Yeremia 17:7-8 (TB):
Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!
Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke batang air, dan yang tidak takut akan datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak khawatir dalam tahun kekeringan, dan yang tidak berhenti berbuah.
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh ketidakpastian, di mana setiap hari kita dihadapkan pada tantangan ekonomi, sosial, dan pribadi, hati manusia secara naluriah mencari tempat berpijak yang kokoh. Kita mendambakan stabilitas, keamanan, dan harapan. Dalam pencarian abadi ini, ada suara kuno yang bergema dari kedalaman sejarah, sebuah pesan dari seorang nabi yang hidup di zaman penuh gejolak, Yeremia. Meskipun ditulis ribuan tahun yang lalu, pesannya tetap relevan dan powerful, khususnya bagi mereka yang haus akan makna dan ketenteraman jiwa. Ayat Yeremia 17:7-8 adalah salah satu permata spiritual yang menawarkan gambaran indah tentang kehidupan yang diberkati, sebuah kontras tajam dengan nasib mereka yang memilih jalan lain.
Mari kita selami lebih dalam pesan transformatif ini, menggali setiap kata dan frasa untuk memahami kekayaan makna yang terkandung di dalamnya. Kita akan melihat bagaimana Yeremia, "nabi yang menangis," memberikan visi pengharapan yang abadi di tengah kehancuran, sebuah visi yang berpusat pada satu kebenaran fundamental: berkat sejati ditemukan dalam mengandalkan dan menaruh harapan pada Tuhan semata.
Untuk memahami sepenuhnya bobot dan keindahan Yeremia 17:7-8, kita harus terlebih dahulu menempatkannya dalam konteks sejarah dan personal sang nabi. Yeremia memulai pelayanannya pada masa pemerintahan Raja Yosia, sekitar tahun 627 SM, dan terus bernubuat hingga kejatuhan Yerusalem dan pembuangan Babel. Ini adalah salah satu periode paling gelap dalam sejarah Yehuda, di mana bangsa itu berulang kali berpaling dari Tuhan untuk menyembah ilah-ilah asing, korupsi merajalela, dan ketidakadilan sosial merajalela.
Yeremia adalah seorang nabi yang merasakan beban penderitaan bangsanya dengan sangat mendalam, dijuluki "nabi yang menangis" karena dukacita yang ia ungkapkan berulang kali dalam kitabnya. Ia seringkali menyampaikan pesan-pesan yang tidak populer, menyerukan pertobatan dan memperingatkan tentang penghakiman yang akan datang, yang seringkali membuatnya dimusuhi, dipenjara, dan dianiaya oleh bangsanya sendiri. Namun, di tengah semua nubuat tentang kehancuran dan peringatan akan hukuman, Yeremia juga membawa pesan-pesan pengharapan, janji tentang pemulihan dan perjanjian baru. Yeremia 17:7-8 adalah salah satu oase pengharapan ini, sebuah mercusuar yang bersinar terang di tengah kegelapan.
Sebelum kita sampai pada keindahan Yeremia 17:7-8, sangat penting untuk melihat ayat-ayat sebelumnya, yaitu Yeremia 17:5-6, karena ayat-ayat ini berfungsi sebagai kontras yang tajam dan esensial. Yeremia 17:5 berbunyi: "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari TUHAN!" Kemudian ayat 6 melukiskan nasib orang tersebut: "Ia akan seperti semak bulus di padang gurun, tidak akan mengalami hal yang baik; ia akan tinggal di tanah yang kering di padang belantara, di negeri padang gurun yang tidak berpenghuni."
Ayat-ayat ini menggarisbawahi pilihan fundamental yang harus dihadapi manusia: apakah kita akan menaruh kepercayaan kita pada kekuatan dan hikmat manusia yang terbatas, ataukah kita akan sepenuhnya bersandar pada Tuhan yang tidak terbatas? Ayat 5 dan 6 menggambarkan hasil dari pilihan yang pertama: terkutuk, gersang, dan tanpa harapan. Orang yang mengandalkan manusia, baik itu diri sendiri, sesama, kekuasaan, atau kekayaan, diibaratkan seperti "semak bulus" atau "semak ara" yang tidak mendapatkan cukup air, hidup di tanah yang kering, tidak melihat datangnya kemakmuran, dan tidak berbuah.
Gambaran ini sangat kuat dan menyedihkan. Semak bulus (atau semak ara) di padang gurun adalah gambaran kekeringan, kesepian, dan ketidakberdayaan. Ia tidak memiliki akar yang dalam untuk mencapai sumber air tersembunyi, sehingga mudah layu dan mati di bawah terik matahari. Nasib ini adalah gambaran metaforis dari kehidupan yang terputus dari sumber kehidupan ilahi, sebuah keberadaan yang pada akhirnya akan menjadi hampa dan tidak berbuah. Dengan latar belakang yang suram ini, Yeremia 17:7-8 muncul sebagai sebuah janji yang membebaskan dan kehidupan yang melimpah.
"Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!"
Ayat ini adalah inti dari pesan pengharapan Yeremia. Mari kita bedah setiap bagiannya untuk menangkap esensi berkat ilahi.
