Renungan 1 Tawarikh 29: Hati yang Memberi dan Memuji Tuhan
Kitab 1 Tawarikh sering kali dianggap sebagai catatan sejarah yang kering, namun di dalamnya terkandung permata rohani yang tak ternilai harganya. Salah satu bagian paling bercahaya adalah pasal 29, yang mencatat momen puncak kehidupan Raja Daud: persiapan pembangunan Bait Allah dan doa perpisahannya yang agung. Pasal ini bukan hanya sekadar daftar bahan bangunan atau kronik pengalihan takhta, melainkan sebuah simfoni spiritual yang merayakan kedaulatan Allah, kemurahan hati manusia, dan sukacita dalam persembahan.
1 Tawarikh 29 adalah sebuah cermin yang merefleksikan prinsip-prinsip abadi tentang ibadah sejati, kepemimpinan yang berintegritas, dan makna pemberian yang tulus. Ini adalah sebuah narasi tentang bagaimana iman yang hidup diekspresikan melalui tindakan nyata—sebuah panggilan untuk merenungkan kembali sikap hati kita dalam menghadapi panggilan Tuhan dan dalam menggunakan berkat-Nya. Mari kita selami lebih dalam setiap aspek dari pasal yang kaya ini, membuka wawasan baru tentang bagaimana kita dapat hidup dengan hati yang sepenuhnya tertuju kepada Tuhan.
Konteks Historis: Visi Daud dan Persiapan yang Megah
Untuk memahami kedalaman 1 Tawarikh 29, kita perlu menempatkannya dalam konteks sejarah Israel. Daud, sang raja pahlawan dan pemazmur, telah memimpikan sebuah rumah bagi Tuhan sejak lama. Meskipun Tuhan melarangnya membangun Bait Allah karena tangannya penuh dengan darah peperangan (1 Tawarikh 22:8), Daud tidak pernah berhenti mempersiapkan segala sesuatunya untuk proyek monumental ini. Ia mengumpulkan material, mengatur para pekerja, dan menunjuk putranya, Salomo, sebagai penerusnya yang akan menuntaskan visi ini.
Bab 29 adalah kulminasi dari persiapan Daud. Ia tidak hanya mengumpulkan kekayaan dari penaklukannya, tetapi juga mencurahkan harta pribadinya. Ini bukan sekadar tugas kerajaan, melainkan ekspresi kerinduan hati seorang hamba Tuhan yang mendalam. Daud memahami bahwa Bait Allah adalah pusat ibadah Israel, tempat di mana umat dapat bertemu dengan hadirat Tuhan secara nyata. Oleh karena itu, persiapan ini dilakukan dengan dedikasi dan kemegahan yang luar biasa, mencerminkan kemuliaan Tuhan yang hendak mereka sembah.
Daud juga menyadari keterbatasannya sebagai manusia dan kedaulatan Tuhan yang tak terbatas. Dia tahu bahwa dirinya hanyalah alat di tangan Tuhan. Dengan rendah hati, dia menerima keputusan Tuhan untuk tidak mengizinkannya membangun Bait Allah, namun dia tetap setia dalam perannya sebagai "penyedia" dan "perencana". Ini menunjukkan kematangan rohani Daud, sebuah contoh tentang bagaimana kita dapat melayani Tuhan dengan semangat penuh, bahkan ketika peran kita tidak persis seperti yang kita bayangkan.
Pentingnya Bait Allah bagi Israel tidak bisa diremehkan. Itu adalah simbol kehadiran Tuhan di tengah-tengah umat-Nya, tempat kurban dipersembahkan, doa dinaikkan, dan Taurat diajarkan. Daud memahami bahwa fondasi rohani umat harus kuat, dan Bait Allah akan menjadi pilar utama dari fondasi tersebut. Oleh karena itu, ia mengerahkan segala sumber daya, baik materi maupun manusia, untuk memastikan bahwa proyek ini akan terlaksana dengan sempurna demi kemuliaan Allah.
1. Pemberian yang Tulus dari Hati Raja (1 Tawarikh 29:1-5)
Pasal ini dimulai dengan pengumuman Daud kepada jemaat tentang Bait Allah yang akan dibangun. Ia tidak hanya mengumumkan proyek, tetapi juga menjelaskan alasan di baliknya dan mengajak umat untuk berpartisipasi. Daud memanggil Salomo "mudah dan belum berpengalaman" (ay. 1), sebuah pengakuan jujur tentang tantangan besar yang dihadapi putranya. Namun, Daud segera menambahkan, "pekerjaan itu besar, karena Bait itu bukan untuk manusia, melainkan untuk TUHAN Allah" (ay. 1).
Pernyataan ini adalah kunci utama. Ini bukan proyek politik, ekonomi, atau bahkan warisan pribadi Salomo. Ini adalah proyek ilahi, sebuah persembahan bagi Yang Mahatinggi. Pemahaman ini membentuk dasar bagi semua pemberian dan dedikasi yang mengalir sesudahnya. Ketika kita melakukan sesuatu "untuk Tuhan," standar kita akan jauh lebih tinggi, motivasi kita akan lebih murni, dan kita akan mengerahkan segala upaya terbaik kita.
Daud tidak hanya bicara. Ia memimpin dengan memberi contoh. "Dengan segenap kekuatanku telah kuusahakan untuk Bait Allahku..." (ay. 2). Ia telah mengumpulkan emas, perak, tembaga, besi, kayu, batu permata, dan pualam, dalam jumlah yang sangat besar. Ini bukan pemberian "sisa" atau "seadanya," melainkan akumulasi dari seluruh hidupnya, hasil dari kedaulatannya yang diberkati Tuhan. Daftar material yang disebutkan bukan sekadar rincian, tetapi penekanan pada kualitas dan kuantitas dari persembahan Daud—segala sesuatu yang terbaik untuk Tuhan.
