Renungan Mendalam Lukas 10

Menyelami panggilan ilahi, kasih yang tulus, dan prioritas dalam perjalanan iman. Sebuah eksplorasi komprehensif atas Lukas 10, dari perutusan hingga pelajaran berharga dari Marta dan Maria.

Pengantar: Membuka Halaman Lukas 10

Kitab Lukas adalah sebuah narasi yang kaya akan detail, menyoroti kemanusiaan Yesus dan misi-Nya untuk menjangkau yang terpinggirkan. Bab 10 khususnya, adalah permata rohani yang menawarkan serangkaian pelajaran mendalam tentang pelayanan, belas kasihan, prioritas, dan sifat Kerajaan Allah. Dalam bab ini, kita bertemu dengan Yesus yang mengirimkan utusan-utusan-Nya, menghadapi penolakan, bersukacita dalam kehendak Bapa, mengajarkan makna sejati dari kasih sesama melalui perumpamaan ikonik Orang Samaria yang Murah Hati, dan menegaskan pentingnya mendengarkan Firman di tengah kesibukan hidup.

Setiap perikop dalam Lukas 10 tidak hanya sekadar cerita atau ajaran moral; ia adalah sebuah undangan untuk merenungkan kembali tujuan hidup kita, cara kita berinteraksi dengan dunia, dan di mana hati kita seharusnya berlabuh. Mari kita selami setiap bagian dengan hati yang terbuka, mencari hikmat dan aplikasi praktis bagi kehidupan kita sebagai pengikut Kristus di masa kini.

Ilustrasi: Sebuah kitab terbuka yang merepresentasikan Firman Tuhan, sumber renungan kita.

Lukas 10:1-12 — Perutusan Tujuh Puluh Murid: Urgensi Panggilan Ilahi

Kemudian dari pada itu Tuhan menunjuk tujuh puluh murid yang lain, lalu mengutus mereka berdua-dua mendahului-Nya ke setiap kota dan tempat yang hendak dikunjungi-Nya.

Kata-Nya kepada mereka: "Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu.

Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala. Janganlah membawa pundi-pundi atau bekal atau kasut, dan janganlah memberi salam kepada siapapun selama dalam perjalanan.

Kalau kamu memasuki suatu rumah, katakanlah lebih dahulu: Damai sejahtera bagi rumah ini.

Dan jikalau di situ ada orang yang layak menerima damai sejahtera, maka damai sejahteramu itu akan tinggal padanya. Jika tidak, damai sejahteramu itu kembali kepadamu.

Tinggallah dalam rumah itu, makan dan minumlah apa yang diberikan orang kepadamu, sebab seorang pekerja patut mendapat upahnya. Janganlah berpindah-pindah rumah.

Dan jikalau kamu masuk ke dalam sebuah kota dan kamu diterima di situ, makanlah apa yang dihidangkan kepadamu,

dan sembuhkanlah orang-orang sakit yang ada di situ dan katakanlah kepada mereka: Kerajaan Allah sudah dekat padamu.

Tetapi jikalau kamu masuk ke dalam sebuah kota dan kamu tidak diterima di situ, pergilah ke jalan-jalan kota itu dan serukanlah:

Juga debu kotamu yang melekat pada kaki kami, kami kebaskan sebagai peringatan bagimu; tetapi ketahuilah ini: Kerajaan Allah sudah dekat!

Aku berkata kepadamu: Pada hari itu Sodom akan lebih ringan tanggungannya dari pada kota itu."

Tuaian Banyak, Pekerja Sedikit

Yesus memulai instruksi-Nya dengan sebuah pernyataan yang penuh urgensi: "Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit." Pernyataan ini bukan hanya gambaran tentang kondisi rohani pada zaman-Nya, tetapi juga sebuah kebenaran abadi yang relevan hingga hari ini. Tuaian melambangkan jiwa-jiwa yang membutuhkan Injil, yang haus akan kebenaran dan kasih Tuhan. Pekerja adalah mereka yang dipanggil untuk membawa kabar baik ini. Kekurangan pekerja menunjukkan betapa besar kebutuhan akan orang-orang yang bersedia terlibat dalam misi ilahi.

Pernyataan ini mendorong kita untuk merenungkan: Apakah kita menyadari "tuaian" di sekitar kita? Apakah kita melihat orang-orang di lingkungan kita—keluarga, teman, rekan kerja, tetangga—sebagai ladang yang siap panen bagi Kerajaan Allah? Atau kita terlalu sibuk dengan urusan pribadi kita sehingga melupakan panggilan besar ini? Yesus memerintahkan kita untuk berdoa agar Tuan yang empunya tuaian mengirimkan lebih banyak pekerja. Ini adalah pengakuan akan kedaulatan Tuhan atas misi-Nya, dan juga sebuah pengingat bahwa partisipasi kita dimulai dengan doa yang tulus.

Doa bukan hanya permohonan, tetapi juga penyerahan diri. Ketika kita berdoa untuk pekerja, kita juga harus bertanya kepada diri sendiri: "Mungkinkah Tuhan ingin saya menjadi salah satu dari pekerja itu?" Doa adalah langkah pertama, namun respons kita terhadap doa tersebut adalah langkah kedua yang tak kalah penting.

Diutus Seperti Anak Domba ke Tengah Serigala

Perumpamaan "anak domba ke tengah serigala" dengan jelas menggambarkan sifat misi yang berbahaya dan penuh tantangan. Domba adalah simbol kelemahan dan kerentanan, sementara serigala melambangkan bahaya, permusuhan, dan penolakan. Yesus tidak menyembunyikan realitas ini dari murid-murid-Nya. Dia mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan, bahkan penganiayaan. Ini mengajarkan kita bahwa mengikuti Kristus dan memberitakan Injil bukanlah jalan yang mudah, bebas dari masalah.

