Hidup adalah sebuah perjalanan yang penuh warna, terkadang cerah bersinar, namun tak jarang juga diselimuti awan kelabu. Dalam perjalanan ini, setiap dari kita, tanpa terkecuali, akan dihadapkan pada berbagai tantangan, tekanan, dan ketidakpastian. Dunia yang kita huni saat ini, dengan segala kompleksitas dan kecepatannya, seringkali menjadi lahan subur bagi tumbuhnya benih-benih kekuatiran dalam hati dan pikiran kita. Kekuatiran bisa datang dalam berbagai bentuk: kekhawatiran akan masa depan, beban finansial, kesehatan diri dan keluarga, masalah dalam pekerjaan atau studi, hubungan yang retak, hingga situasi global yang tak menentu. Rasanya, kekuatiran telah menjadi salah satu emosi paling dominan yang dirasakan oleh banyak orang di era modern ini.
Bagi jemaat GMIM, setiap minggu kita berkumpul, tidak hanya untuk bersekutu dan memuji nama Tuhan, tetapi juga untuk merenungkan Firman-Nya yang hidup. Melalui MTPJ (Materi Pembinaan Teologi Jemaat) GMIM, kita diajak untuk mendalami kebenaran Alkitab, menarik pelajaran berharga yang relevan dengan konteks kehidupan kita sehari-hari, dan menemukan kekuatan serta bimbingan ilahi. Renungan minggu ini akan membawa kita pada sebuah janji yang luar biasa, sebuah kunci untuk menemukan kedamaian sejati di tengah badai kekuatiran. Marilah kita membuka hati dan pikiran kita untuk mendalami Firman Tuhan dari Kitab Filipi, pasal 4, ayat 6 dan 7.
“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.”
Filipi 4:6-7
Ayat ini adalah salah satu mutiara terindah dalam Alkitab yang seringkali menjadi penyejuk hati bagi jiwa-jiwa yang gundah. Namun, apakah semudah itu untuk tidak kuatir? Apakah hanya dengan membaca ayat ini, serta merta segala beban dan ketakutan kita akan lenyap? Tentu saja tidak. Firman Tuhan bukanlah sekadar mantra magis, melainkan sebuah undangan untuk menjalani sebuah proses, sebuah perubahan pola pikir dan hati yang mendalam, yang hanya mungkin terjadi melalui relasi yang intim dengan Sang Sumber Damai.
Mengenal Konteks Filipi dan Penulisnya
Sebelum kita menyelami makna mendalam dari Filipi 4:6-7, ada baiknya kita memahami sedikit tentang latar belakang kitab ini. Surat Filipi ditulis oleh Rasul Paulus saat ia berada dalam penjara. Kondisi penjara, dengan segala keterbatasannya, tentu bukanlah tempat yang nyaman atau kondusif untuk menulis surat-surat yang penuh sukacita. Namun, justru dari balik jeruji itulah Paulus menulis surat yang dikenal sebagai "Surat Sukacita". Ini menunjukkan bahwa sukacita Paulus tidak bergantung pada keadaan eksternal, melainkan berasal dari hubungannya yang teguh dengan Kristus.
Jemaat Filipi adalah salah satu jemaat yang sangat dikasihi Paulus. Mereka adalah jemaat pertama di Eropa yang didirikan oleh Paulus, dan mereka menunjukkan dukungan yang luar biasa terhadap pelayanan Paulus, bahkan mengirimkan bantuan finansial untuknya. Surat ini ditulis sebagai ucapan terima kasih, dorongan, dan juga nasihat untuk jemaat agar tetap teguh dalam iman, bersatu, dan hidup dalam Kristus.
