Pengantar: Pagi Hari di Tepi Danau Tiberias
Kisah di Yohanes 21:15-19 adalah salah satu narasi paling menyentuh dan mendalam dalam seluruh Perjanjian Baru. Ini adalah sebuah adegan yang penuh dengan emosi, penebusan, dan penetapan tujuan ilahi. Setelah kebangkitan-Nya, Yesus menampakkan diri lagi kepada murid-murid-Nya, kali ini di tepi Danau Tiberias, atau dikenal juga sebagai Danau Galilea. Konteksnya penting: murid-murid baru saja mengalami malam yang melelahkan tanpa hasil dalam menjaring ikan. Frustrasi dan mungkin sedikit keputusasaan menyelimuti mereka. Kemudian Yesus muncul, awalnya tidak dikenal, memberikan petunjuk yang ajaib untuk panen ikan yang melimpah. Peristiwa ini sendiri sudah merupakan sebuah pengajaran tentang kedaulatan ilahi dan ketergantungan manusia. Namun, apa yang terjadi setelah sarapan di tepi danau itulah yang menjadi inti renungan kita, sebuah dialog pribadi antara Yesus yang bangkit dan Simon Petrus, yang sebelumnya telah menyangkal-Nya tiga kali.
Adegan ini bukan sekadar percakapan biasa; ini adalah momen pemulihan yang sarat makna, sebuah penetapan kembali panggilan ilahi, dan nubuat tentang masa depan seorang murid yang setia namun pernah jatuh. Yesus tidak menghardik Petrus atas kegagalannya; sebaliknya, Ia menariknya ke dalam dialog yang intim, menanyainya tentang kasih, dan kemudian memberinya tugas penggembalaan. Peristiwa ini merangkum esensi Injil: anugerah di tengah kegagalan, pemulihan dari kejatuhan, dan transformasi kasih menjadi pelayanan. Bagi kita yang hidup di masa kini, kisah ini menawarkan cermin refleksi yang kuat tentang kondisi hati kita, komitmen kita kepada Kristus, dan bagaimana kita menggenapi panggilan-Nya dalam kehidupan sehari-hari.
Mari kita selami setiap frasa dari perikop yang penuh kuasa ini, menganalisis kedalaman teologis dan relevansinya bagi kehidupan spiritual kita. Kita akan melihat bagaimana anugerah melampaui dosa, bagaimana kasih adalah pondasi pelayanan yang sejati, dan bagaimana panggilan untuk mengikut Kristus mencakup seluruh aspek keberadaan kita, bahkan hingga pengorbanan tertinggi.
I. Pertanyaan Kasih yang Mengguncang (Yohanes 21:15)
Setelah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?" Jawab Petrus kepada-Nya: "Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau." Kata Yesus kepadanya: "Gembalakanlah domba-domba-Ku."
A. "Simon, anak Yohanes..." – Sebuah Panggilan Kembali ke Identitas Asli
Yesus memulai percakapan ini dengan memanggil Petrus dengan nama lamanya, "Simon, anak Yohanes," bukan "Petrus" (batu karang), nama yang sebelumnya diberikan oleh Yesus sendiri (Matius 16:18). Panggilan ini sarat makna. Ini bisa diinterpretasikan sebagai cara Yesus mengingatkan Petrus akan identitasnya sebelum ia menjadi "Petrus," sebelum ia dikenal sebagai salah satu murid terkemuka, sebelum ia bersumpah setia dan kemudian menyangkal Gurunya. Ini adalah panggilan kembali ke akar, ke manusia aslinya, Simon si nelayan. Dalam momen kehancuran dan kejatuhan, seringkali kita diingatkan akan siapa kita sebelum kita meraih posisi atau peran. Ini bukan untuk merendahkan, melainkan untuk membangun kembali di atas fondasi yang jujur dan rendah hati. Yesus tidak memanggilnya dengan nama "Petrus" yang diberikan atas dasar pengakuan imannya yang agung, melainkan "Simon," nama yang mungkin terasa lebih akrab di telinga Petrus saat ia sedang merenungkan kegagalannya.
Panggilan ini juga menunjukkan kelembutan dan kesabaran ilahi. Yesus tidak segera mengungkit penyangkalan Petrus. Dia memulai dari titik awal yang sama sekali baru, seolah-olah ingin mengatakan, "Simon, mari kita mulai lagi dari sini, dari dirimu yang sesungguhnya." Ini adalah undangan untuk refleksi diri yang jujur, sebuah pengakuan bahwa meskipun kita mungkin telah gagal dalam peran kita, kasih ilahi tetap mencari kita, memanggil kita kembali kepada identitas kita yang paling mendasar sebagai ciptaan-Nya. Panggilan "Simon, anak Yohanes" juga menegaskan kembali kemanusiaan Petrus yang rentan, mengingatkannya bahwa ia adalah seorang pria biasa dengan kelemahan dan keterbatasan, sama seperti kita semua.
B. "Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?" – Kedalaman Kata "Mengasihi"
Pertanyaan pertama Yesus ini adalah paku utama dalam narasi ini. Dalam bahasa Yunani aslinya, ada dua kata berbeda yang digunakan untuk "kasih" dalam percakapan ini: agape dan phileo. Memahami nuansa keduanya sangat krusial.
