Khotbah Ibadah Pelepasan Jenazah Kristen: Merajut Harapan di Tengah Duka

Salib dan Merpati Sebuah salib sederhana dengan merpati terbang di atasnya, melambangkan harapan dan damai sejahtera.

Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus,

Hari ini kita berkumpul dalam suasana duka yang mendalam, di hadapan jenazah saudara/i kita yang telah berpulang. Hati kita merasakan kepedihan kehilangan, mata kita mungkin basah oleh air mata, dan jiwa kita bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terucapkan. Ini adalah momen yang sulit, sebuah pengingat akan kerapuhan hidup dan realitas kematian yang tak terelakkan. Dalam kehampaan yang terasa, sebagai orang percaya, kita tidak meratap tanpa harapan. Sebaliknya, kita datang untuk meneguhkan iman kita pada Allah yang Mahakuasa, sumber segala penghiburan, dan menegaskan kembali janji-janji-Nya yang kekal.

Kehadiran kita di sini bukan hanya untuk mengucapkan selamat jalan terakhir, melainkan juga untuk merayakan kehidupan yang telah dijalani, mengakui dampak yang telah ditinggalkan oleh almarhum/ah, dan yang terpenting, untuk menimba kekuatan dan penghiburan dari Firman Tuhan. Kita tahu bahwa kesedihan adalah bagian alami dari pengalaman manusia, dan Alkitab pun mengakui dan memvalidasi perasaan ini. Bahkan Yesus sendiri menangis di kubur Lazarus (Yohanes 11:35). Maka, biarlah air mata kita mengalir, biarlah hati kita merasakan duka, karena dalam duka itu pun, ada ruang bagi Tuhan untuk bekerja, untuk menghibur, dan untuk menyatakan kasih-Nya yang tak terbatas.

I. Duka yang Diakui, Harapan yang Diteguhkan

Dalam menghadapi kematian, adalah wajar bagi kita untuk merasakan berbagai emosi: kesedihan, kemarahan, kebingungan, bahkan mungkin penolakan. Proses berduka adalah perjalanan yang unik bagi setiap individu, namun sebagai komunitas orang percaya, kita melewati perjalanan ini bersama. Kita tahu bahwa Tuhan memahami setiap tetes air mata dan setiap desah keluhan hati kita. Ia adalah Allah yang dekat dengan orang yang patah hati, dan menyelamatkan orang yang remuk jiwanya (Mazmur 34:18).

Namun di tengah duka ini, Firman Tuhan hadir sebagai jangkar bagi jiwa kita. Kita tidak berduka seperti orang-orang yang tidak memiliki harapan (1 Tesalonika 4:13). Harapan kita bukan pada apa yang terlihat, bukan pada kekuatan diri sendiri, melainkan pada kebenaran yang melampaui kematian itu sendiri: kebenaran tentang kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati. Kebenaran ini adalah fondasi iman Kristen kita, janji yang mengubah keputusasaan menjadi pengharapan, kegelapan menjadi terang.

"Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu sudah Kukatakan kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada."

– Yohanes 14:1-3

Kata-kata Yesus ini adalah balsam bagi jiwa yang terluka. Ia tidak meminta kita untuk tidak berduka, tetapi Ia meminta kita untuk tidak gelisah, untuk tidak putus asa. Mengapa? Karena ada janji, ada jaminan, ada tempat yang telah disediakan. Kematian bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah transisi, sebuah pintu gerbang menuju realitas yang lebih besar, menuju kehadiran Allah yang mulia.

A. Realitas Kematian dalam Perspektif Iman

Kematian adalah konsekuensi dari dosa yang masuk ke dunia (Roma 5:12). Ini adalah bagian dari takdir manusia sejak kejatuhan. Namun, bagi orang percaya, kematian bukanlah sebuah "titik akhir" yang mengerikan, melainkan sebuah "koma" dalam kalimat kehidupan kekal. Ini adalah perpisahan sementara, bukan perpisahan abadi. Paulus dalam 1 Korintus 15:26 bahkan menyebut kematian sebagai "musuh terakhir" yang akan dikalahkan. Pengakuan akan kematian sebagai musuh ini menegaskan bahwa ia tidak seharusnya memiliki kuasa akhir atas kita, orang-orang yang telah ditebus.