Dalam konteks ini, nasihat Paulus untuk "jangan kuatir" menjadi semakin kuat. Jika seorang rasul yang sedang dipenjara dan menghadapi berbagai ancaman mampu menunjukkan sukacita dan menyerahkan kekuatirannya kepada Tuhan, maka kita pun, dalam situasi apapun, diajak untuk melakukan hal yang sama. Pesan ini bukan hanya untuk jemaat Filipi di masa lalu, tetapi juga untuk kita, jemaat GMIM di masa kini, yang mungkin merasa terjebak dalam kekuatiran hidup.
Anatomi Kekuatiran: Mengapa Kita Kuatir?
Ayat 6 dimulai dengan sebuah perintah yang terdengar sangat menantang: "Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga." Untuk bisa mematuhinya, kita perlu memahami dulu apa itu kekuatiran dan mengapa ia begitu sering menghantui kita. Kekuatiran bukanlah sekadar perasaan cemas sesaat; ia adalah suatu keadaan pikiran yang terus-menerus dirasuki oleh keraguan, ketakutan, dan antisipasi negatif terhadap masa depan. Ia seringkali menguras energi, melemahkan semangat, dan bahkan berdampak buruk pada kesehatan fisik kita.
Ada beberapa alasan mengapa kita seringkali terjebak dalam lingkaran kekuatiran:
- Kurangnya Kendali: Kita seringkali ingin mengendalikan segala sesuatu dalam hidup kita. Ketika situasi di luar kendali kita, seperti pandemi global, krisis ekonomi, atau masalah kesehatan, kekuatiran dengan mudah menyerang. Kita merasa tidak berdaya dan takut akan hal yang tidak diketahui.
- Fokus pada Diri Sendiri: Ketika kita terlalu fokus pada kemampuan, sumber daya, dan kelemahan diri sendiri, kita cenderung meragukan bahwa kita mampu menghadapi tantangan. Ini mengarah pada perasaan tidak cukup dan ketidakpastian.
- Pengalaman Masa Lalu yang Buruk: Trauma atau kegagalan di masa lalu dapat membentuk pola pikir yang pesimis, membuat kita berasumsi bahwa hal buruk akan terulang kembali.
- Tekanan Sosial dan Budaya: Lingkungan sekitar kita, media, dan harapan masyarakat seringkali menuntut kita untuk selalu berhasil, sempurna, dan memiliki segalanya. Tekanan ini bisa memicu kekuatiran akan kegagalan atau ketidakmampuan untuk memenuhi standar tersebut.
- Kurangnya Iman atau Pemahaman akan Kedaulatan Tuhan: Ini adalah akar masalah yang paling mendalam. Ketika kita lupa atau meragukan bahwa Allah yang Mahakuasa memegang kendali atas segala sesuatu, dan bahwa Dia mengasihi kita dengan kasih yang tak terbatas, maka kekuatiran akan menemukan ruang untuk bertumbuh.
Paulus tidak meminta kita untuk menjadi robot tanpa emosi. Kekuatiran adalah emosi manusiawi. Namun, ia meminta kita untuk tidak *hidup dalam keadaan kuatir* atau *dikuasai oleh kekuatiran*. Ada perbedaan antara memiliki perasaan cemas sesaat dan membiarkan kekuatiran meracuni seluruh aspek kehidupan kita. Perintah ini adalah ajakan untuk memindahkan beban kekuatiran dari pundak kita kepada pundak yang lebih kuat: pundak Tuhan.
Alternatif untuk Kekuatiran: Doa, Permohonan, dan Ucapan Syukur
Paulus tidak hanya melarang; ia juga memberikan solusi yang jelas dan praktis. Ia tidak meninggalkan kita tanpa arahan. Setelah berkata "janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga," ia melanjutkan dengan "tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur." Ini adalah tiga pilar spiritual yang akan menggantikan kekuatiran dengan damai sejahtera.