Lebih dari itu, di ayat 3, Daud menyatakan, "Lagi pula, oleh karena kecintaanku kepada Bait Allahku, maka selain dari segala yang telah kusediakan itu, masih kuberikan emas dan perak kepunyaanku sendiri untuk Bait Allahku." Ini adalah tingkatan pemberian yang melampaui kewajiban. Ini adalah pemberian yang berasal dari "cinta." Daud memberikan dari harta pribadinya, dari apa yang ia miliki di luar kas negara. Ini adalah persembahan yang murni lahir dari hati yang mengasihi Tuhan dan merindukan rumah-Nya.
Jumlah yang disebutkan—3.000 talenta emas dan 7.000 talenta perak—adalah angka yang fantastis, setara dengan ratusan ton logam mulia. Nilai ini sangat besar, bahkan di zaman modern. Ini menunjukkan betapa Daud tidak menahan apapun. Pemberiannya adalah totalitas dari kekayaan pribadinya yang paling berharga. Ini bukan sekadar sumbangan, melainkan curahan kasih dan dedikasi yang mendalam.
Dengan dasar pemberiannya yang ekstrem ini, Daud kemudian menantang para pemimpin dan umat: "Siapakah di antara kamu yang rela memberi persembahan kepada TUHAN pada hari ini?" (ay. 5). Tantangan ini bukanlah paksaan, melainkan undangan untuk berbagi dalam sukacita pemberian. Ia tidak meminta mereka melakukan apa yang tidak ia lakukan sendiri. Ia memimpin dengan teladan, membuka jalan bagi mereka untuk juga mengalami berkat dan sukacita dari memberi dengan rela.
Dalam renungan kita, pertanyaan ini bergema hingga kini: "Siapakah di antara kita yang rela memberi persembahan kepada Tuhan pada hari ini?" Apakah pemberian kita mencerminkan hati yang mengasihi Tuhan dan merindukan pekerjaan-Nya? Apakah kita memberikan dari "sisa" atau dari "kecintaan" kita? Daud mengajarkan bahwa pemberian sejati dimulai dari hati yang penuh kasih, hati yang menganggap apa pun yang kita miliki sebagai milik Tuhan yang dikembalikan kepada-Nya.
2. Respon Umat: Sukacita dalam Kemurahan Hati (1 Tawarikh 29:6-9)
Tantangan Daud tidak jatuh di tanah yang kering. Respon dari para pemimpin dan umat Israel sungguh luar biasa. "Maka para kepala kaum keluarga, para kepala suku Israel, para panglima seribu dan seratus, serta para pemimpin pekerjaan raja memberi persembahan dengan rela hati" (ay. 6). Dari yang paling tinggi hingga yang biasa, setiap orang merespon panggilan itu dengan sukacita dan kemurahan hati.
Daftar persembahan mereka pun tidak kalah mengagumkan: 5.000 talenta emas, 10.000 darik emas, 10.000 talenta perak, 18.000 talenta tembaga, dan 100.000 talenta besi. Jumlah ini menunjukkan betapa besar kekayaan yang terkumpul, tetapi yang lebih penting adalah sikap hati di baliknya. Ayat 9 dengan jelas menyatakan, "Bangsa itu bersukacita karena mereka memberi dengan rela hati, sebab dengan tulus hati mereka memberi persembahan kepada TUHAN. Juga Raja Daud sangat bersukacita."
Poin krusial di sini adalah "rela hati" dan "tulus hati." Pemberian mereka bukan karena paksaan, bukan karena ingin dipuji, dan bukan karena kewajiban yang berat. Mereka memberi karena hati mereka tergerak oleh Roh Kudus, karena mereka memahami visi dan tujuan ilahi di balik pembangunan Bait Allah, dan karena mereka melihat teladan raja mereka. Ini adalah pemberian yang lahir dari sukacita, bukan dari beban.
Pemberian dengan rela hati ini menghasilkan sukacita ganda: sukacita di antara umat dan sukacita yang dirasakan oleh Daud. Ketika kita memberi dengan sukacita, bukan hanya penerima yang diberkati, tetapi juga si pemberi merasakan kebahagiaan yang mendalam. Kebahagiaan ini adalah bukti internal bahwa kita sedang bergerak selaras dengan kehendak Tuhan, yang mengasihi "pemberi yang sukacita" (2 Korintus 9:7).
Pemberian mereka juga menyatukan umat. Tidak ada persaingan, tidak ada perbandingan. Setiap orang memberikan apa yang mereka miliki, dan bersama-sama, mereka berkontribusi pada sebuah tujuan yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Dalam komunitas iman, kemurahan hati adalah perekat yang menguatkan ikatan persaudaraan dan menciptakan lingkungan di mana Roh Kudus dapat bekerja dengan leluasa. Kebersamaan dalam memberi ini menciptakan sebuah atmosfer ibadah yang sangat kuat dan nyata, di mana setiap individu merasa memiliki bagian dalam proyek Tuhan.
Pasal ini menantang kita untuk memeriksa motivasi di balik pemberian kita. Apakah kita memberi dengan "tulus hati" dan "rela hati"? Apakah kita mengalami sukacita dalam proses memberi, ataukah kita merasa terbebani? Teladan umat Israel di sini menunjukkan bahwa ketika hati kita selaras dengan hati Tuhan, memberi menjadi sebuah hak istimewa, bukan beban. Ini adalah respons alami dari hati yang telah menerima anugerah yang tak terhingga dari Tuhan.
Lebih jauh lagi, pemberian ini menjadi kesaksian bagi generasi mendatang. Mereka membangun sebuah rumah bagi Tuhan dengan kemurahan hati yang melimpah, tidak hanya dari kekayaan tetapi dari jiwa mereka. Ini menginspirasi kita untuk merenungkan bagaimana pemberian kita hari ini akan membentuk gereja dan masyarakat di masa depan. Apakah kita sedang membangun sebuah warisan kemurahan hati dan iman yang akan menginspirasi orang lain?