Dalam konteks ibadah pelepasan jenazah ini, kita tidak hanya mengucap selamat jalan, melainkan juga merenungkan makna kematian dari sudut pandang Kristus. Kematian bagi orang percaya berarti "pulang ke rumah Bapa". Ini adalah kepulangan dari perjuangan duniawi, dari penderitaan, dari air mata, menuju istirahat yang kekal dalam damai sejahtera Tuhan. Ini adalah saat di mana jiwa yang telah percaya kepada Kristus dibebaskan dari tubuh yang fana dan hadir di hadapan Allah yang hidup (2 Korintus 5:8).

B. Kristus, Jalan dan Kebangkitan

Yesus sendiri menyatakan, "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun sudah mati" (Yohanes 11:25). Pernyataan ini adalah inti dari pengharapan Kristen. Kita tidak percaya pada kebangkitan yang bersifat umum dan abstrak, tetapi pada Kebangkitan yang diwujudkan dalam pribadi Yesus Kristus. Ia bukan hanya mengajarkan tentang kebangkitan, Ia adalah Kebangkitan itu sendiri. Dengan bangkit dari kubur, Ia mengalahkan kuasa dosa dan maut, membuka jalan bagi kita untuk memiliki hidup yang kekal.

Oleh karena itu, ketika kita menghadapi kematian, kita tidak melihat sebuah lubang hitam yang tak berdasar, melainkan sebuah terowongan yang menembus kegelapan menuju cahaya yang gilang-gemilang. Yesus adalah "jalan, kebenaran, dan hidup" (Yohanes 14:6). Ia adalah jalan yang membawa kita melewati lembah kekelaman menuju padang rumput hijau di surga. Ia adalah kebenaran yang menyingkapkan misteri kematian dan memberikan makna pada penderitaan. Dan Ia adalah hidup, yang menganugerahkan kehidupan yang tak berkesudahan, bahkan setelah napas terakhir kita di dunia ini.

II. Janji Kebangkitan dalam Kristus: Fondasi Harapan Kita

Jika ada satu kebenaran yang paling fundamental dan menghibur dalam ibadah pelepasan jenazah Kristen, maka itu adalah janji kebangkitan. Tanpa kebangkitan, iman kita sia-sia (1 Korintus 15:17). Namun, Kristus telah bangkit, dan kebangkitan-Nya adalah jaminan kebangkitan kita. Mari kita selami kebenaran agung ini.

Alkitab Terbuka Sebuah gambar Alkitab terbuka memancarkan cahaya, melambangkan Firman Tuhan sebagai sumber terang dan kebenaran.

A. Keberadaan Jiwa Setelah Kematian

Dari perspektif Alkitab, ketika seorang percaya meninggal, roh atau jiwanya segera kembali kepada Allah yang memberikannya (Pengkhotbah 12:7). Paulus menyatakan dengan yakin bahwa "lebih baik meninggal dan tinggal bersama dengan Kristus" (Filipi 1:23). Ini bukan berarti jiwa tidur dalam ketidaksadaran atau menunggu di tempat yang tidak jelas. Sebaliknya, bagi orang percaya, kematian adalah pintu gerbang langsung menuju hadirat Tuhan.

Konsep ini memberikan penghiburan yang luar biasa. Artinya, saudara/i kita yang berpulang, yang telah menaruh iman dalam Kristus, saat ini sedang menikmati persekutuan yang sempurna dengan Yesus. Mereka telah dibebaskan dari setiap penderitaan, kesakitan, dan dosa dunia ini. Mereka berada di tempat di mana tidak ada lagi air mata, tidak ada lagi ratapan, tidak ada lagi dukacita, karena segala sesuatu yang lama telah berlalu (Wahyu 21:4).

B. Kebangkitan Tubuh dan Hidup yang Kekal

Puncak dari pengharapan Kristen adalah kebangkitan tubuh. Ini adalah doktrin yang sering disalahpahami atau kurang ditekankan. Kita tidak hanya percaya pada kehidupan jiwa yang terus berlanjut, tetapi juga pada kebangkitan tubuh yang baru dan mulia pada kedatangan Kristus yang kedua kali. Rasul Paulus membahas hal ini secara mendalam dalam 1 Korintus pasal 15.

