Renungan Lukas 13:31-35: Tangisan Kristus untuk Yerusalem

Kisah-kisah dalam Injil adalah jendela yang memungkinkan kita mengintip ke dalam hati dan pikiran Yesus Kristus, Sang Anak Domba Allah. Setiap perikop, setiap percakapan, dan setiap tindakan-Nya membawa makna yang mendalam dan ajaran yang tak lekang oleh waktu. Salah satu perikop yang paling menyentuh hati dan penuh dengan gejolak emosi adalah Lukas 13:31-35. Di tengah perjalanan-Nya menuju Yerusalem, di mana takdir ilahi-Nya akan digenapi, Yesus mengungkapkan kerinduan, kesedihan, dan nubuat tentang kota yang dicintai-Nya namun menolak-Nya. Perikop ini bukan hanya catatan sejarah, melainkan sebuah undangan untuk merenungkan kasih Allah yang tak terbatas, kebebasan manusia untuk menolak kasih itu, dan konsekuensi dari penolakan tersebut.

Ayat-ayat ini menyajikan kontras yang tajam: ancaman dari Herodes, keteguhan hati Yesus, ratapan-Nya yang mendalam, dan nubuat tentang masa depan Yerusalem. Melalui renungan ini, kita akan membongkar setiap lapisan makna, menggali konteks sejarah dan teologisnya, serta mencari aplikasi relevan bagi kehidupan iman kita hari ini. Mari kita memulai perjalanan ini dengan hati yang terbuka, membiarkan firman Tuhan berbicara dan membentuk kita.

Latar Belakang dan Konteks Lukas 13

Sebelum kita menyelami detail Lukas 13:31-35, penting untuk memahami konteks yang lebih luas dari pasal ini dan perjalanan Yesus. Lukas menggambarkan pelayanan Yesus sebagai sebuah perjalanan yang berkesinambungan menuju Yerusalem, kota di mana salib menanti-Nya. Bab 13 sendiri dimulai dengan dua peristiwa tragis—pembunuhan orang Galilea oleh Pilatus dan kecelakaan menara Siloam—yang Yesus gunakan sebagai pengajaran tentang perlunya pertobatan. Yesus kemudian menceritakan perumpamaan tentang pohon ara yang tidak berbuah, menekankan kesabaran Allah dan urgensi pertobatan sebelum terlambat. Semua ini menciptakan latar belakang yang suram namun mendesak, di mana waktu semakin singkat dan keputusan harus segera diambil.

Dalam konteks inilah perikop kita muncul, membawa kita lebih dekat ke puncak drama penebusan. Yesus telah menyatakan banyak hal tentang Kerajaan Allah, tentang siapa yang akan masuk dan siapa yang akan ditolak, dan tentang panggilan untuk berjalan di jalan yang sempit. Sekarang, ancaman dari luar dan penolakan dari dalam semakin nyata, memaksa Yesus untuk berhadapan langsung dengan takdir-Nya.

Ayat 31: Ancaman dari Herodes Melalui Orang Farisi

"Pada jam itu juga datanglah beberapa orang Farisi dan berkata kepada Yesus: 'Pergilah, tinggalkanlah tempat ini, sebab Herodes hendak membunuh Engkau.'"

Ini adalah awal yang dramatis. Orang Farisi, yang seringkali menjadi lawan Yesus dalam hal doktrin dan praktik keagamaan, tiba-tiba muncul sebagai pembawa pesan. Pertanyaannya, mengapa mereka melakukan ini? Apakah mereka benar-benar peduli akan keselamatan Yesus, atau ada motif tersembunyi di balik peringatan ini?

Siapa Herodes?

Herodes yang dimaksud di sini adalah Herodes Antipas, tetrarkh (penguasa daerah) Galilea dan Perea, yang bertanggung jawab atas kematian Yohanes Pembaptis (Lukas 3:19-20; Markus 6:14-29). Dia adalah seorang penguasa yang licik, paranoid, dan kejam, dikenal suka ikut campur dalam urusan agama dan politik. Herodes Antipas juga memiliki sejarah ketertarikan pada Yesus, bahkan ingin melihat-Nya (Lukas 9:7-9). Mungkin ketertarikannya adalah karena rasa penasaran, atau mungkin juga karena ia melihat Yesus sebagai ancaman potensial terhadap kekuasaannya, terutama setelah melihat pengaruh besar Yesus di antara orang banyak.