Namun, di balik peringatan ini, ada jaminan ilahi. Murid-murid diutus oleh Tuhan sendiri. Kehadiran Tuhan bersama mereka adalah perlindungan terbesar mereka. Ini menantang kita untuk bertanya: Apakah kita siap untuk mengambil risiko demi Injil? Apakah kita bersedia menghadapi penolakan atau kesulitan demi nama Kristus? Seringkali, ketakutan akan hal yang tidak nyaman membuat kita enggan melangkah. Namun, jaminan bahwa Tuhan yang mengutus dan menyertai kita haruslah menjadi sumber keberanian dan kekuatan kita.

Perutusan ini juga menyoroti pentingnya ketergantungan penuh pada Tuhan. Murid-murid diinstruksikan untuk tidak membawa "pundi-pundi atau bekal atau kasut." Ini adalah panggilan untuk hidup dalam iman, percaya bahwa Tuhan akan menyediakan kebutuhan mereka melalui orang-orang yang mereka layani. Ini adalah pelajaran penting tentang melepaskan ketergantungan pada sumber daya manusia dan sepenuhnya bergantung pada pemeliharaan ilahi. Di dunia yang sangat mengandalkan persiapan dan kemandirian, perintah ini menjadi tantangan radikal.

Ketika kita melangkah dalam pelayanan, apakah kita menaruh kepercayaan kita pada perencanaan yang matang, sumber daya yang melimpah, atau justru pada kedaulatan dan pemeliharaan Tuhan? Yesus ingin murid-murid-Nya belajar untuk hidup dari tangan Tuhan, sehingga mereka dan orang-orang yang mereka layani dapat menyaksikan kuasa-Nya.

Damai Sejahtera dan Tanggapan Terhadap Penolakan

Murid-murid diinstruksikan untuk menawarkan "damai sejahtera" kepada setiap rumah yang mereka masuki. Damai sejahtera (shalom dalam bahasa Ibrani) bukan hanya ketiadaan konflik, tetapi meliputi kesejahteraan menyeluruh—keselamatan, kesehatan, kemakmuran, dan harmoni dalam hubungan dengan Tuhan dan sesama. Ini adalah inti dari pesan Kerajaan Allah yang mereka bawa.

Yang menarik adalah tanggapan yang berbeda. Jika damai sejahtera diterima, ia akan tinggal. Jika tidak, ia akan kembali kepada mereka. Ini menunjukkan prinsip bahwa Injil adalah tawaran, bukan paksaan. Orang memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak. Bagi para pekerja, ini mengajarkan pentingnya melepaskan diri dari hasil yang diharapkan dan fokus pada kesetiaan dalam menyampaikan pesan. Tugas kita adalah menabur benih damai sejahtera, hasilnya adalah milik Tuhan.

Instruksi untuk "mengibas debu" dari kaki sebagai tanda peringatan bagi kota-kota yang menolak adalah tindakan simbolis yang kuat. Ini bukan tanda kemarahan atau dendam, melainkan penegasan akan pertanggungjawaban kota tersebut. Mereka telah menolak tawaran damai sejahtera dan Kerajaan Allah, dan konsekuensinya akan berat. Ini mengingatkan kita akan keseriusan dalam menanggapi Injil. Penolakan terhadap Kristus dan pesan-Nya bukanlah perkara sepele; ia memiliki implikasi kekal.

Bagi kita hari ini, pesan ini menegaskan bahwa kita dipanggil untuk menjadi pembawa damai sejahtera. Bagaimana kita membawa damai sejahtera ke lingkungan kita? Apakah melalui kata-kata kita, tindakan kita, atau cara kita hidup? Dan bagaimana kita menanggapi ketika pesan damai sejahtera kita ditolak? Apakah kita tetap setia dalam tugas kita, atau kita menyerah pada kekecewaan dan kepahitan? Ketekunan dalam misi, terlepas dari hasil, adalah kunci.

Ilustrasi: Dua sosok melambangkan murid-murid yang diutus berpasangan untuk menyampaikan kabar baik.

Lukas 10:13-16 — Kecaman terhadap Kota-kota yang Tidak Bertobat: Pertanggungjawaban di Hadapan Tuhan

"Celakalah engkau Korazim! Celakalah engkau Betsaida! Karena seandainya di Tirus dan Sidon terjadi mujizat-mujizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu, sudah lama mereka bertobat dan duduk dalam kain kabung dan abu.

Akan tetapi pada waktu penghakiman, tanggungan Tirus dan Sidon akan lebih ringan dari pada tanggunganmu.

Dan engkau Kapernaum, apakah engkau akan dinaikkan sampai ke langit? Engkau akan diturunkan sampai ke dunia orang mati!

Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku."

Tanggung Jawab atas Privilese

Yesus mengucapkan kata-kata kecaman yang keras terhadap kota-kota di Galilea—Korazim, Betsaida, dan Kapernaum. Ini adalah kota-kota di mana Yesus telah melakukan banyak mujizat dan mengajar dengan otoritas yang belum pernah ada sebelumnya. Mereka telah menjadi saksi langsung atas pekerjaan Kerajaan Allah, namun respons mereka adalah ketidakpedulian dan penolakan. Perkataan Yesus menyoroti prinsip penting: privilese yang lebih besar membawa tanggung jawab yang lebih besar pula.

Tirus dan Sidon, kota-kota non-Yahudi yang dikenal karena kebejatan moralnya, disebut sebagai perbandingan. Yesus menyatakan bahwa jika mereka telah melihat mujizat-mujizat yang sama, mereka mungkin sudah bertobat. Ini bukan berarti Tirus dan Sidon lebih baik secara moral, melainkan bahwa respons mereka terhadap pewahyuan ilahi akan berbeda. Kota-kota Yahudi ini, yang seharusnya lebih terbuka terhadap pesan dari Mesias, justru mengeraskan hati mereka. Ini adalah peringatan keras tentang bahaya spiritual dari kebiasaan, dari menjadi akrab dengan kebenaran tetapi tidak pernah meresponsnya dengan iman dan pertobatan.

