Kitab 2 Tawarikh seringkali dipandang sebagai narasi sejarah Israel kuno, tetapi di baliknya tersembunyi permata-permata rohani dan pelajaran hidup yang tak lekang oleh waktu. Pasal 22, khususnya, menyajikan sebuah kisah tragis tentang seorang raja muda bernama Ahazia dari Yehuda, yang masa pemerintahannya yang singkat namun penuh gejolak menjadi ilustrasi nyata tentang bahaya nasihat buruk, konsekuensi persekutuan yang tidak kudus, dan kedaulatan Tuhan dalam penghakiman. Kisah ini bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan cermin bagi kita hari ini untuk merenungkan pilihan-pilihan kita, sumber-sumber nasihat kita, dan arah hidup yang kita tuju.
Dalam renungan ini, kita akan menyelami kedalaman 2 Tawarikh 22, menganalisis setiap detail penting, dan menarik pelajaran-pelajaran praktis yang relevan untuk kehidupan pribadi, keluarga, dan kepemimpinan di era modern. Kita akan melihat bagaimana satu keputusan yang salah, yang didorong oleh pengaruh yang tidak benar, dapat memicu serangkaian peristiwa yang membawa kepada kehancuran, bahkan dalam rentang waktu yang sangat singkat.
Untuk memahami sepenuhnya tragedy Ahazia, kita harus terlebih dahulu melihat konteks di mana ia naik takhta. Pasal 21 mengisahkan Raja Yoram, ayah Ahazia, yang memerintah Yehuda dengan kejahatan yang luar biasa. Ia membunuh saudara-saudaranya, berjalan di jalan raja-raja Israel (yaitu jalan Ahab dan Izebel), dan membuat penduduk Yerusalem berzinah. Sebagai akibatnya, Tuhan mendatangkan murka-Nya melalui serangan orang Filistin dan Arab yang menjarah istana Yoram, membunuh semua putranya kecuali Ahazia, yang termuda. Penyakit perut yang mengerikan juga mengakhiri hidup Yoram dengan cara yang sangat menyakitkan. Ini adalah latar belakang yang suram bagi Ahazia, seorang putra yang selamat dari kehancuran keluarganya.
2 Tawarikh 22:1-2 (TB): "Kemudian penduduk Yerusalem mengangkat Ahazia, anaknya yang bungsu, menjadi raja menggantikan dia, karena semua abangnya telah dibunuh oleh gerombolan yang datang bersama-sama orang-orang Arab ke tempat perkemahan itu. Demikianlah Ahazia, anak Yoram, menjadi raja di Yehuda. Ahazia berumur dua puluh dua tahun pada waktu ia menjadi raja dan setahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya ialah Atalya, cucu Omri."
Ahazia naik takhta dalam situasi yang tidak menguntungkan. Ia adalah anak bungsu, menjadi raja karena para abangnya telah dibunuh. Ini menyiratkan kerapuhan dan potensi konflik dalam suksesi. Namun, yang lebih krusial adalah silsilah ibunya, Atalya. Ia disebut sebagai "cucu Omri." Mengapa ini penting? Omri adalah raja Israel yang sangat jahat, ayah dari Ahab, yang terkenal karena memperkenalkan penyembahan Baal secara besar-besaran di Israel melalui pernikahannya dengan Izebel. Atalya adalah putri Ahab dan Izebel (meskipun di sini disebut "cucu Omri," yang mungkin berarti keturunan dari garis keluarga Omri). Dengan kata lain, Ahazia memiliki darah kerajaan yang tercemar oleh idolatry dan kejahatan raja-raja Israel Utara yang paling parah.
Fakta bahwa Ahazia berumur 22 tahun ketika menjadi raja, dan hanya memerintah selama satu tahun, memberikan petunjuk awal tentang singkatnya hidup dan pemerintahan yang tragis ini. Usia 22 tahun adalah usia yang seharusnya penuh semangat, potensi, dan pembelajaran. Namun, bagi Ahazia, usia ini menjadi titik tolak menuju kehancuran yang cepat.