"Demikianlah halnya dengan kebangkitan orang mati. Ditaburkan dalam kebinasaan, dibangkitkan dalam ketidakbinasaan. Ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam kemuliaan. Ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan. Ditaburkan tubuh alamiah, dibangkitkan tubuh rohaniah."

– 1 Korintus 15:42-44

Paulus menjelaskan bahwa tubuh yang dibangkitkan bukanlah tubuh yang sama persis dengan yang kita kuburkan, dalam arti kerentanannya terhadap dosa, penyakit, dan kematian. Melainkan, ia akan diubahkan menjadi tubuh yang tidak dapat binasa, mulia, kuat, dan rohaniah. Ini adalah tubuh yang sempurna, sesuai dengan gambaran tubuh kemuliaan Kristus (Filipi 3:21). Ini bukan sekadar spiritualisasi, melainkan kebangkitan fisik yang diubah secara radikal.

Mengapa ini penting? Karena Allah menciptakan kita sebagai makhluk utuh: tubuh, jiwa, dan roh. Rencana penebusan-Nya mencakup penebusan seluruh keberadaan kita. Kebangkitan tubuh menegaskan bahwa dunia materi, tubuh fisik kita, itu baik di mata Tuhan dan akan dipulihkan sepenuhnya dari dampak dosa. Ini adalah janji bahwa suatu hari nanti, kita akan diperdamaikan sepenuhnya, tidak hanya jiwa tetapi juga tubuh kita, dengan Tuhan di sebuah langit baru dan bumi baru yang sempurna.

C. Kemenangan atas Maut

Dengan kebangkitan Kristus, kuasa maut telah dipatahkan. Dulu, maut adalah akhir yang menakutkan, gerbang menuju ketidakpastian. Tetapi melalui Kristus, maut telah kehilangan sengatnya, dan kubur telah kehilangan kemenangannya (1 Korintus 15:55-57). Bagi orang percaya, kematian adalah jalan menuju kehidupan yang lebih baik, lebih mulia, dan lebih abadi.

Ini adalah kemenangan yang harus kita pegang teguh. Kematian tidak memiliki kata akhir. Kata akhir adalah Kristus, yang berkata, "Aku hidup dan kamu akan hidup" (Yohanes 14:19). Kematian adalah sebuah jembatan, bukan jurang. Sebuah gerbang, bukan dinding. Sebuah awal, bukan akhir. Saudara/i kita yang telah meninggal dalam iman, telah menyeberang jembatan itu, memasuki gerbang itu, dan memulai kehidupan yang tak berkesudahan dalam hadirat Tuhan.

D. Konsep Waktu dalam Kekekalan

Bagi kita yang masih di dunia, menunggu kedatangan Kristus yang kedua kali dan kebangkitan orang mati mungkin terasa sangat lama. Namun, bagi mereka yang telah berpulang, waktu memiliki dimensi yang berbeda. Dari perspektif kekekalan, perpisahan ini adalah sementara. Kita yang percaya akan bertemu kembali. Pertemuan ini bukan hanya sekadar ingatan, tetapi persekutuan fisik dan rohani yang nyata, di mana kita akan bersama-sama memuliakan Tuhan tanpa batas waktu dan tanpa bayang-bayang duka.

Ini mengingatkan kita bahwa perspektif kita tentang waktu seringkali terbatas oleh pengalaman duniawi. Allah berada di luar batasan waktu yang kita pahami. Bagi-Nya, seribu tahun adalah seperti satu hari, dan satu hari seperti seribu tahun (2 Petrus 3:8). Oleh karena itu, kita dapat beristirahat dalam kepastian bahwa perpisahan ini adalah bagian dari rencana besar Allah yang melampaui pemahaman kita, sebuah rencana yang pada akhirnya akan membawa semua hal kepada kepenuhan di dalam Kristus.

III. Penghiburan Ilahi di Tengah Kesedihan: Kuasa Roh Kudus

Janji kebangkitan memberikan harapan jangka panjang, tetapi bagaimana dengan kesedihan yang kita rasakan saat ini? Bagaimana kita bisa melewati hari-hari, minggu-minggu, bahkan tahun-tahun setelah kehilangan? Di sinilah peran Roh Kudus, Sang Penghibur, menjadi sangat krusial.

"Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur."

– Matius 5:4

Ini bukan janji bahwa kita tidak akan berdukacita, tetapi janji bahwa dalam dukacita kita, Tuhan akan memberikan penghiburan. Penghiburan ini bukan berarti melupakan, bukan berarti tidak merasakan sakit, tetapi berarti menerima kekuatan dan damai sejahtera yang melampaui akal sehat.

A. Roh Kudus sebagai Penghibur Sejati

Ketika Yesus akan meninggalkan murid-murid-Nya, Ia berjanji akan mengirimkan seorang Penghibur, yaitu Roh Kudus (Yohanes 14:16, 26). Roh Kudus adalah pribadi ilahi yang tinggal di dalam setiap orang percaya. Dialah yang menuntun kita kepada seluruh kebenaran, mengingatkan kita akan janji-janji Yesus, dan memberikan damai sejahtera yang dunia tidak bisa berikan.

Dalam momen kesedihan seperti ini, Roh Kudus adalah sumber kekuatan kita. Ia menyertai kita dalam setiap tetes air mata, Ia mengerti setiap rintihan hati yang tidak terucapkan. Ia bekerja untuk menenangkan jiwa kita, memberikan perspektif ilahi atas realitas kematian, dan menguatkan iman kita di tengah goncangan. Penghiburan-Nya bukanlah penghiburan yang bersifat sementara atau dangkal, melainkan penghiburan yang mendalam, yang menyentuh inti keberadaan kita.

B. Kehadiran Tuhan di Lembah Kekelaman

Mazmur 23:4 adalah salah satu ayat yang paling menghibur di saat duka: "Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku." Tuhan tidak menjanjikan kita jalan yang bebas dari lembah kekelaman. Sebaliknya, Ia berjanji untuk menyertai kita *melalui* lembah itu.

Ini berarti bahwa di saat-saat paling gelap, ketika kita merasa sendirian dan putus asa, Tuhan tetap hadir. Ia adalah Gembala yang baik yang menuntun domba-domba-Nya. Gada dan tongkat-Nya bukan hanya alat koreksi, tetapi juga alat perlindungan dan penuntun. Ia melindungi kita dari bahaya, dan menuntun kita melewati jalur yang sulit. Kita tidak berjalan sendirian; ada hadirat ilahi yang menyertai, menopang, dan menguatkan kita.

Maka, biarlah kita mengizinkan diri kita untuk merasakan kehadiran Tuhan ini. Biarlah kita membuka hati kita untuk menerima penghiburan Roh Kudus. Itu mungkin tidak menghilangkan rasa sakit seketika, tetapi itu akan memberikan kekuatan untuk bertahan, dan damai sejahtera yang melampaui pemahaman kita.

C. Peran Komunitas Iman dalam Penghiburan

Selain penghiburan dari Roh Kudus, kita juga menerima penghiburan melalui komunitas orang percaya, yaitu Gereja. Paulus dalam Roma 12:15 menasihati kita untuk "bersukacita dengan orang yang bersukacita, dan menangis dengan orang yang menangis." Ini adalah panggilan untuk saling menanggung beban, saling menguatkan, dan saling menghibur.

Kehadiran saudara-saudari seiman di momen duka seperti ini adalah manifestasi kasih Kristus yang nyata. Melalui pelukan, kata-kata yang menguatkan, doa-doa yang tulus, dan bahkan sekadar kehadiran, kita menjadi tangan dan kaki Kristus yang menghibur. Ingatlah bahwa kita adalah tubuh Kristus; ketika satu anggota menderita, seluruh tubuh turut menderita. Maka, biarlah kita saling menguatkan dan menjadi saluran berkat dan penghiburan Tuhan satu sama lain.

Dukungan emosional, spiritual, dan bahkan praktis dari sesama jemaat sangatlah penting dalam proses berduka. Janganlah sungkan untuk mencari atau menerima bantuan. Biarlah komunitas ini menjadi tempat di mana kita dapat bersandar, berbagi beban, dan menemukan kekuatan untuk melangkah maju, dengan keyakinan bahwa kita tidak pernah sendirian dalam menghadapi setiap tantangan hidup, termasuk kematian.

