Setelah kebangkitan Kristus, dunia para murid-Nya tidak pernah sama lagi. Namun, bahkan di tengah sukacita dan kebingungan kebangkitan, ada pertanyaan-pertanyaan yang menggantung, khususnya bagi Simon Petrus. Dalam Yohanes pasal 21, kita disuguhkan sebuah kisah yang penuh makna, sebuah pertemuan pribadi Yesus yang membangkitkan, memulihkan, dan memperbarui panggilan bagi Petrus dan para murid lainnya. Kisah ini bukan sekadar narasi penutup Injil Yohanes, melainkan sebuah epilog yang mendalam tentang kasih Tuhan yang tak terbatas, pengampunan-Nya yang radikal, dan pembaruan misi bagi setiap orang percaya.
Sebelum kita menyelami detail perikop ini, penting untuk memahami konteksnya. Injil Yohanes secara umum berfokus pada keilahian Yesus dan hubungan-Nya dengan Bapa. Pasal 20 berakhir dengan kebangkitan Yesus dan penampakan-Nya kepada Maria Magdalena, para murid, dan Thomas. Yohanes menyatakan tujuan Injilnya: "tetapi semua yang tertulis ini adalah supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya" (Yohanes 20:31). Jika demikian, mengapa pasal 21 ditambahkan? Banyak sarjana berpendapat bahwa pasal ini berfungsi sebagai epilog yang penting, khususnya untuk menangani pertanyaan seputar pelayanan Petrus dan nasib Yohanes sendiri.
Simon Petrus adalah tokoh sentral dalam Injil. Ia adalah salah satu murid pertama yang dipanggil, yang berjalan di atas air, yang menyatakan Yesus sebagai Mesias, tetapi juga yang menyangkal-Nya tiga kali di halaman imam besar. Penyangkalan ini adalah titik nadir dalam hidup Petrus, sebuah kegagalan yang menyakitkan yang pasti menghantui hatinya. Meskipun ia telah melihat Yesus yang bangkit dan mungkin telah dimaafkan secara umum bersama para murid lain, beban rasa bersalah dan pertanyaan tentang panggilannya pasti masih membayanginya. Yohanes 21 akan secara khusus mengatasi hal ini.
Peristiwa ini terjadi di tepi Laut Tiberias, yang juga dikenal sebagai Danau Galilea atau Danau Genesaret. Ini bukan lokasi sembarangan. Ini adalah tempat di mana Yesus pertama kali memanggil Petrus, Andreas, Yakobus, dan Yohanes untuk menjadi "penjala manusia" (Matius 4:18-22; Markus 1:16-20). Kembali ke danau ini, ke profesi lama mereka sebagai nelayan, membawa makna yang sangat simbolis. Apakah mereka kembali ke "kehidupan lama" mereka karena merasa gagal dalam "kehidupan baru" sebagai murid Yesus? Atau apakah ini adalah waktu untuk refleksi dan penantian?
21:1 Kemudian Yesus menampakkan diri lagi kepada murid-murid-Nya di tepi Danau Tiberias dan Ia menampakkan diri sebagai berikut.
21:2 Di situ berkumpul Simon Petrus, Tomas yang disebut Didimus, Natanael dari Kana di Galilea, anak-anak Zebedeus dan dua orang murid-Nya yang lain.
21:3 Kata Simon Petrus kepada mereka: "Aku pergi menjala ikan." Kata mereka kepadanya: "Kami pergi juga dengan engkau." Maka pergilah mereka naik perahu, lalu menebarkan jala. Tetapi malam itu mereka tidak menangkap apa-apa.
Ayat pertama dengan jelas menyatakan bahwa ini adalah penampakan Yesus yang lain setelah kebangkitan. Ini menunjukkan kontinuitas pelayanan dan kehadiran Yesus di antara murid-murid-Nya. Nama-nama yang disebutkan (Simon Petrus, Tomas, Natanael, anak-anak Zebedeus yaitu Yakobus dan Yohanes, ditambah dua murid lainnya) adalah lingkaran inti yang penting. Kehadiran Tomas sangat menarik, mengingat keraguannya di pasal sebelumnya. Natanael dari Kana mewakili Galilea yang lebih luas, dan anak-anak Zebedeus adalah saksi kunci kehidupan Yesus.
Namun, puncak dari bagian ini adalah pernyataan Petrus: Aku pergi menjala ikan.