Kata "diberkatilah" (bahasa Ibrani: אֶשֶׁר, 'esher) bukanlah sekadar harapan baik atau keberuntungan sesaat. Dalam Alkitab, berkat Tuhan adalah lebih dari sekadar kekayaan materi atau kesuksesan duniawi, meskipun itu bisa menjadi bagian darinya. Berkat Tuhan adalah kondisi holistik dari kesejahteraan, kelimpahan, kedamaian, dan keutuhan yang datang sebagai hasil dari hubungan yang benar dengan-Nya. Ini adalah shalom Allah—kedamaian yang menyeluruh yang mencakup semua aspek kehidupan: fisik, emosional, sosial, dan spiritual.
Orang yang diberkati oleh Tuhan menikmati kehadiran-Nya, bimbingan-Nya, dan perlindungan-Nya. Mereka memiliki sukacita yang tidak bergantung pada keadaan luar, karena sumber sukacita mereka adalah Tuhan sendiri. Berkat ini adalah karunia ilahi, bukan hasil dari usaha manusia semata. Ini adalah anugerah yang mengalir dari hati Tuhan kepada mereka yang memilih untuk bersekutu dengan-Nya.
Frasa "mengandalkan TUHAN" (bahasa Ibrani: בָּטַח בַּיהוָה, batach ba'Adonai) adalah kunci utama untuk membuka pintu berkat. Kata "batach" memiliki nuansa makna yang sangat kaya. Ini bukan sekadar percaya secara intelektual bahwa Tuhan itu ada, atau sekadar memiliki keyakinan pasif. Sebaliknya, "batach" mengandung arti:
Dalam konteks kehidupan Yeremia yang penuh gejolak, mengandalkan Tuhan berarti menolak untuk panik ketika musuh mengancam, menolak untuk bersekutu dengan kekuatan asing, dan menolak untuk mencari solusi instan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Itu berarti tetap setia kepada-Nya bahkan ketika jalan tampak gelap dan tidak ada harapan.
Melengkapi konsep mengandalkan adalah "menaruh harapannya pada TUHAN" (bahasa Ibrani: וּמִקְוֵהוּ יְהוָה הוּא, u'mikveho Adonai hu). Harapan di sini bukanlah sekadar angan-angan atau keinginan yang tidak pasti, seperti harapan dalam pengertian duniawi. Harapan alkitabiah (bahasa Ibrani: מִקְוֶה, mikveh atau תִּקְוָה, tikvah) adalah:
Ketika kita mengandalkan Tuhan, kita percaya Dia ada dan Dia baik. Ketika kita menaruh harapan pada Tuhan, kita percaya Dia akan bertindak di masa depan sesuai dengan karakter-Nya yang baik dan setia. Kedua aspek ini—kepercayaan pada saat ini dan harapan untuk masa depan—adalah dua sisi mata uang yang sama, membentuk fondasi kehidupan yang diberkati.
Dalam dunia yang terus berubah, di mana janji-janji manusia seringkali patah dan kekayaan dapat hilang dalam sekejap, Tuhan menawarkan jangkar yang tak tergoyahkan. Mengandalkan dan berharap pada-Nya berarti menempatkan fondasi hidup kita pada Batu Karang yang abadi, yang tidak akan pernah goyah.
"Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke batang air, dan yang tidak takut akan datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak khawatir dalam tahun kekeringan, dan yang tidak berhenti berbuah."
Ayat ini menyajikan sebuah metafora yang sangat indah dan kaya makna, menggambarkan karakteristik kehidupan orang yang diberkati Tuhan. Ini adalah gambaran yang hidup dan mudah dipahami, terutama bagi masyarakat agraris di zaman Yeremia.
Gambaran awal ini sudah sangat powerful. Kontraskan dengan "semak bulus di padang gurun" dari ayat 6. Sebuah pohon di tepi air memiliki akses konstan ke sumber kehidupan. Beberapa poin penting dari gambaran ini:
Ini adalah tindakan kunci yang membedakan pohon ini dari yang lain. Akar adalah bagian pohon yang tidak terlihat, namun paling vital. Mereka berfungsi untuk:
Ini bukan tentang pasif. Pohon itu tidak hanya kebetulan berada di tepi air; ia secara aktif "merambatkan akar-akarnya," menunjukkan upaya dan inisiatif untuk terhubung lebih dalam dengan sumber kehidupannya.
"Panas terik" adalah metafora untuk kesulitan, pencobaan, penderitaan, tekanan, dan tantangan yang tak terelakkan dalam hidup. Ini bisa berupa krisis keuangan, masalah kesehatan, konflik hubungan, tekanan pekerjaan, atau bahkan penganiayaan karena iman.