3. Doa Daud yang Agung: Mahakarya Pujian dan Pengakuan (1 Tawarikh 29:10-19)
Setelah melihat respon luar biasa dari umat, Daud melangkah maju dan mengucapkan salah satu doa paling indah dan mendalam dalam seluruh Alkitab. Doa ini adalah puncak pasal 29 dan merupakan ringkasan teologi Daud tentang kedaulatan Allah, sifat manusia, dan esensi persembahan. Doa ini dapat dibagi menjadi tiga bagian utama: pujian kepada Allah, pengakuan diri dan hakikat pemberian, serta doa untuk hati umat.
3.1. Pujian kepada Allah: Sumber Segala Kemuliaan (1 Tawarikh 29:10-13)
Daud memulai doanya dengan memberkati Tuhan. "Terpujilah Engkau, ya TUHAN, Allah Israel, bapa kami, dari selama-lamanya sampai selama-lamanya" (ay. 10). Kata-kata ini bukan sekadar formalitas, melainkan pengakuan yang tulus akan keabadian dan kesetiaan Allah. Dari sini, Daud meluncurkan rentetan pujian yang mengagumkan, merangkum atribut-atribut Allah yang tak terbatas:
- Kedaulatan dan Kekuasaan: "Ya TUHAN, Engkaulah yang empunya kebesaran dan kejayaan, kehormatan, kemasyhuran dan keagungan, sebab segala yang ada di langit dan di bumi, Engkaulah yang memilikinya" (ay. 11a). Daud menegaskan bahwa seluruh alam semesta, dengan segala isinya, adalah milik Tuhan. Ini adalah pengingat bahwa semua yang mereka kumpulkan—emas, perak, permata—hanyalah sebagian kecil dari kemuliaan yang tak terbatas yang dimiliki Allah. Manusia hanya dapat mengelola, bukan memiliki secara mutlak.
- Kerajaan dan Kemuliaan: "Engkaulah Raja, ya TUHAN, Engkau menjunjung tinggi diri-Mu mengatasi segala-galanya" (ay. 11b). Tuhan adalah Raja atas segala raja, penguasa tertinggi yang otoritas-Nya tidak dapat digugat. Tidak ada kekuatan di langit atau di bumi yang dapat menyaingi kekuasaan-Nya. Pengakuan ini merendahkan manusia dan meninggikan Allah, menempatkan Dia di singgasana yang memang seharusnya.
- Kekayaan dan Kehormatan: "Kekayaan dan kehormatan datang dari pada-Mu, dan Engkaulah yang berkuasa atas segala-galanya; dalam tangan-Mu ada kekuatan dan keperkasaan; dalam tangan-Mu ada kuasa untuk membesarkan dan menguatkan segala-galanya" (ay. 12). Daud dengan jelas menyatakan bahwa keberhasilan, kemakmuran, dan kekuatan mereka tidak datang dari kecerdikan atau upaya mereka sendiri, melainkan sepenuhnya berasal dari Tuhan. Ini adalah penolakan terhadap kesombongan manusia dan penekanan pada ketergantungan mutlak kepada Allah. Segala sesuatu yang baik yang kita nikmati adalah anugerah murni dari Tuhan.
- Syukur dan Pujian: "Jadi sekarang, ya Allah kami, kami bersyukur kepada-Mu dan memuji nama-Mu yang agung itu" (ay. 13). Setelah mendaftar semua kebesaran Allah, Daud menyimpulkan dengan ungkapan syukur yang tulus. Pujian ini bukan sekadar ritual, melainkan respons alami dari hati yang memahami keagungan Allah dan kebaikan-Nya yang tak terbatas.
Dalam bagian pujian ini, Daud tidak hanya mengagungkan Tuhan di hadapan umat, tetapi juga mendidik mereka. Dia mengingatkan bahwa Bait Allah yang mereka bangun, dengan semua kemewahan materialnya, adalah simbol yang menunjuk kepada realitas yang jauh lebih besar—kemuliaan Allah yang tak terhingga. Pujian Daud adalah sebuah teologi yang hidup, yang mengajarkan kepada kita bahwa setiap perbuatan baik, setiap pencapaian, dan setiap berkat yang kita terima harus selalu mengarah kembali kepada Sumbernya: Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Baik.
Renungan ini mengajarkan kita untuk selalu memulai dan mengakhiri segala sesuatu dengan pujian kepada Tuhan. Ketika kita melihat keberhasilan dalam hidup, baik pribadi maupun komunal, hal pertama yang harus kita lakukan adalah meninggikan nama Tuhan. Ini menghindarkan kita dari kesombongan dan menjaga hati kita tetap rendah hati di hadapan-Nya, menyadari bahwa "dari Dialah, dan oleh Dialah, dan kepada Dialah segala sesuatu" (Roma 11:36).
3.2. Pengakuan Diri dan Hakikat Pemberian (1 Tawarikh 29:14-16)
Dari puncak pujian yang memukau, Daud beralih ke pengakuan diri yang merendahkan hati. Ia tidak membiarkan umat atau dirinya sendiri merasa bangga atas pemberian mereka. "Sebab siapakah aku ini dan siapakah bangsaku, sehingga kami mampu memberi persembahan sukarela seperti ini? Sebab dari pada-Mulah segala-galanya dan dari tangan-Mu sendirilah persembahan yang kami berikan kepada-Mu" (ay. 14).
Ini adalah inti dari teologi pemberian Daud. Ia menegaskan dua kebenaran fundamental:
- Kerendahan Hati Manusia: "Siapakah aku ini dan siapakah bangsaku?" Daud menempatkan dirinya dan umatnya dalam perspektif yang benar di hadapan Allah. Mereka hanyalah manusia fana, terbatas, dan tidak berarti dibandingkan dengan keagungan Tuhan. Kepadanya, tidak ada yang patut dibanggakan dari diri sendiri, apalagi mengklaim kemuliaan atas pemberian yang mereka lakukan.