1. Kata "Agape" (ἀγαπάω) dari Yesus
Ketika Yesus pertama kali bertanya, "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi (ἀγαπᾷς - agapas) Aku lebih dari pada mereka ini?", Ia menggunakan kata agape. Kasih agape adalah kasih ilahi, kasih yang tanpa syarat, rela berkorban, tidak mementingkan diri sendiri, dan bersumber dari Allah. Ini adalah jenis kasih yang Allah miliki untuk manusia, dan jenis kasih yang Dia harapkan dimiliki manusia untuk Dia dan sesamanya. Ini adalah kasih yang merupakan pilihan, komitmen, dan tindakan, terlepas dari perasaan. Yesus menanyakan apakah Petrus memiliki kasih yang paling tinggi, paling murni, dan paling mengikat kepada-Nya, sebuah kasih yang melampaui segala bentuk kasih lainnya.
Pertanyaan "lebih dari pada mereka ini" juga memiliki beberapa interpretasi. Apakah "mereka ini" mengacu pada:
- Murid-murid lainnya? Apakah Petrus mengklaim dirinya lebih setia atau lebih mengasihi Yesus daripada Yudas, Yakobus, atau Yohanes? Ini akan menyinggung kesombongan Petrus yang sebelumnya pernah berkata, "Sekalipun mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak" (Matius 26:33). Jika ini maksudnya, Yesus sedang menantang keangkuhan diri Petrus.
- Alat-alat nelayan atau profesi lama Petrus? Apakah Petrus mengasihi Yesus lebih dari pada kapal, jaring, atau kehidupan lamanya sebagai nelayan? Petrus dan yang lainnya baru saja kembali ke pekerjaan menjaring ikan, mungkin sebagai bentuk keputusasaan setelah kepergian Yesus. Pertanyaan ini bisa jadi adalah tantangan untuk menempatkan Yesus di atas ambisi duniawi dan kenyamanan profesi lama.
- Domba-domba yang akan digembalakan? Apakah kasih Petrus kepada Yesus lebih besar dari kasihnya kepada "domba-domba" yang akan dipercayakan kepadanya? Ini berarti kasih kepada Yesus harus menjadi motivasi utama dan sumber dari segala pelayanan.
2. Jawaban Petrus dengan "Phileo" (φιλῶ)
Petrus menjawab, "Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi (φιλῶ - philo) Engkau." Petrus tidak menggunakan kata agape. Ia memilih kata phileo. Kasih phileo adalah kasih persahabatan, kasih sayang yang hangat, afeksi, kasih persaudaraan. Ini adalah kasih yang tulus, namun tidak memiliki kedalaman atau sifat tanpa syarat seperti agape. Petrus, yang mungkin masih merasa rentan dan malu atas penyangkalannya, tidak berani mengklaim kasih agape yang sempurna kepada Yesus. Ia tahu bahwa ia telah gagal untuk menunjukkan kasih agape dalam momen krisis. Oleh karena itu, ia dengan jujur mengakui kasih phileo yang ia rasakan: "Aku memang mencintai-Mu sebagai seorang sahabat, Tuhan, aku memiliki kasih sayang yang tulus untuk-Mu."
Jawaban Petrus ini sangat manusiawi dan jujur. Ia tidak melebih-lebihkan apa yang ia rasakan atau apa yang ia mampu tunjukkan dalam tindakan. Ini adalah pengakuan akan keterbatasannya, namun juga sebuah pengakuan akan kebenaran hatinya. Ia memang memiliki kasih sayang yang dalam kepada Yesus, meskipun kasih itu belum mencapai standar ilahi dari agape yang rela berkorban dan tanpa syarat, seperti yang telah ia buktikan melalui penyangkalannya. Ini adalah langkah awal yang penting dalam pemulihannya: kejujuran dan kerendahan hati untuk mengakui kondisi hatinya yang sebenarnya di hadapan Yesus.
C. Perintah: "Gembalakanlah domba-domba-Ku." (βοσκέ τά ἀρνία μου - boske ta arnia mou)
Terlepas dari perbedaan dalam jenis kasih yang diungkapkan, Yesus segera memberikan perintah kepada Petrus: "Gembalakanlah domba-domba-Ku." Kata yang digunakan di sini untuk "domba" adalah arnia, yang berarti "anak-anak domba" atau "domba-domba muda." Ini menyiratkan kerapuhan, kelemahan, dan kebutuhan akan perawatan ekstra. Yesus mempercayakan Petrus dengan tanggung jawab yang besar, bahkan sebelum Petrus dapat mengklaim kasih agape yang sempurna. Ini menunjukkan bahwa pelayanan tidak selalu menunggu kesempurnaan. Bahkan dengan kasih phileo yang jujur, seseorang dapat mulai melayani, asalkan kasih itu tulus dan diarahkan kepada Kristus. Ini adalah kasih karunia yang luar biasa: Yesus tidak menghukum kegagalan Petrus, melainkan mempercayainya dengan misi yang baru.
Perintah "gembalakanlah" (boske) berarti memberi makan, memelihara, dan menyediakan kebutuhan dasar. Ini bukan hanya tentang otoritas, melainkan tentang pengasuhan yang penuh kasih. Ini adalah tugas pastoral yang mendalam, sebuah panggilan untuk merawat mereka yang lemah, yang baru bertobat, yang membutuhkan bimbingan dan nutrisi rohani. Perintah ini menunjukkan bahwa kasih sejati kepada Kristus terwujud dalam tindakan pelayanan, khususnya dalam merawat umat-Nya. Kasih tidak hanya berupa perasaan, tetapi juga komitmen untuk melakukan kehendak Allah dalam melayani sesama. Ini adalah ujian nyata dari kasih Petrus, bukan hanya kata-kata tetapi tindakan nyata. Restorasi Petrus adalah restorasi ke dalam pelayanan, bukan hanya ke dalam persekutuan.
