Renungan 1 Timotius 6:2b-10: Kekayaan Sejati dan Bahaya Harta

Dalam dunia yang seringkali mendefinisikan keberhasilan melalui akumulasi kekayaan materi, surat 1 Timotius menawarkan perspektif yang radikal dan abadi. Paulus, dalam suratnya kepada Timotius, seorang pemimpin muda di Efesus, tidak hanya memberikan instruksi tentang kepemimpinan gereja dan doktrin yang benar, tetapi juga menyentuh isu-isu fundamental tentang gaya hidup seorang Kristen. Salah satu bagian yang paling tajam dan relevan adalah 1 Timotius 6:2b-10, sebuah perikop yang mengupas tuntas tentang ajaran sesat, rahasia kekayaan sejati, serta bahaya dan jerat cinta uang.

Renungan ini akan mengajak kita untuk menyelami kedalaman ayat-ayat ini, menyingkapkan hikmat ilahi yang terkandung di dalamnya, dan merefleksikannya dalam konteks kehidupan kita yang serba modern dan materialistis. Kita akan melihat bagaimana Firman Tuhan memanggil kita untuk kesalehan dengan kecukupan, dan bagaimana peringatan-Nya terhadap cinta uang tetap relevan bahkan ribuan tahun setelah ditulis.

I. Konteks Surat 1 Timotius: Pesan untuk Pelayan dan Jemaat

Surat 1 Timotius adalah salah satu dari tiga surat Pastoral (1 & 2 Timotius, Titus) yang ditulis oleh Rasul Paulus kepada rekan-rekannya yang lebih muda. Paulus menulis surat ini kepada Timotius, yang saat itu menjabat sebagai pemimpin gereja di Efesus, sebuah kota yang kosmopolitan dan pusat penyembahan berhala serta filsafat sinkretis. Gereja di Efesus menghadapi tantangan besar dari dalam dan luar, termasuk ajaran sesat, perpecahan, dan tekanan budaya.

Tujuan utama Paulus menulis surat ini adalah untuk membekali Timotius dengan instruksi praktis mengenai tata kelola gereja, penetapan penatua dan diaken, dan yang paling penting, bagaimana melawan ajaran palsu yang mulai meresahkan jemaat. Paulus menekankan pentingnya mempertahankan "ajaran yang sehat" (1 Timotius 1:10, 6:3) dan gaya hidup yang konsisten dengan Injil.

Dalam konteks inilah, bagian 1 Timotius 6:2b-10 menjadi sangat krusial. Paulus tidak hanya berbicara tentang doktrin yang benar, tetapi juga tentang bagaimana doktrin tersebut harus memengaruhi etika dan nilai-nilai hidup seorang percaya, terutama dalam hal harta dan kekayaan. Ini adalah bagian yang sangat relevan bagi Timotius, dan juga bagi kita, untuk menghadapi godaan-godaan dunia.

II. Memahami Ayat-Ayat Kunci 1 Timotius 6:2b-10

A. Peringatan Terhadap Ajaran Sesat dan Motif yang Salah (Ayat 2b-5)

2b Ajarkan dan nasihatkanlah semuanya itu. 3 Jika ada orang yang mengajarkan ajaran lain dan tidak menurut perkataan sehat, yaitu perkataan Tuhan kita Yesus Kristus dan ajaran yang sesuai dengan ibadah kita, 4 ia adalah seorang yang membanggakan diri, padahal tidak tahu apa-apa. Penyakitnya ialah mencari-cari soal dan bersilat kata, yang menimbulkan iri hati, perselisihan, fitnah, curiga, 5 dan pertengkaran antara orang-orang yang picik akalnya dan yang tidak lagi menerima kebenaran, bahkan yang menganggap ibadah itu sebagai suatu sumber keuntungan.

Paulus memulai dengan penekanan pada urgensi Timotius untuk "mengajarkan dan menasihatkan" ajaran yang sehat. Ini bukan sekadar teori, tetapi praktik hidup yang harus dihidupi dan diajarkan kepada jemaat. Namun, Paulus segera beralih kepada peringatan tajam tentang bahaya ajaran sesat.

