Renungan 2 Tawarikh 10: Ketika Kebijaksanaan Ditolak, Kerajaan Terpecah
Kisah tentang Rehoboam dan perpecahan kerajaan Israel, sebagaimana dicatat dalam 2 Tawarikh pasal 10, adalah salah satu narasi paling dramatis dan penuh pelajaran dalam Perjanjian Lama. Ini bukan sekadar catatan sejarah tentang suksesi takhta, melainkan sebuah studi kasus yang mendalam tentang kepemimpinan, kebijaksanaan, kesombongan, dan konsekuensi fatal dari pilihan yang salah. Pada intinya, pasal ini menunjukkan bagaimana satu set keputusan yang tergesa-gesa dan berlandaskan keangkuhan dapat meruntuhkan sebuah kerajaan yang dibangun di atas fondasi yang kokoh oleh para pendahulunya.
Setelah kemuliaan dan kekayaan yang tak tertandingi di bawah pemerintahan Raja Salomo, Israel berada di puncak kejayaannya. Namun, bayang-bayang ketidakpuasan mulai menyelimuti rakyat, terutama karena beban pajak dan kerja paksa yang berat selama masa Salomo. Rehoboam, putra Salomo, naik takhta dalam suasana yang penuh harapan namun juga ketegangan. Ia dihadapkan pada persimpangan jalan: melanjutkan legasi ayahnya dengan bijak atau mengambil jalur yang akan membawa kehancuran.
Latar Belakang dan Kedatangan di Syikhem (Ayat 1-4)
Kisah dimulai dengan Rehoboam pergi ke Syikhem, sebuah kota yang signifikan secara historis dan strategis di antara suku-suku utara. Ini adalah tempat di mana bangsa Israel secara tradisional berkumpul untuk melakukan perjanjian dan meneguhkan pemimpin. Kehadiran Rehoboam di sana menunjukkan pengakuannya atas kebutuhan untuk mendapatkan pengesahan dari seluruh Israel, bukan hanya Yehuda. Namun, di balik seremonial ini, ada ketegangan yang membara.
Jerobeam, putra Nebat, muncul kembali di panggung sejarah. Ia adalah seorang yang sebelumnya melarikan diri ke Mesir karena Salomo berusaha membunuhnya (1 Raja-Raja 11:26-40). Kehadiran Jerobeam, seorang pemimpin yang karismatik dan populer, menjadi simbol dari ketidakpuasan rakyat. Jerobeam dan seluruh Israel datang menghadap Rehoboam dengan satu tuntutan yang jelas: "Ayahmu telah memberatkan tanggungan kami; sekarang, kurangkanlah pekerjaan yang berat yang dibebankan ayahmu itu dan tanggungan yang berat yang diletakkannya kepada kami, maka kami akan menjadi hambamu." (2 Tawarikh 10:4). Ini adalah permohonan yang sah dari rakyat yang merasa tertindas. Mereka tidak meminta kemerdekaan atau pembangkangan, melainkan keringanan beban sebagai syarat kesetiaan mereka.
Permintaan ini adalah sebuah ujian kepemimpinan yang sesungguhnya bagi Rehoboam. Apakah ia akan mendengarkan suara rakyat, memahami penderitaan mereka, dan menunjukkan empati? Atau akankah ia mempertahankan kekuasaannya dengan tangan besi, tanpa mempertimbangkan kesejahteraan subjeknya? Di sinilah momen krusial dimulai, di mana karakter seorang pemimpin akan diuji.
Dua Nasihat yang Berbeda: Hikmat vs. Kebodohan
Rehoboam, yang menghadapi dilema ini, melakukan hal yang benar di awal: ia mencari nasihat. Namun, keputusan selanjutnya dalam memilih nasihat mana yang akan diikuti, inilah yang menjadi titik balik tragis.