1. Doa: Percakapan Intim dengan Sang Pencipta
Doa bukan hanya sekadar ritual atau daftar permintaan. Doa adalah percakapan, komunikasi dua arah antara manusia dengan Tuhan yang menciptakan dan mengasihi mereka. Ketika kita diundang untuk "menyatakan keinginanmu kepada Allah dalam doa," ini berarti kita diajak untuk membawa seluruh keberadaan kita, segala pikiran, perasaan, harapan, dan ketakutan kita, ke hadapan-Nya. Doa adalah wadah untuk mencurahkan isi hati kita tanpa ada yang disembunyikan, tanpa filter, dan tanpa rasa malu atau takut dihakimi.
- Doa sebagai Ekspresi Kepercayaan: Setiap kali kita berdoa, kita sedang menyatakan bahwa kita percaya ada pribadi yang lebih besar dari masalah kita, yang peduli, dan yang mampu bertindak. Ini adalah tindakan iman.
- Doa sebagai Pelepasan Beban: Psikologis, mencurahkan isi hati kepada seseorang yang kita percaya dapat sangat melegakan. Lebih dari itu, mencurahkan kepada Tuhan adalah melepaskan beban yang terlalu berat untuk kita pikul sendiri. Ia berkata, "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu" (Matius 11:28).
- Doa sebagai Sarana Transformasi: Melalui doa, kita tidak hanya mengubah keadaan, tetapi yang lebih penting, kita diubahkan. Perspektif kita berubah. Kita mulai melihat masalah dari sudut pandang Tuhan, bukan hanya dari sudut pandang kita yang terbatas.
2. Permohonan: Mengungkapkan Kebutuhan Kita dengan Jujur
Kata "permohonan" atau "supplication" dalam bahasa aslinya menunjuk pada permintaan yang spesifik dan mendesak, seringkali dilakukan dengan kerendahan hati dan kesungguhan. Ini bukan sekadar permintaan sambil lalu, melainkan pengungkapan kebutuhan yang tulus dari lubuk hati yang terdalam. Tuhan ingin kita menjadi spesifik. Apa yang membuatmu kuatir? Apa yang kau butuhkan? Ungkapkanlah itu kepada-Nya.
- Kebutuhan Fisik dan Material: Jangan ragu untuk meminta kebutuhan sehari-hari, kesehatan, pekerjaan, atau keuangan. Tuhan adalah Bapa yang baik yang tahu apa yang kita perlukan (Matius 6:32).
- Kebutuhan Emosional dan Spiritual: Kita bisa memohon kekuatan, kesabaran, hikmat, kedamaian, penghiburan, atau bahkan pengampunan.
- Doa untuk Orang Lain: Permohonan juga mencakup syafaat, yaitu mendoakan kebutuhan dan masalah orang lain. Ini memperluas perspektif kita dari kekuatiran pribadi ke kepedulian bersama.
Penting untuk diingat bahwa Tuhan tidak selalu menjawab "ya" atau "tidak" sesuai dengan waktu dan cara yang kita inginkan. Terkadang, jawaban-Nya adalah "tunggu," atau "Aku punya sesuatu yang lebih baik." Namun, yang pasti, Dia selalu mendengarkan dan bertindak sesuai dengan hikmat dan kasih-Nya yang sempurna.
3. Ucapan Syukur: Kunci untuk Mengubah Perspektif
Inilah elemen yang seringkali terlupakan, namun sangat krusial. Paulus mengatakan, "dengan ucapan syukur." Bagaimana mungkin kita bersyukur ketika sedang kuatir? Ketika kita sedang berbeban berat dan meminta pertolongan? Ucapan syukur di sini bukanlah tanda bahwa kita sudah menerima apa yang kita minta, melainkan sebuah pernyataan iman bahwa Allah *adalah* Allah yang baik, yang setia, dan yang akan bertindak demi kebaikan kita, terlepas dari hasil akhirnya.
- Mengalihkan Fokus: Bersyukur saat kuatir memaksa kita untuk mengalihkan fokus dari masalah kepada kebaikan Tuhan yang tak terbatas. Ini adalah tindakan proaktif untuk melihat sisi positif dalam setiap situasi.