II. Pengulangan dan Penegasan (Yohanes 21:16)
Kata Yesus pula untuk kedua kalinya: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?" Jawab Petrus kepada-Nya: "Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau." Kata Yesus kepadanya: "Gembalakanlah domba-domba-Ku."
A. Pertanyaan Kedua: "Apakah engkau mengasihi Aku?" – Perubahan Kata Kasih Yesus
Untuk kedua kalinya, Yesus bertanya, "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?" Kali ini, dalam beberapa manuskrip Yunani, Yesus masih menggunakan kata agape (ἀγαπᾷς), sama seperti pertanyaan pertama. Ini menegaskan bahwa Yesus tidak menurunkan standar kasih-Nya. Dia tetap menanyakan apakah Petrus memiliki kasih ilahi, kasih yang tanpa syarat, kasih yang rela berkorban. Namun, Petrus sekali lagi menjawab dengan phileo (φιλῶ). Keengganan Petrus untuk mengklaim agape menunjukkan kerendahan hati yang tumbuh dan pengenalan diri yang lebih dalam. Ia tidak lagi berani sesumbar seperti sebelumnya, ia tahu keterbatasannya. Ini adalah pelajaran penting bagi kita: kesadaran akan kelemahan dan keterbatasan diri adalah langkah pertama menuju pertumbuhan rohani yang sejati. Mengakuinya di hadapan Allah membuka pintu bagi anugerah-Nya untuk bekerja dalam diri kita.
Jika ada interpretasi yang menyatakan bahwa pada pertanyaan kedua Yesus menggunakan phileo, maka ini menunjukkan bahwa Yesus 'turun' ke level Petrus, bertemu Petrus di titik di mana Petrus bisa jujur dengan diri sendiri dan dengan Yesus. Ini adalah tindakan empati ilahi, di mana Yesus, meskipun adalah Allah, memahami keterbatasan dan pergulatan manusia. Ini adalah momen yang sangat menghibur, menunjukkan bahwa Allah tidak menuntut apa yang tidak bisa kita berikan, tetapi Ia membangun kita dari tempat kita berada. Ia menerima kasih yang kita miliki, sekecil apapun itu, dan dari sana Ia akan memampukan kita untuk bertumbuh. Namun, sebagian besar manuskrip tetap menunjukkan Yesus menggunakan agape, menjaga konsistensi tuntutan ilahi-Nya.
Pengulangan pertanyaan ini juga berfungsi sebagai penekanan. Bukan hanya sekali, tapi dua kali, Yesus ingin Petrus memeriksa hatinya. Ini adalah proses introspeksi yang mendalam, bukan sekadar basa-basi. Ini menunjukkan bahwa kasih kepada Kristus adalah fondasi yang paling penting dalam hidup seorang murid dan pemimpin rohani. Tanpa kasih ini, semua pelayanan menjadi sia-sia dan motivasinya dangkal. Yesus tidak tertarik pada pelayanan yang didorong oleh kewajiban atau ambisi, melainkan pelayanan yang berakar pada kasih yang mendalam kepada-Nya.
B. Perintah Kedua: "Gembalakanlah domba-domba-Ku." (ποίμαινε τά πρόβατά μου - poimaine ta probata mou)
Untuk kedua kalinya, Yesus memberikan perintah pelayanan, "Gembalakanlah domba-domba-Ku." Namun, kali ini ada perubahan signifikan dalam kata Yunani yang digunakan. Kata untuk "gembalakanlah" adalah poimaine, yang tidak hanya berarti memberi makan (seperti boske), tetapi juga memimpin, melindungi, membimbing, dan memerintah sebagai gembala. Ini adalah tanggung jawab yang lebih luas dan lebih mendalam. Kata "domba" yang digunakan adalah probata, yang secara umum berarti "domba-domba" (bukan hanya anak-anak domba). Ini menunjukkan bahwa Petrus tidak hanya bertanggung jawab atas yang baru dan lemah, tetapi juga atas seluruh kawanan, termasuk domba-domba yang lebih dewasa, yang mungkin keras kepala atau membutuhkan bimbingan yang lebih tegas.
Perintah ini memperluas mandat Petrus. Dari sekadar memberi makan, ia sekarang dipanggil untuk menjadi seorang gembala sejati yang mengurus semua aspek kehidupan kawanan. Ini mencakup mengarahkan mereka ke padang rumput hijau dan air yang tenang, melindungi mereka dari bahaya, mencari yang hilang, dan bahkan menertibkan mereka jika perlu. Ini adalah gambaran lengkap dari peran kepemimpinan rohani, sebuah panggilan yang menuntut kebijaksanaan, keberanian, dan kesabaran. Pergeseran dari "anak-anak domba" ke "domba-domba" secara keseluruhan menunjukkan peningkatan kedalaman dan jangkauan tanggung jawab Petrus, sebuah indikasi bahwa ia akan menjadi pilar penting dalam membangun gereja mula-mula.