Nasihat Para Penatua (Ayat 5-7)
Rehoboam pertama-tama berkonsultasi dengan para penatua, orang-orang yang telah melayani ayahnya, Salomo. Mereka adalah orang-orang bijak yang memiliki pengalaman panjang dalam pemerintahan dan memahami dinamika hubungan antara raja dan rakyatnya. Nasihat mereka sangatlah bijaksana dan visioner:
"Jika engkau mau berlaku baik terhadap rakyat ini, melayani mereka dan menjawab mereka dengan perkataan yang ramah, maka mereka akan menjadi hambamu seumur hidup." (2 Tawarikh 10:7)
Nasihat ini adalah intisari dari kepemimpinan yang melayani. Mereka mengajarkan bahwa untuk mendapatkan kesetiaan yang langgeng, seorang pemimpin harus menunjukkan kerendahan hati, empati, dan keinginan untuk melayani. Ini adalah pendekatan yang berpusat pada rakyat, yang mengutamakan hubungan baik dan kepercayaan timbal balik daripada otoritas yang dipaksakan. Mereka memahami bahwa kekuatan sejati seorang raja bukan terletak pada kekuasaannya yang tak terbatas, melainkan pada hati dan kesetiaan rakyatnya.
Para penatua ini melihat jauh ke depan. Mereka tahu bahwa kepuasan rakyat akan menciptakan stabilitas dan kemakmuran jangka panjang bagi kerajaan. Mereka mengajarkan prinsip bahwa dengan memberi, seorang pemimpin akan menerima lebih banyak – dalam hal ini, kesetiaan abadi.
Nasihat Para Pemuda Sebaya (Ayat 8-11)
Namun, Rehoboam menolak nasihat yang bijaksana dari para penatua. Ia berpaling kepada teman-teman sebaya yang tumbuh bersamanya, orang-orang muda yang tidak memiliki pengalaman dan mungkin dipenuhi dengan ambisi serta keinginan untuk menunjukkan kekuasaan. Nasihat mereka, ironisnya, persis kebalikan dari para penatua:
"Katakanlah kepada mereka: Ayahku telah memberatkan tanggungan kamu, tetapi aku akan menambah tanggunganmu itu; ayahku telah menghajar kamu dengan cambuk, tetapi aku akan menghajar kamu dengan cambuk yang berkalajengking!" (2 Tawarikh 10:11)
Nasihat para pemuda ini mencerminkan mentalitas yang dangkal, sombong, dan egois. Mereka berfokus pada pamer kekuasaan, intimidasi, dan dominasi. Mereka mengira bahwa dengan menunjukkan kekuatan yang lebih besar dari Salomo, Rehoboam akan mendapatkan rasa hormat dan kepatuhan. Mereka tidak memahami bahwa rasa takut yang dipaksakan hanya akan melahirkan kebencian dan pemberontakan, bukan kesetiaan yang tulus. Ini adalah nasihat yang berlandaskan kebanggaan, tanpa sedikit pun empati atau kebijaksanaan jangka panjang.
Perbandingan "pinggangku lebih besar dari paha ayahku" adalah metafora yang kuat untuk menunjukkan bahwa Rehoboam akan lebih kejam dan menekan daripada ayahnya. Penggunaan "cambuk yang berkalajengking" mengindikasikan kekerasan ekstrem yang akan diterapkan. Ini adalah pernyataan perang, bukan sebuah respons politik.
Keputusan Fatal Rehoboam (Ayat 12-14)
Setelah tiga hari yang diminta Rehoboam, rakyat kembali untuk menerima jawabannya. Di sinilah Rehoboam membuat keputusan yang akan mengubah sejarah Israel selamanya. Ia menolak nasihat bijaksana dari para penatua dan memilih untuk mengikuti nasihat yang keras dan sombong dari teman-teman mudanya. Alkitab mencatat:
"Maka raja menjawab mereka dengan keras; karena Rehoboam telah meninggalkan nasihat para tua-tua itu," (2 Tawarikh 10:13)
Rehoboam menyampaikan jawaban yang kejam dan menghina kepada rakyat. Ia mengulangi persis kata-kata yang diusulkan oleh teman-teman mudanya, tanpa modifikasi atau pertimbangan. Dengan satu kalimat, ia menghancurkan setiap harapan rekonsiliasi dan kesetiaan. Ia menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang arogan, tuli terhadap penderitaan rakyat, dan sepenuhnya tidak peka.