- Mengingat Kesetiaan Tuhan: Ucapan syukur mengingatkan kita akan kesetiaan Tuhan di masa lalu. Jika Dia sudah menolong kita melewati banyak hal sebelumnya, mengapa Dia tidak akan menolong kita sekarang?
- Mengakui Kedaulatan Tuhan: Bersyukur berarti kita menerima bahwa Tuhan berdaulat atas segala sesuatu, bahkan atas hal-hal yang tidak kita pahami. Kita bersyukur karena Dia ada dan Dia peduli.
- Membuka Pintu Berkat: Hati yang bersyukur adalah hati yang terbuka untuk menerima lebih banyak berkat, karena kita mengakui bahwa setiap hari adalah anugerah.
Praktik ucapan syukur yang konsisten dapat secara radikal mengubah cara kita merespons kesulitan. Ia adalah jangkar yang menahan kita dari hanyut dalam gelombang kekuatiran.
Damai Sejahtera Allah: Melampaui Segala Akal
Dan inilah janji yang luar biasa, hasil dari penyerahan diri kita kepada Tuhan melalui doa, permohonan, dan ucapan syukur: "Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus."
Apa Itu Damai Sejahtera Allah?
Damai sejahtera ini bukanlah damai sejahtera seperti yang dunia tawarkan. Damai sejahtera dunia adalah absennya konflik, ketenangan karena tidak ada masalah. Tetapi damai sejahtera Allah adalah sesuatu yang lebih dalam dan lebih substansial. Ini adalah ketenangan batin yang tidak bergantung pada keadaan eksternal. Seseorang bisa berada di tengah badai kehidupan, dihadapkan pada kesulitan yang luar biasa, namun hatinya tetap tenang dan pikirannya tetap jernih karena damai sejahtera Allah berdiam di dalamnya.
- Melampaui Segala Akal: Frasa ini sangat kuat. Damai sejahtera ini tidak bisa dijelaskan secara logis atau dipahami sepenuhnya oleh rasio manusia. Ketika orang lain melihat situasi kita dan berpikir "Bagaimana dia bisa tenang?", itulah damai sejahtera yang melampaui akal. Ini adalah damai yang hanya bisa diberikan oleh Tuhan.
- Bukan Ketiadaan Masalah: Penting untuk diingat bahwa damai sejahtera Allah tidak berarti masalah akan lenyap. Sebaliknya, ia memungkinkan kita untuk menghadapi masalah dengan kekuatan, ketenangan, dan perspektif ilahi.
- Berakar pada Hubungan dengan Kristus: Damai sejahtera ini tidak bisa diproduksi oleh usaha manusia. Ia adalah buah Roh Kudus (Galatia 5:22) dan hanya bisa dialami oleh mereka yang hidup "dalam Kristus Yesus." Kristuslah sumber damai sejahtera kita.
Memelihara Hati dan Pikiran
Damai sejahtera Allah bertindak sebagai penjaga atau pelindung bagi hati dan pikiran kita. Hati (emosi, keinginan, kehendak) dan pikiran (rasionalitas, pemahaman) adalah medan pertempuran utama kekuatiran. Ketika kekuatiran menyerang, ia mencoba merampas ketenangan hati dan mengacaukan kejernihan pikiran kita. Namun, janji Tuhan adalah bahwa damai sejahtera-Nya akan menjaga keduanya.
- Memelihara Hati: Artinya, emosi kita tidak akan didominasi oleh ketakutan, keputusasaan, atau kemarahan. Ada ketenangan yang menaungi, bahkan ketika perasaan sulit muncul.
- Memelihara Pikiran: Artinya, pikiran kita tidak akan dikuasai oleh skenario terburuk, pikiran negatif, atau spekulasi yang tidak produktif. Ada kejernihan dan arah yang diberikan, memungkinkan kita untuk berpikir secara konstruktif dan menerima hikmat.