2 Tawarikh 22:3-4 (TB): "Ia pun hidup menurut kelakuan keluarga Ahab, karena ibunya menasihati dia melakukan yang fasik. Ia melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, sama seperti keluarga Ahab, karena mereka itulah penasihat-penasihatnya sesudah ayahnya mati, yang mendatangkan kebinasaannya."
Ayat-ayat ini adalah jantung dari peringatan dalam 2 Tawarikh 22. Mereka secara eksplisit menyatakan dua sumber utama yang mencemari kehidupan Ahazia dan membawanya pada kehancuran:
Ini adalah pelajaran yang sangat mendalam: sumber nasihat kita menentukan arah hidup kita. Ahazia tidak hanya menyimpang dari jalan Tuhan, ia secara aktif "hidup menurut kelakuan keluarga Ahab" karena nasihat yang ia terima. Ia melakukan "apa yang jahat di mata TUHAN." Ini menunjukkan adanya kesengajaan dan pilihan yang disadari, meskipun didorong oleh pengaruh eksternal.
Di dunia yang bising dengan berbagai "nasihat" yang ditawarkan melalui media sosial, teman sebaya, media massa, atau bahkan dalam lingkaran rohani, kisah Ahazia sangat relevan. Siapa yang kita dengarkan? Siapa yang memegang pengaruh atas keputusan-keputusan penting dalam hidup kita? Apakah penasihat kita mendorong kita untuk mendekat kepada Tuhan atau justru menjauh?
Kita perlu secara kritis mengevaluasi sumber-sumber nasihat kita. Apakah nasihat tersebut berakar pada Firman Tuhan? Apakah penasihat kita adalah orang-orang yang memiliki karakter saleh dan hidup dalam ketaatan kepada Tuhan? Atau apakah mereka adalah "keluarga Ahab" dalam konteks modern – orang-orang yang mungkin sukses duniawi tetapi nilai-nilai mereka bertentangan dengan kerajaan Allah?
2 Tawarikh 22:5-6 (TB): "Atas nasihat mereka, ia pergi bersama-sama Yoram bin Ahab, raja Israel, untuk berperang melawan Hazael, raja Aram, di Ramot-Gilead. Orang-orang Aram melukai Yoram. Kemudian ia pulang ke Yizreel untuk mengobati luka-luka yang didapatnya di Ramot pada waktu ia berperang melawan Hazael, raja Aram. Ahazia bin Yoram, raja Yehuda, pergi ke Yizreel melihat Yoram bin Ahab, karena ia sakit."
Ahazia, yang sudah tercemar oleh nasihat jahat, kini melangkah lebih jauh dengan membentuk persekutuan militer dengan Yoram bin Ahab, raja Israel. Perhatikan frasa "atas nasihat mereka." Ini sekali lagi menegaskan peran penasihat buruknya. Yoram bin Ahab adalah raja Israel yang jahat, yang juga terus-menerus melakukan hal yang tidak benar di mata TUHAN, mengikuti jejak ayahnya (Ahab) dan ibunya (Izebel) dalam penyembahan Baal. Ini adalah sebuah aliansi yang sangat bermasalah: seorang raja Yehuda (yang seharusnya mewakili garis Daud dan ketaatan kepada Tuhan) bersekutu dengan seorang raja Israel (yang mewakili pemberontakan dan penyembahan berhala).
Mereka pergi berperang melawan Hazael, raja Aram, di Ramot-Gilead. Dalam pertempuran ini, Yoram terluka parah dan kembali ke Yizreel untuk memulihkan diri. Ahazia kemudian melakukan perjalanan untuk mengunjungi Yoram yang sakit. Meskipun tindakan mengunjungi teman yang sakit mungkin terlihat seperti tindakan yang baik, dalam konteks cerita ini, itu adalah kelanjutan dari persekutuan yang tidak suci ini, sebuah tindakan yang menempatkannya tepat di jalur penghakiman ilahi.