Keputusan ini bukanlah keputusan yang impulsif semata. Ini adalah refleksi dari hati yang sombong, yang lebih mengutamakan kekuasaan dan citra "kuat" daripada keadilan dan kesejahteraan. Ia gagal memahami bahwa kepemimpinan sejati terletak pada kemampuan untuk melayani, bukan untuk mendominasi. Ia memilih jalur konfrontasi daripada rekonsiliasi, dan jalur tirani daripada belas kasih.
Pemberontakan dan Perpecahan Kerajaan (Ayat 15-19)
Respon dari rakyat tidak dapat dihindari. Ketika mereka mendengar jawaban yang kasar dari Rehoboam, kesabaran mereka habis. Teriakan pemberontakan meletus:
"Apa bagian kami pada Daud? Kami tidak memperoleh milik pusaka pada anak Isai itu! Ke kemahmu, hai Israel! Sekarang perhatikanlah rumahmu sendiri, hai Daud!" (2 Tawarikh 10:16)
Kalimat ini menandai akhir dari persatuan kerajaan. "Apa bagian kami pada Daud?" adalah penolakan tegas terhadap dinasti Daud, yang sebelumnya sangat dihormati. Mereka secara efektif menyatakan bahwa mereka tidak lagi mengakui otoritas Rehoboam atau garis keturunan Daud. Ini adalah puncak dari ketidakpuasan yang telah lama terpendam, dipicu oleh kebodohan seorang raja yang baru.
Dalam kepanikan, Rehoboam mengirimkan Adoram (atau Adoniram), yang bertanggung jawab atas kerja paksa, untuk menenangkan rakyat. Ini adalah langkah yang sangat tidak bijaksana dan menunjukkan kurangnya pemahaman Rehoboam tentang situasi. Mengirim seseorang yang terkait langsung dengan penindasan yang mereka keluhkan hanyalah akan menambah kemarahan rakyat. Akibatnya, Adoram dilempari batu oleh seluruh Israel hingga mati. Rehoboam sendiri harus melarikan diri dengan keretanya ke Yerusalem untuk menyelamatkan hidupnya.
Hasilnya sangat jelas: "Demikianlah Israel memberontak terhadap keluarga Daud sampai hari ini." (2 Tawarikh 10:19). Kerajaan Israel yang bersatu, yang dibangun oleh Daud dan diperkuat oleh Salomo, terpecah menjadi dua: Kerajaan Utara (Israel) dengan Yerobeam sebagai raja, dan Kerajaan Selatan (Yehuda, yang juga mencakup suku Benyamin) dengan Rehoboam sebagai rajanya. Perpecahan ini adalah konsekuensi langsung dari keputusan Rehoboam, dan akan membentuk sejarah Israel untuk berabad-abad yang akan datang.
Namun, di tengah semua keputusan manusia yang keliru ini, Alkitab memberikan perspektif ilahi yang penting:
"Sebab hal itu merupakan perubahan dari pada TUHAN, supaya firman-Nya yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Ahia, orang Silo itu, kepada Yerobeam bin Nebat, menjadi kenyataan." (2 Tawarikh 10:15)
Ayat ini adalah kunci untuk memahami keseluruhan narasi. Meskipun keputusan Rehoboam sepenuhnya adalah tanggung jawabnya sendiri dan mencerminkan kesalahannya, Alkitab menegaskan bahwa di balik layar, Allah sedang bekerja untuk menggenapi rencana-Nya. Allah telah berjanji kepada Yerobeam melalui nabi Ahia bahwa sepuluh suku akan diberikan kepadanya sebagai hukuman atas penyembahan berhala Salomo (1 Raja-Raja 11:29-39). Kebodohan Rehoboam, meskipun tragis, menjadi sarana bagi kedaulatan Allah untuk mewujudkan kehendak-Nya.