Motif Orang Farisi

Ada beberapa kemungkinan motif di balik peringatan dari orang Farisi ini:

  1. Kekhawatiran yang Tulus: Meskipun sering berlawanan, mungkin ada beberapa orang Farisi yang, untuk sesaat, benar-benar khawatir akan nyawa Yesus. Mereka mungkin tidak setuju dengan ajaran-Nya, tetapi mereka tidak ingin melihat seorang nabi mati di tangan penguasa kafir.
  2. Taktik Politik: Lebih mungkin, peringatan ini adalah sebuah upaya untuk menakut-nakuti Yesus agar meninggalkan wilayah Herodes. Jika Yesus pergi, tekanan politik di wilayah tersebut akan berkurang, dan orang Farisi bisa menghindari potensi konflik dengan Herodes. Mereka mungkin melihat Yesus sebagai "pembuat onar" yang mengganggu stabilitas.
  3. Menjebak Yesus: Bisa jadi ini adalah jebakan. Jika Yesus melarikan diri, Dia akan terlihat pengecut dan kehilangan kredibilitas-Nya sebagai Mesias yang berani. Jika Dia tetap tinggal dan Herodes bertindak, maka mereka tidak perlu lagi berurusan dengan-Nya. Ini adalah cara halus untuk menyingkirkan Yesus tanpa terlihat sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung.

Apapun motifnya, peringatan ini adalah ujian bagi Yesus. Akankah Dia gentar dan mengubah arah perjalanan-Nya? Akankah Dia menunda misi-Nya demi keselamatan fisik?

Ayat 32-33: Keteguhan Hati dan Misi Ilahi Yesus

"Jawab Yesus kepada mereka: 'Pergilah katakan kepada serigala itu: Aku mengusir setan dan menyembuhkan orang, hari ini dan besok, dan pada hari yang ketiga Aku akan selesai. Tetapi Aku harus berjalan terus hari ini dan besok dan lusa, sebab tidaklah semestinya seorang nabi dibunuh di luar Yerusalem.'"

Respons Yesus sangat tegas dan penuh kuasa. Dia sama sekali tidak gentar oleh ancaman Herodes. Sebaliknya, Dia mengirimkan pesan balik yang penuh makna.

Menyebut Herodes "Serigala"

Panggilan "serigala" adalah julukan yang sangat merendahkan dan tepat. Dalam Alkitab, serigala sering melambangkan kekejaman, keserakahan, dan kehancuran (Matius 7:15; Kisah Para Rasul 20:29). Serigala adalah predator yang memangsa domba, yang dalam konteks ini bisa diartikan sebagai umat Israel. Dengan menyebut Herodes "serigala," Yesus menunjukkan bahwa Dia melihat Herodes apa adanya: seorang tiran kejam yang memiliki kekuasaan duniawi, tetapi tidak memiliki otoritas ilahi atas-Nya.

Penegasan Misi: "Aku mengusir setan dan menyembuhkan orang"

Yesus menegaskan kembali misi-Nya, yaitu untuk melayani dan menyatakan Kerajaan Allah melalui perbuatan-perbuatan kuasa. Ini adalah penegasan bahwa Dia tidak akan menyimpang dari tujuan-Nya, tidak peduli ancaman apa pun. Misi-Nya datang dari Allah Bapa, bukan dari Herodes atau manusia mana pun.