Pengulangan perintah ini juga menegaskan kembali panggilan Petrus, menghapus keraguan yang mungkin ia miliki tentang status dan perannya setelah penyangkalan. Yesus tidak memecatnya; sebaliknya, Ia menegaskan kembali panggilannya dengan tanggung jawab yang semakin besar. Ini adalah manifestasi nyata dari anugerah ilahi: anugerah tidak hanya mengampuni dosa, tetapi juga memulihkan dan memberdayakan untuk pelayanan yang lebih besar.
III. Pemulihan Penuh dan Pengakuan Total (Yohanes 21:17)
Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?" Maka sedihlah hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: "Apakah engkau mengasihi Aku?" Dan ia menjawab kepada-Nya: "Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau." Kata Yesus kepadanya: "Gembalakanlah domba-domba-Ku."
A. Pertanyaan Ketiga: "Apakah engkau mengasihi Aku?" – Kesedihan Petrus dan Kedalaman Pengakuan
Ketika Yesus mengajukan pertanyaan untuk ketiga kalinya, "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?", kali ini, dalam semua manuskrip Yunani, Yesus menggunakan kata phileo (φιλεῖς). Ia akhirnya "turun" ke level Petrus, bertemu Petrus di titik di mana Petrus bisa jujur dengan diri sendiri. Ini adalah momen yang sangat emosional bagi Petrus. "Maka sedihlah hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: 'Apakah engkau mengasihi Aku?'" Kesedihan Petrus bukanlah kesedihan karena dimarahi, melainkan kesedihan yang mendalam karena kesadaran akan kegagalannya sendiri. Pengulangan tiga kali ini mengingatkannya akan tiga kali penyangkalannya terhadap Yesus.
Kesedihan Petrus adalah tanda pertobatan yang tulus. Ini bukan lagi kesombongan atau percaya diri yang berlebihan, melainkan kerendahan hati yang hancur di hadapan kasih dan anugerah Gurunya. Ia menyadari sepenuhnya beratnya kegagalannya, dan ia menyadari bahwa Yesus tahu segalanya. Kesedihan ini adalah bagian penting dari proses pemulihan. Tanpa pengakuan yang jujur atas kelemahan dan dosa, pemulihan sejati tidak mungkin terjadi. Yesus tidak hanya ingin mendengar kata-kata; Ia ingin melihat hati yang hancur dan bertobat.
Petrus, dengan hati yang hancur namun tulus, akhirnya menjawab, "Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau." Ini adalah pengakuan total dan penyerahan diri yang utuh. "Engkau tahu segala sesuatu" adalah pernyataan yang sangat kuat, mengakui keilahian Yesus, kemahatahuan-Nya, dan fakta bahwa tidak ada yang tersembunyi dari-Nya. Petrus tidak mencoba menyembunyikan apa pun; ia menyerahkan seluruh keberadaannya kepada pengetahuan Yesus. Ia mengakui kasih phileo-nya sekali lagi, bukan sebagai bentuk perlawanan, tetapi sebagai pengakuan yang jujur dan rendah hati. Pada titik ini, phileo Petrus, meskipun masih kasih persahabatan, telah diuji dan dimurnikan oleh anugerah dan kebenaran. Ia mungkin tidak memiliki agape yang sempurna, tetapi ia memiliki kasih yang tulus dan jujur yang diakui oleh Kristus.
Pengakuan ini adalah puncak dari pemulihan Petrus. Ini adalah momen di mana ia sepenuhnya menerima anugerah dan mempercayakan dirinya pada kemahatahuan Yesus. Ini juga menunjukkan bagaimana Tuhan bekerja dengan kita: Ia tidak meminta kesempurnaan instan, tetapi hati yang mau mengakui kelemahan, bertobat, dan kemudian menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya.
B. Perintah Ketiga: "Gembalakanlah domba-domba-Ku." (βοσκέ τά πρόβατά μου - boske ta probata mou)
Untuk ketiga kalinya, Yesus memberikan perintah: "Gembalakanlah domba-domba-Ku." Kali ini, Yesus kembali menggunakan kata "memberi makan" (boske) dan "domba-domba" (probata). Ini adalah penekanan yang luar biasa pada aspek dasar dari penggembalaan: memberi makan. Setelah semua diskusi tentang kasih dan pemulihan, penekanan terakhir kembali pada tugas yang paling fundamental: menyediakan nutrisi rohani bagi umat Allah. Ini menggarisbawahi bahwa semua kepemimpinan dan pelayanan harus berakar pada pemeliharaan dan pengajaran Firman Tuhan.
Pengulangan tiga kali dari pertanyaan dan perintah ini bukan hanya sebuah ritus, melainkan sebuah proses yang disengaja oleh Yesus untuk sepenuhnya memulihkan Petrus dari kegagalan tiga kali penyangkalannya. Setiap pertanyaan membersihkan satu lapisan penyesalan, dan setiap perintah menegaskan kembali panggilannya. Ini adalah sebuah pengampunan yang sempurna, di mana dosa tidak hanya diampuni, tetapi konsekuensi psikologis dan spiritualnya juga disembuhkan. Petrus tidak hanya dimaafkan; ia dipulihkan ke dalam pelayanan dengan mandat yang lebih jelas dan lebih mendalam dari sebelumnya. Ini adalah demonstrasi nyata dari anugerah ilahi: Yesus tidak hanya membersihkan dosa, tetapi juga menyembuhkan luka yang ditinggalkannya, dan mempercayakan tanggung jawab yang lebih besar.