- Kedaulatan Allah atas Segala Sumber Daya: "Sebab dari pada-Mulah segala-galanya dan dari tangan-Mu sendirilah persembahan yang kami berikan kepada-Mu." Ini adalah pernyataan yang sangat kuat tentang kepemilikan Allah yang mutlak. Semua yang mereka miliki—kekayaan, kekuatan, kemampuan untuk memberi—semuanya berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, ketika mereka memberi, mereka tidak sedang memberikan sesuatu yang asing atau milik mereka sendiri kepada Tuhan. Sebaliknya, mereka hanya mengembalikan sebagian kecil dari apa yang telah Tuhan anugerahkan kepada mereka. Ini adalah teologi penatalayanan yang sempurna. Kita adalah pengelola, bukan pemilik.
Daud melanjutkan dengan merenungkan sifat kefanaan manusia: "Sebab kami adalah orang asing dan pendatang di hadapan-Mu, sama seperti nenek moyang kami. Hari-hari kami seperti bayangan di bumi, dan tidak ada harapan" (ay. 15). Pengakuan ini adalah pengingat yang mengharukan tentang betapa singkat dan rapuhnya hidup manusia di bumi. Ini adalah perspektif yang mendalam: kita tidak membawa apa-apa ke dunia ini, dan kita tidak akan membawa apa-apa saat kita meninggalkannya. Oleh karena itu, melekatkan hati pada harta duniawi adalah kesia-siaan.
Karena kita adalah "orang asing dan pendatang," segala harta yang kita kumpulkan di bumi adalah sementara. Ini memperkuat gagasan bahwa semua yang kita miliki adalah pinjaman dari Tuhan. Tujuan hidup kita bukanlah mengumpulkan kekayaan, tetapi menggunakan kekayaan yang Tuhan percayakan untuk memuliakan nama-Nya dan memajukan kerajaan-Nya.
Ayat 16 mengulangi dan memperkuat poin ini: "Ya TUHAN, Allah kami, segala kekayaan yang telah kami sediakan ini untuk mendirikan bagi-Mu Bait kudus bagi nama-Mu, adalah dari tangan-Mu sendiri dan milik-Mulah semuanya." Daud menutup bagian ini dengan penegasan bahwa tidak ada satu pun pemberian mereka yang berasal dari mereka sendiri secara independen dari Tuhan. Semua adalah karunia-Nya yang dikembalikan kepada-Nya.
Ini adalah pelajaran yang sangat penting bagi kita. Seringkali, kita cenderung merasa bangga atau berjasa atas apa yang kita berikan, entah itu waktu, talenta, atau harta. Namun, Daud mengingatkan kita bahwa bahkan kemampuan untuk memberi pun adalah anugerah. Ketika kita memberi, kita tidak sedang berkorban atau kehilangan; kita sedang berpartisipasi dalam kebaikan Tuhan, mengelola berkat-Nya dengan cara yang memuliakan Dia. Ini mengubah perspektif pemberian dari sebuah beban menjadi sebuah kehormatan dan sukacita yang mendalam.
3.3. Doa untuk Hati Umat dan Salomo (1 Tawarikh 29:17-19)
Setelah memuji Tuhan dan mengakui hakikat pemberian, Daud mengalihkan perhatiannya pada kondisi hati. "Aku tahu, ya Allahku, bahwa Engkau menyelidiki hati dan berkenan kepada keikhlasan. Dengan keikhlasan hatiku aku telah mempersembahkan semuanya ini dengan sukarela, dan sekarang, dengan sukacita kulihat umat-Mu yang hadir di sini memberi persembahan sukarela kepada-Mu" (ay. 17).
Daud memahami bahwa Tuhan tidak hanya melihat apa yang diberikan, tetapi juga hati di baliknya. Tuhan berkenan pada "keikhlasan"—ketulusan, integritas, dan motivasi yang murni. Daud bersukacita karena ia melihat keikhlasan ini dalam hati umatnya. Ini menunjukkan bahwa nilai suatu persembahan bukan terletak pada besar kecilnya secara materi, tetapi pada kualitas hati yang memberikannya.
Kemudian, Daud menaikkan dua permohonan penting kepada Tuhan:
- Doa untuk Hati Umat: "Ya TUHAN, Allah Abraham, Ishak dan Israel, bapa-bapa kami, peliharalah untuk selama-lamanya maksud hati yang demikian itu pada umat-Mu ini dan arahkanlah hati mereka kepada-Mu" (ay. 18). Daud berdoa agar semangat memberi dengan rela hati dan ikhlas ini tidak hanya bersifat sementara, tetapi lestari dalam hati umat. Ia memohon agar Tuhan menjaga hati mereka tetap tertuju kepada-Nya, tidak menyimpang atau menjadi dingin. Ini adalah doa untuk ketekunan dalam iman dan kemurahan hati, sebuah pengakuan bahwa kesetiaan memerlukan intervensi ilahi.
- Doa untuk Salomo: "Dan kepada Salomo, anakku, berikanlah hati yang tulus sehingga ia berpegang pada perintah-Mu, peringatan-Mu dan ketetapan-Mu, melakukan semuanya itu dan mendirikan bait itu, yang untuknya telah kuadakan persediaan" (ay. 19). Daud mendoakan agar Salomo diberikan hati yang "tulus"—sebuah hati yang sempurna, yang sepenuhnya mengasihi dan menaati Tuhan. Ia tahu bahwa keberhasilan pembangunan Bait Allah, dan lebih jauh lagi, keberhasilan kepemimpinan Salomo, sangat bergantung pada kondisi hatinya. Hati yang tulus adalah fondasi dari ketaatan dan kesetiaan yang sejati.
Daud, sebagai seorang pemimpin yang bijaksana, tidak hanya memikirkan saat ini, tetapi juga masa depan. Ia tahu bahwa godaan dunia dapat dengan mudah memadamkan semangat. Oleh karena itu, ia menyerahkan hati umat dan putranya ke dalam tangan Tuhan, memohon agar Tuhanlah yang memelihara dan membentuk mereka. Ini adalah contoh yang luar biasa tentang bagaimana pemimpin rohani harus berdoa untuk umatnya dan untuk generasi penerusnya.