Pernyataan ini bisa diinterpretasikan dalam beberapa cara. Apakah ini ungkapan frustrasi dan kembalinya ke profesi yang familiar setelah kegagalan pahit penyangkalannya? Atau apakah ini hanya cara untuk mengisi waktu sembari menunggu instruksi lebih lanjut dari Tuhan yang bangkit? Mengingat kegagalan Petrus, ada kemungkinan besar bahwa ia merasa tidak layak untuk peran "penjala manusia" yang pernah Yesus berikan kepadanya. Ada sebuah kekosongan, sebuah keraguan tentang masa depannya sebagai seorang murid.
Para murid lainnya menanggapi dengan solidaritas: Kami pergi juga dengan engkau.
Ini menunjukkan ikatan yang kuat di antara mereka dan mungkin juga menunjukkan kebingungan kolektif mereka tentang langkah selanjutnya. Mereka kembali ke hal yang mereka kuasai – menangkap ikan. Ironisnya, malam itu mereka tidak menangkap apa-apa.
Ini adalah sebuah kegagalan total, sebuah cerminan yang mungkin dari perasaan mereka sendiri. Segala upaya mereka dengan pengalaman dan keahlian mereka sendiri tidak membuahkan hasil. Ini menjadi latar belakang yang sempurna untuk intervensi ilahi.
21:4 Ketika hari mulai siang, Yesus berdiri di pantai; akan tetapi murid-murid itu tidak tahu, bahwa itu adalah Yesus.
21:5 Kata Yesus kepada mereka: "Hai anak-anak, adakah kamu mempunyai lauk-pauk?" Jawab mereka: "Tidak ada."
21:6 Maka kata Yesus kepada mereka: "Tebarkanlah jalamu di sebelah kanan perahu, maka akan kamu peroleh." Lalu mereka menebarkannya dan tidak dapat menariknya lagi karena banyaknya ikan.
21:7 Maka murid yang dikasihi Yesus itu berkata kepada Petrus: "Itu Tuhan!" Ketika Petrus mendengar, bahwa itu adalah Tuhan, maka ia mengenakan pakaiannya, sebab ia tidak berpakaian, lalu terjun ke dalam danau.
21:8 Murid-murid yang lain datang dengan perahu karena mereka tidak jauh dari darat, hanya kira-kira dua ratus hasta jaraknya dan mereka menghela jala yang penuh ikan itu.
Ketika fajar menyingsing, Yesus muncul di pantai, tetapi para murid tidak tahu, bahwa itu adalah Yesus.
Ini adalah tema yang berulang dalam penampakan pasca-kebangkitan, menunjukkan bahwa Yesus yang bangkit memiliki tubuh yang berbeda namun masih dapat dikenali, atau mungkin menunjukkan mata spiritual murid-murid yang masih tertutup. Pertanyaan Yesus, Hai anak-anak, adakah kamu mempunyai lauk-pauk?
terdengar seperti pertanyaan seorang asing yang ingin membeli tangkapan mereka. Jawaban singkat Tidak ada
menggarisbawahi kegagalan mereka sepanjang malam.
Kemudian datanglah instruksi yang akrab: Tebarkanlah jalamu di sebelah kanan perahu, maka akan kamu peroleh.
Instruksi ini sangat mirip dengan panggilan pertama Petrus di Lukas 5:1-11, di mana setelah semalaman tidak menangkap apa-apa, Yesus menyuruh mereka untuk menebarkan jala di tempat yang dalam, dan mereka mendapatkan tangkapan yang melimpah. Kali ini, mereka menurut. Hasilnya sama dramatisnya: mereka tidak dapat menariknya lagi karena banyaknya ikan.
Tangkapan yang melimpah ini berfungsi sebagai tanda yang jelas, tidak hanya kebaikan Yesus tetapi juga kemampuan-Nya untuk membalikkan kegagalan manusia.
Murid yang dikasihi Yesus (secara umum diyakini Yohanes) adalah yang pertama mengenali Tuhannya. Ini adalah ciri khas Yohanes, yang seringkali menjadi yang pertama memahami kebenaran rohani. Itu Tuhan!
serunya. Reaksi Petrus sungguh khas dirinya: impulsif, penuh gairah, dan tak kenal takut. Ia mengenakan pakaiannya (mungkin ia melucuti pakaiannya saat bekerja) dan terjun ke dalam danau
untuk bergegas menemui Yesus. Ini adalah gambaran seorang pria yang sangat merindukan Tuhannya dan tidak ingin membuang waktu sedetik pun.
