bagi mereka yang menolak pemurnian ini, api yang sama bisa berarti penghakiman, karena kebenaran Kristus akan menjadi terang yang menyatakan kegelapan dalam diri mereka.
C. Api Sebagai Gairah dan Semangat yang Tak Terbendung
Terakhir, api juga dapat melambangkan gairah, semangat, dan komitmen yang membara. Yesus sendiri menunjukkan gairah yang tak tertandingi untuk Kerajaan Allah. Ia sangat merindukan agar Injil, kabar baik tentang Kerajaan Allah, menyebar luas dan menyala di hati manusia di seluruh bumi. Kerinduan-Nya agar "api itu sudah menyala" adalah kerinduan-Nya akan penggenapan penuh dari rencana keselamatan Allah, di mana Roh Kudus dicurahkan, Injil diberitakan dengan kuasa, dan banyak jiwa diselamatkan serta dimurnikan.
Gairah ini akan menular kepada para pengikut-Nya. Orang-orang Kristen yang dipenuhi Roh Kudus akan menjadi "lidah-lidah api" yang menyebarkan kebenaran Injil dengan semangat yang tak tergoyahkan, bahkan di tengah penganiayaan dan tantangan. Api ini adalah dorongan internal yang membuat orang percaya tidak bisa tinggal diam terhadap dosa dan ketidakadilan, tetapi berjuang untuk kebenaran dan Kerajaan Allah.
Jadi, ketika Yesus mengatakan Ia datang untuk melemparkan api ke bumi, Ia berbicara tentang sebuah gerakan ilahi yang akan membawa kuasa Roh Kudus yang memurnikan, menghakimi, dan membakar dengan semangat ilahi ke dalam dunia. Ini adalah revolusi spiritual yang akan mengubah wajah bumi, satu hati pada satu waktu.
II. Baptisan Penderitaan yang Harus Dijalani Yesus (Ayat 50)
"Aku harus dibaptis dengan suatu baptisan, dan betapa susahnya hati-Ku, sebelum hal itu terlaksana!"
Dari pernyataan tentang api yang membakar, Yesus kemudian beralih ke pengalaman pribadi yang sangat mendalam: "Aku harus dibaptis dengan suatu baptisan." Ini bukan baptisan air yang Ia terima dari Yohanes Pembaptis di Sungai Yordan, melainkan metafora untuk penderitaan dan kematian-Nya yang akan datang.
A. Makna Baptisan Penderitaan
Dalam konteks Alkitab, "dibaptis" seringkali berarti "direndam" atau "tenggelam." Ketika Yesus berbicara tentang baptisan ini, Ia mengacu pada pengalaman direndam sepenuhnya dalam penderitaan, kesengsaraan, dan akhirnya kematian di kayu salib. Ini adalah baptisan yang akan menenggelamkan-Nya dalam gelombang murka Allah terhadap dosa manusia, yang Ia pikul di atas pundak-Nya.
Ayat-ayat lain dalam Perjanjian Baru menguatkan penafsiran ini. Misalnya, dalam Markus 10:38-39, Yesus bertanya kepada Yakobus dan Yohanes apakah mereka sanggup meminum cawan yang akan Ia minum atau dibaptis dengan baptisan yang akan Ia terima. Jelas, cawan dan baptisan ini merujuk pada penderitaan yang mengerikan dan kematian yang menanti-Nya. Baptisan ini adalah puncak dari misi-Nya di bumi, tujuan utama kedatangan-Nya: untuk mati sebagai kurban penebus dosa umat manusia.
Salib, sebagai lambang baptisan penderitaan dan kematian Yesus demi penebusan dosa manusia.
B. Kesusahan Hati Yesus
Bagian kedua dari ayat ini mengungkapkan kedalaman kemanusiaan Yesus: "betapa susahnya hati-Ku, sebelum hal itu terlaksana!" Ini adalah ungkapan yang menyentuh tentang pergumulan batiniah Yesus. Meskipun Ia adalah Allah, Ia juga manusia seutuhnya, yang merasakan emosi dan antisipasi seperti kita. Ia tahu persis penderitaan apa yang menanti-Nya, penghinaan, rasa sakit fisik, dan yang paling mengerikan, keterpisahan dari Bapa-Nya saat Ia menanggung dosa dunia.