- Dalam Kristus Yesus: Ini adalah kuncinya. Perlindungan ini terjadi "dalam Kristus Yesus." Artinya, kita harus tetap tinggal di dalam Dia, berakar pada-Nya, dan membiarkan Dia menjadi pusat hidup kita. Dialah yang menyediakan tempat perlindungan dan kekuatan.
Aplikasi Praktis untuk Jemaat MTPJ GMIM
Renungan ini bukan hanya untuk dibaca, melainkan untuk dihidupi. Bagaimana kita bisa mengaplikasikan Filipi 4:6-7 dalam konteks kehidupan jemaat MTPJ GMIM?
1. Mengembangkan Gaya Hidup Doa yang Autentik
Di tengah kesibukan harian, seringkali doa menjadi formalitas atau bahkan terlupakan. Mari kita jadikan doa sebagai napas kehidupan.
- Waktu Khusus untuk Doa: Alokasikan waktu khusus setiap hari untuk berdoa. Ini bisa pagi hari sebelum memulai aktivitas, saat istirahat siang, atau malam hari sebelum tidur. Jangan biarkan hari berlalu tanpa percakapan mendalam dengan Tuhan.
- Doa Spontan Sepanjang Hari: Selain waktu khusus, biasakanlah untuk berdoa secara spontan saat kekuatiran muncul, saat bersyukur atas hal kecil, atau saat membutuhkan hikmat. Tuhan selalu siap mendengarkan.
- Jurnal Doa dan Syukur: Tuliskan kekuatiran Anda, permohonan Anda, dan juga hal-hal yang Anda syukuri. Ini membantu Anda melihat bagaimana Tuhan bekerja dan memperkuat iman Anda dari waktu ke waktu.
- Doa Bersama Keluarga dan Jemaat: Libatkan keluarga dalam doa. Dalam pertemuan MTPJ, luangkan waktu lebih untuk berbagi pergumulan dan mendoakan satu sama lain. Kekuatan doa bersama sangatlah besar (Matius 18:20).
2. Memupuk Hati yang Penuh Syukur
Ucapan syukur adalah fondasi bagi damai sejahtera. Bagaimana kita bisa terus bersyukur di tengah tantangan?
- Daftar Syukur Harian: Setiap pagi atau malam, tuliskan setidaknya 3-5 hal yang Anda syukuri. Ini bisa hal-hal besar atau kecil: kesehatan, keluarga, makanan, cuaca yang cerah, senyuman dari seseorang. Latihan ini akan melatih hati Anda untuk melihat kebaikan Tuhan.
- Fokus pada Berkat, Bukan Kekurangan: Ketika kekuatiran muncul, seringkali karena kita terlalu fokus pada apa yang tidak kita miliki atau apa yang bisa salah. Alihkan fokus pada berkat-berkat yang sudah Tuhan berikan.
- Berbagi Kesaksian: Dalam persekutuan MTPJ, jangan hanya berbagi masalah, tetapi juga berbagi kesaksian tentang bagaimana Tuhan telah menolong dan memberkati. Ini akan menguatkan iman sesama jemaat dan mengingatkan kita semua akan kesetiaan-Nya.
- Pujian dan Penyembahan: Pujian dan penyembahan adalah bentuk ucapan syukur yang paling tinggi. Ketika kita memuji Tuhan di tengah kesulitan, kita sedang menyatakan iman kita pada kedaulatan-Nya.
3. Percaya Penuh pada Kedaulatan Allah
Akar dari banyak kekuatiran adalah kurangnya kepercayaan pada kontrol Tuhan atas hidup kita.
- Belajar dari Kisah Alkitab: Renungkan kisah-kisah di Alkitab tentang bagaimana Tuhan memelihara umat-Nya di tengah kesulitan (contoh: Yusuf di Mesir, Daud menghadapi Goliat, Elia di padang gurun). Kisah-kisah ini menegaskan bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan umat-Nya.