"Hari Ini, Besok, dan Pada Hari yang Ketiga Aku Akan Selesai"

Frasa ini adalah jantung dari respons Yesus dan mengandung beberapa lapisan makna:

  1. Durasi Pelayanan yang Singkat: Ini bisa merujuk pada sisa waktu pelayanan-Nya di bumi sebelum penyaliban. Yesus tahu waktu-Nya terbatas dan Dia akan menggenapi semua yang harus Dia lakukan sebelum takdir-Nya digenapi di Yerusalem.
  2. Metafora untuk Paskah: Beberapa penafsir melihat ini sebagai acuan tidak langsung kepada kematian dan kebangkitan-Nya. "Pada hari yang ketiga Aku akan selesai" bisa merujuk pada kebangkitan-Nya yang terjadi pada hari ketiga. Ini menegaskan pengetahuan Yesus akan takdir-Nya, bukan hanya kematian tetapi juga kemenangan atas maut.
  3. Keteguhan Hati: Apapun tafsirannya, frasa ini menunjukkan bahwa Yesus memiliki rencana ilahi yang jelas dan tidak akan terganggu oleh ancaman fana. Dia akan menyelesaikan pekerjaan Bapa, tepat pada waktunya, sesuai dengan kehendak-Nya.

"Aku Harus Berjalan Terus Hari Ini dan Besok dan Lusa, Sebab Tidaklah Semestinya Seorang Nabi Dibunuh di Luar Yerusalem"

Ini adalah pernyataan yang sangat kuat tentang takdir dan kedaulatan Allah. Yesus tahu ke mana Dia pergi dan mengapa. Yerusalem adalah kota suci, pusat spiritual Israel, tetapi juga kota yang secara tragis memiliki sejarah menolak dan membunuh nabi-nabi Allah. Ironisnya, Yerusalem, yang seharusnya menjadi tempat penyembahan dan penerimaan firman Tuhan, justru menjadi kuburan para utusan-Nya.

Yesus secara sengaja dan rela menuju Yerusalem untuk menggenapi nubuat dan rencana keselamatan Allah. Dia tahu bahwa kematian-Nya bukan kecelakaan, melainkan bagian integral dari misi penebusan. Ini menunjukkan keteguhan hati yang luar biasa. Dia tidak melarikan diri dari penderitaan dan kematian, tetapi merangkulnya sebagai jalan untuk menggenapi kehendak Bapa.

Pernyataan ini juga menggarisbawahi identitas Yesus sebagai Nabi utama, bahkan lebih dari seorang nabi—Dia adalah Mesias. Jika para nabi sebelumnya mati di Yerusalem, maka Sang Nabi Agung, Raja segala raja, juga harus menggenapi takdir-Nya di sana.

Induk Ayam Melindungi Anak-anaknya Gambar ilustrasi induk ayam yang mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, menggambarkan kasih Tuhan kepada Yerusalem.

Ayat 34: Ratapan Yesus dan Kerinduan Ilahi

"Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan merajam orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau."

Bagian ini adalah puncak emosional dari perikop. Dari keteguhan hati yang heroik, Yesus beralih ke ratapan yang mendalam. Ini bukan ratapan keputusasaan, melainkan ratapan kasih yang ditolak. Panggilan ganda "Yerusalem, Yerusalem" bukan sekadar pengulangan, melainkan ekspresi kesedihan yang sangat mendalam dan pribadi, mirip dengan cara Daud meratapi Absalom, "Absalom, anakku, anakku Absalom!" (2 Samuel 18:33).

Yerusalem: Kota Pembunuh Nabi

Yesus tidak menutupi kebenaran pahit tentang sejarah Yerusalem. Dia mengingatkan mereka bahwa kota itu memiliki catatan panjang dalam menolak dan membunuh para utusan Allah. Sejak zaman dahulu kala, nabi-nabi seperti Uria (Yeremia 26:20-23), Zakharia (2 Tawarikh 24:20-22), dan bahkan Yesaya (menurut tradisi) telah menjadi korban kekerasan dan penolakan di tangan umat Allah sendiri. Yesus menyimpulkan sejarah tragis ini dalam satu kalimat yang menghantam: "engkau yang membunuh nabi-nabi dan merajam orang-orang yang diutus kepadamu!" Ini adalah pengingat bahwa penolakan terhadap Allah bukan hanya fenomena baru, melainkan pola yang berulang dalam sejarah Israel.

Tragisnya, mereka yang seharusnya menjadi teladan iman justru menjadi contoh penolakan. Yerusalem, kota perjanjian, tempat Bait Allah berdiri, telah menjadi pusat pemberontakan dan penolakan ilahi.