1. Ciri-ciri Ajaran Sesat dan Pengajar Palsu

Ayat 3-4 memberikan potret jelas tentang pengajar palsu: mereka "mengajarkan ajaran lain" yang tidak sesuai dengan "perkataan sehat, yaitu perkataan Tuhan kita Yesus Kristus dan ajaran yang sesuai dengan ibadah kita." Ini berarti ajaran mereka menyimpang dari fondasi iman Kristen yang diajarkan oleh Kristus dan para rasul. Ajaran yang sehat adalah ajaran yang memimpin kepada kesalehan, kasih, dan iman yang tulus.

Orang-orang seperti ini, kata Paulus, "membanggakan diri, padahal tidak tahu apa-apa." Ini adalah gambaran tentang kesombongan intelektual yang kosong. Mereka mungkin terdengar cerdas, tetapi pengetahuan mereka tidak didasarkan pada kebenaran ilahi. Penyakit mereka adalah "mencari-cari soal dan bersilat kata," yang berarti mereka menyukai perdebatan yang sia-sia, retorika yang memecah belah, dan argumentasi yang tidak membangun.

Dampak dari ajaran dan perilaku mereka sangat merusak: "iri hati, perselisihan, fitnah, curiga, dan pertengkaran." Ini adalah racun yang menghancurkan komunitas gereja, menggantikan kasih dan damai sejahtera dengan konflik dan perpecahan. Paulus dengan tegas menentang semua bentuk perdebatan yang hanya bertujuan untuk memamerkan diri atau memicu ketegangan, alih-alih membangun iman.

2. Motivasi yang Rusak: Ibadah sebagai Sumber Keuntungan

Puncak dari peringatan ini ada pada ayat 5: mereka adalah orang-orang "yang picik akalnya dan yang tidak lagi menerima kebenaran, bahkan yang menganggap ibadah itu sebagai suatu sumber keuntungan." Ini adalah inti masalahnya. Motivasi di balik ajaran sesat mereka seringkali bukan untuk kemuliaan Tuhan atau pembangunan jemaat, melainkan untuk keuntungan pribadi. Mereka memanipulasi kebenaran rohani untuk memperkaya diri, mencari pengaruh, atau memperoleh status sosial.

Konsep "ibadah sebagai sumber keuntungan" sangat berbahaya karena merusak esensi ibadah itu sendiri. Ibadah sejati adalah penyembahan kepada Allah yang tulus, penyerahan diri, dan pelayanan tanpa pamrih. Ketika ibadah direduksi menjadi alat untuk mencapai keuntungan duniawi—baik uang, kekuasaan, atau popularitas—maka itu telah kehilangan maknanya dan menjadi penipuan rohani.

Peringatan ini relevan bagi gereja di setiap zaman. Kita harus senantiasa menguji setiap ajaran dan setiap pengkhotbah, bukan hanya berdasarkan kefasihan atau popularitas mereka, tetapi berdasarkan kesesuaian ajaran mereka dengan Firman Tuhan dan motivasi hati mereka. Apakah mereka mencari kemuliaan Tuhan atau keuntungan pribadi?

Timbangan Kebenaran dan Kekayaan

B. Rahasia Kekayaan Sejati: Kesalehan dengan Kecukupan (Ayat 6-8)

6 Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. 7 Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kita pun tidak dapat membawa apa-apa ke luar. 8 Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah.

Setelah memperingatkan tentang bahaya ibadah yang dimotivasi oleh keuntungan materi, Paulus segera menawarkan antitesis yang kuat: "Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar." Ini adalah salah satu pernyataan kunci dalam seluruh perikop ini, yang mengungkapkan rahasia kekayaan sejati dari sudut pandang ilahi.

1. Ibadah yang Disertai Rasa Cukup: Keuntungan Besar yang Sejati

Kata "ibadah" (Yunani: eusebeia) di sini mengacu pada kesalehan atau kehidupan yang diabdikan kepada Allah. Ketika kesalehan ini disertai dengan "rasa cukup" (Yunani: autarkeia), yaitu sikap puas dengan apa yang dimiliki atau disediakan Tuhan, maka hasilnya adalah "keuntungan besar." Keuntungan ini jauh melampaui segala keuntungan materi yang ditawarkan oleh dunia.

Rasa cukup bukan berarti pasif atau tidak bekerja keras. Sebaliknya, itu adalah sikap hati yang damai dan bersyukur, yang tidak terus-menerus mengejar lebih banyak atau membandingkan diri dengan orang lain. Ini adalah kebebasan dari kegelisahan, ketamakan, dan tekanan untuk selalu memiliki lebih. Ketika hati kita dipenuhi rasa cukup, kita bebas untuk fokus pada hal-hal yang benar-benar penting: hubungan kita dengan Tuhan, melayani sesama, dan bertumbuh dalam karakter Kristus.