- Merenungkan Atribut Allah: Ingatlah bahwa Tuhan itu Mahakuasa, Mahatahu, Mahahadir, dan Mahakasih. Tidak ada yang tersembunyi dari-Nya, dan tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Kasih-Nya untuk kita tidak pernah gagal.
- Menyerahkan Kendali: Ini adalah bagian yang paling sulit. Kita harus belajar untuk melepaskan keinginan kita untuk mengendalikan setiap aspek kehidupan dan menyerahkannya kepada Tuhan. Ini bukan berarti kita pasif, tetapi kita melakukan bagian kita dengan bertanggung jawab dan menyerahkan hasilnya kepada-Nya.
4. Membangun Komunitas yang Mendukung
Kita tidak dirancang untuk hidup sendiri. Komunitas MTPJ adalah tempat di mana kita dapat saling menguatkan.
- Saling Mendoakan: Identifikasi anggota jemaat yang sedang bergumul dan berkomitmen untuk mendoakan mereka secara teratur.
- Saling Mendengarkan: Terkadang, yang dibutuhkan seseorang hanyalah telinga yang mau mendengar. Berikan ruang bagi sesama untuk mencurahkan isi hati mereka tanpa penilaian.
- Memberi Dukungan Praktis: Jika memungkinkan, tawarkan bantuan praktis kepada mereka yang membutuhkan, apakah itu dalam bentuk tenaga, waktu, atau sumber daya. Tindakan kasih nyata dapat menjadi sumber penghiburan yang besar.
- Studi Alkitab Bersama: Gunakan MTPJ sebagai kesempatan untuk mendalami Firman Tuhan secara kolektif, membahas aplikasi praktisnya, dan saling menasihati dalam kebenaran.
Memahami Lebih Jauh: Damai Sejahtera dan Kesusahan
Seringkali, ada salah pengertian bahwa memiliki damai sejahtera Allah berarti kita tidak akan pernah mengalami kesusahan. Ini adalah pandangan yang keliru. Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa di dunia kita akan mengalami kesusahan. Yesus sendiri berkata, "Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia" (Yohanes 16:33). Jadi, damai sejahtera Allah bukanlah *ketiadaan* masalah, melainkan *kehadiran* Tuhan di tengah masalah.
Damai sejahtera ini berfungsi sebagai semacam 'bantalan' atau 'jangkar' bagi jiwa kita. Ketika badai datang, kapal kita mungkin terombang-ambing, tetapi jangkarnya menahannya agar tidak hanyut dan hancur. Demikian pula, hidup kita mungkin diguncang oleh berbagai kesusahan, tetapi damai sejahtera Allah menjaga hati dan pikiran kita tetap teguh dan berlabuh pada Kristus.
Ini adalah perbedaan fundamental antara optimisme manusiawi dan iman Kristen. Optimisme cenderung didasarkan pada perkiraan positif tentang hasil yang mungkin terjadi. Jika hasilnya tidak sesuai harapan, optimisme bisa runtuh menjadi keputusasaan. Iman Kristen, di sisi lain, didasarkan pada karakter dan janji Allah, yang tidak berubah terlepas dari keadaan kita. Kita percaya bahwa Allah baik, bahkan ketika keadaan terasa buruk. Dan dari kepercayaan inilah, damai sejahtera yang sejati mengalir.
Tantangan dan Perjuangan Melawan Kekuatiran
Mengaplikasikan Filipi 4:6-7 tidak selalu mudah. Ada beberapa tantangan yang mungkin kita hadapi:
- Kebiasaan Lama: Kekuatiran bisa menjadi kebiasaan yang mengakar dalam diri kita. Mengubah pola pikir ini membutuhkan disiplin dan ketekunan.
- Kurangnya Iman: Kadang, kita ragu apakah Tuhan benar-benar peduli atau mampu menyelesaikan masalah kita. Ini adalah titik di mana iman kita diuji dan perlu diperkuat melalui Firman dan doa.