IV. Hidup yang Bermakna dan Warisan Iman: Mengenang Almarhum/ah

Ibadah pelepasan jenazah ini juga adalah momen untuk merenungkan kehidupan almarhum/ah. Setiap hidup adalah sebuah cerita, sebuah perjalanan yang unik. Meskipun ada kesedihan karena kepergian, kita juga memiliki kesempatan untuk merayakan kehidupan yang telah Tuhan berikan dan warisan yang telah ditinggalkan.

A. Dampak Kehidupan yang Dijalani

Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk hidup bukan bagi diri sendiri, tetapi untuk kemuliaan Tuhan dan untuk kebaikan sesama (Roma 14:7-8). Kehidupan almarhum/ah, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, adalah kesaksian akan campur tangan Tuhan dalam hidup mereka. Kita mungkin mengingat senyum mereka, kebaikan hati mereka, pengabdian mereka, perjuangan mereka, atau cara mereka mencintai.

Setiap orang meninggalkan jejak dalam hati orang-orang di sekitarnya. Jejak itu bisa berupa kasih, pengorbanan, pelayanan, inspirasi, atau sekadar kenangan hangat. Mari kita mengingat hal-hal baik ini, bukan untuk mengkultuskan pribadi yang telah tiada, tetapi untuk memuliakan Allah yang telah bekerja melalui hidup mereka. Hal ini juga dapat menjadi sumber penghiburan, menyadari bahwa hidup yang telah dijalani itu berharga dan memiliki dampak.

B. Warisan Iman

Di antara semua warisan yang mungkin ditinggalkan, yang paling berharga adalah warisan iman. Jika almarhum/ah telah hidup dalam iman kepada Kristus, maka mereka telah menaburkan benih-benih iman yang mungkin akan terus bertumbuh dalam hidup kita. Mereka mungkin telah mengajarkan kita tentang kasih Tuhan, tentang pentingnya doa, tentang pelayanan, atau tentang ketekunan dalam menghadapi cobaan.

Warisan iman bukanlah tentang kekayaan materi atau ketenaran duniawi, tetapi tentang kesaksian hidup yang menunjuk kepada Kristus. Ini adalah tentang bagaimana mereka hidup, bagaimana mereka menghadapi tantangan, bagaimana mereka mencintai, dan bagaimana mereka berpegang teguh pada janji-janji Allah. Warisan ini adalah harta yang tak ternilai, yang terus hidup dalam hati kita dan dapat menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya.

Marilah kita meneladani setiap teladan baik, setiap jejak iman yang telah mereka tinggalkan. Biarlah itu memotivasi kita untuk semakin hidup bagi Kristus, untuk menaburkan benih-benih iman dalam hidup orang lain, sehingga ketika giliran kita tiba, kita juga dapat meninggalkan warisan yang memuliakan Tuhan.

V. Sovereignitas Allah dan Misteri Kematian

Salah satu pertanyaan yang paling sulit ketika menghadapi kematian adalah "Mengapa?" Mengapa sekarang? Mengapa orang yang kita kasihi? Dalam momen-momen seperti ini, iman kita diuji, dan kita dipanggil untuk bersandar pada sovereignitas Allah yang Mahakuasa.

A. Allah yang Berdaulat atas Hidup dan Mati

Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa Allah adalah pencipta dan pemelihara segala sesuatu. Ia memiliki kuasa penuh atas hidup dan mati. "Tuhan yang mematikan dan yang menghidupkan, yang menurunkan ke dalam dunia orang mati dan yang membangkitkan dari padanya" (1 Samuel 2:6). Ini mungkin sulit diterima ketika kita merasakan kehilangan yang mendalam, tetapi ini adalah kebenaran yang membebaskan kita dari beban mencoba memahami segala sesuatu.

Kita seringkali ingin mengontrol hidup kita, tetapi kematian adalah pengingat yang menyakitkan bahwa kontrol itu ada pada Tuhan. Namun, sovereignitas Allah bukanlah sovereignitas yang kejam atau sembarangan. Ini adalah sovereignitas dari Bapa yang penuh kasih, yang segala keputusan-Nya adalah untuk kebaikan anak-anak-Nya dan untuk kemuliaan nama-Nya, meskipun kita tidak selalu bisa melihatnya atau memahaminya di tengah kesedihan kita.