Murid-murid lain, lebih pragmatis, tetap di perahu, menghela jala yang penuh ikan. Jarak kira-kira dua ratus hasta
(sekitar 90 meter) menunjukkan bahwa mereka tidak terlalu jauh dari darat, sehingga Petrus bisa berenang dengan cepat.
21:9 Ketika mereka tiba di darat, mereka melihat api arang dan di atasnya ada ikan dan roti.
21:10 Kata Yesus kepada mereka: "Bawalah beberapa ikan yang baru kamu tangkap itu."
21:11 Simon Petrus naik ke perahu lalu menarik jala itu ke darat. Jala itu penuh ikan-ikan besar: seratus lima puluh tiga ekor banyaknya. Sekalipun sebanyak itu, jala itu tidak koyak.
21:12 Kata Yesus kepada mereka: "Marilah dan sarapanlah." Tidak ada di antara murid-murid itu yang berani bertanya kepada-Nya: "Siapakah Engkau?" Sebab mereka tahu, bahwa Ia adalah Tuhan.
21:13 Yesus maju ke depan, mengambil roti dan memberikannya kepada mereka, demikian juga ikan itu.
21:14 Itulah ketiga kalinya Yesus menampakkan diri kepada murid-murid-Nya sesudah Ia bangkit dari antara orang mati.
Saat para murid tiba di darat, sebuah pemandangan yang mengharukan menyambut mereka: api arang dan di atasnya ada ikan dan roti.
Yesus telah mempersiapkan sarapan bagi mereka. Ini menunjukkan kepedulian-Nya yang mendalam dan perhatian-Nya terhadap kebutuhan fisik mereka. Dia bukan hanya Guru yang rohani, tetapi juga pribadi yang peduli. Perhatikan penggunaan api arang
— ini adalah detail penting yang akan kita bahas lebih lanjut berkaitan dengan Petrus.
Yesus kemudian meminta mereka untuk membawa beberapa ikan yang baru kamu tangkap itu.
Ini adalah tindakan simbolis. Yesus tidak "membutuhkan" ikan mereka; Dia bisa menyediakan semuanya sendiri. Namun, Dia melibatkan mereka dalam penyediaan. Dia mengambil hasil kerja keras mereka (yang dimungkinkan oleh mukjizat-Nya) dan menggabungkannya dengan persediaan-Nya. Ini mengajarkan bahwa dalam pelayanan, kita membawa apa yang kita miliki, dan Tuhan akan memberkatinya serta menggunakannya bersama dengan apa yang telah Dia sediakan.
Petrus, dengan kekuatannya, menarik jala itu ke darat.
Jumlah ikan yang spesifik disebutkan: seratus lima puluh tiga ekor banyaknya.
Angka ini telah menjadi subjek banyak spekulasi, dari jumlah spesies ikan yang diketahui saat itu hingga makna simbolis kesempurnaan. Terlepas dari penafsiran spesifik, yang jelas adalah bahwa ini adalah tangkapan yang sangat besar dan spesifik, menunjukkan keajaiban yang akurat. Fakta bahwa jala itu tidak koyak
menekankan mukjizat dan berkat ilahi yang melampaui kemampuan manusiawi mereka.
Undangan Yesus, Marilah dan sarapanlah,
adalah undangan yang penuh keintiman dan pemulihan. Meskipun mereka tidak bertanya, Siapakah Engkau?
karena mereka tahu, bahwa Ia adalah Tuhan,
mungkin ada rasa kagum, rasa hormat yang mendalam, dan bahkan sedikit ketidaknyamanan karena keagungan-Nya. Yesus melayani mereka, mengambil roti dan memberikannya kepada mereka, demikian juga ikan itu.
Ini adalah sebuah tindakan kerendahan hati yang mendalam dari Tuhan yang bangkit, yang melayani para murid-Nya, mengingatkan kita pada Perjamuan Terakhir dan sifat pelayanannya.
Ayat 14 adalah penutup bagian ini, secara eksplisit menyatakan bahwa Itulah ketiga kalinya Yesus menampakkan diri kepada murid-murid-Nya sesudah Ia bangkit dari antara orang mati.