Alkitab berulang kali memperingatkan kita tentang bahaya bersekutu dengan orang-orang yang tidak berjalan di jalan Tuhan. Ada banyak contoh dalam sejarah Israel di mana aliansi politik atau pernikahan dengan bangsa-bangsa kafir membawa kehancuran rohani dan fisik. Ahazia adalah contoh klasik dari prinsip ini.
Di dunia modern, "persekutuan yang tidak seimbang" bisa dalam berbagai bentuk: hubungan bisnis yang mengkompromikan etika Kristen, persahabatan yang menarik kita ke dalam dosa, kemitraan romantis dengan orang yang tidak seiman, atau bahkan aliansi dalam pelayanan yang tidak memiliki keselarasan rohani. Kita perlu bertanya pada diri sendiri:
Kisah Ahazia adalah peringatan keras bahwa persekutuan yang salah bukan hanya tidak membantu, tetapi bisa menjadi jembatan menuju kebinasaan. Sebuah nasihat yang bijaksana adalah mencari persekutuan dengan orang-orang yang mengasihi Tuhan, yang akan menasihati kita sesuai dengan Firman-Nya, dan yang akan membangun kita dalam iman.
2 Tawarikh 22:7-9 (TB): "Telah ditentukan Allah, bahwa Ahazia akan menemui ajalnya pada waktu ia datang kepada Yoram. Ketika ia datang, ia pergi bersama-sama Yoram menemui Yehu bin Nimsi, yang telah diurapi TUHAN untuk melenyapkan keluarga Ahab. Sedang Yehu melaksanakan penghakiman terhadap keluarga Ahab, ia menjumpai pemimpin-pemimpin Yehuda dan anak-anak saudara Ahazia, yang melayani Ahazia, lalu dibunuhnya mereka. Kemudian dicari orang Ahazia; ia tertangkap di Samaria, tempat ia bersembunyi. Ia dibawa kepada Yehu, lalu dibunuh. Sesudah itu ia dikuburkan, karena kata orang: "Dia cucu Yosafat, yang mencari TUHAN dengan segenap hatinya." Demikianlah tidak ada lagi orang dari keluarga Ahazia yang sanggup memerintah."
Ayat 7 dimulai dengan kalimat yang sangat penting: "Telah ditentukan Allah, bahwa Ahazia akan menemui ajalnya pada waktu ia datang kepada Yoram." Ini menunjukkan kedaulatan Tuhan yang absolut. Tuhan tidak terkejut dengan pilihan-pilihan Ahazia; Dia telah menetapkan konsekuensi dari pilihan-pilihan tersebut. Kunjungan Ahazia ke Yoram yang sakit di Yizreel, yang awalnya tampak seperti tindakan kepedulian, ternyata adalah langkah terakhirnya menuju takdir yang ditentukan oleh Allah.
Yizreel adalah tempat di mana Yehu, seorang hamba Tuhan yang diurapi untuk melenyapkan seluruh keluarga Ahab, sedang melaksanakan misi penghakimannya. Yehu adalah alat Tuhan untuk memberantas kejahatan dan idolatry yang telah merajalela di Israel dan telah mencemari Yehuda melalui aliansi Ahazia. Ahazia, karena persekutuannya yang erat dengan Yoram, tanpa sadar menempatkan dirinya sendiri di tengah-tengah penghakiman ilahi yang sedang berlangsung.
Ketika Yehu melaksanakan penghakiman terhadap keluarga Ahab, ia juga bertemu dengan "pemimpin-pemimpin Yehuda dan anak-anak saudara Ahazia, yang melayani Ahazia," dan membunuh mereka. Ini menunjukkan bahwa penghakiman Tuhan seringkali meluas kepada mereka yang secara aktif mendukung atau terlibat dalam kejahatan seorang pemimpin. Nasihat buruk tidak hanya merusak penasihat, tetapi juga mereka yang mengikutinya.