Metafora Induk Ayam: Kasih Allah yang Mengharukan

Inilah inti dari ratapan Yesus: "Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya." Ini adalah salah satu gambaran kasih Allah yang paling indah dan menyentuh dalam seluruh Alkitab. Induk ayam adalah simbol kehangatan, perlindungan, dan kasih sayang yang tak bersyarat. Saat bahaya mengancam, induk ayam akan melebarkan sayapnya, mengumpulkan anak-anaknya di bawahnya, melindungi mereka bahkan dengan risiko nyawanya sendiri.

Metafora ini mengungkapkan beberapa aspek penting dari kasih Allah:

  1. Kasih Ilahi yang Maternal: Meskipun Allah sering digambarkan dengan sifat-sifat maskulin (Bapa, Raja, Pejuang), di sini Yesus menggunakan gambaran feminin untuk menekankan kelembutan, kehangatan, dan perlindungan yang penuh kasih sayang. Ini adalah kasih yang mengasuh, merawat, dan melindungi dari segala bahaya.
  2. Keinginan untuk Melindungi: Yesus sangat ingin memberikan perlindungan spiritual dan fisik kepada Yerusalem, untuk menyelamatkan mereka dari kehancuran yang akan datang. Dia melihat bahaya yang tidak mereka lihat, Dia menawarkan keamanan yang tidak mereka hargai.
  3. Kesabaran yang Berulang Kali: Frasa "berkali-kali" menunjukkan bahwa ini bukan upaya sesaat. Allah telah berulang kali mengulurkan tangan-Nya kepada Israel melalui para nabi, hukum, dan janji-janji-Nya. Kini, melalui Yesus sendiri, tawaran kasih dan perlindungan itu mencapai puncaknya.
  4. Kasih yang Penuh Pengorbanan: Induk ayam siap mati demi anak-anaknya. Demikian pula, Yesus sendiri akan mempersembahkan hidup-Nya sebagai bentuk perlindungan dan penebusan bagi umat-Nya, meskipun mereka menolak-Nya.

"Tetapi Kamu Tidak Mau"

Kontras yang tajam antara kerinduan Yesus dan penolakan Yerusalem. Di sinilah letak tragedi utama. Allah mengulurkan tangan-Nya dengan kasih yang tak terbatas, namun manusia menggunakan kehendak bebasnya untuk menolak. Ini bukan karena Allah tidak mau menyelamatkan, melainkan karena mereka tidak mau diselamatkan. Ini adalah pilihan manusia, dan ini adalah hal yang paling menghancurkan hati Yesus.

Penolakan ini bukan didasarkan pada ketidaktahuan. Mereka telah melihat mukjizat-Nya, mendengar ajaran-Nya, dan menyaksikan kasih-Nya. Namun, kerasnya hati, keangkuhan, dan ketidakpercayaan menghalangi mereka untuk menerima perlindungan yang ditawarkan. Mereka lebih memilih jalan mereka sendiri, yang pada akhirnya akan membawa mereka pada kehancuran.

Implikasi dari Ratapan Yesus

Ratapan Yesus ini bukan hanya tentang Yerusalem kuno. Ini adalah refleksi abadi tentang hubungan antara Allah dan manusia. Allah senantiasa mengulurkan kasih-Nya, namun seringkali kita, seperti Yerusalem, menolak tawaran perlindungan dan kasih-Nya. Kita lebih memilih untuk menjalani hidup dengan kekuatan sendiri, dengan kebijaksanaan duniawi, atau bahkan dalam pemberontakan terang-terangan, daripada menyerahkan diri di bawah sayap kasih karunia-Nya.

Ratapan ini menunjukkan bahwa Allah tidak pernah acuh tak acuh terhadap pilihan kita. Dia tidak memaksa kehendak-Nya, tetapi Dia sangat berduka ketika kita memilih jalan yang menjauhkan kita dari kehidupan dan perlindungan-Nya.