- Keadaan yang Mendesak: Dalam situasi krisis yang mendesak, sangat sulit untuk tetap tenang dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Ini memerlukan latihan dan penyerahan yang terus-menerus.
- Gangguan dan Godaan: Dunia ini penuh dengan gangguan yang menarik kita dari fokus pada Tuhan. Godaan untuk kembali kuatir dan mengendalikan segalanya selalu ada.
Namun, jangan putus asa! Rasul Paulus sendiri adalah seorang manusia yang bergumul, namun ia belajar untuk hidup dalam sukacita dan damai sejahtera di tengah penderitaan. Ini adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan instan. Setiap kali kita memilih untuk berdoa dan bersyukur alih-alih kuatir, kita sedang melangkah maju dalam perjalanan ini. Roh Kudus selalu siap menolong kita dalam kelemahan kita (Roma 8:26).
Kesaksian Hidup: Menjadi Pembawa Damai
Ketika kita berhasil hidup dalam damai sejahtera Allah di tengah kekuatiran, hidup kita sendiri menjadi sebuah kesaksian yang kuat bagi dunia di sekitar kita. Di tengah dunia yang gelisah dan takut, seorang Kristen yang tenang dan penuh pengharapan adalah cahaya yang bersinar. Orang lain akan melihat dan bertanya, "Apa rahasiamu? Bagaimana kamu bisa tetap tenang di tengah semua ini?" Ini adalah kesempatan emas untuk berbagi Injil, untuk menyatakan bahwa damai sejahtera ini adalah hadiah dari Allah melalui Kristus Yesus.
Sebagai jemaat MTPJ GMIM, kita dipanggil tidak hanya untuk menerima damai sejahtera ini bagi diri kita sendiri, tetapi juga untuk menjadi saluran damai sejahtera bagi orang lain. Dalam keluarga, di tempat kerja, di sekolah, dan di lingkungan masyarakat, kita bisa membawa atmosfer damai, harapan, dan iman. Ketika kita memancarkan damai sejahtera, kita menjadi agen transformasi, menunjukkan kuasa Tuhan yang mengubah kekuatiran menjadi ketenangan, dan keputusasaan menjadi pengharapan.
Penutup: Hidup dalam Pelukan Damai Sejahtera
Saudara-saudari jemaat GMIM yang terkasih, pesan dari Filipi 4:6-7 adalah undangan abadi untuk hidup dalam kebebasan dari kekuatiran. Ini bukan janji bahwa hidup akan bebas masalah, tetapi janji bahwa kita akan memiliki pendamping dan penjaga yang setia di tengah setiap masalah. Tuhan tidak pernah berjanji untuk menghilangkan semua kekuatiran dari hidup kita secara ajaib, tetapi Dia berjanji untuk memberikan damai sejahtera-Nya yang melampaui akal, yang akan menjaga hati dan pikiran kita.
Marilah kita menjadikan renungan ini sebagai titik balik dalam perjalanan iman kita. Setiap kali benih kekuatiran mulai tumbuh, mari kita segera menggantinya dengan doa yang tulus, permohonan yang jujur, dan ucapan syukur yang mendalam. Mari kita ingat bahwa kita memiliki Bapa di surga yang memegang kendali atas segala sesuatu, yang mengasihi kita dengan kasih yang tak terbatas, dan yang ingin kita hidup dalam ketenangan dan kepercayaan.
Di setiap pertemuan MTPJ, marilah kita saling mengingatkan akan kebenaran ini. Mari kita saling menguatkan, saling mendoakan, dan saling menjadi saksi hidup akan kuasa damai sejahtera Allah. Karena pada akhirnya, bukan hanya tentang bagaimana kita menghadapi kekuatiran, tetapi tentang siapa yang kita percayai di tengah kekuatiran itu.
Semoga damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, senantiasa memelihara hati dan pikiran kita semua dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. Amin.