Ahazia sendiri kemudian dicari, ditemukan bersembunyi di Samaria, ditangkap, dan dibunuh oleh Yehu. Ironisnya, ia dikuburkan karena ia adalah "cucu Yosafat, yang mencari TUHAN dengan segenap hatinya." Ini adalah pengakuan akan warisan yang mulia dari kakeknya, Yosafat, seorang raja yang saleh. Namun, warisan tersebut tidak menyelamatkan Ahazia dari konsekuensi pilihan-pilihannya sendiri yang fasik. Ini adalah pengingat bahwa warisan rohani tidak secara otomatis menjamin kekudusan pribadi; setiap individu harus membuat pilihan mereka sendiri untuk mengikuti Tuhan.
Sebagai akibat dari kebinasaan Ahazia, "tidak ada lagi orang dari keluarga Ahazia yang sanggup memerintah." Ini adalah sebuah pernyataan dramatis tentang kehancuran total dari garis keturunannya sebagai penguasa yang sah, setidaknya untuk sementara. Kejadian ini membuka pintu bagi intrik dan kekejaman Atalya selanjutnya, yang berusaha memusnahkan seluruh keturunan raja Yehuda (2 Tawarikh 22:10-12), sebuah usaha yang nyaris berhasil namun digagalkan oleh campur tangan Tuhan.
Tema ini adalah yang paling menonjol dalam pasal ini. Ahazia jatuh karena nasihat ibunya yang fasik dan penasihat-penasihat dari keluarga Ahab. Ini mengingatkan kita pada Amsal 11:14, "Bila tidak ada pimpinan, jatuhlah bangsa, tetapi bila banyak penasihat, keselamatan ada." Namun, nasihat itu haruslah bijaksana dan saleh.
Nasihat buruk tidak hanya menyesatkan, tetapi juga koruptif. Ia meracuni jiwa, membentuk pola pikir yang bengkok, dan menuntun kepada tindakan yang menghancurkan. Penasihat-penasihat Ahazia "mendatangkan kebinasaannya," sebuah frasa yang menunjukkan peran aktif mereka dalam kehancuran raja muda ini. Nasihat buruk seringkali terdengar menarik karena ia menggemakan keinginan daging, menjanjikan jalan pintas, atau membenarkan tindakan yang salah. Ia memberikan "izin" untuk berbuat dosa.
Bagi Ahazia, ia gagal melakukan ini. Ia menerima nasihat yang salah karena mungkin ia sudah memiliki kecenderungan hati yang selaras dengan nasihat tersebut, atau karena ia terlalu lemah untuk menentangnya.
Atalya, ibu Ahazia, adalah figur sentral dalam cerita ini. Ia adalah putri Ahab dan Izebel, simbol kejahatan dan penyembahan berhala. Pengaruhnya terhadap Ahazia sangat besar, sampai-sampai disebut "ibunya menasihati dia melakukan yang fasik." Ini menunjukkan betapa pentingnya lingkungan keluarga dalam membentuk karakter dan iman seseorang.
Ahazia berasal dari garis keturunan Daud yang diberkati, tetapi juga dari garis keturunan Omri/Ahab yang terkutuk melalui ibunya. Ini adalah pertempuran warisan rohani. Sayangnya, ia memilih untuk mengikuti warisan yang menghancurkan. Orang tua memiliki tanggung jawab besar untuk menanamkan nilai-nilai kebenaran dalam anak-anak mereka. Ketika orang tua justru mengajarkan kejahatan, konsekuensinya bisa sangat merusak.
Lingkungan yang kita pilih untuk diri kita sendiri, baik itu lingkaran pertemanan, rekan kerja, komunitas rohani, atau bahkan konten media yang kita konsumsi, memiliki kekuatan luar biasa untuk membentuk kita. Seperti Ahazia yang terperangkap dalam jaring pengaruh keluarga Ahab, kita juga bisa terjebak jika kita tidak berhati-hati.
Persekutuan Ahazia dengan Yoram, raja Israel yang jahat, adalah contoh nyata dari peringatan Alkitab tentang "janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya" (2 Korintus 6:14). Aliansi militer ini bukan hanya kesalahan strategis, tetapi pelanggaran prinsip rohani yang mendasar. Aliansi ini menempatkan Ahazia di jalur penghakiman ilahi yang ditujukan kepada keluarga Ahab.