Bagi kita hari ini, renungan ini sangat relevan. Di zaman modern, kita memiliki akses yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Firman Tuhan dan kesaksian tentang kuasa-Nya. Kita memiliki Alkitab dalam berbagai terjemahan, khotbah dan pengajaran yang tak terbatas melalui internet, dan kesempatan untuk bersekutu dengan orang percaya lainnya. Kita adalah generasi yang diberkati dengan "mujizat-mujizat" berupa pengetahuan, kesaksian, dan pengalaman rohani yang berlimpah.

Pertanyaannya adalah: Bagaimana kita merespons semua privilese ini? Apakah kita mengambilnya begitu saja? Apakah kita membiarkan keakraban dengan kebenaran membuat kita acuh tak acuh? Tuhan mengharapkan respons yang sesuai dengan tingkat pewahyuan yang telah kita terima. Semakin banyak yang diberikan kepada kita, semakin banyak yang akan dituntut dari kita. Ini adalah seruan untuk mempertimbangkan kembali keseriusan iman dan pertobatan yang terus-menerus dalam hidup kita.

Penolakan Terhadap Utusan = Penolakan Terhadap Tuhan

Yesus mengakhiri bagian ini dengan sebuah pernyataan yang menggetarkan: "Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku." Ini adalah pernyataan identifikasi yang luar biasa antara Yesus dan utusan-utusan-Nya. Ini mengangkat status dan otoritas para murid dalam misi mereka, dan pada saat yang sama, memberikan bobot yang serius pada penolakan terhadap Injil.

Implikasi bagi para murid pada waktu itu sangat jelas: mereka mewakili Yesus, dan melalui Yesus, mereka mewakili Bapa. Ini memberi mereka otoritas dan keberanian untuk berbicara kebenaran. Bagi kita hari ini, ini berarti bahwa ketika kita menyampaikan pesan Kristus, kita tidak berbicara atas nama diri kita sendiri, melainkan sebagai duta Kerajaan Allah. Pesan yang kita sampaikan, jika sesuai dengan Firman Tuhan, membawa otoritas ilahi.

Di sisi lain, bagi pendengar, ini adalah peringatan yang tegas. Menolak pesan para utusan Tuhan bukanlah sekadar menolak pandangan manusia; itu adalah penolakan terhadap Tuhan sendiri. Ini menegaskan bahwa Injil bukanlah pilihan moral di antara banyak pilihan, melainkan kebenaran mutlak yang menuntut respons. Konsekuensi dari penolakan ini adalah serius dan kekal.

Pernyataan ini mendorong kita untuk merenungkan bagaimana kita memandang peran kita sebagai saksi Kristus. Apakah kita menyadari bobot dan kehormatan yang diberikan kepada kita untuk mewakili Dia? Apakah kita menyampaikan pesan-Nya dengan kesetiaan dan keberanian yang sesuai dengan otoritas yang menyertainya? Dan bagaimana kita menerima pesan dari orang lain yang diutus Tuhan untuk berbicara kebenaran kepada kita? Apakah kita membuka hati untuk mendengarkan, atau kita menolak dengan alasan dan pembenaran diri?

Kecaman terhadap kota-kota yang tidak bertobat dan penegasan identifikasi ini adalah pengingat bahwa iman Kristen bukanlah tentang tradisi atau ritual semata, melainkan tentang respons pribadi dan terus-menerus terhadap undangan Tuhan. Tuhan tidak main-main dengan keselamatan jiwa, dan kita pun seharusnya demikian.

Lukas 10:17-20 — Tujuh Puluh Murid Kembali: Sukacita yang Sejati

Kemudian ketujuh puluh murid itu kembali dengan gembira dan berkata: "Tuhan, setan-setan takluk kepada kami demi nama-Mu."

Lalu kata Yesus kepada mereka: "Aku melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit.

Sesungguhnya Aku telah memberikan kuasa kepada kamu untuk menginjak ular dan kalajengking serta kuasa untuk menahan kekuatan musuh, sehingga tidak ada yang akan membahayakan kamu.

Namun demikian, janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga."

Sukacita Karena Kuasa yang Diberikan

Ketika ketujuh puluh murid kembali, mereka penuh dengan sukacita dan kegembiraan. Pengalaman mereka dalam pelayanan telah melampaui ekspektasi. Mereka telah melihat kuasa Tuhan bekerja melalui mereka, bahkan sampai setan-setan takluk demi nama Yesus. Ini adalah demonstrasi nyata akan Kerajaan Allah yang datang dengan kuasa.

Respon Yesus terhadap laporan mereka sangatlah menarik. Dia tidak meremehkan pengalaman mereka, bahkan Dia menegaskan pengamatan mereka dengan pernyataan profetis: "Aku melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit." Ini menunjukkan bahwa pelayanan para murid adalah bagian dari peperangan rohani yang lebih besar, di mana kuasa kegelapan sedang dihancurkan oleh terang Kerajaan Allah. Yesus juga menegaskan bahwa kuasa yang Dia berikan kepada mereka adalah kuasa yang melampaui kekuatan musuh, memberikan jaminan perlindungan dan kemenangan.

Pengalaman ini adalah dorongan bagi setiap orang percaya yang terlibat dalam pelayanan. Seringkali, pelayanan bisa terasa melelahkan, tidak membuahkan hasil, atau bahkan menakutkan. Namun, bagian ini mengingatkan kita bahwa Tuhan telah memberi kita kuasa untuk menghadapi kekuatan musuh, untuk menyembuhkan, dan untuk membawa pembebasan. Melihat kuasa Tuhan bekerja melalui kita adalah pengalaman yang membangkitkan semangat, dan merupakan sukacita yang wajar untuk merayakannya.

Ini juga mengajarkan kita bahwa pelayanan Kristen bukanlah usaha manusiawi semata. Itu adalah pekerjaan ilahi yang dilakukan melalui tangan manusia. Kuasa yang kita lihat bukanlah dari kita, melainkan dari Kristus yang bekerja di dalam dan melalui kita. Kesadaran ini harus menimbulkan kerendahan hati dan ucapan syukur, bukan kesombongan.