Penampakan-penampakan ini, yang dicatat di Yohanes 20 dan 21, memberikan bukti yang tak terbantahkan tentang kebangkitan Yesus dan secara bertahap membangun kembali iman dan panggilan para murid.
21:15 Sesudah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?" Jawab Petrus kepada-Nya: "Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau." Kata Yesus kepadanya: "Gembalakanlah domba-domba-Ku."
21:16 Kata Yesus pula untuk kedua kalinya: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?" Jawab Petrus kepada-Nya: "Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau." Kata Yesus kepadanya: "Gembalakanlah domba-domba-Ku."
21:17 Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?" Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: "Apakah engkau mengasihi Aku?" Dan ia berkata kepada-Nya: "Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau." Kata Yesus kepadanya: "Gembalakanlah domba-domba-Ku."
Ini adalah inti dari seluruh perikop, sebuah dialog yang mendalam dan transformatif antara Yesus dan Petrus. Perhatikan bahwa Yesus memanggil Petrus dengan nama asalnya, Simon, anak Yohanes,
bukan Petrus
(yang berarti 'batu'), nama yang Yesus berikan kepadanya. Ini mungkin mengacu pada Petrus sebagai individu, memanggilnya kembali ke dasar identitasnya sebelum pemberian nama yang lebih besar itu, atau mungkin mengingatkannya pada kerentanan dan kegagalannya.
Bagian ini sangat diperkaya oleh pemahaman kata-kata Yunani yang digunakan untuk "kasih":
Simon, anak Yohanes, apakah engkau agapas Aku lebih dari pada mereka ini?(Agapao - kasih ilahi, tanpa syarat, total, pengorbanan diri). Yesus menanyakan tingkat kasih tertinggi, mungkin mengingatkan Petrus pada klaimnya sebelum penyangkalan: "Sekalipun mereka semua tersandung karena Engkau, aku sekali-kali tidak" (Matius 26:33). Petrus menjawab,
Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku philo Engkau.(Phileo - kasih persahabatan, kasih sayang, kasih yang bersifat manusiawi). Petrus tidak mengklaim kasih agape yang lebih tinggi, mungkin karena rendah hati atau karena ia sadar akan kegagalannya. Ia menyatakan kasih persahabatannya. Tanggapan Yesus:
Gembalakanlah domba-domba-Ku.(Boske - memberi makan, memelihara).
Simon, anak Yohanes, apakah engkau agapas Aku?Kali ini, Yesus menghilangkan perbandingan "lebih dari pada mereka ini," fokus pada hubungan Petrus sendiri dengan-Nya. Petrus lagi-lagi menjawab,
Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku philo Engkau.Dia tetap tidak berani mengklaim kasih agape, tetap pada phileo. Tanggapan Yesus:
Gembalakanlah domba-domba-Ku.(Poimaine - menggembalakan, memimpin, merawat seluruh kawanan). Perintah ini lebih kuat dari yang pertama, mencakup pengawasan dan kepemimpinan.
Simon, anak Yohanes, apakah engkau phileis Aku?(apakah engkau mengasihi Aku dengan kasih persahabatan?). Pertanyaan ketiga ini, yang sesuai dengan kata yang digunakan Petrus,
sedih hati Petruskarena itu mengingatkan tiga kali penyangkalannya. Ini adalah momen yang sangat intim dan pedih. Petrus menyadari bahwa Yesus menembus sampai ke kedalaman hatinya. Dengan kesedihan dan kerendahan hati yang tulus, ia berseru,
Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku philo Engkau.Ini bukan lagi klaim keberanian, melainkan pernyataan kerentanan dan ketergantungan pada pengetahuan ilahi Yesus. Yesus tahu hati Petrus, termasuk kasih yang tulus namun tidak sempurna. Tanggapan Yesus:
Gembalakanlah domba-domba-Ku.(Boske - kembali ke memberi makan).
Melalui tiga kali pertanyaan dan tanggapan ini, Yesus tidak hanya memulihkan Petrus dari penyangkalannya tetapi juga menegaskan kembali panggilannya. Setiap pertanyaan "Apakah engkau mengasihi Aku?" diikuti oleh perintah "Gembalakanlah domba-domba-Ku." Ini adalah pemulihan total. Yesus menghubungkan kasih (kasih yang tulus kepada-Nya) dengan pelayanan (merawat umat-Nya). Ada sebuah ironi dan keindahan yang mendalam di sini: Petrus menyangkal Yesus di sekitar api arang
(Yohanes 18:18), dan sekarang Yesus memulihkannya di sekitar api arang
(Yohanes 21:9). Ini adalah pembalikan sempurna dari kegagalannya. Petrus tidak kehilangan panggilannya; ia hanya perlu diingatkan tentang dasar dari panggilannya: kasihnya kepada Kristus.