Kata "susah hati" di sini menggambarkan tekanan batin, kecemasan, dan kesedihan yang mendalam. Ini bukan keraguan akan kehendak Allah, melainkan pergumulan manusiawi dalam menghadapi sesuatu yang begitu mengerikan. Kita melihatnya paling jelas di Taman Getsemani, di mana Yesus berdoa sampai peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah, memohon agar cawan itu berlalu dari-Nya, namun tetap menyerah pada kehendak Bapa (Lukas 22:42-44).
Kerinduan-Nya agar "hal itu terlaksana" menunjukkan bahwa meskipun ada kesusahan, ada juga determinasi yang kuat untuk menyelesaikan misi-Nya. Ia tidak menghindar dari takdir-Nya, melainkan justru ingin segera menggenapinya. Mengapa? Karena hanya melalui baptisan penderitaan dan kematian ini, api Roh Kudus dapat dilepaskan ke bumi (Yohanes 7:39). Kematian-Nya adalah prasyarat bagi kehidupan, penderitaan-Nya adalah kunci bagi pemuliaan, dan keterpisahan-Nya dari Allah adalah jalan bagi kita untuk berdamai dengan Allah.
Hubungan antara api (ayat 49) dan baptisan (ayat 50) sangatlah penting. Api itu, yaitu kuasa Roh Kudus dan kehadiran Kerajaan Allah yang transformatif, tidak dapat dilepaskan sepenuhnya sampai Yesus telah melewati baptisan penderitaan-Nya. Salib adalah jembatan yang menghubungkan kerinduan-Nya untuk melihat api menyala dengan penggenapan ilahi dari rencana keselamatan-Nya. Tanpa salib, tidak ada Pentakosta; tanpa penderitaan, tidak ada kuasa.
III. Damai atau Pertentangan? Misi yang Membagi (Ayat 51-53)
"Kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai ke atas bumi? Bukan, kata-Ku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan. Karena mulai dari sekarang akan ada lima orang dalam satu rumah tangga yang terbagi-bagi, tiga melawan dua dan dua melawan tiga. Mereka akan saling bertentangan, ayah melawan anaknya laki-laki dan anak laki-laki melawan ayahnya, ibu melawan anaknya perempuan, dan anak perempuan melawan ibunya, ibu mertua melawan menantunya perempuan dan menantu perempuan melawan ibu mertuanya."
Pernyataan Yesus yang paling provokatif dan sering disalahpahami adalah yang ini. Bukankah Yesus adalah "Raja Damai" (Yesaya 9:6)? Bukankah para malaikat berseru tentang "damai sejahtera di bumi" pada kelahiran-Nya (Lukas 2:14)? Bagaimana mungkin Ia sekarang menyatakan bahwa Ia datang bukan untuk membawa damai, melainkan pertentangan?
A. Makna "Damai" yang Sesungguhnya
Untuk memahami pernyataan ini, kita harus memahami apa yang dimaksud Yesus dengan "damai." Ia tidak berbicara tentang damai sejahtera yang dihasilkan dari kompromi moral, atau kedamaian palsu yang timbul dari pengabaian kebenaran. Damai sejahtera yang sesungguhnya, shalom Ibrani, adalah keutuhan, kesejahteraan menyeluruh, hubungan yang benar dengan Allah dan sesama, yang hanya dapat ditemukan dalam kebenaran dan keadilan Allah.
Yesus memang datang untuk membawa damai sejati antara Allah dan manusia melalui kurban pendamaian-Nya. Ia adalah satu-satunya jalan menuju damai sejati ini. Namun, damai ini tidak dapat dicapai tanpa terlebih dahulu menghadapi dan menghancurkan akar dosa dan kegelapan. Dan justru karena damai sejati ini menuntut respons radikal, ia akan seringkali menghasilkan "pertentangan" atau "perpecahan" di dunia yang menolak kebenaran-Nya.