Apa keuntungan besar ini? Keuntungan itu meliputi kedamaian batin, sukacita yang tidak bergantung pada keadaan eksternal, kebebasan dari jerat materialisme, dan kekayaan rohani yang tak terhingga. Ini adalah kekayaan yang tidak dapat dicuri, tidak dapat rusak, dan bertahan sampai kekekalan.

2. Realitas Hidup: Datang dan Pergi Tanpa Harta

Untuk memperkuat argumen tentang rasa cukup, Paulus mengingatkan kita akan realitas fundamental keberadaan manusia di dunia: "Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kita pun tidak dapat membawa apa-apa ke luar." Ini adalah kebenaran yang sederhana namun seringkali terlupakan dalam hiruk-pikuk kehidupan modern.

Saat kita lahir, kita datang ke dunia tanpa harta benda apa pun, telanjang dan bergantung sepenuhnya. Demikian pula, saat kita meninggal, kita tidak bisa membawa satu pun harta benda kita ke alam baka. Emas, perak, properti, gelar, atau status—semuanya akan kita tinggalkan. Ini adalah pengingat yang menyadarkan tentang sifat sementara dari kekayaan duniawi dan pentingnya membedakan antara yang fana dan yang kekal.

Pemahaman ini seharusnya membebaskan kita dari beban mengejar kekayaan yang tidak akan pernah kita bawa. Fokus kita seharusnya bergeser dari mengumpulkan harta di bumi kepada mengumpulkan harta di surga (Matius 6:19-21), yaitu kekayaan rohani yang memiliki nilai abadi.

3. Cukup dengan Makanan dan Pakaian

Dari realitas ini, Paulus menyimpulkan: "Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah." Ini adalah pernyataan yang mungkin terdengar ekstrem bagi banyak orang di masyarakat konsumeris kita. Namun, ini adalah cerminan dari hati yang benar-benar puas. Makanan dan pakaian mewakili kebutuhan dasar untuk bertahan hidup.

Pernyataan ini bukan berarti bahwa kita tidak boleh memiliki lebih dari sekadar makanan dan pakaian, atau bahwa kita harus hidup dalam kemiskinan yang ekstrem. Sebaliknya, ini adalah panggilan untuk meninjau kembali apa yang kita anggap sebagai "kebutuhan" dan "keinginan." Apakah kita hidup dalam kesadaran bahwa Tuhan akan menyediakan kebutuhan dasar kita? Apakah kita bersyukur atas apa yang kita miliki, sekecil apa pun itu?

Sikap hati yang puas dengan makanan dan pakaian membebaskan kita dari tuntutan tak berujung akan kemewahan, status, dan hiburan yang terus-menerus. Ini memungkinkan kita untuk hidup dengan fokus, integritas, dan kemurahan hati, karena nilai kita tidak terikat pada apa yang kita miliki, melainkan pada siapa kita di dalam Kristus.

C. Perangkap Kekayaan dan Akar Segala Kejahatan (Ayat 9-10)

9 Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. 10 Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Oleh karena memburu uanglah beberapa orang menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.

Setelah memberikan gambaran tentang kekayaan sejati, Paulus beralih untuk memperingatkan tentang sisi gelap dari keinginan yang tidak terkendali akan harta. Ini adalah bagian yang paling sering dikutip dan disalahpahami, dan oleh karena itu membutuhkan perhatian khusus.

1. Bahaya Keinginan untuk Menjadi Kaya

Paulus tidak mengutuk kekayaan itu sendiri. Alkitab memiliki banyak contoh orang kaya yang saleh (Abraham, Ayub, Yusuf dari Arimatea). Masalahnya bukan pada kekayaan, tetapi pada "mereka yang ingin kaya" (Yunani: hoi boulomenoi ploutein). Keinginan yang membara, obsesif, dan tak terkendali untuk mengumpulkan kekayaan adalah pangkal masalahnya.

Keinginan ini, kata Paulus, menuntun mereka "terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan." Ini adalah proses yang bertahap dan merusak:

  1. Pencobaan: Godaan untuk berkompromi secara etis atau rohani demi keuntungan finansial.
  2. Jerat: Seperti binatang yang terperangkap, orang yang ingin kaya menjadi budak dari ambisi mereka, tidak dapat melepaskan diri dari siklus pengejaran dan keinginan.
  3. Nafsu yang Hampa dan Mencelakakan: Keinginan yang tidak pernah terpuaskan, yang menjanjikan kebahagiaan tetapi hanya meninggalkan kekosongan dan kerusakan. Nafsu ini bisa berupa keserakahan, iri hati, kebanggaan, atau kesenangan duniawi yang merusak.