Refleksi Mendalam dan Aplikasi untuk Masa Kini
Kisah 2 Tawarikh 10 bukan hanya sejarah kuno; ini adalah cermin yang sangat relevan untuk kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan kehidupan kita sehari-hari. Ada beberapa pelajaran mendalam yang bisa kita tarik:
1. Pentingnya Kebijaksanaan dan Nasihat
Kisah Rehoboam adalah peringatan keras tentang bahaya menolak nasihat bijak. Rehoboam memiliki akses ke orang-orang yang berpengalaman dan berhikmat, namun ia memilih untuk mengabaikan mereka demi saran yang lebih menyenangkan telinganya, yang pada akhirnya merugikan dirinya sendiri dan kerajaannya. Ini mengajarkan kita:
- Mencari Nasihat yang Tepat: Kita harus proaktif dalam mencari nasihat dari orang-orang yang memiliki hikmat, pengalaman, dan integritas, bukan hanya dari mereka yang akan mengatakan apa yang ingin kita dengar.
- Membedakan Sumber Nasihat: Tidak semua nasihat sama. Nasihat yang bijak seringkali menantang kita, memaksa kita untuk melihat di luar ego kita, dan berfokus pada kebaikan jangka panjang. Nasihat yang buruk cenderung memanjakan kesombongan, mencari jalan pintas, atau berfokus pada keuntungan pribadi yang sesaat.
- Kerendahan Hati untuk Menerima: Mengambil nasihat yang baik membutuhkan kerendahan hati. Rehoboam terlalu sombong untuk mendengarkan para penatua yang menyarankan pelayanan, bukan dominasi.
2. Hakikat Kepemimpinan Sejati
Rehoboam salah memahami hakikat kepemimpinan. Ia melihatnya sebagai hak untuk memerintah dan menindas, bukan sebagai tanggung jawab untuk melayani dan melindungi. Kepemimpinan sejati, seperti yang diajarkan oleh para penatua dan secara sempurna dicontohkan oleh Yesus Kristus, adalah kepemimpinan yang melayani.
- Kepemimpinan Melayani: Seorang pemimpin sejati berfokus pada kesejahteraan orang yang dipimpinnya. Ia peka terhadap kebutuhan mereka, mendengarkan keluhan mereka, dan berusaha meringankan beban, bukan menambahnya.
- Empati dan Komunikasi: Rehoboam gagal menunjukkan empati dan berkomunikasi secara efektif. Ia tidak mencoba memahami perspektif rakyatnya. Pemimpin yang baik harus mampu berhubungan dengan orang-orangnya dan menyampaikan pesan dengan kebijaksanaan dan kebaikan.
- Tanggung Jawab atas Warisan: Rehoboam mewarisi kerajaan yang besar, tetapi ia gagal menjadi penjaga yang baik atas warisan itu. Para pemimpin memiliki tanggung jawab besar untuk membangun, bukan meruntuhkan, apa yang telah dipercayakan kepada mereka.
3. Konsekuensi dari Keputusan Buruk
Satu keputusan yang salah dapat memiliki dampak yang menghancurkan dan tak terpulihkan. Keputusan Rehoboam bukan hanya memengaruhi dirinya sendiri, tetapi juga jutaan orang dan seluruh sejarah bangsanya. Ini mengingatkan kita:
- Dampak Jangka Panjang: Setiap keputusan yang kita buat, besar atau kecil, memiliki konsekuensi. Terkadang, konsekuensi tersebut tidak langsung terlihat, tetapi akan terungkap seiring waktu.
- Spiral Menuju Kehancuran: Kesombongan dan ketidakbijaksanaan seringkali memicu serangkaian keputusan buruk yang membawa pada kehancuran yang lebih besar. Rehoboam memulai dengan menolak nasihat, lalu memberikan jawaban yang kejam, yang berujung pada perpecahan kerajaan dan hilangnya sebagian besar rakyatnya.
- Pentingnya Berpikir Jernih: Dalam menghadapi tekanan atau dilema, sangat penting untuk tidak tergesa-gesa. Luangkan waktu untuk berdoa, mencari hikmat, dan menimbang semua opsi dengan hati-hati.