B. Misi yang Memprovokasi Perpecahan
Pernyataan Yesus di sini bukan berarti Ia dengan sengaja datang untuk menciptakan konflik atau mengadu domba. Sebaliknya, perpecahan ini adalah konsekuensi tak terhindarkan dari kedatangan kebenaran mutlak-Nya ke dalam dunia yang terpecah belah oleh dosa, kebohongan, dan kepentingan pribadi. Cahaya selalu menyingkap kegelapan, dan kebenaran selalu mengekspos kepalsuan. Ketika Injil diberitakan, ia memaksa setiap orang untuk mengambil keputusan: apakah mereka akan mengikuti Yesus atau menolak-Nya.
Ini adalah perpecahan antara terang dan gelap, kebenaran dan kebohongan, Kerajaan Allah dan kerajaan dunia. Ketika seseorang memilih untuk mengikuti Yesus, ia secara otomatis menjadi kontras dengan nilai-nilai dunia yang bertentangan dengan Kristus. Ini adalah perpecahan yang bersifat rohani dan moral, bukan perpecahan karena kebencian pribadi yang disengaja.
Simbolik perpecahan atau pertentangan yang timbul dari pilihan mengikuti Yesus, membagi bahkan anggota keluarga.
C. Perpecahan dalam Lingkup Keluarga
Yang membuat pernyataan ini semakin menyakitkan dan relevan adalah bahwa perpecahan ini akan terjadi di tempat yang paling intim dan seharusnya paling aman: dalam keluarga. Yesus mengutip sebuah idiom atau mungkin merujuk pada Mikha 7:6, yang menggambarkan kehancuran moral di Israel. Namun, Yesus menerapkannya pada konteks baru, yaitu dampak dari pengikut-Nya.
Ia menyebutkan "lima orang dalam satu rumah tangga yang terbagi-bagi." Ini adalah gambaran yang sangat konkret tentang bagaimana keputusan satu individu untuk mengikut Yesus dapat menciptakan keretakan dalam hubungan keluarga. Ayah melawan anak, ibu melawan anak, mertua melawan menantu. Ini adalah perpecahan yang terjadi ketika loyalitas kepada Kristus bertabrakan dengan loyalitas kepada keluarga, tradisi, atau harapan sosial.
Mengapa ini terjadi? Karena Injil menuntut loyalitas tertinggi. Yesus tidak bisa menjadi salah satu dari banyak prioritas; Ia menuntut tempat pertama. Ketika seseorang menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, ia secara efektif mendeklarasikan bahwa Kristus adalah otoritas tertinggi dalam hidupnya, bahkan di atas ikatan keluarga yang paling suci. Bagi mereka yang tidak memahami atau tidak menerima komitmen semacam ini, tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pengkhianatan, penolakan, atau bahkan kegilaan.
Contoh ini telah terbukti sepanjang sejarah kekristenan, dari para martir awal hingga orang-orang Kristen di negara-negara tertutup saat ini, di mana pertobatan dapat berarti pengasingan dari keluarga, kehilangan warisan, atau bahkan ancaman fisik. Ini adalah realitas yang keras tetapi tak terhindarkan dari kekristenan yang otentik. Mengikut Kristus terkadang berarti berdiri sendirian, bahkan ketika orang-orang yang paling kita cintai berada di pihak yang berlawanan.
IV. Implikasi Teologis dari Lukas 12:49-53
Ayat-ayat ini bukan sekadar nubuat sosial; mereka mengungkapkan kebenaran-kebenaran mendalam tentang sifat Allah, misi Kristus, dan tuntutan kekristenan. Memahami implikasi teologisnya akan memberikan kita perspektif yang lebih kaya tentang Injil.