Perintah "Gembalakanlah domba-domba-Ku" yang diulang tiga kali ini adalah penegasan ilahi terhadap kepemimpinan Petrus. Ini bukan hanya sebuah harapan, tetapi sebuah mandat yang diberikan oleh Yesus sendiri. Petrus, yang sebelumnya adalah seorang nelayan, sekarang secara resmi ditahbiskan menjadi gembala jiwa-jiwa. Ini adalah perubahan peran yang mendasar, dari pencari ikan menjadi pencari manusia, dari pemelihara kehidupan fisik menjadi pemelihara kehidupan spiritual. Panggilan ini sangat berat, namun anugerah Kristus memampukan Petrus untuk menggenapinya, dan akhirnya ia menjadi salah satu pilar utama Gereja mula-mula.
IV. Nubuat Mengenai Kematian Petrus (Yohanes 21:18-19a)
"Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau serta membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki."
"Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah."
A. Kebebasan di Masa Muda, Pengorbanan di Hari Tua
Setelah memulihkan dan mempercayakan Petrus dengan tugas pastoral, Yesus kemudian melanjutkan dengan sebuah nubuat yang mengejutkan tentang masa depan Petrus, khususnya mengenai kematiannya. Ini adalah transisi dari kasih dan pelayanan menuju pengorbanan dan kemartiran. Yesus berkata, "Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau serta membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki."
Ayat ini kontras antara kebebasan dan kemandirian Petrus di masa mudanya ("mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki") dengan keadaan keterikatan dan keterpaksaan di hari tuanya ("orang lain akan mengikat engkau serta membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki"). "Mengikat pinggang" adalah metafora untuk mempersiapkan diri dan bertindak. Di masa mudanya, Petrus adalah seorang yang penuh inisiatif, bersemangat, dan seringkali bertindak impulsif. Ia bebas menentukan arah hidupnya sendiri. Namun, nubuat ini menyatakan bahwa di masa tuanya, kebebasan itu akan diambil darinya. Ia akan "mengulurkan tangan", yang secara tradisional dipahami sebagai tindakan saat seseorang akan disalibkan atau diikat untuk eksekusi. Orang lain akan "mengikatnya" dan membawanya "ke tempat yang tidak ia kehendaki," yang jelas merujuk pada pemenjaraan dan eksekusi.
Nubuat ini bukan hanya sebuah ramalan, tetapi juga sebuah konfirmasi bahwa jalan mengikut Yesus seringkali melibatkan penderitaan dan pengorbanan. Yesus tidak menawarkan kehidupan yang mudah; Dia menawarkan kehidupan yang bermakna, bahkan jika itu berarti kematian yang tidak diinginkan. Ini juga bisa diartikan sebagai puncak dari proses pemuridan Petrus. Dari seorang yang menyangkal Gurunya karena takut akan kematian, ia akan menjadi seorang martir yang setia, bahkan bersedia mengulurkan tangannya untuk diikat, menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah. Ini adalah transformasi total dari seorang murid yang takut menjadi seorang rasul yang berani, siap mati demi Injil.
Dalam sejarah gereja, tradisi menyatakan bahwa Petrus meninggal sebagai martir di Roma dengan disalib terbalik, merasa tidak layak untuk mati dengan cara yang sama seperti Gurunya. Nubuat Yesus ini secara luar biasa selaras dengan tradisi tersebut, memberikan wawasan yang mendalam tentang takdir yang menanti Petrus sebagai konsekuensi dari panggilan ilahinya.
B. Memuliakan Allah Melalui Kematian
Penulis Injil Yohanes secara eksplisit menjelaskan makna nubuat ini: "Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah." Ini adalah poin kunci. Kematian Petrus bukan hanya sebuah peristiwa tragis, melainkan sebuah kesempatan untuk memuliakan Allah. Kematian seorang martir adalah saksi terkuat akan kebenaran iman yang mereka pegang. Dengan menyerahkan hidupnya demi Kristus, Petrus akan memberikan kemuliaan terbesar kepada Allah. Ini adalah kontras yang tajam dengan penyangkalannya di mana ia gagal memuliakan Allah. Sekarang, bahkan dalam kematiannya, ia akan menjadi alat kemuliaan Allah.
Konsep memuliakan Allah melalui penderitaan dan kematian adalah tema yang berulang dalam Perjanjian Baru. Yesus sendiri memuliakan Bapa melalui kematian-Nya di salib. Para martir Kristen sepanjang sejarah telah mengikuti jejak ini, menunjukkan bahwa kesetiaan kepada Kristus lebih berharga daripada kehidupan itu sendiri. Bagi Petrus, yang telah merasakan kepahitan kegagalan dan penyesalan, prospek memuliakan Allah melalui pengorbanan tertinggi adalah puncak dari pemulihannya. Ini adalah penebusan atas masa lalunya, sebuah kesempatan untuk menunjukkan kasih agape yang tertinggi, meskipun ia tidak berani mengklaimnya dalam kata-kata. Tindakannya akan berbicara lebih keras daripada kata-katanya.