4. Kedaulatan Allah di Balik Kesalahan Manusia
Ayat 15 ("Sebab hal itu merupakan perubahan dari pada TUHAN...") adalah pengingat yang kuat akan kedaulatan Allah. Ini tidak berarti Allah menyebabkan Rehoboam berbuat dosa, melainkan bahwa Allah dapat menggunakan bahkan keputusan manusia yang paling bodoh dan memberontak sekalipun untuk menggenapi tujuan-Nya yang lebih besar. Ini memberikan kita penghiburan dan perspektif:
- Allah Berdaulat: Bahkan ketika segala sesuatu tampak kacau atau ketika manusia membuat kesalahan besar, Allah tetap memegang kendali. Rencana-Nya akan terwujud.
- Tujuan di Balik Penderitaan: Meskipun perpecahan kerajaan adalah tragedi bagi Israel, itu adalah bagian dari rencana Allah untuk menghukum Salomo atas penyembahan berhalanya dan untuk membentuk sejarah keselamatan.
- Bukan Alasan untuk Berbuat Dosa: Pemahaman akan kedaulatan Allah tidak pernah menjadi alasan untuk berbuat dosa atau membuat keputusan yang tidak bijaksana. Manusia tetap bertanggung jawab penuh atas tindakan dan pilihan mereka.
5. Pelajaran Pribadi: Menguji Hati Kita
Kisah Rehoboam juga menantang kita untuk menguji hati kita sendiri. Apakah kita cenderung mencari nasihat yang memuaskan ego kita? Apakah kita bersedia mendengarkan kebenaran yang sulit? Apakah kita menggunakan posisi atau pengaruh kita untuk melayani atau untuk mendominasi?
- Melawan Kesombongan: Kesombongan adalah akar dari banyak kegagalan. Ini menutup hati kita dari kritik, saran, dan bahkan dari suara Tuhan.
- Mencari Hikmat Ilahi: Sumber hikmat sejati adalah Tuhan. Yakobus 1:5 berkata, "Apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit, maka hal itu akan diberikan kepadanya."
- Belajar dari Kesalahan Orang Lain: Kita tidak perlu mengulangi kesalahan Rehoboam. Sejarah Alkitab diberikan kepada kita sebagai pelajaran dan peringatan.
Dalam konteks keluarga, seorang kepala keluarga yang menolak mendengarkan pasangannya atau anak-anaknya dengan empati dapat menciptakan perpecahan. Di lingkungan kerja, seorang manajer yang arogan dan menolak masukan dari bawahannya akan menghadapi ketidakpuasan dan hilangnya produktivitas. Di dalam gereja, seorang pemimpin yang tidak mau mendengarkan jemaat atau sesama penatua dapat menyebabkan perpecahan dan kehancuran. Kisah Rehoboam menjadi sebuah peringatan universal yang berlaku di setiap ranah kehidupan.
Kesimpulan
Pasal 2 Tawarikh 10 adalah narasi yang kuat tentang pentingnya kebijaksanaan, kerendahan hati, dan kepemimpinan yang melayani. Rehoboam, dalam kesombongan dan ketidakdewasaannya, memilih jalan tirani dan menolak nasihat yang bijaksana. Konsekuensinya adalah perpecahan kerajaan yang tragis, yang telah diprediksi oleh Tuhan sebagai hukuman atas dosa-dosa Salomo.
Kisah ini mengajarkan kita bahwa kekuasaan tidak harus digunakan untuk menindas, tetapi untuk melayani. Kebijaksanaan harus dicari dan dihargai, bukan diabaikan demi kepuasan ego sesaat. Dan setiap keputusan yang kita buat, terutama dalam posisi kepemimpinan, memiliki implikasi yang luas dan abadi. Semoga kita semua belajar dari kesalahan Rehoboam, dan senantiasa mencari hikmat dari Tuhan agar dapat menjadi pemimpin yang bijaksana, rendah hati, dan berorientasi pada pelayanan, di mana pun Tuhan menempatkan kita.
Mari kita renungkan apakah ada "beban berat" yang kita bebankan pada orang lain, entah dalam keluarga, pekerjaan, atau pelayanan, dan apakah kita bersedia untuk mendengarkan, melayani, dan memberikan jawaban yang ramah, sehingga bukan perpecahan yang terjadi, melainkan persatuan yang kokoh dan penuh kasih.