21:18 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki."
21:19 Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah. Sesudah mengatakan demikian Ia berkata kepada Petrus: "Ikutlah Aku."
Setelah pemulihan pribadi dan penegasan kembali panggilan, Yesus beralih ke masa depan Petrus yang lebih luas, termasuk kesudahannya. Yesus menubuatkan kemartiran Petrus, menggunakan bahasa simbolis: jika engkau sudah menjadi tua engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.
Yohanes sendiri menjelaskan makna nubuat ini di ayat 19: Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah.
Tradisi gereja awal menguatkan bahwa Petrus memang mati sebagai martir, disalibkan terbalik, yang dianggap sebagai bentuk "mengulurkan tangan" dan "dibawa ke tempat yang tidak dikehendaki."
Ini adalah pengingat yang kuat bahwa mengikuti Yesus tidak selalu berarti kehidupan yang mudah atau nyaman. Ada harga yang harus dibayar, termasuk pengorbanan tertinggi. Namun, kematian Petrus akan memuliakan Allah.
Bahkan dalam kemartiran, ada tujuan ilahi dan kemuliaan bagi Tuhan. Panggilan untuk menggembalakan domba-domba Allah datang dengan kesadaran akan pengorbanan yang mungkin terjadi.
Akhirnya, Yesus menutup dialog yang mendalam ini dengan perintah yang pertama kali Dia berikan kepada Petrus di Danau Galilea: Ikutlah Aku.
Ini adalah perintah yang mengulang panggilan awal dan menyatukan kembali Petrus dengan misi Kristus. Setelah semua kegagalannya, setelah semua rasa sakit dan rasa bersalah, panggilan itu masih ada, diperbarui, dan diperdalam. Itu adalah panggilan untuk mengikuti, tidak hanya dengan hati yang penuh kasih, tetapi juga dengan kesediaan untuk menderita.
Salah satu tema paling menonjol dalam perikop ini adalah pemulihan Petrus setelah penyangkalannya yang menyakitkan. Yesus tidak menghukum Petrus atau mencabut panggilannya. Sebaliknya, Dia dengan lembut tetapi tegas menghadapi Petrus dengan pertanyaan tentang kasihnya. Ini mengajarkan kita tentang karakter Allah yang penuh kasih karunia, yang tidak membuang kita ketika kita jatuh, tetapi mencari kita, memulihkan kita, dan memperbarui tujuan-Nya bagi kita. Tidak peduli seberapa besar kegagalan kita, kasih dan pengampunan Tuhan selalu tersedia untuk membawa kita kembali ke jalur yang benar.
Dialog "Apakah engkau mengasihi Aku?" dan perintah "Gembalakanlah domba-domba-Ku" secara eksplisit menghubungkan kasih kepada Kristus dengan pelayanan kepada umat-Nya. Yesus tidak menanyakan tentang keterampilan, pengetahuan teologis, atau pengalaman pelayanan Petrus. Dia menanyakan tentang kasih. Ini menunjukkan bahwa fondasi yang paling penting untuk pelayanan Kristen yang sejati adalah kasih yang tulus kepada Tuhan. Tanpa kasih ini, pelayanan akan menjadi tugas yang kering dan tanpa jiwa. Kasih ini mendorong kita untuk melayani, berkorban, dan memelihara orang lain.
Panggilan Petrus sebagai "penjala manusia" ditegaskan kembali dan diperluas menjadi "gembala domba-domba-Ku." Ini adalah peran yang lebih besar, membutuhkan kepedulian, pengorbanan, dan kepemimpinan yang lebih dalam. Panggilan ini juga datang dengan antisipasi penderitaan dan kemartiran, menunjukkan bahwa mengikuti Kristus mungkin memerlukan harga yang tinggi. Panggilan Tuhan tidak dicabut karena kegagalan kita, tetapi seringkali diperdalam dan dikuatkan melalui pengalaman-pengalaman tersebut, membentuk kita menjadi hamba yang lebih rendah hati dan bergantung.