Ayat 35: Nubuat Desolasi dan Harapan Masa Depan

"Sesungguhnya rumahmu ini akan ditinggalkan Allah. Dan Aku berkata kepadamu: Kamu tidak akan melihat Aku lagi hingga pada saatnya kamu berkata: Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan!"

Setelah ratapan yang pilu, Yesus melanjutkan dengan nubuat yang serius dan menakutkan, diikuti oleh secercah harapan.

"Rumahmu Ini Akan Ditinggalkan Allah"

Ini adalah nubuat tentang kehancuran dan desolasi yang akan menimpa Yerusalem. "Rumahmu" secara harfiah merujuk pada Bait Allah, pusat ibadah dan identitas Yahudi. Namun, ini juga dapat diartikan sebagai seluruh kota Yerusalem dan, pada tingkat yang lebih luas, sistem keagamaan Yahudi yang telah menolak Mesias mereka.

Nubuat ini secara historis digenapi pada tahun 70 Masehi, ketika tentara Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus mengepung dan menghancurkan Yerusalem serta Bait Allah. Kota itu rata dengan tanah, dan jutaan orang Yahudi tewas atau dibuang. Itu adalah sebuah malapetaka yang tak terbayangkan, sebuah tanda nyata dari konsekuensi penolakan ilahi.

Makna teologisnya lebih dalam: Ketika Allah "meninggalkan" rumah-Nya, itu berarti kehadiran dan perlindungan ilahi ditarik. Ini bukan karena Allah yang berubah, tetapi karena umat telah memutuskan hubungan dengan-Nya. Mereka menolak "induk ayam" yang ingin melindungi mereka, dan akibatnya, mereka menjadi rentan terhadap musuh.

Ini adalah peringatan serius bagi kita: bahwa bahkan tempat-tempat yang paling kudus atau ritual yang paling sakral pun tidak dapat menjamin kehadiran Allah jika hati umat menolak-Nya. Kehadiran Allah bukanlah hak yang otomatis, melainkan anugerah yang harus dihargai dan direspons dengan iman.

"Kamu Tidak Akan Melihat Aku Lagi Hingga Pada Saatnya Kamu Berkata: Diberkatilah Dia yang Datang dalam Nama Tuhan!"

Meskipun ada nubuat tentang kehancuran, Yesus tidak mengakhiri perkataan-Nya tanpa harapan. Kalimat terakhir ini adalah referensi langsung ke Mazmur 118:26, yang merupakan seruan yang akan diucapkan oleh orang banyak saat Yesus masuk Yerusalem pada hari Minggu Palem (Matius 21:9). Namun, di sini, Yesus menggunakannya dalam konteks eskatologis, merujuk pada kedatangan-Nya yang kedua.

Implikasinya adalah bahwa akan tiba saatnya, di masa depan, ketika Israel—secara kolektif—akan mengakui Yesus sebagai Mesias mereka. Setelah periode penolakan dan desolasi, akan ada momen pertobatan dan penerimaan yang mendalam, di mana mereka akan menyambut Dia dengan seruan pujian ini. Ini adalah janji tentang penebusan Israel di akhir zaman, sebuah penghiburan di tengah-tengah kehancuran yang diramalkan.

Ini menunjukkan bahwa meskipun ada konsekuensi dari penolakan, pintu pertobatan dan pengampunan tidak pernah tertutup selamanya. Kasih Allah pada umat-Nya adalah kekal, dan Dia akan tetap memberikan kesempatan untuk kembali kepada-Nya.

Tema-Tema Utama dari Lukas 13:31-35

Dari perikop singkat namun padat ini, kita dapat menarik beberapa tema universal dan abadi:

1. Kedaulatan Allah dan Kehendak Bebas Manusia

Yesus menegaskan kedaulatan Allah atas peristiwa-peristiwa sejarah, termasuk takdir-Nya sendiri. Dia tahu kapan dan di mana Dia akan "selesai," dan bahwa Dia "harus" berjalan terus ke Yerusalem. Tidak ada ancaman Herodes yang dapat mengubah rencana ilahi ini. Namun, dalam kedaulatan ini, Allah tetap menghormati kehendak bebas manusia. Yerusalem memilih untuk menolak perlindungan-Nya, dan konsekuensinya adalah desolasi. Ini adalah ketegangan yang abadi dalam teologi Kristen: bagaimana Allah yang Mahakuasa dan berdaulat penuh dapat berinteraksi dengan makhluk-Nya yang memiliki kehendak bebas. Yesus menunjukkan bahwa Allah tidak memaksakan kasih-Nya, tetapi sangat berduka ketika kasih itu ditolak.