Sumber Sukacita yang Sejati

Meskipun Yesus mengakui dan menegaskan pengalaman kuasa para murid, Dia dengan cepat mengalihkan fokus mereka kepada sumber sukacita yang lebih dalam dan lebih abadi. Dia berkata, "Namun demikian, janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga." Ini adalah inti dari bagian ini dan sebuah kebenaran fundamental bagi setiap orang percaya.

Mengapa Yesus mengatakan ini? Karena sukacita yang berasal dari pengalaman kuasa, meskipun nyata, bisa bersifat sementara dan fluktuatif. Mujizat mungkin terjadi hari ini, tetapi mungkin tidak besok. Setan-setan mungkin takluk dalam satu situasi, tetapi tantangan lain mungkin muncul. Jika sukacita kita bergantung pada manifestasi kuasa atau keberhasilan yang terlihat, kita rentan terhadap kekecewaan dan keputusasaan ketika hal-hal tidak berjalan sesuai harapan.

Sebaliknya, sukacita karena "nama terdaftar di surga" adalah sukacita yang didasarkan pada identitas dan posisi kita di dalam Kristus. Ini adalah sukacita karena keselamatan kita, karena kita telah diampuni, diadopsi sebagai anak-anak Allah, dan memiliki tempat yang pasti dalam Kerajaan-Nya yang kekal. Sukacita ini tidak bergantung pada kinerja kita, keberhasilan pelayanan kita, atau bahkan pengalaman spiritual yang luar biasa. Itu didasarkan pada anugerah Allah yang tidak berubah.

Ini adalah pengingat penting bagi kita semua yang melayani atau hidup sebagai orang Kristen. Kita mungkin merayakan kesuksesan pelayanan, pertumbuhan jemaat, jawaban doa, atau pengalaman rohani yang kuat. Ini semua adalah hal yang baik dan patut disyukuri. Namun, Yesus mengingatkan kita untuk menggali lebih dalam, untuk menemukan akar sukacita kita pada kenyataan yang paling mendasar: bahwa kita adalah milik Allah, bahwa kita diselamatkan, dan bahwa kita memiliki jaminan kehidupan kekal.

Ketika kita menghadapi kegagalan, penolakan, atau masa-masa kering dalam hidup dan pelayanan, sukacita ini akan menjadi jangkar kita. Ini akan memungkinkan kita untuk tetap setia, tidak terombang-ambing oleh pasang surut kehidupan. Renungan ini memanggil kita untuk terus-menerus kembali kepada kebenaran identitas kita dalam Kristus, dan membiarkan kebenaran itu menjadi sumber sukacita kita yang utama dan tidak tergoyahkan.

Ilustrasi: Awan dengan kilat, melambangkan kuasa rohani dan jatuhnya Iblis.

Lukas 10:21-24 — Yesus Bersukacita dan Pewahyuan Ilahi

Pada waktu itu juga bergembiralah Yesus dalam Roh Kudus dan berkata: "Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu.

Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak ada seorangpun yang tahu siapakah Anak selain Bapa, dan siapakah Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakan-Nya."

Sesudah itu berpalinglah Yesus kepada murid-murid-Nya tersendiri dan berkata: "Berbahagialah mata yang melihat apa yang kamu lihat.

Karena Aku berkata kepadamu: Banyak nabi dan raja ingin melihat apa yang kamu lihat, tetapi tidak melihatnya, dan ingin mendengar apa yang kamu dengar, tetapi tidak mendengarnya."

Sukacita Yesus dan Kedaulatan Bapa

Setelah para murid kembali dengan sukacita atas kuasa yang mereka alami, Yesus sendiri bersukacita dalam Roh Kudus. Sukacita Yesus ini bukan sekadar emosi sesaat, melainkan ekspresi mendalam dari keselarasan-Nya dengan kehendak Bapa. Dia bersyukur kepada Bapa karena Bapa telah memilih untuk menyatakan kebenaran Kerajaan-Nya kepada "orang kecil" (bayi-bayi), sementara menyembunyikannya dari "orang bijak dan orang pandai."

Pernyataan ini adalah sebuah paradoks ilahi. Dalam pandangan dunia, kebijaksanaan dan kepandaian adalah aset berharga yang memungkinkan seseorang memahami hal-hal yang kompleks. Namun, dalam Kerajaan Allah, seringkali justru kerendahan hati dan kesederhanaan yang membuka jalan bagi pewahyuan ilahi. Ini bukan berarti Tuhan menolak orang-orang berpendidikan atau cerdas, tetapi Dia menolak kesombongan intelektual yang menghalangi penerimaan kebenaran-Nya.

Para "orang bijak dan orang pandai" yang dimaksud mungkin adalah para ahli Taurat, orang Farisi, dan para pemimpin agama yang sombong dalam pengetahuan mereka dan menolak Yesus. Sebaliknya, "orang kecil" adalah para murid yang sederhana, orang-orang biasa, dan mereka yang rendah hati yang membuka hati mereka untuk menerima ajaran Yesus. Yesus bersukacita karena rencana Bapa tidak dapat digagalkan oleh kesombongan manusia; sebaliknya, Ia bekerja melalui jalur yang tidak terduga, menyatakan diri-Nya kepada mereka yang memiliki hati yang mudah diajar.

Renungan ini mengajak kita untuk mengevaluasi hati kita. Apakah kita mendekati Firman Tuhan dengan kerendahan hati seorang "bayi," yang siap menerima kebenaran tanpa prasangka, atau dengan kesombongan seorang "orang bijak" yang merasa sudah tahu segalanya? Kebenaran yang paling mendalam tentang Tuhan dan Kerajaan-Nya seringkali hanya dapat diakses melalui iman yang sederhana dan hati yang tunduk, bukan melalui kecerdasan intelektual semata.