Kisah ini juga menyoroti kedaulatan Yesus atas segala sesuatu, termasuk tangkapan ikan yang melimpah, dan perhatian-Nya yang mendalam terhadap kebutuhan para murid. Dia tahu kegagalan mereka sepanjang malam, dan Dia menyediakan sarapan bagi mereka bahkan sebelum mereka meminta. Ini adalah gambaran dari Tuhan yang peduli, yang tidak hanya mengarahkan tujuan rohani tetapi juga memperhatikan detail kehidupan kita sehari-hari. Dia adalah Tuhan yang mempersiapkan jalan dan menyediakan segala yang kita butuhkan.
Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan di sini, perintah untuk "menggembalakan domba-domba-Ku" memiliki implikasi yang lebih luas untuk misi global gereja. Petrus akan menjadi salah satu pilar gereja mula-mula, pengkhotbah Pentakosta, dan seorang pemimpin penting dalam menyebarkan Injil. Pemulihan dan penugasan kembali ini adalah persiapan penting bagi perannya di masa depan dalam pembangunan Kerajaan Allah.
Siapa di antara kita yang tidak pernah mengalami kegagalan? Seperti Petrus, kita mungkin telah menyangkal Kristus dalam berbagai bentuk: melalui kompromi, ketakutan, atau prioritas yang salah. Kisah Petrus memberi kita harapan yang luar biasa. Yesus tidak membuang Petrus karena kesalahannya. Sebaliknya, Dia secara pribadi mencari Petrus untuk memulihkannya. Ini adalah pengingat bahwa kasih karunia Allah selalu lebih besar daripada dosa kita. Ketika kita jatuh, kita harus datang kepada Kristus, mengakui kesalahan kita, dan menerima pengampunan-Nya yang memulihkan.
Pelajarannya adalah bahwa kegagalan bukanlah akhir dari jalan bagi seorang percaya. Seringkali, kegagalan adalah guru yang paling efektif. Melalui kegagalan, kita belajar kerendahan hati, ketergantungan pada Tuhan, dan empati terhadap orang lain yang juga bergumul. Pengalaman pahit Petrus akan penyangkalan mungkin telah membuatnya menjadi gembala yang lebih lembut dan pengertian bagi domba-domba Kristus, yang juga rentan dan sering tersandung.
Dalam dunia yang seringkali menekankan hasil, efisiensi, dan strategi, pertanyaan Yesus kepada Petrus mengalihkan fokus kembali ke dasar yang paling fundamental: kasih. Apakah kita melayani karena kewajiban, ketakutan, atau ambisi pribadi? Atau apakah kita melayani karena kita sungguh-sungguh mengasihi Yesus dan, sebagai hasilnya, mengasihi mereka yang Dia kasihi? Kisah ini menantang kita untuk memeriksa motivasi di balik setiap tindakan pelayanan kita. Kasih adalah sumber energi yang tak terbatas, yang memungkinkan kita untuk bertahan di tengah kesulitan dan untuk melayani dengan sukacita dan ketulusan.
Pelayanan yang didasari oleh kasih agape akan menjadi pelayanan yang tak kenal lelah, yang mencari kebaikan orang lain tanpa pamrih. Kasih inilah yang memungkinkan kita untuk menggembalakan "domba-domba" Tuhan, apakah itu dalam keluarga kita, komunitas kita, gereja kita, atau dunia pada umumnya, dengan kesabaran, pengertian, dan pengorbanan diri.
Banyak dari kita bergumul dengan pertanyaan tentang tujuan hidup dan panggilan kita. Kisah Petrus menunjukkan bahwa panggilan mungkin tidak selalu jelas, dan mungkin ada periode kebingungan atau kemunduran. Petrus kembali menjala ikan, seolah-olah menyerah pada panggilan sebelumnya. Namun, Yesus datang untuk menegaskan kembali dan bahkan memperluas panggilannya.
Panggilan kita mungkin bukan untuk menjadi seorang rasul atau martir, tetapi setiap orang percaya dipanggil untuk menggembalakan domba-domba
Kristus dalam kapasitasnya masing-masing. Ini bisa berarti merawat keluarga kita, menjadi mentor bagi orang lain, melayani di gereja, atau melakukan pekerjaan kita dengan integritas dan kasih sebagai kesaksian bagi Kristus. Panggilan ini seringkali melibatkan pengorbanan dan penyerahan diri, dan mungkin menuntut kita untuk keluar dari zona nyaman kita. Pertanyaan "Ikutlah Aku" tetap bergema bagi setiap kita, menantang kita untuk secara total menyerahkan diri kepada kehendak dan tujuan Tuhan.