A. Sifat Radikal dari Kerajaan Allah
Khotbah Yesus di sini menegaskan bahwa Kerajaan Allah bukanlah sistem yang nyaman atau sekadar penambahan pada kehidupan yang sudah ada. Sebaliknya, ia adalah realitas yang radikal, yang menuntut perubahan mendasar dan total. "Api" yang dilemparkan Yesus dan "perpecahan" yang disebabkannya menunjukkan bahwa Kerajaan Allah datang untuk menggoncangkan status quo, baik secara pribadi maupun sosial. Ia tidak datang untuk berdamai dengan dosa atau membiarkan orang hidup dalam kemunafikan. Ia menuntut pertobatan sejati dan komitmen yang tak tergoyahkan.
Ini berarti bahwa kekristenan sejati tidak pernah dapat menjadi agama yang pasif atau sekadar "baik." Ia harus menjadi kekuatan yang dinamis dan transformatif, yang secara aktif menantang nilai-nilai dunia dan menyerukan kesetiaan mutlak kepada Kristus. Sifat radikal ini adalah apa yang membuat Injil begitu kuat dan, pada saat yang sama, begitu ofensif bagi banyak orang.
B. Misi Mesias yang Tidak Terduga
Banyak orang Yahudi pada zaman Yesus mengharapkan Mesias yang akan datang sebagai raja politis yang akan membebaskan Israel dari penjajahan Roma dan mendirikan kerajaan damai sejahtera secara fisik. Namun, Yesus dengan tegas menolak ekspektasi ini. Ia tidak datang untuk membawa "damai" politik atau sosial dalam pengertian duniawi, setidaknya pada kedatangan-Nya yang pertama.
Sebaliknya, misi-Nya jauh lebih mendalam: Ia datang untuk mengatasi masalah dosa yang fundamental, untuk membawa damai sejahtera rohani antara Allah dan manusia, dan untuk mendirikan Kerajaan yang bersifat rohani di hati manusia. Perpecahan yang Ia bicarakan adalah bukti bahwa misi-Nya jauh melampaui ambisi duniawi dan menembus inti eksistensi manusia, menuntut pilihan yang paling mendasar tentang siapa yang akan kita layani.
Kesusahan hati Yesus atas baptisan penderitaan-Nya juga menunjukkan bahwa jalan Mesias adalah jalan kurban. Kehadiran "api" ilahi dan damai sejati tidak dapat terwujud tanpa penderitaan dan kematian penebusan-Nya. Ini adalah paradoks inti dari Injil: melalui kematian datanglah kehidupan, melalui penderitaan datanglah kemuliaan, dan melalui perpecahan bagi dunia datanglah persatuan dengan Allah.
C. Biaya Pemuridan yang Tinggi
Ayat-ayat ini secara langsung berbicara tentang biaya menjadi pengikut Kristus. Mengikut Yesus bukanlah jalan yang mudah, penuh dengan kenyamanan dan penerimaan universal. Sebaliknya, itu dapat berarti menghadapi penolakan, bahkan dari orang-orang terdekat kita. Yesus tidak menyembunyikan kenyataan ini dari para pengikut-Nya. Ia ingin mereka memahami bahwa keputusan untuk mengikut Dia mungkin akan menuntut pengorbanan yang besar, termasuk hubungan keluarga.
Keluarga, dalam masyarakat Yahudi kuno dan banyak budaya modern, adalah pilar utama identitas dan keamanan. Melepaskan ikatan keluarga karena iman adalah salah satu pengorbanan terbesar yang dapat diminta. Namun, Yesus dengan tegas menyatakan bahwa kesetiaan kepada-Nya haruslah yang paling utama. Jika keluarga menjadi berhala atau penghalang bagi ketaatan kepada Allah, maka pilihan yang sulit harus dibuat.
Ini bukan ajakan untuk membenci keluarga, melainkan penegasan tentang prioritas Kerajaan Allah yang tak terbantahkan. Matius 10:37 menggemakan sentimen serupa: "Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku." Pemuridan menuntut kesetiaan yang mutlak dan tanpa kompromi kepada Yesus Kristus.