Pewahyuan Pribadi dari Anak

Yesus kemudian mengungkapkan kedalaman hubungan-Nya dengan Bapa: "Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak ada seorangpun yang tahu siapakah Anak selain Bapa, dan siapakah Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakan-Nya." Ini adalah salah satu pernyataan paling eksplisit dalam Injil tentang keilahian Yesus dan hubungan unik-Nya dengan Bapa.

Yesus memiliki otoritas penuh atas segala sesuatu karena telah diserahkan oleh Bapa. Lebih dari itu, Dia adalah satu-satunya yang sepenuhnya mengenal Bapa, dan Bapa adalah satu-satunya yang sepenuhnya mengenal Dia. Pengetahuan tentang Bapa hanya mungkin melalui Anak, dan Anak memilih kepada siapa Dia akan menyatakan Bapa. Ini menegaskan bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan kepada Bapa, dan pewahyuan tentang Tuhan bukanlah hasil dari pencarian filosofis atau usaha manusiawi, melainkan anugerah dari Anak kepada mereka yang Ia berkenan untuk menyatakannya.

Implikasi bagi kita sangat mendalam. Kita tidak bisa mengenal Tuhan secara sejati kecuali melalui Yesus Kristus. Hubungan pribadi dengan Yesus adalah pintu gerbang menuju pengetahuan yang intim tentang Bapa. Ini adalah privilese yang luar biasa—bahwa kita, melalui Yesus, dapat memiliki akses dan pemahaman tentang Tuhan semesta alam. Ini juga menekankan pentingnya Injil sebagai satu-satunya wahyu yang memadai tentang Allah. Tidak ada jalan lain, tidak ada guru lain, yang dapat memberikan pengetahuan ini.

Bagaimana kita menanggapi klaim eksklusif Yesus ini? Apakah kita menghargai privilese untuk mengenal Bapa melalui Anak? Apakah kita mencari pewahyuan yang lebih dalam tentang Tuhan melalui persekutuan yang terus-menerus dengan Yesus dan Firman-Nya? Ini adalah undangan untuk terus-menerus menyelami misteri Kristus, Sang Anak yang menyatakan Bapa.

Berbahagialah Mata yang Melihat

Yesus kemudian berpaling kepada murid-murid-Nya dan menyatakan betapa beruntungnya mereka: "Berbahagialah mata yang melihat apa yang kamu lihat. Karena Aku berkata kepadamu: Banyak nabi dan raja ingin melihat apa yang kamu lihat, tetapi tidak melihatnya, dan ingin mendengar apa yang kamu dengar, tetapi tidak mendengarnya."

Murid-murid hidup di masa yang unik dalam sejarah keselamatan. Mereka menyaksikan langsung inkarnasi Allah, mendengar ajaran-Nya, melihat mujizat-Nya, dan mengalami kehadiran Kerajaan Allah yang telah datang. Ini adalah privilese yang tidak pernah dinikmati oleh nabi-nabi dan raja-raja besar di Perjanjian Lama, yang merindukan kedatangan Mesias. Mereka hanya melihat bayangan dan janji, tetapi murid-murid melihat kenyataannya.

Bagi kita hari ini, meskipun kita tidak secara fisik bersama Yesus di Galilea, kita juga memiliki privilese yang luar biasa. Kita memiliki kesaksian lengkap tentang hidup, kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus. Kita memiliki Roh Kudus yang tinggal di dalam kita untuk memimpin dan mengajar kita. Kita memiliki Firman Tuhan yang lengkap untuk membimbing kita. Kita hidup dalam "zaman gereja," di mana Roh Kudus dicurahkan dan Injil diberitakan ke seluruh dunia.

Apakah kita menghargai "apa yang kita lihat dan dengar" ini? Apakah kita menyadari kekayaan warisan spiritual yang kita miliki? Atau kita menganggapnya biasa saja? Renungan ini memanggil kita untuk bersyukur atas anugerah pewahyuan yang telah kita terima, dan untuk hidup sesuai dengan kebenaran yang telah dinyatakan kepada kita. Itu adalah sebuah undangan untuk tidak menjadi seperti kota-kota yang tidak bertobat, yang melihat dan mendengar tetapi tidak merespons, melainkan untuk menjadi seperti murid-murid yang dengan rendah hati menerima dan hidup dalam terang kebenaran ilahi.

Lukas 10:25-37 — Perumpamaan Orang Samaria yang Murah Hati: Definisi Sejati Kasih Sesama

Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: "Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?"

Jawab Yesus kepadanya: "Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?"

Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."

Kata Yesus kepadanya: "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup."

Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata lagi kepada Yesus: "Dan siapakah sesamaku manusia?"

Jawab Yesus: "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi juga memukulnya dan sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati.

Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan.

Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan.

Lalu datanglah seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan; ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.

Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke penginapan dan merawatnya.

Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan apa yang kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, apabila aku kembali.

Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, yang menjadi sesama manusia bagi orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?"

Jawab orang itu: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!"

Pertanyaan tentang Hidup Kekal dan "Siapakah Sesama Manusia?"

Perumpamaan Orang Samaria yang Murah Hati dimulai dengan pertanyaan seorang ahli Taurat yang ingin mencobai Yesus: "Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" Yesus mengarahkan kembali pertanyaan itu kepada ahli Taurat itu sendiri, memintanya untuk mengutip Hukum Taurat. Ahli Taurat dengan tepat menjawab dengan dua perintah terbesar: mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, kekuatan, dan akal budi, serta mengasihi sesama seperti diri sendiri.

Jawaban Yesus: "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup." Ini menunjukkan bahwa pengetahuan saja tidak cukup; tindakan adalah kuncinya. Namun, ahli Taurat, ingin "membenarkan dirinya," mengajukan pertanyaan lanjutan: "Dan siapakah sesamaku manusia?" Pertanyaan ini adalah upaya untuk membatasi ruang lingkup kasih, untuk menciptakan batasan-batasan yang nyaman, sehingga ia bisa memutuskan siapa yang layak menerima kasihnya dan siapa yang tidak.