Pernyataan ini juga mengingatkan kita bahwa hidup dan mati seorang percaya harus senantiasa bertujuan untuk memuliakan Allah. Apakah kita hidup, kita hidup untuk Tuhan; apakah kita mati, kita mati untuk Tuhan (Roma 14:8). Kematian Petrus bukanlah sebuah akhir yang menyedihkan, melainkan sebuah puncak kemuliaan, sebuah penutupan yang heroik dari sebuah kehidupan yang didedikasikan sepenuhnya kepada Kristus setelah pemulihan-Nya. Ini adalah bukti bahwa anugerah Allah tidak hanya mengampuni dan memulihkan, tetapi juga memberdayakan untuk kesetiaan yang tak tergoyahkan, bahkan hingga akhir hayat.
V. Panggilan Abadi: "Ikutlah Aku!" (Yohanes 21:19b)
"Sesudah mengatakan demikian Ia berkata: "Ikutlah Aku!""
A. Panggilan yang Berulang dan Universal
Setelah nubuat yang berat tentang kematian Petrus, Yesus menyimpulkan percakapan ini dengan perintah yang singkat namun paling mendalam dan fundamental: "Ikutlah Aku!" (ἀκολούθει μοι - akolouthei moi). Ini adalah panggilan yang sama yang Yesus layangkan kepada Petrus dan murid-murid lainnya di awal pelayanan-Nya, saat Ia memanggil mereka untuk meninggalkan jaring dan menjadi penjala manusia. Sekarang, setelah pemulihan Petrus dan nubuat tentang kemartirannya, panggilan ini diulang dengan bobot dan makna yang jauh lebih dalam. Ini bukan hanya panggilan untuk menjadi murid, tetapi panggilan untuk mengikut sampai akhir, mengikut dalam pelayanan, dan mengikut dalam penderitaan, bahkan kematian.
Panggilan "Ikutlah Aku!" tidak hanya ditujukan kepada Petrus; ini adalah panggilan universal bagi setiap orang yang mengaku mengasihi Kristus. Ini adalah inti dari Kekristenan: bukan hanya percaya pada suatu doktrin, tetapi secara aktif mengikuti jejak Yesus, meneladani hidup-Nya, menuruti perintah-Nya, dan menyerahkan diri kepada kehendak-Nya. Bagi Petrus, panggilan ini menjadi penegasan akhir dari restorasi total. Tidak ada lagi keraguan tentang statusnya sebagai pengikut Yesus; ia dipanggil kembali ke dalam komitmen penuh, tidak peduli apa pun yang akan terjadi di masa depan.
Panggilan ini juga mengandung makna sebuah gaya hidup. Mengikuti Yesus berarti menjadikan Kristus pusat dari segala sesuatu, menempatkan Dia di atas ambisi pribadi, kenyamanan, dan bahkan insting untuk mempertahankan hidup. Ini adalah panggilan untuk penyerahan diri total, untuk hidup bukan lagi bagi diri sendiri, tetapi bagi Dia yang telah mati dan bangkit bagi kita.
B. Implikasi dari Mengikut Kristus Hingga Pengorbanan
Panggilan "Ikutlah Aku!" yang datang tepat setelah nubuat tentang kematian Petrus membawa implikasi yang sangat berat. Itu berarti mengikuti Yesus bukan hanya dalam sukacita dan berkat, tetapi juga dalam penderitaan dan pengorbanan. Mengikut Kristus berarti bersedia memikul salib kita sendiri (Matius 16:24). Bagi Petrus, ini berarti memeluk takdirnya sebagai martir, mati dengan cara yang memuliakan Allah. Ini adalah puncak dari kasih agape yang Yesus minta darinya: sebuah kasih yang rela memberikan segalanya, bahkan hidup itu sendiri, demi Guru.
Mengikut Kristus hingga akhir juga berarti setia pada panggilan pelayanan yang telah diberikan. Petrus telah dipercayakan untuk menggembalakan domba-domba Kristus, dan panggilan "Ikutlah Aku!" adalah penegasan bahwa ia harus melayani dengan setia sampai akhir. Ini adalah panggilan untuk ketekunan dalam iman, untuk tidak menyerah di hadapan kesulitan, dan untuk tetap berpegang pada kebenaran Injil, bahkan ketika itu berarti penolakan atau persekusi.
Bagi kita, panggilan ini menantang kita untuk mengevaluasi komitmen kita. Apakah kita benar-benar mengikut Yesus, ataukah kita hanya mengikuti agenda kita sendiri dengan nama-Nya? Apakah kita bersedia menghadapi kesulitan, penolakan, atau bahkan pengorbanan pribadi demi Dia? Panggilan "Ikutlah Aku!" adalah sebuah undangan untuk sebuah kehidupan yang radikal, yang menuntut seluruh keberadaan kita. Ini adalah janji bahwa dalam mengikuti Dia, kita akan menemukan makna sejati, tujuan ilahi, dan kehidupan yang melimpah, bahkan jika jalan itu melewati lembah bayang-bayang kematian. Kasih kepada Kristus tidak hanya menjadi fondasi, tetapi juga motivasi abadi untuk terus mengikuti-Nya, dalam suka maupun duka, dalam hidup maupun mati.
VI. Renungan Mendalam dan Aplikasi Praktis
Kisah di Yohanes 21:15-19 adalah permadani kaya akan pelajaran dan kebenaran rohani yang relevan untuk setiap pengikut Kristus di setiap zaman. Mari kita tarik beberapa aplikasi kunci dari perikop yang luar biasa ini.