V. Aplikasi Praktis untuk Kehidupan Orang Percaya Saat Ini
Bagaimana ayat-ayat yang menantang ini relevan bagi kita yang hidup di abad ke-21? Meskipun konteks budaya dan sosial kita mungkin berbeda dari zaman Yesus, kebenaran-kebenaran rohani yang diungkapkan tetap abadi dan memiliki aplikasi yang kuat.
A. Memahami Hakikat Kekristenan yang Sejati
Pertama, ayat-ayat ini memanggil kita untuk memahami kekristenan yang sejati. Itu bukanlah agama yang menawarkan kenyamanan tanpa harga, penerimaan universal tanpa pertobatan, atau damai sejahtera tanpa pergumulan. Sebaliknya, kekristenan adalah panggilan untuk komitmen radikal kepada Kristus, yang akan membawa kita ke dalam "api" Roh Kudus yang memurnikan dan, kadang-kadang, "perpecahan" yang menantang.
Kita harus waspada terhadap Injil yang "mudah" atau "murah" yang tidak menuntut apa pun dan berjanji hanya kenyamanan. Kekristenan sejati adalah tentang salib, baik salib Kristus yang kita percayai maupun salib pemuridan yang kita pikul (Lukas 9:23). Jika kita tidak pernah mengalami "api" pemurnian atau "perpecahan" karena iman kita, mungkin kita perlu bertanya apakah kita benar-benar hidup dalam komitmen yang radikal kepada Kristus.
B. Menerima Biaya Pemuridan
Ayat-ayat ini mempersiapkan kita untuk menerima bahwa mengikuti Yesus mungkin akan datang dengan harga yang mahal. Ini bisa berarti ditolak oleh teman, dicemooh oleh rekan kerja, atau bahkan, seperti yang Yesus katakan, menghadapi konflik dalam keluarga. Di beberapa bagian dunia, biaya ini bisa berupa penganiayaan fisik atau kematian. Di bagian lain, itu mungkin berupa pengucilan sosial atau profesional.
Kita tidak boleh terkejut atau berkecil hati ketika hal ini terjadi. Yesus sudah memperingatkan kita. Sebaliknya, kita harus melihatnya sebagai tanda bahwa kita memang sedang mengikut Yesus dengan setia. Kesetiaan kepada Kristus di atas segalanya, bahkan di atas keluarga, adalah panggilan yang jelas. Ini bukan berarti kita membenci keluarga kita, melainkan bahwa cinta kita kepada Kristus adalah yang tertinggi, yang akan menginspirasi kita untuk mengasihi keluarga kita dengan kasih yang lebih murni, meskipun mereka menolak jalan kita.
C. Meminta Api Roh Kudus
Kerinduan Yesus agar "api itu sudah menyala" adalah seruan bagi kita untuk mencari kepenuhan Roh Kudus dalam hidup kita. Api Roh Kudus akan memurnikan kita dari dosa, membangkitkan gairah kita bagi Allah, dan memperlengkapi kita dengan kuasa untuk menjadi saksi-Nya. Tanpa api ini, kekristenan kita akan hambar dan tidak berdaya.
Kita harus berdoa dan berserah kepada Roh Kudus agar Ia bekerja dalam hidup kita dengan kuasa-Nya yang memurnikan dan mengobarkan. Ini berarti bersedia untuk diubah, untuk melepaskan hal-hal yang tidak menyenangkan Allah, dan untuk hidup dengan keberanian dan komitmen yang penuh. Api ini akan mempersiapkan kita untuk menghadapi "baptisan" penderitaan yang mungkin akan kita alami sebagai pengikut Kristus.
D. Menjadi Agen Kebenaran, Bukan Kompromi
Injil bukan tentang menciptakan damai palsu dengan mengkompromikan kebenaran. Sebaliknya, Injil adalah tentang menegakkan kebenaran Allah, yang pada akhirnya akan membawa damai sejati. Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk menjadi agen kebenaran dan keadilan dalam dunia yang penuh dengan kebohongan dan ketidakadilan.