Pelajaran ini berlaku untuk semua jenis hubungan: pernikahan, bisnis, persahabatan, bahkan dalam proyek-proyek pelayanan. Kita harus berhati-hati memilih siapa yang akan kita ikuti dan dengan siapa kita akan bekerja sama secara erat.
Kalimat "Telah ditentukan Allah, bahwa Ahazia akan menemui ajalnya pada waktu ia datang kepada Yoram" (ayat 7) adalah penegasan kuat akan kedaulatan Tuhan. Tuhan adalah Hakim yang adil dan berdaulat atas segala sesuatu. Ia melihat setiap pilihan dan menenun setiap peristiwa ke dalam rencana-Nya yang lebih besar.
Yehu adalah alat penghakiman Tuhan. Tuhan seringkali menggunakan individu atau bangsa untuk melaksanakan kehendak-Nya, bahkan dalam penghakiman. Ini menunjukkan bahwa tidak ada dosa yang luput dari perhatian Tuhan, dan pada waktu-Nya, keadilan akan ditegakkan. Meskipun tindakan manusia memiliki kebebasan, Tuhan tetap memegang kendali penuh atas hasil akhir.
Kisah ini adalah peringatan keras bagi mereka yang menolak jalan Tuhan, tetapi juga mengandung harapan bagi orang-orang percaya. Ini menegaskan bahwa Tuhan adalah kudus dan akan membersihkan segala kejahatan. Bagi kita, ini seharusnya mendorong kita untuk hidup dalam ketaatan dan takut akan Tuhan, mengetahui bahwa Dia adalah adil.
Meskipun Ahazia hanya memerintah satu tahun, ia tetap seorang raja dan memiliki tanggung jawab besar di hadapan Tuhan dan umatnya. Kegagalannya untuk memimpin dengan benar dan kegagalannya untuk mencari nasihat yang saleh membawa kehancuran bukan hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi para pengikutnya (pemimpin-pemimpin Yehuda dan anak-anak saudara Ahazia). Kepemimpinan membawa beban yang berat, dan keputusan seorang pemimpin memiliki riak efek yang luas.
Bagi siapa pun yang memegang posisi kepemimpinan, baik di rumah tangga, gereja, kantor, atau masyarakat, kisah Ahazia adalah cermin yang mengingatkan akan beratnya tanggung jawab dan pentingnya mencari hikmat dari atas.
Fakta bahwa Ahazia dikuburkan dengan pertimbangan karena "cucu Yosafat, yang mencari TUHAN dengan segenap hatinya," adalah momen yang pahit. Yosafat adalah seorang raja yang saleh, tetapi kesalehan kakeknya tidak menyelamatkan Ahazia dari konsekuensi dosa-dosanya sendiri. Ini adalah pengingat penting bahwa iman tidak diwariskan secara otomatis.
Setiap individu harus membuat pilihan pribadi untuk mengikuti Tuhan. Anak-anak dari orang tua yang saleh tidak secara otomatis menjadi saleh, begitu pula anak-anak dari orang tua yang fasik tidak secara otomatis ditakdirkan untuk kejahatan. Ahazia memiliki kesempatan untuk mematahkan siklus kejahatan dalam keluarganya, tetapi ia memilih untuk melanjutkannya. Kita semua bertanggung jawab atas pilihan-pilihan kita di hadapan Tuhan, terlepas dari latar belakang keluarga kita.
Di era informasi yang melimpah ruah, kita dibombardir dengan berbagai "nasihat." Dari media sosial, podcast, buku motivasi, teman, keluarga, hingga rekan kerja. Penting sekali untuk menjadi pendengar yang cerdas dan kritis. Tanyakan pada diri sendiri:
Jadilah seperti orang Berea yang menyelidiki Kitab Suci untuk memastikan kebenaran dari ajaran yang mereka dengar (Kisah Para Rasul 17:11). Prioritaskan Firman Tuhan sebagai nasihat utama Anda, dan cari penasihat yang bijaksana dan saleh yang dapat membantu Anda memahami dan menerapkannya.
"Pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik" (1 Korintus 15:33). Kisah Ahazia menunjukkan betapa mematikan pengaruh lingkaran dalam kita. Siapa teman-teman terdekat Anda? Apakah mereka mendorong Anda untuk bertumbuh dalam Kristus, atau justru menyeret Anda ke bawah? Ini tidak berarti kita harus mengisolasi diri dari dunia, tetapi kita harus bijaksana dalam memilih siapa yang kita izinkan memiliki pengaruh intim atas hidup kita.
Mengapa Ahazia menerima nasihat buruk? Apakah karena hatinya sudah condong ke arah kejahatan? Seringkali, nasihat buruk hanya mengkonfirmasi apa yang sudah ingin kita dengar. Kita perlu secara teratur memeriksa hati kita di hadapan Tuhan. Apakah ada area dalam hidup kita di mana kita tahu kita sedang berkompromi? Apakah ada keinginan dosa yang kita biarkan berakar dan mencari "pembenaran" melalui nasihat yang salah?
Mintalah Tuhan untuk "selidiki aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikirkanku; lihatlah, apakah jalanku sesat, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!" (Mazmur 139:23-24).
Bahkan jika Anda tidak memegang jabatan "raja," Anda adalah pemimpin di beberapa bidang: di rumah Anda, dalam pekerjaan Anda, di komunitas Anda, atau bahkan dalam kelompok kecil teman-teman Anda. Setiap keputusan yang Anda buat memiliki dampak pada orang lain. Kisah Ahazia adalah peringatan keras tentang pentingnya kepemimpinan yang saleh dan bertanggung jawab.
Meskipun kisah Ahazia adalah kisah kehancuran, itu juga merupakan kisah tentang kedaulatan Tuhan yang tak tergoyahkan. Dia melihat, Dia tahu, dan Dia bertindak. Ini memberi kita penghiburan bahwa Tuhan memegang kendali atas segala sesuatu, bahkan di tengah kekacauan dan kejahatan di dunia ini. Bagi orang percaya, ini adalah jaminan bahwa pada akhirnya, keadilan akan ditegakkan dan rencana Tuhan akan terlaksana.
Ini memotivasi kita untuk hidup dalam ketaatan dan kesetiaan, mengetahui bahwa setiap tindakan kita memiliki makna dalam pandangan Allah yang Mahakuasa.
Pasal 22 dari 2 Tawarikh adalah sebuah narasi yang singkat namun memiliki bobot teologis dan praktis yang sangat berat. Kisah Raja Ahazia, yang memerintah hanya satu tahun, menjadi peringatan abadi tentang kekuatan destruktif dari nasihat buruk dan persekutuan yang tidak kudus. Dari singgasana Yehuda yang seharusnya melayani Tuhan, Ahazia malah menyeret dirinya dan orang-orangnya ke dalam pusaran kejahatan dan penghakiman ilahi, semua karena pilihan-pilihannya dalam hal nasihat dan pergaulan.
Kita belajar bahwa asal-usul keluarga yang saleh tidak menjamin keselamatan pribadi; setiap orang harus memilih untuk mengikuti Tuhan. Kita melihat bagaimana pengaruh orang terdekat, terutama dalam keluarga, dapat membentuk atau merusak arah hidup seseorang secara mendalam. Dan yang terpenting, kita diingatkan tentang pentingnya memilih penasihat dengan bijak—memilih mereka yang akan menunjuk kita kepada Firman Tuhan dan kehendak-Nya yang kudus, bukan kepada kebijaksanaan duniawi yang picik.
Semoga renungan ini mendorong kita untuk senantiasa mencari hikmat yang datang dari atas, untuk mengelilingi diri kita dengan persekutuan yang membangun iman, dan untuk selalu menguji setiap nasihat dengan standar kebenaran Firman Tuhan. Biarlah kisah tragis Ahazia menjadi pengingat yang kuat bagi kita untuk senantiasa berjalan dalam terang kehendak Tuhan, agar hidup kita menjadi kemuliaan bagi-Nya, dan bukan contoh dari konsekuensi fatal nasihat buruk.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua dalam perjalanan iman ini.