2. Kasih Allah yang Penuh Kesabaran dan Mengharukan

Gambaran induk ayam adalah salah satu ekspresi kasih ilahi yang paling murni. Itu adalah kasih yang protektif, hangat, penuh kesabaran, dan rela berkorban. Allah tidak pernah lelah mengulurkan tangan-Nya, bahkan ketika umat-Nya berulang kali menolak Dia. Ratapan Yesus bukanlah kemarahan, tetapi kesedihan yang mendalam atas pilihan manusia yang merugikan diri sendiri. Ini mengingatkan kita bahwa kasih Allah adalah dasar dari segala sesuatu, dan penolakan terhadap kasih itu adalah akar dari penderitaan manusia.

3. Konsekuensi dari Penolakan Ilahi

Perikop ini adalah peringatan yang jelas bahwa penolakan terhadap tawaran kasih dan perlindungan Allah memiliki konsekuensi serius. Bagi Yerusalem, itu berarti kehancuran total. Bagi individu, itu bisa berarti kehilangan berkat, perlindungan, dan bahkan kekekalan. Allah bukanlah tiran yang menghukum semena-mena, tetapi Dia adalah Allah yang kudus dan adil yang konsekuensi dari penolakan-Nya adalah alami dan tak terhindarkan. Ketika kita menolak sumber kehidupan, kita memilih jalan menuju kehancuran.

4. Penderitaan Mesias dan Takdirnya

Yesus dengan sadar dan rela menuju penderitaan dan kematian-Nya. Dia tahu Yerusalem akan membunuh-Nya, sama seperti kota itu telah membunuh para nabi sebelumnya. Ini menunjukkan kedalaman ketaatan-Nya kepada Bapa dan komitmen-Nya terhadap misi penebusan. Penderitaan-Nya bukanlah suatu kesalahan, melainkan suatu keniscayaan ilahi yang diperlukan untuk keselamatan dunia.

5. Harapan di Tengah Desolasi

Meskipun ada nubuat kehancuran, perikop ini diakhiri dengan janji harapan. Akan tiba saatnya ketika Israel akan mengakui Yesus sebagai Mesias. Ini memberikan perspektif eskatologis yang penting, menunjukkan bahwa rencana Allah akan tetap tergenapi, dan bahwa kasih serta anugerah-Nya pada akhirnya akan menang. Ini adalah pengingat bahwa di balik setiap tangisan dan setiap kehilangan, ada janji restorasi dan harapan yang lebih besar dalam rencana Allah.

Aplikasi untuk Kehidupan Modern

Bagaimana perikop Lukas 13:31-35 ini relevan bagi kita yang hidup di abad ke-21? Pesan-pesan di dalamnya melampaui waktu dan tempat, menawarkan pelajaran berharga bagi gereja, masyarakat, dan individu.

1. Mengenali "Serigala" Zaman Kita

Herodes adalah "serigala" di zaman Yesus, sebuah kekuatan duniawi yang mengancam kebenaran dan keadilan. Hari ini, kita menghadapi "serigala-serigala" modern yang mungkin tidak selalu berupa penguasa tiran, tetapi bisa berupa ideologi, sistem nilai, tekanan sosial, atau bahkan godaan pribadi yang mengancam iman dan nilai-nilai Kristiani kita. Apakah kita mampu mengenali ancaman-ancaman ini? Dan seperti Yesus, apakah kita akan tetap teguh dalam misi kita, tidak gentar oleh ancaman-ancaman tersebut?