Ini mungkin berarti berbicara kebenaran yang tidak populer, menentang arus budaya, atau mengambil posisi yang berani demi Kristus. Kita tidak mencari perpecahan untuk kepentingannya sendiri, tetapi kita tidak akan menghindar dari perpecahan yang timbul ketika kita dengan setia menjunjung tinggi kebenaran Injil. Tujuan kita adalah membawa orang kepada damai sejati dengan Allah melalui Yesus Kristus, meskipun jalan menuju damai itu seringkali melewati lembah pertentangan.
E. Mengandalkan Kekuatan Ilahi dalam Pergumulan
Pernyataan Yesus tentang "betapa susahnya hati-Ku" memberikan penghiburan bagi kita. Bahkan Yesus, dalam kemanusiaan-Nya, merasakan tekanan dan kesusahan hati saat menghadapi penderitaan. Ini menunjukkan bahwa adalah wajar jika kita merasa takut, cemas, atau sulit ketika menghadapi tantangan atau penolakan karena iman kita.
Namun, seperti Yesus yang tetap setia dan didukung oleh Bapa-Nya, kita juga dapat mengandalkan kekuatan ilahi untuk melewati setiap pergumulan. Roh Kudus, "api" yang telah dilemparkan Yesus, adalah Penolong kita. Ia akan memberikan kita kekuatan, keberanian, dan penghiburan yang kita butuhkan untuk tetap teguh dalam iman, bahkan ketika kita menghadapi perpecahan dan penderitaan. Kita tidak berjuang sendirian; Roh Kudus ada bersama kita.
Dengan demikian, Lukas 12:49-53 adalah bagian yang krusial yang mengundang kita untuk merenungkan kembali apa artinya menjadi pengikut Yesus Kristus. Ini adalah panggilan untuk komitmen yang mendalam, kesediaan untuk membayar harga, dan keyakinan bahwa di balik setiap api pemurnian dan setiap perpecahan yang menyakitkan, ada rencana ilahi yang lebih besar untuk membawa damai sejati dan kerajaan Allah yang abadi.
VI. Konteks yang Lebih Luas dalam Injil Lukas
Untuk lebih menghargai kedalaman Lukas 12:49-53, penting untuk melihatnya dalam konteks pengajaran Yesus yang lebih luas di Injil Lukas. Lukas, sebagai seorang dokter dan sejarawan, seringkali memberikan detail yang kaya dan penekanan khusus pada beberapa tema yang mengalir sepanjang Injilnya, dan hal ini sangat relevan dengan ayat-ayat yang sedang kita bahas.
A. Penekanan Lukas pada Roh Kudus
Lukas dikenal sebagai "Penginjil Roh Kudus." Dari awal Injilnya, Roh Kudus memainkan peran sentral: Maria dikandung oleh Roh Kudus (Lukas 1:35), Yohanes Pembaptis dipenuhi Roh Kudus sejak dalam kandungan (Lukas 1:15), Simeon dipenuhi Roh Kudus (Lukas 2:25-27), dan Yesus sendiri dipimpin oleh Roh Kudus (Lukas 4:1). Kisah Para Rasul, tulisan kedua Lukas, sepenuhnya didedikasikan untuk pekerjaan Roh Kudus melalui para rasul.
Dalam konteks ini, seruan Yesus tentang "api" yang ingin Ia lemparkan ke bumi sangat selaras dengan penekanan Lukas pada pencurahan Roh Kudus. Api ini adalah Roh Kudus yang akan memberdayakan para murid untuk melanjutkan misi Yesus, menyebarkan Injil ke seluruh bumi. Keinginan Yesus agar "api itu sudah menyala" adalah ekspresi kerinduan-Nya akan penggenapan janji Bapa tentang pencurahan Roh Kudus yang akan membawa kuasa dan transformasi.
B. Misi Yesus sebagai Penebusan
Lukas juga secara konsisten menyoroti misi Yesus sebagai Penebus yang harus menderita. Sejak awal, Yesus digambarkan sebagai Anak Domba Allah yang akan menghapus dosa dunia. Dalam Lukas 9:22, Yesus mulai dengan jelas berbicara tentang penderitaan, penolakan, kematian, dan kebangkitan-Nya. Kemudian dalam Lukas 9:51, dikatakan bahwa Yesus "bertekad untuk pergi ke Yerusalem," sebuah perjalanan yang dikenal sebagai "perjalanan menuju salib."