Hasil akhirnya sangat mengerikan: "yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan." Kata "keruntuhan" (Yunani: olethros) menunjukkan kehancuran materi dan moral, sementara "kebinasaan" (Yunani: apoleia) dapat merujuk pada kehancuran rohani dan kekal. Ini adalah gambaran tragis tentang orang-orang yang kehilangan jiwa mereka dalam pengejaran harta.

2. "Akar Segala Kejahatan Ialah Cinta Uang"

Ini adalah salah satu pernyataan yang paling terkenal di seluruh Alkitab, dan juga yang paling sering disalahpahami. Penting untuk dicatat bahwa Paulus tidak mengatakan "uang adalah akar segala kejahatan," melainkan "cinta uang (Yunani: philargyria) adalah akar segala kejahatan." Uang itu sendiri netral; itu adalah alat. Namun, ketika uang menjadi objek kasih dan penyembahan, ketika kita mencintainya lebih dari Tuhan atau sesama, di situlah masalahnya dimulai.

Cinta uang adalah obsesi, keterikatan emosional yang kuat pada uang dan apa yang bisa dibelinya. Ketika hati seseorang dikuasai oleh cinta uang, hal itu dapat memicu berbagai macam kejahatan dan dosa. Mari kita elaborasi beberapa di antaranya:

Dengan demikian, cinta uang bukanlah salah satu dari banyak kejahatan, melainkan "akar" yang darinya berbagai macam kejahatan dapat tumbuh dan berkembang. Ini adalah motivasi inti yang mendorong banyak perilaku merusak dalam masyarakat dan dalam kehidupan individu.

3. Menyimpang dari Iman dan Menyiksa Diri dengan Duka

Konsekuensi paling tragis dari cinta uang adalah dampaknya pada iman. Paulus menyatakan, "Oleh karena memburu uanglah beberapa orang menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka."

Frasa "menyimpang dari iman" (Yunani: apoplanasthesan apo tes pisteos) menunjukkan pengkhianatan atau penyimpangan dari jalan kebenaran. Ketika cinta uang mengambil alih, prioritas rohani tergeser. Ibadah, doa, studi Firman, dan pelayanan menjadi sekunder atau bahkan diabaikan sama sekali. Mereka mungkin tetap mempertahankan label "Kristen," tetapi hati mereka telah berpaling dari Tuhan dan melekat pada mamon (Matius 6:24).

Dan bukan hanya itu, mereka juga "menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka." Ini adalah ironi yang menyedihkan. Orang-orang ini mengejar kekayaan dengan harapan menemukan kebahagiaan dan keamanan, tetapi pada akhirnya yang mereka temukan hanyalah penderitaan dan penyesalan. Duka ini bisa berupa:

Singkatnya, pengejaran uang yang didorong oleh cinta uang adalah jalan menuju kehancuran total—materi, moral, mental, dan yang paling parah, spiritual.

Jerat Cinta Uang

III. Refleksi dan Aplikasi Kontemporer

Pesan 1 Timotius 6:2b-10 tidak hanya relevan untuk gereja Efesus di abad pertama, tetapi juga memiliki resonansi yang kuat dalam masyarakat modern kita. Kita hidup di era konsumerisme, di mana media sosial dan iklan tanpa henti mempromosikan gaya hidup yang didasarkan pada kepemilikan dan penampilan. Bagaimana kita, sebagai orang percaya, dapat menerapkan kebenaran ini dalam kehidupan kita sehari-hari?

A. Tantangan Materialisme di Era Modern

Dunia modern dicirikan oleh pengejaran kekayaan dan status yang tiada henti. Budaya konsumerisme mendorong kita untuk percaya bahwa kebahagiaan dan kepuasan dapat ditemukan melalui pembelian barang-barang baru, pengalaman mewah, atau mencapai standar hidup tertentu. Iklan membombardir kita dengan janji-janji kebahagiaan yang terkait dengan produk, menciptakan perasaan tidak pernah cukup dengan apa yang kita miliki.