Bagi kita hari ini, doa Daud mengingatkan kita bahwa menjaga kondisi hati adalah prioritas utama dalam kehidupan rohani. Motivasi kita dalam melayani, memberi, dan beribadah harus selalu murni dan tulus. Kita harus secara teratur memeriksa hati kita dan memohon kepada Tuhan untuk "mengarahkan hati kita kepada-Nya" dan memberikan kita "hati yang tulus" agar kita dapat berpegang pada firman-Nya dan melakukan kehendak-Nya.
Keseluruhan doa Daud ini adalah sebuah mahakarya yang mengajarkan kita tentang: kemuliaan Allah yang tak terbatas, kerendahan hati manusia yang menyadari keterbatasannya, hakikat pemberian sebagai pengembalian apa yang adalah milik Tuhan, dan pentingnya hati yang murni dan tulus dalam semua aspek kehidupan rohani.
4. Respon Akhir: Penyembahan dan Penobatan Salomo (1 Tawarikh 29:20-25)
Setelah doa yang begitu mendalam dan mengharukan, Daud tidak hanya mengakhirinya. Ia mengarahkan umat untuk merespons dengan tindakan penyembahan. "Kemudian Daud berkata kepada seluruh jemaat: 'Pujilah TUHAN, Allahmu!' Maka seluruh jemaat memuji TUHAN, Allah nenek moyang mereka, lalu mereka berlutut dan sujud menyembah TUHAN dan raja" (ay. 20).
Ini adalah klimaks dari seluruh pertemuan. Perintah Daud bukan sekadar saran, melainkan seruan untuk pengakuan kolektif akan keagungan Tuhan. Dan umat merespons dengan sukacita dan hormat. Mereka tidak hanya berdiri atau bertepuk tangan, tetapi mereka "berlutut dan sujud menyembah TUHAN dan raja." Penyembahan kepada Tuhan adalah yang utama, sementara penghormatan kepada raja adalah karena Tuhan telah menempatkannya sebagai pemimpin mereka. Ini adalah ekspresi kerendahan hati dan kepatuhan yang mendalam.
Penyembahan ini diikuti oleh persembahan kurban yang melimpah: "Pada keesokan harinya mereka mempersembahkan kurban sembelihan kepada TUHAN dan mempersembahkan kurban bakaran bagi TUHAN: seribu ekor lembu jantan, seribu ekor domba jantan dan seribu ekor domba muda, serta kurban-kurban curahan mereka, dan banyak kurban lain bagi seluruh Israel" (ay. 21). Jumlah kurban yang sangat besar ini menunjukkan kemurahan hati umat yang terus berlanjut dan sukacita mereka dalam beribadah. Kurban bakaran adalah simbol penyerahan diri total, sementara kurban sembelihan lainnya melambangkan persekutuan dan ucapan syukur.
Kemudian, mereka semua makan dan minum dengan sukacita di hadapan Tuhan: "Mereka makan dan minum di hadapan TUHAN pada hari itu dengan sukacita besar" (ay. 22a). Perayaan ini adalah ekspresi dari sukacita rohani yang meluap. Momen-momen seperti ini, di mana umat Tuhan berkumpul untuk menyembah, memberi, dan bersukacita bersama, adalah gambaran dari kerajaan Allah di bumi. Ini menunjukkan bahwa ibadah sejati tidak selalu harus kaku dan formal, tetapi dapat juga dipenuhi dengan sukacita dan perayaan komunal.
Setelah perayaan ini, penobatan Salomo dikukuhkan secara publik: "Untuk kedua kalinya mereka mengangkat Salomo anak Daud menjadi raja, dan mengurapi dia bagi TUHAN sebagai raja, dan Zadok sebagai imam" (ay. 22b). Kata "untuk kedua kalinya" menunjukkan penegasan kembali takhta Salomo, yang sebelumnya telah diumumkan oleh Daud. Pengurapan ini adalah penanda penting bahwa otoritas Salomo berasal dari Tuhan, bukan hanya dari garis keturunan atau keinginan manusia.
Tuhan memberkati pemerintahan Salomo: "Demikianlah Salomo duduk di atas takhta TUHAN sebagai raja menggantikan Daud, ayahnya. Ia berhasil dan seluruh Israel mentaatinya" (ay. 23). Istilah "takhta TUHAN" sangat signifikan, menggarisbawahi bahwa raja Israel adalah wakil Tuhan di bumi, yang memerintah atas nama dan kehendak-Nya. Keberhasilan Salomo dan ketaatan umat adalah bukti nyata berkat Tuhan yang menyertainya.
Pasal ini ditutup dengan pengakuan universal akan otoritas Salomo: "Semua pemimpin dan pahlawan, juga semua anak Raja Daud tunduk kepada Raja Salomo. TUHAN membuat Salomo sangat megah di mata seluruh Israel, dan memberinya keagungan kerajaan yang belum pernah ada pada raja mana pun sebelum dia di Israel" (ay. 24-25). Ini menegaskan stabilitas kerajaan dan penerimaan umum terhadap Salomo sebagai raja yang sah dan diberkati Tuhan. Keagungan Salomo adalah buah dari ketaatannya dan berkat yang Tuhan berikan, menggenapi janji-Nya kepada Daud.
Dari bagian ini, kita belajar tentang pentingnya merespons firman Tuhan dengan penyembahan dan ketaatan. Kita juga melihat bagaimana kepemimpinan yang benar berasal dari Tuhan dan bagaimana berkat Tuhan menyertai mereka yang Dia pilih dan urapi. Sukacita dalam Tuhan dan persekutuan umat adalah buah alami dari hati yang telah memberi dan memuji-Nya dengan tulus.