Seringkali, "serigala" ini datang dalam bentuk yang lebih halus dan menipu, seperti materialisme yang menjanjikan kebahagiaan melalui harta benda, relativisme moral yang mengikis standar kebenaran, atau individualisme ekstrem yang mengabaikan panggilan untuk mengasihi sesama. Kita perlu memiliki discernment (daya pembeda) yang diberikan Roh Kudus untuk melihat melalui topeng-topeng ini dan tetap berpegang teguh pada Kristus.

Keteguhan Yesus di hadapan Herodes adalah teladan bagi kita untuk tidak berkompromi dengan kejahatan atau rasa takut, melainkan untuk terus maju dalam kehendak Allah, bahkan ketika jalan itu berbahaya dan tidak populer.

2. Menanggapi Kasih Allah yang Seperti Induk Ayam

Pertanyaan terbesar dari perikop ini bagi kita adalah: apakah kita menerima atau menolak tawaran kasih dan perlindungan ilahi? Yesus merindukan untuk mengumpulkan kita di bawah sayap-Nya, untuk melindungi kita dari bahaya spiritual dan duniawi. Apakah kita, seperti Yerusalem, menolak tawaran ini? Apakah kita terlalu bangga, terlalu mandiri, atau terlalu sibuk dengan hal-hal duniawi sehingga kita mengabaikan undangan-Nya?

Kasih seperti induk ayam ini adalah kasih yang membutuhkan respons. Itu bukan kasih yang pasif, melainkan kasih yang aktif mencari dan ingin memberi perlindungan. Ketika kita berada di bawah sayap-Nya, kita menemukan kedamaian, keamanan, dan kekuatan. Di luar sayap itu, kita rentan terhadap godaan, kekecewaan, dan kehancuran spiritual. Mari kita pastikan hati kita tidak keras, tidak seperti Yerusalem yang "tidak mau," melainkan selalu siap untuk bersandar pada perlindungan kasih-Nya.

Dalam kehidupan sehari-hari, ini berarti mencari hadirat-Nya melalui doa dan firman, menyerahkan kekhawatiran kita kepada-Nya, dan mengizinkan Dia membimbing langkah-langkah kita. Ini berarti mengakui kerapuhan dan keterbatasan kita, serta kepercayaan penuh pada kekuatan dan kasih-Nya yang tak terbatas.

3. Memahami Konsekuensi Pilihan Kita

Perikop ini adalah peringatan yang keras tentang konsekuensi dari penolakan terhadap Allah. "Rumahmu ini akan ditinggalkan Allah" adalah kalimat yang harus membuat kita merenung. Apakah kita, sebagai gereja atau sebagai individu, berisiko mengalami "peninggalan" ilahi karena penolakan terus-menerus terhadap kebenaran-Nya, terhadap suara Roh Kudus, atau terhadap perintah-perintah-Nya?

Penting bagi kita untuk tidak menganggap enteng anugerah Allah. Anugerah memang gratis, tetapi tidaklah murah. Ada tanggung jawab yang menyertainya. Ketika kita secara terus-menerus mengabaikan kehendak-Nya, kita secara perlahan menjauhkan diri dari hadirat-Nya yang membawa kehidupan. Ini bukan berarti Allah kejam, tetapi Dia menghargai kehendak bebas kita. Pilihan kita memiliki dampak kekal.

Bagi sebuah gereja, ini bisa berarti menjadi organisasi keagamaan tanpa kuasa, tanpa hadirat Roh Kudus yang hidup. Bagi seorang individu, ini bisa berarti menjalani hidup yang kosong secara spiritual, meskipun mungkin sukses di mata dunia. Pilihlah kehidupan dan hadirat-Nya, jangan biarkan "rumah" spiritual kita menjadi sunyi.

4. Memiliki Hati yang Berduka untuk Dunia

Ratapan Yesus untuk Yerusalem mengajarkan kita untuk memiliki hati yang berduka bagi mereka yang tersesat dan menolak Allah. Kita tidak dipanggil untuk menghakimi dengan kebencian, melainkan untuk mengasihi dengan kasih Kristus. Yesus tidak meratapi Yerusalem karena kebencian, melainkan karena kasih yang mendalam dan kepedihan melihat pilihan mereka yang menghancurkan diri sendiri. Gereja, dan setiap orang percaya, dipanggil untuk memiliki belas kasihan yang sama.