Media sosial memperparah fenomena ini, menampilkan kehidupan "sempurna" orang lain yang seringkali didasarkan pada kepemilikan materi. Hal ini dapat memicu iri hati, ketidakpuasan, dan dorongan untuk "mengejar ketertinggalan," yang pada akhirnya menjerumuskan banyak orang ke dalam utang dan kegelisahan. Gereja pun tidak luput dari pengaruh ini, dengan adanya ajaran-ajaran yang keliru yang menyamakan kekayaan materi dengan berkat ilahi, atau bahkan menjadikan Tuhan sebagai sarana untuk mencapai keuntungan finansial, persis seperti yang Paulus peringatkan.

Di tengah tekanan ini, pesan Paulus tentang kesalehan dengan kecukupan adalah penawar yang ampuh. Ini menantang kita untuk melihat melampaui ilusi duniawi dan menemukan nilai sejati dalam hubungan kita dengan Tuhan dan sesama.

B. Mengembangkan Hati yang Cukup dan Bersyukur

Bagaimana kita dapat menumbuhkan "rasa cukup" dalam hati kita di tengah godaan materialisme? Ini adalah sebuah perjalanan spiritual yang membutuhkan kesadaran dan latihan yang disengaja:

  1. Praktik Rasa Syukur: Secara teratur luangkan waktu untuk merenungkan dan mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan kepada Anda—bukan hanya materi, tetapi juga hubungan, kesehatan, talenta, dan yang terpenting, kasih karunia-Nya dalam Kristus. Membuat jurnal syukur dapat sangat membantu.
  2. Membedakan Kebutuhan dan Keinginan: Ajari diri Anda untuk membedakan antara kebutuhan dasar (makanan, pakaian, tempat tinggal) dan keinginan yang didorong oleh budaya atau emosi. Batasi keinginan yang tidak perlu.
  3. Menghindari Perbandingan: Hindari membandingkan diri Anda dengan orang lain, terutama yang terlihat lebih kaya atau lebih sukses. Ingatlah bahwa rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau, tetapi seringkali itu adalah ilusi. Fokus pada perjalanan Anda sendiri dengan Tuhan.
  4. Belajar Berbagi dan Memberi: Kemurahan hati adalah penawar terbaik untuk ketamakan. Dengan memberi sebagian dari apa yang Anda miliki kepada yang membutuhkan, Anda melatih hati Anda untuk tidak terikat pada harta benda dan mengalami sukacita memberi. Ini adalah cara praktis untuk mengalahkan cinta uang.
  5. Sederhanakan Hidup: Pertimbangkan untuk mengurangi pengeluaran yang tidak perlu, merapikan barang-barang yang tidak terpakai, dan fokus pada pengalaman daripada kepemilikan. Hidup sederhana dapat membawa kedamaian dan kebebasan yang lebih besar.
  6. Batasi Paparan Konsumerisme: Kurangi waktu yang Anda habiskan untuk melihat iklan, belanja daring yang tidak perlu, atau media sosial yang memicu keinginan akan barang-barang materi.

Mengembangkan hati yang cukup adalah sebuah disiplin, sebuah pilihan sadar untuk percaya bahwa Tuhan akan menyediakan apa yang kita butuhkan, dan bahwa nilai kita tidak ditentukan oleh apa yang kita miliki.

C. Memprioritaskan Kekayaan Rohani di Atas Kekayaan Materi

Paulus mengarahkan Timotius (dan kita) untuk mencari "keuntungan besar" yang datang dari kesalehan dengan kecukupan. Keuntungan ini adalah kekayaan rohani. Kekayaan rohani meliputi:

Memfokuskan hidup kita pada hal-hal ini berarti secara sadar memilih untuk menginvestasikan waktu dan energi kita pada hal-hal yang memiliki nilai kekal, alih-alih pada pengejaran yang fana. Ini adalah panggilan untuk hidup dengan visi yang melampaui batasan-batasan duniawi.