5. Warisan dan Akhir Hidup Daud (1 Tawarikh 29:26-30)
Pasal 29 dan kitab 1 Tawarikh secara keseluruhan ditutup dengan ringkasan kehidupan dan pemerintahan Raja Daud. "Demikianlah Daud bin Isai memerintah atas seluruh Israel. Lama ia memerintah atas Israel, empat puluh tahun lamanya; di Hebron ia memerintah tujuh tahun, dan di Yerusalem tiga puluh tiga tahun" (ay. 26-27). Ini adalah pengingat akan durasi dan stabilitas pemerintahan Daud, yang meletakkan fondasi bagi masa keemasan Israel.
Daud meninggal dalam keadaan yang diberkati: "Ia mati pada waktu telah lanjut umurnya, penuh harta kekayaan dan kehormatan, lalu Salomo, anaknya, menjadi raja menggantikan dia" (ay. 28). Ini adalah akhir hidup yang ideal bagi seorang raja Israel yang saleh. Ia tidak hanya meninggal di usia tua, tetapi juga "penuh harta kekayaan dan kehormatan." Ini adalah bukti dari kesetiaan Tuhan kepada Daud, yang telah berjanji untuk memberkatinya. Kekayaan dan kehormatan ini bukan sekadar akumulasi materi, tetapi juga pengakuan akan hidupnya yang berintegritas dan pelayanan yang luar biasa kepada Tuhan dan umat-Nya.
Kehadiran Salomo sebagai penerus yang mulus adalah bukti keberhasilan Daud dalam mempersiapkan transisi kepemimpinan. Daud tidak hanya meninggalkan warisan materi dan rohani, tetapi juga memastikan keberlanjutan kerajaan melalui anaknya. Ini menunjukkan pentingnya pembinaan dan penyerahan estafet kepada generasi berikutnya.
Ayat-ayat terakhir memberikan catatan historis tentang sumber-sumber yang digunakan oleh penulis Tawarikh: "Riawayat Raja Daud dari awal sampai akhir, sesungguhnya semua itu tertulis dalam riwayat Samuel, pelihat itu, dan dalam riwayat Nabi Natan, dan dalam riwayat Gad, pelihat itu, lengkap dengan riwayat pemerintahannya, kepahlawanannya dan keadaan zaman itu, yakni keadaan dia dan keadaan Israel dan keadaan segala kerajaan di segala negeri" (ay. 29-30).
Bagian penutup ini menegaskan kredibilitas sejarah dari narasi yang disajikan dalam Tawarikh. Ini juga menunjukkan bahwa kehidupan Daud, dengan segala suka dukanya, kepahlawanannya, dan bahkan kejatuhannya, telah dicatat secara cermat oleh para nabi dan pelihat yang hidup sezaman dengannya. Mereka adalah saksi mata dari zaman yang luar biasa ini, di mana Tuhan membentuk bangsa Israel melalui kepemimpinan Daud.
Warisan Daud bukan hanya tentang Bait Allah atau kerajaannya yang luas, tetapi juga tentang hati yang mengasihi Tuhan. Meskipun ia melakukan kesalahan besar dalam hidupnya, hati Daud selalu kembali kepada Tuhan, mengakui dosa-dosanya, dan mencari wajah-Nya. Ia adalah "seorang yang berkenan di hati Allah" (Kisah Para Rasul 13:22) bukan karena kesempurnaannya, tetapi karena ketulusan hatinya dalam mencari dan melayani Tuhan.
Dari akhir hidup Daud, kita belajar bahwa hidup yang diberkati bukanlah tentang menghindari kesulitan, tetapi tentang menjalani hidup dengan integritas dan kesetiaan kepada Tuhan. Warisan sejati bukanlah apa yang kita kumpulkan untuk diri kita sendiri, melainkan dampak yang kita miliki pada orang lain dan kemuliaan yang kita berikan kepada Tuhan melalui hidup kita. Hidup Daud adalah bukti bahwa bahkan ketika kita gagal, anugerah Tuhan dapat memulihkan kita dan menggunakan kita untuk tujuan-Nya yang besar, meninggalkan warisan yang abadi.
Tema-tema Penting dari 1 Tawarikh 29
Setelah menelusuri setiap bagian dari 1 Tawarikh 29, beberapa tema sentral muncul dengan sangat jelas, menawarkan pelajaran berharga bagi kehidupan iman kita hari ini:
a. Kedaulatan Allah yang Mutlak (God's Absolute Sovereignty)
Ini adalah tema yang paling menonjol dalam doa Daud. Dia berulang kali menyatakan bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan dan adalah milik-Nya. Kekayaan, kekuasaan, kehormatan, kekuatan, dan bahkan kemampuan untuk memberi—semuanya adalah anugerah dari tangan Tuhan. Pengakuan ini merendahkan manusia dan meninggikan Allah, mengingatkan kita bahwa kita hanyalah penatalayan atas segala sesuatu yang Tuhan percayakan. Pemahaman akan kedaulatan Allah mengubah cara pandang kita terhadap harta benda, keberhasilan, dan kehidupan itu sendiri. Tidak ada ruang untuk kesombongan atau kebanggaan diri, karena setiap berkat adalah bukti kemurahan hati ilahi.
Dalam konteks modern, di mana manusia seringkali merasa menjadi arsitek nasibnya sendiri, renungan ini menjadi panggilan untuk kembali pada kesadaran akan ketergantungan total kita pada Tuhan. Segala capaian, entah itu karir yang sukses, kekayaan yang melimpah, atau bahkan kesehatan yang prima, pada dasarnya adalah pemberian dari Tuhan. Kedaulatan Allah juga memberikan kedamaian di tengah ketidakpastian, karena kita tahu bahwa Dia memegang kendali atas segala sesuatu, dan rencana-Nya tidak akan pernah digagalkan.
b. Pemberian yang Rela dan Tulus Hati (Willing and Sincere Giving)
1 Tawarikh 29 adalah salah satu pasal terbaik dalam Alkitab tentang prinsip-prinsip pemberian. Daud memimpin dengan teladan, memberikan dari harta pribadinya dengan "kecintaan." Umat merespons dengan "rela hati" dan "tulus hati," yang menghasilkan "sukacita besar." Ini menekankan bahwa Tuhan tidak tertarik pada kuantitas persembahan saja, melainkan pada kualitas hati di baliknya. Pemberian yang sejati lahir dari kasih, iman, dan sukacita, bukan dari paksaan atau kewajiban yang berat.