B. Misteri yang Tak Terjangkau Akal Manusia

Ada banyak hal tentang kematian dan kekekalan yang tetap menjadi misteri bagi akal manusia. Kita tidak tahu persis seperti apa surga, atau bagaimana kebangkitan tubuh akan terjadi. Kita tidak sepenuhnya memahami mengapa Allah mengizinkan penderitaan dan kematian. Dalam hal-hal ini, kita dipanggil untuk beriman, untuk percaya kepada Allah yang tahu segalanya, bahkan ketika kita tidak tahu.

Seperti Ayub, yang kehilangan segalanya namun tetap berkata, "Aku tahu, Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu" (Ayub 19:25). Iman Ayub tidak didasarkan pada pemahaman akan mengapa ia menderita, melainkan pada siapa Allahnya. Demikian pula kita, meskipun kita tidak memahami semua "mengapa," kita dapat bersandar pada "siapa" Allah kita: Allah yang setia, Allah yang baik, Allah yang Mahakuasa, dan Allah yang penuh kasih.

Misteri-misteri ini sebenarnya menegaskan keterbatasan kita sebagai manusia dan kebesaran Allah. Ketika kita menghadapi batas-batas pemahaman kita, di situlah kita memiliki kesempatan untuk semakin bersandar pada iman dan kepercayaan mutlak kepada Tuhan, yang rencana-Nya jauh melampaui kapasitas akal kita untuk memahaminya secara penuh.

VI. Panggilan untuk Merenung dan Beriman: Makna bagi Kita yang Masih Hidup

Kematian seseorang yang kita kasihi adalah pengingat yang kuat akan kefanaan hidup kita sendiri. Ini adalah panggilan bagi kita semua yang masih hidup untuk merenungkan makna hidup, mempersiapkan diri, dan memperbaharui komitmen kita kepada Kristus.

A. Menghargai Setiap Momen

Hidup ini singkat dan tidak pasti. Kita tidak pernah tahu kapan giliran kita akan tiba. Oleh karena itu, kita dipanggil untuk menghargai setiap momen yang Tuhan berikan. Menghargai bukan berarti hidup tanpa beban atau tanggung jawab, tetapi hidup dengan kesadaran akan anugerah waktu yang diberikan Tuhan.

Ini berarti mencintai dengan lebih dalam, memaafkan dengan lebih cepat, melayani dengan lebih setia, dan menghabiskan waktu dengan bijak. Jangan menunda untuk melakukan hal-hal yang benar, untuk mengucapkan kata-kata yang baik, atau untuk menyatakan kasih kita kepada orang-orang di sekitar kita. Setiap hari adalah anugerah, dan kita dipanggil untuk menjalaninya dengan tujuan yang berpusat pada Kristus.

B. Mempersiapkan Diri untuk Kekekalan

Kematian adalah kepastian bagi setiap manusia. Pertanyaan pentingnya bukan "Apakah kita akan mati?" tetapi "Apakah kita siap ketika kematian datang?" Persiapan terbaik untuk kekekalan bukanlah menumpuk harta benda di dunia, melainkan menaruh iman kita pada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi.

Yesus berkata, "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya?" (Matius 16:26). Ini adalah pertanyaan yang menusuk hati dan memanggil kita untuk mengevaluasi prioritas hidup kita. Apakah hidup kita berpusat pada hal-hal fana atau pada kekekalan? Apakah kita telah menerima anugerah keselamatan yang ditawarkan oleh Kristus?

Jika Anda belum pernah sungguh-sungguh menyerahkan hidup kepada Kristus, ibadah ini adalah momen yang tepat untuk merenungkan panggilan itu. Kematian adalah realitas yang tidak dapat kita hindari, tetapi penghakiman ilahi adalah sesuatu yang dapat kita hadapi dengan damai sejahtera, jika kita telah berdamai dengan Allah melalui Yesus Kristus.

C. Meneguhkan Iman dan Bertekun dalam Pelayanan

Bagi kita yang sudah percaya, momen duka ini adalah kesempatan untuk meneguhkan iman kita. Untuk mengingat kembali kebenaran-kebenaran dasar yang kita yakini, dan untuk berpegang teguh pada janji-janji Allah. Ini adalah saat untuk merenungkan kembali tujuan hidup kita sebagai murid Kristus, dan untuk semakin bertekun dalam pelayanan dan kesaksian kita.