Penting untuk diingat bahwa panggilan Tuhan bukanlah beban, melainkan sebuah kehormatan. Ini adalah kesempatan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan ilahi, menjadi alat di tangan Sang Pencipta. Dan, seperti yang ditunjukkan oleh kisah Petrus, panggilan ini diperbaharui oleh kasih karunia Allah, bahkan ketika kita merasa tidak layak atau gagal.
Yohanes 21 juga mengajarkan kita tentang bagaimana Tuhan beroperasi dalam kehidupan kita sehari-hari. Para murid bekerja keras sepanjang malam tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Baru setelah instruksi Yesus, mereka mengalami tangkapan yang melimpah. Ini adalah pelajaran tentang ketergantungan. Seringkali, kita berusaha keras dengan kekuatan dan kebijaksanaan kita sendiri, hanya untuk menemukan diri kita lelah dan tanpa hasil. Namun, ketika kita mendengarkan suara Tuhan dan menuruti arahan-Nya, Dia dapat melakukan hal-hal yang melampaui pemahaman dan kemampuan kita.
Ini juga menunjukkan bahwa Tuhan peduli pada hal-hal kecil. Dia menyediakan sarapan. Dia tidak hanya tertarik pada jiwa kita atau misi besar, tetapi juga pada perut kita, kesehatan kita, dan kesejahteraan kita secara keseluruhan. Dia adalah Tuhan yang holistik, yang peduli pada setiap aspek keberadaan kita.
Meskipun kisah ini sangat fokus pada Petrus, penting untuk dicatat bahwa murid-murid lain ada di sana bersamanya. Mereka pergi menjala ikan bersama, mereka ikut menarik jala bersama, dan mereka sarapan bersama. Ini menunjukkan pentingnya komunitas dalam perjalanan iman. Ketika seorang pemimpin jatuh atau bergumul, kehadiran dan dukungan sesama murid sangatlah krusial. Dalam Kristus, kita adalah bagian dari satu tubuh, saling menopang dan memulihkan satu sama lain.
Solidaritas para murid dalam kegagalan mereka untuk menangkap ikan, dan kemudian dalam keberhasilan mukjizat, mengingatkan kita bahwa perjalanan iman seringkali adalah perjalanan komunal. Kita tidak berjalan sendirian. Dukungan, dorongan, dan bahkan teguran dari saudara seiman adalah bagian tak terpisahkan dari pertumbuhan rohani.
Yohanes 21:1-19 bukan hanya kisah tentang pemulihan Petrus; ini adalah cerminan universal dari kasih Allah yang tak pernah menyerah pada anak-anak-Nya. Ini adalah janji bahwa di tengah kegagalan kita yang paling dalam, pengampunan Tuhan jauh lebih besar. Ini adalah pengingat bahwa panggilannya tidak didasarkan pada kesempurnaan kita, melainkan pada kasih kita kepada-Nya.
Pada akhirnya, pesan terakhir yang disampaikan Yesus kepada Petrus adalah "Ikutlah Aku." Ini adalah inti dari iman Kristen. Mengikuti Yesus berarti menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak-Nya, mengasihi Dia di atas segalanya, dan melayani domba-domba-Nya dengan pengorbanan diri. Ini adalah perjalanan seumur hidup yang mungkin melibatkan kesulitan, bahkan kemartiran, tetapi yang pada akhirnya akan memuliakan Allah.
Jadi, saat kita merenungkan Yohanes 21, marilah kita bertanya pada diri sendiri: Apakah aku mengasihi Dia? Apakah aku bersedia menggembalakan domba-domba-Nya? Dan, yang terpenting, apakah aku bersedia untuk terus mengikuti Dia, di mana pun jalan itu menuntunku?
Kasih karunia-Nya yang tak terbatas, pengampunan-Nya yang radikal, dan panggilan-Nya yang diperbarui adalah hadiah yang menunggu setiap hati yang mau membuka diri kepada Tuhan yang bangkit di tepi danau kehidupan kita.