Tema ini relevan bagi kita dalam banyak aspek. Pemberian tidak hanya terbatas pada uang, tetapi juga waktu, talenta, energi, dan bahkan pengampunan. Apakah kita memberikan waktu kita kepada Tuhan dan sesama dengan rela? Apakah kita menggunakan talenta kita untuk memuliakan Dia dengan tulus? Pemberian yang tulus adalah ekspresi ibadah dan rasa syukur, yang mengalir dari kesadaran bahwa kita telah menerima jauh lebih banyak dari Tuhan daripada yang bisa kita berikan kembali.
c. Hati yang Menyembah dan Terarah kepada Tuhan (A Worshipping Heart Focused on God)
Doa Daud adalah sebuah mahakarya penyembahan. Itu adalah respons alami dari hati yang telah melihat keagungan Tuhan dan kebaikan-Nya. Selain itu, doa Daud untuk hati umat dan Salomo menunjukkan betapa pentingnya menjaga hati tetap murni dan terarah kepada Tuhan. Kesetiaan dan ketaatan tidak dapat dipisahkan dari kondisi hati yang benar. Tuhan menyelidiki hati, dan Dia berkenan kepada keikhlasan.
Pelajaran bagi kita adalah pentingnya introspeksi dan doa untuk kondisi hati kita sendiri. Apakah hati kita mudah menyimpang? Apakah motivasi kita sering tercampur aduk dengan ambisi pribadi atau keinginan duniawi? Seperti Daud, kita perlu secara teratur memohon kepada Tuhan agar memelihara hati kita, mengarahkannya kepada-Nya, dan memberikannya ketulusan untuk berpegang pada perintah-Nya. Ibadah sejati dimulai dan diakhiri di dalam hati.
d. Warisan Iman dan Tanggung Jawab Generasi (Legacy of Faith and Generational Responsibility)
Daud tidak hanya mempersiapkan Bait Allah, tetapi juga mempersiapkan Salomo sebagai penerusnya. Ia menyampaikan visi, memberikan sumber daya, dan mendoakan anaknya. Ini menunjukkan pentingnya meneruskan warisan iman kepada generasi berikutnya. Kepemimpinan Daud tidak berakhir dengan dirinya, tetapi berlanjut melalui Salomo, yang kemudian berhasil membangun Bait Allah yang telah dipersiapkan ayahnya.
Ini adalah panggilan bagi setiap orang percaya untuk menjadi pembina dan mentor. Apa warisan iman yang kita tinggalkan untuk anak-anak, cucu-cucu, atau generasi muda di gereja dan komunitas kita? Apakah kita tidak hanya mengumpulkan harta, tetapi juga menginvestasikan diri kita dalam kehidupan orang lain, membimbing mereka untuk mengasihi Tuhan dan melayani-Nya? Setiap orang memiliki peran dalam meneruskan obor iman, memastikan bahwa nilai-nilai spiritual terus hidup dan berkembang.
e. Sukacita dalam Pelayanan dan Persekutuan (Joy in Service and Fellowship)
Pasal ini berulang kali menyebutkan "sukacita." Ada sukacita dalam memberi, sukacita dalam menyembah, dan sukacita dalam persekutuan. Pelayanan kepada Tuhan, ketika dilakukan dengan hati yang benar, tidak akan menjadi beban, melainkan sumber kebahagiaan dan kepuasan yang mendalam. Kebersamaan umat dalam memberi dan menyembah juga menciptakan persekutuan yang kuat dan penuh sukacita.
Seringkali, pelayanan dapat terasa berat atau menjadi rutinitas. Namun, 1 Tawarikh 29 mengingatkan kita tentang sukacita sejati yang seharusnya menyertai setiap tindakan pelayanan dan ibadah. Ketika kita fokus pada Tuhan sebagai Sumber dan Tujuan dari segala sesuatu, sukacita akan meluap, bahkan di tengah tantangan. Sukacita ini adalah tanda kehadiran Roh Kudus dan bukti bahwa kita sedang berpartisipasi dalam pekerjaan ilahi yang mulia.
Aplikasi untuk Masa Kini
Prinsip-prinsip yang terungkap dalam 1 Tawarikh 29 tidak terbatas pada zaman kuno atau konteks Bait Allah. Mereka memiliki relevansi yang mendalam bagi kehidupan kita sebagai orang percaya di masa kini.
1. Penatalayanan Harta dan Sumber Daya Kita
Kita hidup di tengah masyarakat yang seringkali mengukur nilai seseorang dari apa yang ia miliki dan kumpulkan. Namun, Daud mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang kita miliki—baik itu uang, properti, bakat, waktu, maupun posisi—semuanya berasal dari Tuhan dan adalah milik-Nya. Kita adalah penatalayan, bukan pemilik. Aplikasi praktisnya adalah bagaimana kita mengelola "milik" Tuhan ini.
- Pemberian Finansial: Apakah kita memberi kepada pekerjaan Tuhan dengan rela, sukacita, dan dari hati yang tulus, seperti yang dilakukan Daud dan umat Israel? Apakah kita memberi dengan kesadaran bahwa kita hanya mengembalikan kepada Tuhan apa yang adalah milik-Nya? Pemberian kita harus menjadi ekspresi ibadah dan rasa syukur, bukan kewajiban yang terpaksa.