A. Anugerah dan Pemulihan Setelah Kegagalan
Petrus adalah contoh nyata bahwa anugerah Allah melampaui kegagalan manusia. Ia menyangkal Yesus tiga kali, dengan sumpah serapah, pada saat Gurunya paling membutuhkan dukungannya. Namun, Yesus tidak mencampakkannya. Sebaliknya, Ia secara aktif mencari dan memulihkannya. Ini adalah berita baik bagi kita semua. Tidak peduli seberapa besar kita telah gagal, seberapa jauh kita telah menyimpang, atau seberapa banyak kita telah menyangkal Kristus dalam tindakan atau kata-kata kita, anugerah-Nya selalu tersedia untuk memulihkan kita. Yesus tidak fokus pada dosa kita yang lalu, melainkan pada potensi kita di masa depan, ketika hati kita berbalik kepada-Nya dengan pertobatan yang tulus.
Proses pemulihan Petrus mengajarkan kita bahwa pemulihan tidak selalu instan, tetapi seringkali merupakan proses yang intim dan pribadi. Yesus tidak mempermalukan Petrus di depan umum, melainkan melibatkan dia dalam dialog pribadi. Ini adalah model bagi kita bagaimana menghadapi seseorang yang jatuh: dengan kasih, kesabaran, dan fokus pada pemulihan, bukan penghukuman. Kita juga belajar bahwa kejujuran di hadapan Allah adalah kunci. Petrus tidak membenarkan diri atau berbohong; ia mengakui keterbatasannya. Ketika kita jujur dengan Allah tentang kelemahan dan dosa kita, itulah saat anugerah-Nya paling berlimpah.
B. Kasih Sebagai Fondasi Segala Pelayanan
Pertanyaan Yesus tentang kasih adalah inti dari seluruh percakapan ini. Ini menegaskan bahwa kasih kepada Kristus adalah motivasi utama dan fondasi yang tak tergoyahkan bagi setiap pelayanan. Tanpa kasih ini, pelayanan hanyalah kewajiban yang dingin, ritual yang kosong, atau bahkan kendaraan untuk ambisi pribadi. Kasih agape—kasih yang tanpa syarat dan rela berkorban—adalah standar yang ditetapkan Yesus, dan Petrus, dengan jujur, hanya bisa menawarkan phileo pada awalnya. Namun, bahkan phileo yang tulus pun adalah titik awal yang dapat digunakan Allah. Yesus menerima apa yang Petrus miliki dan membangunnya dari sana.
Bagi kita, ini adalah panggilan untuk terus-menerus memeriksa motivasi di balik pelayanan kita. Apakah kita melayani karena kasih kepada Yesus, atau karena hal lain—pengakuan, rasa bersalah, tradisi, atau harapan akan imbalan? Ketika kasih kepada Kristus adalah yang utama, pelayanan menjadi sukacita, bukan beban, dan kita dimampukan untuk melayani "domba-domba-Nya" dengan kasih yang sejati, baik yang "anak-anak domba" yang lemah maupun "domba-domba" yang dewasa.
Perbedaan antara agape dan phileo juga menantang kita untuk bertumbuh dalam kasih. Kita mungkin memulai dengan kasih persahabatan yang tulus, tetapi Kristus memanggil kita untuk mengembangkan kasih yang lebih dalam, kasih agape yang rela berkorban, yang mencerminkan kasih-Nya sendiri kepada kita. Pertumbuhan ini adalah proses seumur hidup, di mana melalui Roh Kudus, kita dimampukan untuk mengasihi seperti Kristus mengasihi.
C. Panggilan untuk Menggembalakan dan Memelihara
Perintah "Gembalakanlah domba-domba-Ku" yang diulang tiga kali adalah sebuah mandat yang serius. Ini adalah panggilan untuk memelihara umat Allah, bukan untuk mengeksploitasi atau mendominasi mereka. Peran gembala adalah peran yang penuh kasih sayang, perlindungan, bimbingan, dan pengorbanan. Yesus, sang Gembala Agung, adalah teladan utama bagi setiap gembala. Ia memberi makan kawanan-Nya, melindungi mereka, dan bahkan menyerahkan nyawa-Nya bagi mereka.
Meskipun perintah ini secara spesifik diberikan kepada Petrus sebagai pemimpin awal gereja, prinsip-prinsip penggembalaan berlaku untuk setiap orang percaya dalam konteks yang berbeda. Kita semua dipanggil untuk "menggembalakan" orang-orang di sekitar kita dalam lingkup pengaruh kita: dalam keluarga, komunitas, gereja, atau pekerjaan. Ini berarti memberi makan mereka dengan kebenaran Firman Tuhan, melindungi mereka dari bahaya rohani, membimbing mereka dengan teladan hidup, dan menunjukkan kasih Kristus kepada mereka. Setiap kita memiliki "domba-domba" yang Allah tempatkan dalam hidup kita untuk kita jaga dan pelihara.
Pentingnya memberi makan "anak-anak domba" (yang muda dan lemah) dan "domba-domba" (seluruh kawanan) menunjukkan kebutuhan akan perhatian yang berbeda-beda. Yang muda membutuhkan kelembutan dan nutrisi dasar; yang dewasa mungkin membutuhkan arahan yang lebih kuat dan perlindungan dari ancaman. Seorang gembala yang baik harus peka terhadap kebutuhan individu dari setiap anggota kawanannya, dan bersedia menyediakan apa yang diperlukan.