Dalam konteks Yudaisme pada masa itu, konsep "sesama manusia" seringkali dibatasi pada sesama orang Yahudi, atau bahkan lebih sempit lagi, pada anggota komunitas agama yang sama. Orang-orang Samaria, misalnya, dianggap musuh bebuyutan karena perbedaan sejarah, agama, dan etnis. Pertanyaan ahli Taurat mencerminkan keinginan manusia untuk mengategorikan dan membatasi kasih berdasarkan identitas atau kesamaan.

Renungan ini mengajak kita untuk bertanya kepada diri sendiri: Apakah kita juga mencoba membatasi siapa "sesama" kita? Apakah kita cenderung mengasihi mereka yang mirip dengan kita, yang berasal dari latar belakang yang sama, atau yang memiliki pandangan politik dan agama yang serupa? Apakah kita menghindari mereka yang berbeda, atau yang dianggap "bermasalah" oleh masyarakat? Yesus tidak menjawab dengan definisi abstrak, melainkan dengan sebuah cerita yang mengubah perspektif.

Tiga Karakter di Jalan Yerikho

Yesus kemudian menceritakan perumpamaan tentang seorang pria yang turun dari Yerusalem ke Yerikho—sebuah jalan yang terkenal berbahaya karena seringnya ada penyamun. Pria itu diserang, dirampok, dipukuli, dan ditinggalkan setengah mati. Ini adalah gambar kehancuran total, penderitaan yang tak berdaya.

1. Imam dan Orang Lewi: Pelayanan Agama vs. Kasih Nyata

Dua tokoh agama yang dihormati dalam masyarakat Yahudi, seorang imam dan seorang Lewi, kebetulan melewati jalan yang sama. Keduanya melihat pria yang terluka itu, namun keduanya memilih untuk "melewatinya dari seberang jalan." Tindakan mereka mungkin didorong oleh berbagai alasan:

  • Ketakutan akan kenajisan ritual: Menyentuh mayat atau orang yang dianggap mati akan membuat mereka najis secara ritual, sehingga tidak bisa melakukan pelayanan di Bait Allah.
  • Ketakutan akan bahaya: Mereka mungkin khawatir penyamun masih bersembunyi di dekatnya.
  • Keegoisan dan ketidakpedulian: Mereka mungkin tidak ingin direpotkan atau mengeluarkan biaya.
Apapun alasannya, tindakan mereka adalah kegagalan moral dan spiritual. Mereka mewakili institusi agama yang kehilangan esensi kasih, lebih mementingkan aturan atau kenyamanan pribadi daripada belas kasihan terhadap penderitaan manusia. Ini adalah kritik tajam terhadap kemunafikan agama yang hanya berpusat pada ritual eksternal tanpa memiliki hati yang berbelas kasihan.

2. Orang Samaria: Musuh yang Menjadi Pahlawan

Kemudian datanglah "seorang Samaria." Pilihan karakter ini adalah sebuah kejutan dan provokasi bagi pendengar Yahudi Yesus. Orang Samaria adalah orang yang paling tidak diharapkan untuk menunjukkan belas kasihan. Mereka adalah musuh, orang luar, yang dianggap rendahan secara agama dan etnis.

Namun, justru orang Samaria inilah yang "tergerak hatinya oleh belas kasihan" ketika melihat pria yang terluka itu. Belas kasihan ini bukan hanya emosi, tetapi segera termanifestasi dalam tindakan nyata:

  • Mendekat dan merawat: Ia pergi kepada pria itu, membalut luka-lukanya dengan minyak dan anggur (keduanya memiliki sifat antiseptik dan penyembuh pada masa itu).
  • Memberi transportasi: Ia menaikkan pria itu ke atas keledai tunggangannya sendiri, menunjukkan bahwa ia bahkan mengorbankan kenyamanannya sendiri.
  • Memberi penginapan dan perawatan: Ia membawanya ke penginapan dan merawatnya semalaman.
  • Memberi jaminan finansial: Keesokan harinya, ia memberikan dua dinar (upah dua hari kerja, jumlah yang cukup besar) kepada pemilik penginapan, menjamin perawatan lebih lanjut dan berjanji akan membayar biaya tambahan jika ada.
Tindakan orang Samaria ini adalah contoh kasih agape yang murni dan tanpa syarat. Ia melihat penderitaan dan meresponsnya tanpa memandang ras, agama, status sosial, atau status musuh. Ia tidak bertanya siapa orang itu, melainkan hanya melihat kebutuhan dan bertindak.

Siapakah Sesama Manusia yang Sejati?

Setelah menceritakan perumpamaan itu, Yesus tidak lagi bertanya "Siapakah sesamaku manusia?" melainkan "Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, yang menjadi sesama manusia bagi orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" Perubahan pertanyaan ini sangat penting. Ini menggeser fokus dari pertanyaan "Siapa yang harus saya kasihi?" menjadi "Kepada siapa saya harus menjadi sesama?" atau "Siapa yang bertindak sebagai sesama bagi yang menderita?"

Ahli Taurat, meskipun enggan menyebut "Samaria," mengakui: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Jawabannya benar. Lalu Yesus berkata, "Pergilah, dan perbuatlah demikian!" Ini adalah perintah untuk bertindak, bukan hanya mengetahui.