Ayat 50, "Aku harus dibaptis dengan suatu baptisan," menggemakan tema ini dengan sangat kuat. Ini menunjukkan bahwa penderitaan bukanlah kecelakaan, melainkan bagian integral dan esensial dari rencana ilahi. Yesus dengan sadar melangkah menuju takdir ini, bukan karena Ia menginginkannya secara manusiawi, tetapi karena Ia tahu ini adalah satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan ilahi-Nya: menebus dosa manusia dan melepaskan api Roh Kudus.
C. Pesan tentang Pemuridan yang Menuntut
Sepanjang Lukas, Yesus sering berbicara tentang tuntutan tinggi pemuridan. Lukas 9:23 mengatakan, "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku." Lukas 14:26-27 bahkan lebih ekstrem: "Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya yang laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku."
Meskipun kata "membenci" di sini adalah hiperbola yang berarti "mengasihi kurang dari," pesan intinya jelas: kesetiaan kepada Yesus haruslah yang paling utama, mengalahkan semua ikatan dan loyalitas lainnya, termasuk keluarga. Oleh karena itu, pernyataan Yesus di Lukas 12:51-53 tentang perpecahan keluarga adalah kelanjutan yang logis dari pengajaran-Nya yang konsisten tentang pemuridan yang menuntut. Yesus tidak pernah menjanjikan jalan yang mudah, tetapi jalan yang benar, meskipun penuh tantangan.
D. Tanggung Jawab dalam Merespons Injil
Seluruh pasal Lukas 12 adalah panggilan untuk bertanggung jawab dalam merespons Injil. Dari perumpamaan orang kaya yang bodoh (ayat 13-21) hingga peringatan tentang tanda-tanda zaman (ayat 54-56), Yesus terus-menerus menantang para pendengar-Nya untuk menimbang prioritas mereka dan mengambil keputusan yang serius tentang Kerajaan Allah. Ayat 49-53 adalah puncak dari panggilan ini.
Mereka yang mendengar Injil tidak dapat tetap netral. Api yang dilemparkan Yesus akan menuntut respons, dan baptisan yang akan Ia alami akan membuka jalan bagi mereka yang ingin mengikuti-Nya. Perpecahan yang dihasilkan oleh Injil adalah bukti bahwa ia memaksa orang untuk memilih sisi, untuk secara sadar memutuskan siapa yang akan mereka layani dan nilai-nilai apa yang akan mereka hidupi. Ini adalah tanggung jawab besar yang ditempatkan pada setiap pendengar Firman.
VII. Merefleksikan Makna bagi Gereja Kontemporer
Bagi gereja di zaman modern, ayat-ayat ini memiliki relevansi yang mendalam dan memprovokasi. Di era yang cenderung mencari kenyamanan, penerimaan, dan harmoni tanpa konflik, pesan Yesus ini mengingatkan kita akan hakikat kekristenan yang seringkali tidak populer.
A. Menguji Komitmen Gereja
Apakah gereja saat ini masih memiliki "api" yang diinginkan Yesus? Apakah kita masih bersemangat untuk melihat Kerajaan Allah datang dengan kuasa, memurnikan dosa, dan membakar dengan gairah ilahi? Atau apakah kita telah menjadi nyaman, suam-suam kuku, dan takut untuk menantang status quo?
Ayat ini memanggil gereja untuk kembali kepada esensinya, yaitu menjadi alat Roh Kudus untuk menyebarkan kebenaran, bahkan jika itu berarti menghadapi oposisi. Ini adalah panggilan untuk memprioritaskan misi Allah di atas kenyamanan kelembagaan, pertumbuhan angka, atau popularitas sosial. Jika gereja tidak lagi menimbulkan "pertentangan" dalam pengertian rohani, mungkin itu bukan karena dunia telah menerima kita, tetapi karena kita telah terlalu banyak berkompromi dengan dunia.