D. Mengikut Kristus Hingga Pengorbanan Diri
Nubuat tentang kematian Petrus dan perintah "Ikutlah Aku!" yang mengikutinya adalah pengingat bahwa jalan mengikut Kristus adalah jalan salib. Ini bukan jalan yang mudah, tetapi jalan yang menuntut penyerahan diri total, bahkan hingga pengorbanan tertinggi. Yesus tidak menyembunyikan kenyataan ini dari murid-murid-Nya. Ia dengan jujur menyatakan bahwa Petrus akan memuliakan Allah melalui kematiannya. Ini adalah panggilan untuk keberanian, ketabahan, dan kesetiaan yang tak tergoyahkan.
Bagi kita yang hidup di masa kini, meskipun mungkin tidak semua dipanggil untuk mati sebagai martir secara fisik, kita semua dipanggil untuk mati bagi diri sendiri setiap hari. Ini berarti menyalibkan keinginan daging, menyerahkan hak-hak pribadi, dan memilih untuk mengutamakan kehendak Allah di atas kehendak kita sendiri. Ini adalah kematian ego yang terus-menerus, sehingga hidup Kristus dapat dinyatakan melalui kita. Mengikuti Kristus berarti kesediaan untuk keluar dari zona nyaman kita, menghadapi tantangan, dan berani bersaksi tentang Dia, bahkan ketika itu berarti penolakan atau pengorbanan sosial.
Pada akhirnya, panggilan "Ikutlah Aku!" adalah undangan untuk sebuah petualangan iman yang akan mengubah kita. Ini adalah janji bahwa di dalam Dia, kita akan menemukan tujuan yang lebih besar dari diri kita sendiri, sebuah kasih yang melampaui pemahaman, dan sebuah kehidupan yang memuliakan Allah dalam setiap aspeknya, hingga napas terakhir kita.
E. Kasih dan Keberanian: Dua Sisi Koin yang Sama
Kisah Petrus di Yohanes 21 ini adalah kisah tentang bagaimana kasih sejati kepada Kristus melahirkan keberanian. Petrus yang dulunya takut dan menyangkal Yesus, akhirnya dimampukan oleh anugerah dan kasih karunia untuk menjadi martir yang gagah berani. Kasih ilahi yang memulihkannya memberinya kekuatan untuk menghadapi kematian demi Gurunya. Ini menunjukkan bahwa kasih dan keberanian bukanlah dua hal yang terpisah, melainkan dua sisi dari koin yang sama dalam perjalanan iman.
Ketika kita benar-benar mengasihi Kristus, ketakutan kita akan berkurang, dan keberanian kita untuk melakukan kehendak-Nya akan meningkat. Kasih akan mengusir ketakutan (1 Yohanes 4:18). Ini adalah proses yang bertahap, seperti yang dialami Petrus. Ia tidak langsung menjadi martir; ia melalui proses pemulihan, penegasan panggilan, dan pertumbuhan rohani. Demikian pula bagi kita, Allah akan bekerja dalam diri kita untuk membangun kasih dan keberanian kita secara bertahap, mempersiapkan kita untuk tantangan yang ada di depan.
Akhir dari perjalanan Petrus, yang disimbolkan oleh nubuat Yesus, adalah sebuah puncak. Dari seorang nelayan yang impulsif, ia menjadi rasul yang memimpin, dan dari seorang penyangkal yang pengecut, ia menjadi martir yang mulia. Transformasi ini sepenuhnya adalah karya anugerah Allah, yang dimulai dengan pertanyaan tentang kasih di tepi danau, dan diakhiri dengan panggilan abadi untuk "Ikutlah Aku!" hingga kematian. Kisah ini adalah bukti tak terbantahkan bahwa dengan Kristus, tidak ada kegagalan yang terlalu besar untuk diampuni, tidak ada masa lalu yang terlalu gelap untuk dipulihkan, dan tidak ada orang yang terlalu lemah untuk dijadikan alat kemuliaan-Nya.
Kesimpulan: Sebuah Panggilan untuk Kasih dan Pengabdian Total
Yohanes 21:15-19 bukan hanya sebuah kisah sejarah tentang pemulihan Petrus; ini adalah cermin bagi setiap kita yang mengaku mengasihi Kristus. Ini menantang kita untuk bertanya pada diri sendiri: "Apakah aku mengasihi Yesus?" Jika ya, maka kasih itu harus dimanifestasikan dalam pelayanan yang setia kepada "domba-domba-Nya" dan dalam kesediaan untuk mengikut Dia sampai akhir, apapun konsekuensinya.
Kita belajar bahwa kasih karunia Allah bukan hanya mengampuni dosa-dosa kita, tetapi juga secara aktif memulihkan kita untuk tujuan-Nya. Kita belajar bahwa kasih yang tulus kepada Kristus adalah pondasi yang tak tergantikan bagi setiap bentuk pelayanan. Dan kita belajar bahwa mengikuti Kristus adalah sebuah panggilan yang menyeluruh, yang melibatkan setiap aspek hidup kita, bahkan hingga pengorbanan tertinggi. Semoga renungan ini memperdalam kasih kita kepada Yesus, memperbarui komitmen kita untuk melayani domba-domba-Nya, dan memberdayakan kita untuk mengikut Dia dengan keberanian dan kesetiaan yang tak tergoyahkan, di setiap langkah perjalanan iman kita.