Pelajaran dari perumpamaan ini sangatlah mendalam:

  • Kasih sejati tidak mengenal batas: Konsep "sesama manusia" melampaui batasan suku, ras, agama, atau status sosial. Setiap orang yang menderita dan membutuhkan adalah sesama kita.
  • Kasih termanifestasi dalam tindakan: Kasih bukan hanya perasaan atau niat baik, melainkan tindakan nyata belas kasihan dan pengorbanan.
  • Kasih membutuhkan pengorbanan: Orang Samaria mengorbankan waktu, kenyamanan, sumber daya, dan bahkan risikonya sendiri. Kasih yang sejati selalu menuntut pengorbanan.
  • Kritik terhadap kemunafikan agama: Agama tanpa belas kasihan adalah sia-sia. Kebenaran iman harus terlihat dalam cara kita memperlakukan orang lain.
  • Panggilan untuk menjadi sesama: Kita dipanggil untuk *menjadi* sesama bagi mereka yang membutuhkan, bukan hanya mencari tahu siapa yang termasuk dalam definisi sesama kita.
Perumpamaan ini adalah inti dari etika Kristen dan tantangan abadi bagi setiap orang percaya. Di dunia yang penuh dengan polarisasi, perpecahan, dan penderitaan, panggilan untuk menjadi "Orang Samaria yang Murah Hati" adalah panggilan untuk melampaui batas-batas, untuk melihat setiap manusia dengan mata belas kasihan Kristus, dan untuk bertindak dengan kasih yang nyata dan tanpa syarat. Kita harus pergi dan berbuat demikian.

Ilustrasi: Bentuk hati yang melambangkan belas kasihan dan kasih yang tulus.

Lukas 10:38-42 — Marta dan Maria: Prioritas dalam Kehidupan Kristen

Ketika Yesus dan murid-murid-Nya dalam perjalanan, tibalah Ia di sebuah kampung. Seorang perempuan bernama Marta menerima Dia di rumahnya.

Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya,

sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia datang kepada Yesus dan berkata: "Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku."

Tetapi Tuhan menjawabnya: "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara,

tetapi satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya."

Dua Respons Terhadap Kehadiran Yesus

Kisah Marta dan Maria adalah salah satu perikop paling terkenal dalam Injil, yang berbicara tentang prioritas dan fokus dalam kehidupan Kristen. Yesus dan murid-murid-Nya diterima di rumah Marta, yang menunjukkan keramahtamahan yang luar biasa. Namun, di dalam rumah itu, kita melihat dua respons yang sangat berbeda terhadap kehadiran Yesus.

1. Marta: Kesibukan dan Kekhawatiran

Marta adalah gambaran seseorang yang sangat aktif dan bertanggung jawab. Sebagai nyonya rumah, ia merasa perlu untuk mempersiapkan segala sesuatu dengan sempurna untuk tamu istimewanya, Yesus. Ia "sibuk sekali melayani" (dalam bahasa aslinya, ini menggambarkan kesibukan yang luar biasa, hingga membuat lelah dan cemas). Tindakan Marta pada dasarnya adalah tindakan yang baik: melayani adalah bentuk kasih, dan mempersiapkan hidangan untuk Tuhan adalah kehormatan.

Namun, kesibukan Marta berubah menjadi kekhawatiran dan kegelisahan. Ia menjadi begitu terbebani oleh "banyak perkara" sehingga ia kehilangan sukacita dalam pelayanannya dan bahkan mulai menyalahkan saudarinya, Maria. Puncaknya, ia bahkan berani mengeluh kepada Yesus, "Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku." Keluhannya bukan hanya tentang Maria, tetapi juga tersirat kritik terhadap Yesus, seolah-olah Yesus tidak adil atau tidak peduli.

Kisah Marta adalah refleksi bagi banyak dari kita. Di dunia yang serba cepat ini, kita seringkali terjebak dalam kesibukan yang tak berkesudahan—pekerjaan, keluarga, pelayanan, kewajiban sosial. Niat kita mungkin baik, ingin melakukan yang terbaik, ingin melayani Tuhan dan sesama. Namun, jika kita tidak hati-hati, kesibukan ini bisa merampas kedamaian kita, membuat kita cemas, dan bahkan membuat kita merasa kesal terhadap orang lain yang tampaknya "tidak melakukan cukup" atau "tidak membantu." Kita bisa menjadi sangat terfokus pada "melakukan" sehingga kita melupakan "menjadi."

Pertanyaan untuk kita adalah: Apakah kesibukan kita mendorong kita semakin dekat kepada Kristus, atau justru menjauhkan kita dari kehadiran-Nya? Apakah pelayanan kita berasal dari hati yang penuh kasih dan damai, atau dari kecemasan dan keinginan untuk membenarkan diri? Perikop ini bukanlah kritik terhadap pelayanan, melainkan kritik terhadap prioritas yang salah dalam pelayanan.

2. Maria: Pilihan Bagian yang Terbaik

Di sisi lain, Maria memilih untuk "duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya." Tindakan Maria adalah simbol penyerahan diri, kerendahan hati, dan hasrat untuk belajar. Pada masa itu, duduk di kaki seorang guru adalah posisi seorang murid. Maria memprioritaskan mendengarkan ajaran Yesus di atas kesibukan melayani.

Pilihan Maria menunjukkan bahwa ia memahami satu hal yang paling penting: kehadiran Yesus adalah kesempatan untuk menerima pengajaran dan persekutuan dengan Sang Guru. Di tengah segala kebutuhan praktis, ia menyadari bahwa kebutuhan rohani adalah yang paling utama. Ia memilih untuk mengutamakan Firman Tuhan dan kehadiran-Nya.

Ketika Marta mengeluh, Yesus menjawab dengan lembut namun tegas: "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya." Yesus tidak mengatakan bahwa pelayanan Marta itu buruk, tetapi Dia mengatakan bahwa Maria telah memilih "bagian yang terbaik." Bagian yang terbaik ini adalah persekutuan intim dengan Yesus dan mendengarkan Firman-Nya.

Mengapa "tidak akan diambil dari padanya"? Karena hubungan dengan Tuhan dan Firman-Nya adalah kekal. Pekerjaan dan persiapan di dapur mungkin akan berlalu, makanan akan habis, tetapi Firman Tuhan dan dampak rohaninya akan tetap abadi. Itu adalah investasi yang jauh lebih bernilai.