B. Mendorong Integritas dan Keberanian
Dalam masyarakat yang semakin terpolarisasi, tekanan untuk "bergaul" atau menghindari kontroversi sangat kuat. Namun, Yesus mengajarkan bahwa integritas iman akan seringkali membawa perpecahan. Gereja dan orang percaya dipanggil untuk memiliki keberanian untuk berdiri teguh pada kebenaran Injil, bahkan ketika itu tidak populer, bahkan ketika itu menyebabkan gesekan dengan keluarga, teman, atau budaya yang lebih luas.
Keberanian ini bukan untuk mencari konflik, melainkan untuk mempertahankan kesaksian yang jelas tentang Kristus. Kita harus belajar untuk berbicara kebenaran dalam kasih, tetapi tidak pernah mengorbankan kebenaran demi kedamaian palsu. Keberanian juga dibutuhkan untuk menerima penderitaan, seperti Yesus, sebagai bagian dari jalan yang benar.
C. Misi Penginjilan yang Realistis
Pernyataan Yesus ini memberikan perspektif yang realistis tentang penginjilan. Kita tidak boleh berpikir bahwa setiap orang akan menerima Injil dengan tangan terbuka atau bahwa Injil akan selalu diterima sebagai kabar baik yang tidak menimbulkan ketidaknyamanan. Sebaliknya, Injil adalah pedang yang memisahkan, terang yang menyingkap kegelapan, dan api yang memurnikan.
Ini tidak berarti kita harus menjadi agresif atau ofensif. Sebaliknya, kita harus penuh kasih dan bijaksana, namun tidak mengaburkan tuntutan radikal dari Injil. Kita harus mempersiapkan diri dan orang-orang yang kita injili untuk kemungkinan penolakan dan perpecahan, dan menguatkan mereka dengan janji bahwa kesetiaan kepada Kristus akan selalu dihargai.
D. Fokus pada Loyalitas Vertikal di atas Horisontal
Ayat-ayat tentang perpecahan keluarga secara radikal mengarahkan fokus kita pada loyalitas vertikal: kasih kita kepada Allah di atas segalanya. Meskipun kita harus mengasihi keluarga kita dengan sepenuh hati, kasih kita kepada Kristus haruslah yang paling tinggi. Jika ada konflik antara tuntutan Kristus dan tuntutan keluarga atau budaya, Kristus harus selalu didahulukan.
Ini adalah pengingat yang kuat bagi gereja modern, yang seringkali bergumul dengan godaan untuk menempatkan hubungan sosial atau keluarga di atas ketaatan kepada Firman Tuhan. Loyalitas ini bukan berarti meninggalkan kasih, tetapi mengasihi dengan cara yang memuliakan Allah pertama dan terutama.
Secara keseluruhan, Lukas 12:49-53 adalah perikop yang penuh kuasa, menantang, dan mencerahkan. Ini memanggil kita untuk melihat Yesus bukan hanya sebagai pembawa damai, tetapi juga sebagai pemurni dan pemisah, yang misi-Nya menuntut komitmen mutlak. Ini mempersiapkan kita untuk realitas kekristenan yang tidak selalu nyaman, tetapi selalu berharga dan transformatif. Semoga "api" Kristus menyala di hati kita dan di seluruh bumi, membawa damai sejati melalui kebenaran yang radikal.
Marilah kita merenungkan pertanyaan Yesus: "apakah yang Kukehendaki, kalau api itu sudah menyala?" Dengan kerendahan hati dan keberanian, mari kita jawab bahwa kita ingin api itu menyala dalam diri kita, melalui kita, dan untuk kemuliaan nama-Nya di seluruh bumi, meskipun itu berarti kita harus melalui baptisan penderitaan dan perpecahan. Karena hanya melalui jalan yang ditunjukkan Kristus inilah, damai sejati dan kehidupan kekal dapat ditemukan.
Amin.