D. Mengelola Keuangan dengan Hikmat Ilahi

Meskipun Alkitab memperingatkan tentang cinta uang, ia tidak melarang kepemilikan uang atau menasihati kita untuk hidup sembarangan. Sebaliknya, Alkitab mendorong pengelolaan keuangan yang bijaksana sebagai bentuk penatalayanan (stewardship) atas berkat Tuhan. Berikut adalah beberapa prinsip untuk mengelola keuangan dengan hikmat ilahi:

  1. Prioritaskan Pemberian (Perpuluhan dan Persembahan): Alkitab mengajarkan prinsip memberi sebagai tindakan iman dan penyembahan. Mengembalikan sebagian dari penghasilan kita kepada Tuhan adalah pengakuan bahwa segala sesuatu berasal dari-Nya dan melatih hati kita untuk tidak terikat pada uang.
  2. Hindari Utang yang Tidak Perlu: Utang bisa menjadi jerat yang mengikat dan menciptakan kecemasan. Berusahalah untuk hidup sesuai kemampuan Anda dan hindari utang konsumtif yang berlebihan. "Orang kaya menguasai orang miskin, yang berutang menjadi budak dari yang menghutangi" (Amsal 22:7).
  3. Menabung dan Berinvestasi dengan Bijaksana: Menabung untuk masa depan (pendidikan, pensiun, keadaan darurat) adalah tindakan bijaksana yang menunjukkan tanggung jawab. Investasi harus dilakukan dengan integritas dan etika, tidak mengorbankan prinsip-prinsip Kristen.
  4. Berhemat dan Hindari Pemborosan: Hidup berhemat adalah bagian dari sikap kecukupan. Hindari pembelian impulsif dan pemborosan yang tidak perlu.
  5. Bekerja Keras dan Jujur: Alkitab memuji kerja keras dan kejujuran dalam mencari nafkah. Uang yang diperoleh melalui cara-cara yang tidak etis atau malas tidak akan membawa berkat.
  6. Bersikap Murah Hati: Jangan hanya memberi perpuluhan, tetapi juga berlatih kemurahan hati yang lebih luas. Bantu mereka yang membutuhkan, dukung misi dan pekerjaan Tuhan, dan jadilah saluran berkat bagi orang lain.
  7. Mengajar Anak-anak tentang Nilai Uang: Penting untuk mendidik generasi muda tentang pengelolaan keuangan yang bertanggung jawab dan bahaya cinta uang sejak dini.

Penatalayanan yang baik adalah cara kita menunjukkan kesetiaan kepada Tuhan dengan apa yang telah Ia percayakan kepada kita. Ini adalah bagian integral dari kesalehan kita.

E. Peran Gereja dalam Mengajarkan Kebenaran Ini

Peringatan Paulus kepada Timotius untuk "mengajarkan dan menasihatkanlah semuanya itu" (1 Timotius 6:2b) juga merupakan panggilan bagi gereja saat ini. Gereja memiliki tanggung jawab untuk:

Gereja harus menjadi mercusuar kebenaran di tengah masyarakat yang terobsesi dengan materi, menunjukkan jalan menuju kekayaan sejati yang hanya ditemukan di dalam Kristus.


Kesimpulan

Perikop 1 Timotius 6:2b-10 adalah sebuah permata hikmat yang sangat relevan bagi kita di zaman ini. Paulus memperingatkan kita tentang bahaya ajaran sesat yang menganggap ibadah sebagai sumber keuntungan, sebuah peringatan yang masih bergema kuat di era teologi kemakmuran dan materialisme rohani. Ia kemudian memaparkan rahasia kekayaan sejati: kesalehan yang disertai dengan rasa cukup. Ini adalah keuntungan terbesar yang dapat kita miliki, sebuah kedamaian dan kebebasan yang tidak dapat dibeli dengan uang.

Inti dari pesan ini adalah tentang prioritas. Apakah kita akan mencintai uang dan mengejarnya hingga jatuh ke dalam jerat pencobaan, kehampaan, dan penderitaan, bahkan sampai menyimpang dari iman? Atau apakah kita akan memilih untuk mencintai Tuhan, mencari Kerajaan-Nya terlebih dahulu, dan menemukan kepuasan sejati dalam kesalehan dan kecukupan yang Ia berikan?

Marilah kita merenungkan dengan serius Firman Tuhan ini. Biarlah hati kita tidak terikat pada harta benda yang fana, tetapi terpaku pada Yesus Kristus, Sumber segala kekayaan rohani. Semoga kita menjadi generasi yang mempraktikkan kesalehan dengan kecukupan, membebaskan diri dari jerat cinta uang, dan menjalani hidup yang kaya akan makna, tujuan, dan kemuliaan bagi Tuhan.

Kiranya Tuhan memberkati kita semua untuk menghidupi kebenaran ini, menjadi saksi yang hidup bagi dunia tentang apa arti kekayaan sejati.