Di dunia yang penuh dengan penderitaan, ketidakadilan, dan penolakan terhadap kebenaran Allah, apakah hati kita tergerak seperti hati Yesus? Apakah kita berdoa dan meratap bagi kota-kota kita, negara kita, dan dunia yang membutuhkan Kristus? Apakah kita bersedia menjadi perpanjangan tangan kasih dan kebenaran-Nya, mengulurkan undangan perlindungan ilahi kepada mereka yang tersesat?

Tangisan Yesus adalah panggilan bagi kita untuk melihat orang lain bukan sebagai musuh, melainkan sebagai jiwa-jiwa yang terhilang yang membutuhkan belas kasihan dan keselamatan. Ini adalah panggilan untuk mendoakan mereka yang menolak, dan untuk menjadi saksi kasih-Nya dengan hidup dan perkataan kita.

5. Hidup dalam Harapan akan Kedatangan Kristus

Meskipun ada bayangan desolasi, perikop ini diakhiri dengan harapan eskatologis. "Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan!" akan diucapkan pada kedatangan-Nya yang kedua. Ini adalah pengingat bahwa sejarah berada di tangan Allah, dan pada akhirnya, rencana-Nya akan digenapi sepenuhnya.

Harapan ini memberikan kita kekuatan untuk bertahan di tengah tantangan, untuk terus bersaksi, dan untuk hidup kudus. Kita tahu bahwa penolakan terhadap Kristus tidak akan berlangsung selamanya. Akan tiba hari ketika setiap lutut akan bertelut dan setiap lidah akan mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan.

Hidup dalam harapan ini berarti menjaga hati kita siap sedia, berjaga-jaga, dan bertekun dalam iman. Ini berarti melihat melampaui kesulitan dan kekecewaan masa kini menuju kemuliaan yang akan datang. Kita adalah umat yang berpengharapan, bukan karena kita mengabaikan kenyataan, melainkan karena kita menaruh iman pada Janji yang lebih besar.

Kesimpulan

Lukas 13:31-35 adalah sebuah perikop yang sarat makna, menampilkan gambaran Yesus yang kompleks: seorang Nabi yang tidak gentar di hadapan ancaman Herodes, seorang Mesias yang teguh dalam misi ilahi-Nya menuju Yerusalem untuk menggenapi takdir-Nya, dan seorang Juru Selamat yang berduka atas penolakan umat-Nya. Ratapan-Nya atas Yerusalem, dengan metafora induk ayam yang ingin melindungi anak-anaknya, adalah salah satu ungkapan kasih ilahi yang paling tulus dan mengharukan dalam seluruh Kitab Suci.

Namun, kasih ini ditolak, dan konsekuensinya adalah desolasi. Meskipun demikian, di balik semua kepedihan dan nubuat kehancuran, tersembunyi benih harapan akan pengakuan dan penerimaan di masa depan. Ini adalah kisah tentang pilihan manusia dan kedaulatan Allah, tentang kasih yang ditawarkan dan kasih yang ditolak, serta tentang konsekuensi dan janji yang menyertainya.

Mari kita merespons firman ini dengan hati yang rendah dan terbuka. Mari kita tidak menjadi seperti Yerusalem yang keras hati. Sebaliknya, mari kita lari dan berlindung di bawah sayap kasih Kristus yang melindungi. Mari kita hidup dalam ketaatan, belas kasihan, dan pengharapan akan kedatangan-Nya yang kedua, di mana Dia akan diterima dengan seruan, "Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan!"

Renungan ini mengingatkan kita akan keagungan kasih Allah dan pentingnya respons pribadi kita terhadap kasih itu. Janganlah kita menunda, karena waktu terus berjalan, dan undangan untuk datang ke bawah sayap-Nya selalu tersedia, tetapi tidak selamanya.

Semoga renungan ini memperdalam pemahaman kita akan Yesus Kristus, kasih-Nya yang tiada tara, dan panggilan-Nya kepada kita untuk hidup dalam iman dan ketaatan yang tulus.