Bagaimana kita ingin dikenal? Warisan apa yang ingin kita tinggalkan? Kiranya hidup kita menjadi surat yang terbuka yang dibaca oleh semua orang, yang menyatakan kasih dan kebenaran Kristus. Kiranya setiap langkah kita membawa kemuliaan bagi nama Tuhan, sampai pada hari ketika kita juga dipanggil pulang, untuk beristirahat dalam hadirat-Nya.

VII. Komitmen dan Pengharapan

Saudara-saudari yang terkasih,

Dalam setiap duka ada pelajaran, dalam setiap kehilangan ada pengingat, dan dalam setiap air mata ada janji. Hari ini kita telah melepaskan saudara/i kita dari dunia yang fana ini. Tubuh yang fana ini akan kembali kepada tanah, tetapi roh dan jiwa yang telah ditebus akan beristirahat dalam damai di pangkuan Bapa Surgawi, menantikan kebangkitan tubuh yang mulia.

A. Tetap Berpegang pada Janji Kristus

Marilah kita pulang dari tempat ini dengan hati yang, meskipun mungkin masih berduka, namun dipenuhi oleh pengharapan yang teguh. Harapan kita bukan pada keadaan dunia yang berubah-ubah, bukan pada kekuatan manusia yang terbatas, melainkan pada janji Allah yang tak pernah ingkar dan kuasa Kristus yang telah mengalahkan maut. "Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus" (1 Korintus 15:22).

Peganglah erat-erat janji ini. Biarlah janji kebangkitan dan hidup kekal menjadi pelita bagi kaki kita di tengah kegelapan duka, dan terang bagi jalan kita ke depan. Ingatlah bahwa Allah adalah Allah yang setia, dan Ia akan menepati setiap janji-Nya.

B. Menjalani Hidup dengan Tujuan Kekal

Kiranya kepergian saudara/i kita menjadi pemicu bagi kita untuk menjalani hidup ini dengan kesungguhan yang baru. Dengan visi kekal di hadapan kita. Mari kita hidup setiap hari dengan penuh rasa syukur, dengan kasih yang tulus, dengan pengabdian yang setia kepada Tuhan dan sesama.

Gunakanlah waktu yang Tuhan berikan untuk menaburkan benih-benih kebaikan, untuk menyatakan Injil, dan untuk memuliakan nama-Nya. Jangan sampai kita menyia-nyiakan anugerah hidup ini. Biarlah setiap nafas kita adalah pujian bagi-Nya, dan setiap tindakan kita adalah pelayanan bagi kerajaan-Nya.

C. Doa dan Berserah Penuh

Akhirnya, marilah kita senantiasa berdoa. Berdoa untuk keluarga yang ditinggalkan, agar mereka diberikan kekuatan, penghiburan, dan damai sejahtera yang melampaui segala pengertian. Berdoa untuk diri kita sendiri, agar kita senantiasa siap sedia ketika Tuhan memanggil kita pulang.

Dan di atas segalanya, marilah kita berserah sepenuhnya kepada kehendak Allah. Kehendak-Nya adalah yang terbaik, meskipun kita tidak selalu memahaminya. Ia adalah Allah yang mengasihi kita dengan kasih yang kekal, dan Ia akan memegang tangan kita melalui setiap lembah dan membawa kita kepada puncak kemuliaan-Nya.

Saudara-saudari yang terkasih,

Saat kita mengakhiri ibadah pelepasan ini, kita menaruh jasad saudara/i kita yang terkasih ke dalam peristirahatan terakhir, namun kita tidak menyerahkan mereka kepada keputusasaan. Kita menyerahkan mereka kepada Allah, yang adalah kebangkitan dan hidup. Kita percaya bahwa mereka sedang beristirahat dalam damai sejahtera-Nya, dan suatu hari nanti, kita yang percaya akan bertemu kembali di hadapan takhta-Nya yang mulia.

Terima kasih, Tuhan, atas kehidupan almarhum/ah. Terima kasih atas kasih-Mu yang tak terbatas. Dan terima kasih atas janji-Mu yang memberikan harapan kekal di tengah duka. Amin.