Menemukan Keseimbangan dan Prioritas Sejati

Kisah Marta dan Maria bukanlah tentang memilih antara melayani dan menyembah, atau antara bekerja dan beristirahat. Ini adalah tentang prioritas. Pelayanan (seperti yang dilakukan Marta) adalah penting dan Alkitab memuji pelayan yang setia. Namun, pelayanan yang tidak berasal dari atau tidak didahului oleh persekutuan yang mendalam dengan Tuhan akan menjadi kering, melelahkan, dan penuh kekhawatiran.

Pelayanan yang paling efektif dan berkelanjutan adalah pelayanan yang mengalir dari hati yang telah mendengarkan Tuhan, yang telah diisi oleh Roh-Nya, dan yang telah beristirahat di kaki-Nya. Maria mengingatkan kita bahwa kita harus menjadi manusia sebelum menjadi manusia yang melakukan sesuatu. Identitas kita dalam Kristus harus menjadi dasar bagi aktivitas kita.

Bagaimana kita bisa menerapkan pelajaran ini dalam hidup kita?

  • Prioritaskan waktu bersama Tuhan: Di tengah jadwal yang padat, sengaja luangkan waktu untuk doa, membaca Firman, dan merenung. Ini adalah "bagian yang terbaik" yang tidak boleh kita abaikan.
  • Periksa motivasi pelayanan kita: Apakah kita melayani karena keinginan untuk menyenangkan Tuhan dan mengasihi sesama, atau karena rasa kewajiban, ingin dipuji, atau karena takut mengecewakan?
  • Hindari kecemasan yang tidak perlu: Yesus berkata, "Engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara." Belajar untuk menyerahkan kekhawatiran kita kepada Tuhan dan percaya pada pemeliharaan-Nya.
  • Belajar untuk mengatakan "tidak": Terkadang, kita perlu belajar untuk tidak mengambil terlalu banyak tanggung jawab agar kita tidak menjadi seperti Marta yang "sibuk sekali."
  • Hargai waktu mendengarkan: Jadikan mendengarkan Firman Tuhan sebagai prioritas utama, baik dalam ibadah pribadi maupun di gereja.
Pada akhirnya, kisah Marta dan Maria adalah undangan untuk menemukan keseimbangan ilahi, di mana pelayanan yang aktif mengalir dari persekutuan yang mendalam dengan Kristus. Ini adalah panggilan untuk menjadikan Yesus sebagai pusat segala sesuatu, untuk memprioritaskan yang kekal di atas yang fana, dan untuk memilih "bagian yang terbaik" yang tidak akan pernah diambil dari kita.

Ilustrasi: Tanda centang dalam lingkaran, melambangkan pilihan yang benar dan prioritas yang tepat.

Kesimpulan: Membawa Renungan Lukas 10 ke Dalam Hidup Sehari-hari

Lukas 10 adalah bab yang dinamis dan transformatif, penuh dengan ajaran-ajaran yang menantang dan menghibur bagi para pengikut Kristus. Dari perutusan tujuh puluh murid hingga pelajaran dari Marta dan Maria, setiap bagian menyingkapkan aspek-aspek penting dari Kerajaan Allah dan panggilan kita sebagai orang percaya.

Kita telah melihat urgensi panggilan Tuhan untuk melibatkan diri dalam "tuaian" yang besar, dengan kesadaran bahwa kita diutus dalam kerentanan namun dengan kuasa ilahi. Kita diingatkan akan seriusnya penolakan terhadap Injil dan tanggung jawab yang menyertai privilese pewahyuan ilahi. Yesus mengalihkan fokus kita dari sukacita sementara karena pengalaman kuasa kepada sukacita yang kekal karena nama kita terdaftar di surga.

Perumpamaan Orang Samaria yang Murah Hati meruntuhkan semua batasan sempit kita tentang "sesama manusia" dan menantang kita untuk menunjukkan kasih yang nyata, aktif, dan tanpa syarat kepada siapa pun yang membutuhkan, bahkan kepada mereka yang mungkin kita anggap sebagai musuh atau orang asing. Ini adalah inti dari iman kita: kasih yang memimpin pada tindakan belas kasihan.

Akhirnya, kisah Marta dan Maria adalah pengingat yang lembut namun tegas tentang prioritas. Di tengah kesibukan hidup dan pelayanan, kita dipanggil untuk memilih "bagian yang terbaik"—yaitu, persekutuan yang intim dengan Kristus dan mendengarkan Firman-Nya—sebagai fondasi dan sumber kekuatan bagi segala sesuatu yang kita lakukan.

Sebagai penutup renungan ini, mari kita berkomitmen untuk tidak hanya memahami kebenaran-kebenaran ini secara intelektual, tetapi juga untuk menerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari.

  1. **Merespons Panggilan Misi:** Apakah ada "tuaian" di sekitar Anda yang membutuhkan kabar baik? Berdoalah untuk pekerja, dan jadilah pekerja itu.
  2. **Memahami Tanggung Jawab:** Hargai akses Anda terhadap Firman Tuhan dan responsiflah terhadap pewahyuan-Nya. Jangan mengeraskan hati Anda.
  3. **Bersukacita dalam Jaminan:** Jadikan keselamatan Anda dan identitas Anda dalam Kristus sebagai sumber sukacita utama Anda, melampaui segala keberhasilan atau kegagalan duniawi.
  4. **Hidup dalam Belas Kasihan:** Latihlah diri Anda untuk melihat kebutuhan di sekitar Anda dan bertindak sebagai "Orang Samaria yang Murah Hati" bagi mereka yang membutuhkan, tanpa diskriminasi.
  5. **Menentukan Prioritas:** Di tengah kesibukan, pastikan waktu Anda dengan Tuhan adalah prioritas utama. Biarkan persekutuan dengan Kristus memberdayakan dan mengarahkan semua pelayanan Anda.
Lukas 10 adalah sebuah peta jalan untuk kehidupan yang bermakna dan berpusat pada Kristus. Semoga renungan ini memperdalam iman Anda dan mendorong Anda untuk hidup lebih setia kepada panggilan ilahi Anda.