- Penggunaan Waktu dan Bakat: Tuhan juga telah menganugerahkan kepada kita waktu dan bakat yang unik. Apakah kita menggunakannya untuk memuliakan Dia dan melayani sesama? Apakah kita memberikan yang terbaik dari waktu dan bakat kita, ataukah kita hanya memberikan sisa-sisa setelah memenuhi semua keinginan pribadi kita?
- Sumber Daya Lain: Termasuk juga kesehatan, energi, dan pengaruh sosial. Bagaimana kita menggunakannya untuk kemuliaan Tuhan? Sebagai penatalayan yang baik, kita dipanggil untuk menggunakan setiap sumber daya dengan bijaksana dan bertanggung jawab, selaras dengan kehendak Tuhan.
2. Kualitas Ibadah dan Doa Pribadi
Doa Daud adalah contoh luar biasa dari ibadah yang tulus dan mendalam. Ini mengajarkan kita untuk tidak hanya meminta dalam doa, tetapi juga untuk memuji dan mengakui kedaulatan Tuhan. Dalam doa pribadi dan ibadah bersama, apakah kita benar-benar mengarahkan hati kita kepada Tuhan? Apakah kita memuji-Nya karena siapa Dia, bukan hanya karena apa yang Dia berikan?
Kita perlu melatih diri untuk masuk ke dalam hadirat Tuhan dengan hati yang rendah hati, mengakui kebesaran-Nya, dan menyerahkan diri kita sepenuhnya kepada-Nya. Seperti Daud yang bersukacita melihat hati umat yang tulus, Tuhan juga merindukan hati yang murni dalam ibadah kita. Ini berarti tidak ada kepura-puraan, tidak ada motivasi tersembunyi, hanya kerinduan tulus untuk memuliakan Allah.
3. Peran Kepemimpinan dan Teladan
Daud menunjukkan teladan kepemimpinan yang luar biasa. Ia adalah seorang pemimpin yang visioner, yang memimpin dengan memberi contoh, dan yang peduli terhadap kelanjutan iman di generasi berikutnya. Bagi para pemimpin di gereja, di rumah, dan di masyarakat, ini adalah panggilan untuk meniru Daud. Apakah kita memimpin dengan integritas? Apakah kita bersedia berkorban lebih dulu sebelum meminta orang lain berkorban? Apakah kita berinvestasi dalam kehidupan generasi penerus, mendoakan mereka dan membimbing mereka untuk mengasihi Tuhan?
Setiap orang memiliki pengaruh dalam lingkupnya masing-masing. Pertimbangkan bagaimana kita dapat menjadi teladan dalam kemurahan hati, integritas, dan ketaatan kepada Tuhan, sehingga orang lain terinspirasi untuk melakukan hal yang sama.
4. Pentingnya Hati yang Murni
Daud berdoa agar Tuhan memelihara hati umat dan memberikan Salomo hati yang tulus. Ini menyoroti fakta bahwa hati adalah pusat dari keberadaan kita, sumber dari semua tindakan kita. Untuk dapat melayani Tuhan dengan efektif dan hidup dalam kebenaran, kita membutuhkan hati yang murni.
Aplikasi untuk kita adalah untuk secara aktif menjaga hati kita. Ini berarti melawan godaan, bertobat dari dosa, dan secara sengaja memupuk kasih, iman, dan integritas. Kita harus secara teratur memohon kepada Tuhan untuk "selidiki aku, ya Allah, dan kenalilah hatiku" (Mazmur 139:23), agar Dia dapat membersihkan dan mengarahkan hati kita sesuai dengan kehendak-Nya.
5. Membangun Warisan Iman untuk Masa Depan
Daud tidak melihat pembangunan Bait Allah sebagai proyek akhir, tetapi sebagai pondasi untuk masa depan. Ia menanamkan visi dan sumber daya untuk Salomo. Kita juga dipanggil untuk berpikir melampaui diri kita sendiri. Apa yang kita lakukan hari ini akan memengaruhi generasi mendatang. Apakah kita membangun gereja yang kuat, keluarga yang beriman, dan masyarakat yang adil, yang akan memberkati orang-orang setelah kita?
Ini mencakup investasi dalam pendidikan rohani, penginjilan, pelayanan sosial, dan setiap upaya yang memajukan kerajaan Allah. Warisan kita bukanlah seberapa banyak yang kita kumpulkan, tetapi seberapa banyak kita telah berinvestasi untuk kemuliaan Tuhan dan kebaikan sesama, yang akan bertahan kekal.
Kesimpulan
1 Tawarikh 29 adalah sebuah renungan yang kaya dan mendalam tentang hati yang memberi dan memuji Tuhan. Melalui teladan Raja Daud dan respon umat Israel, kita diajarkan prinsip-prinsip abadi tentang penatalayanan, ibadah, kepemimpinan, dan pentingnya hati yang tulus di hadapan Allah. Pasal ini bukan hanya catatan sejarah kuno, melainkan panggilan yang bergema bagi setiap orang percaya untuk menguji kembali motivasi, sikap, dan dedikasi kita kepada Tuhan.
Semoga kita, seperti Daud, memiliki hati yang penuh "kecintaan" kepada pekerjaan Tuhan, memimpin dengan memberi contoh, dan dengan rendah hati mengakui bahwa "dari pada-Mulah segala-galanya dan dari tangan-Mu sendirilah persembahan yang kami berikan kepada-Mu." Semoga kita juga, seperti umat Israel, memberi dengan "rela hati" dan "tulus hati," sehingga menghasilkan "sukacita besar" dalam persekutuan dan pelayanan kita.
Pada akhirnya, marilah kita senantiasa memohon kepada Tuhan agar "memelihara untuk selama-lamanya maksud hati yang demikian itu pada umat-Mu ini dan arahkanlah hati mereka kepada-Mu." Dengan hati yang sepenuhnya terarah kepada Tuhan, kita dapat hidup sebagai penatalayan yang setia, penyembah yang tulus, dan pembangun warisan iman yang akan memuliakan nama-Nya dari selama-lamanya sampai selama-lamanya. Amin.