Pohon ini "tidak takut." Ini tidak berarti pohon itu kebal terhadap panas terik, atau bahwa orang percaya tidak akan menghadapi kesulitan. Sebaliknya, itu berarti meskipun panas terik datang, ada ketenangan batin, keberanian, dan keyakinan bahwa mereka akan mampu bertahan. Ketidakmampuan untuk takut ini datang dari:
Daun hijau adalah tanda vitalitas, kesehatan, dan kehidupan. Di tengah panas terik atau kekeringan, daun-daun di padang gurun akan menguning dan layu. Namun, pohon yang akarnya dalam ini tetap hijau. Ini melambangkan:
"Tahun kekeringan" (bahasa Ibrani: שְׁנַת בַּצֹּרֶת, shnat batzoret) adalah gambaran bencana alam yang paling menakutkan bagi masyarakat agraris. Ini berarti kelangkaan air, gagal panen, kelaparan, dan keputusasaan. Namun, pohon ini "tidak khawatir." Ini melampaui "tidak takut" dari panas terik; ini adalah kebebasan dari kekhawatiran dan kecemasan, bahkan ketika keadaan tampak sangat suram.
Poin-poin penting:
Puncak dari metafora pohon ini adalah fruitfulness atau keberbuahannya. Ini adalah tujuan akhir dari setiap pohon: untuk menghasilkan buah. Dan pohon ini "tidak berhenti berbuah" (bahasa Ibrani: לֹא יֶחְדַּל עָשׂוֹת פֶּרִי, lo yechdal asot pheri).
Apa artinya "berbuah" dalam konteks spiritual?
Keberhasilan dalam pandangan Tuhan bukan semata-mata diukur dari pencapaian atau pengakuan duniawi, melainkan dari kualitas hidup yang berakar pada Dia dan buah-buah karakter yang dihasilkan melalui hubungan itu. Hidup yang berbuah adalah hidup yang memuliakan Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama.
Meskipun pesan Yeremia disampaikan dalam konteks kuno, prinsip-prinsipnya tetap abadi dan sangat relevan untuk kehidupan kita hari ini. Bagaimana kita bisa mengaplikasikan kebenaran Yeremia 17:7-8 dalam realitas yang kita hadapi?
Di dunia yang menghargai kemandirian, kekuatan diri, dan pencapaian pribadi, konsep "mengandalkan Tuhan" mungkin terdengar kontraintuitif. Namun, inilah kunci kehidupan yang diberkati. Ini adalah pengakuan bahwa kita terbatas dan bahwa ada Pribadi yang lebih besar dan lebih bijaksana dari kita. Cara praktis untuk menumbuhkan ketergantungan ini meliputi:
Agar akar kita dapat merambat ke batang air, kita harus memastikan bahwa kita terus-menerus terhubung dengan sumber air hidup itu, yaitu Tuhan sendiri dan segala yang Ia sediakan bagi kita.
Pesan Yeremia bukanlah janji kehidupan tanpa masalah, melainkan janji kekuatan dan ketahanan di tengah masalah. Panas terik dan kekeringan pasti akan datang, tetapi bagaimana kita meresponsnya adalah yang terpenting.
Kehidupan yang diberkati tidak dimaksudkan untuk disimpan sendiri. Seperti pohon yang menghasilkan buah untuk dinikmati orang lain, hidup kita pun dipanggil untuk menjadi berkat bagi dunia.
Pesan Yeremia 17:7-8 bukan hanya nubuat Perjanjian Lama yang berdiri sendiri, melainkan juga menemukan kegenapannya dan diperkaya dalam ajaran Yesus Kristus. Yesus seringkali menggunakan metafora alam untuk mengajarkan kebenaran spiritual, dan ajaran-Nya secara mendalam terhubung dengan gambaran pohon yang berbuah di tepi air.
Dalam Injil Yohanes, Yesus berulang kali menyatakan diri-Nya sebagai sumber kehidupan sejati, yang memenuhi dahaga rohani manusia. Di Yohanes 4:10, Yesus berkata kepada perempuan Samaria di sumur Yakub, "Jikalau engkau tahu karunia Allah dan siapakah Dia yang berkata kepadamu: Berilah Aku minum! niscaya engkau telah meminta kepada-Nya dan Ia telah memberikan kepadamu air hidup." Kemudian di Yohanes 7:37-38, pada hari terakhir Perayaan Pondok Daun, Yesus berseru, "Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum! Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup."
Air hidup ini, seperti yang dijelaskan oleh Yohanes, adalah Roh Kudus yang akan dicurahkan setelah Yesus dimuliakan. Jadi, "batang air" yang disebutkan dalam Yeremia 17:8 dapat diidentifikasi sebagai Yesus Kristus sendiri, dan Roh Kudus yang mengalir dari-Nya. Dengan merambatkan akar kita kepada Kristus melalui iman dan Roh Kudus melalui ketaatan, kita memastikan aliran kehidupan ilahi yang tak terputus. Inilah esensi dari mengandalkan dan berharap pada Tuhan dalam Perjanjian Baru.
Metafora pohon yang berbuah Yeremia juga bergema kuat dalam ajaran Yesus tentang pokok anggur dan ranting-ranting dalam Yohanes 15:1-8. Yesus berkata, "Akulah pokok anggur yang benar dan Bapa-Kulah pengusahanya. Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya dan setiap ranting yang berbuah, dibersihkan-Nya, supaya ia lebih banyak berbuah... Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak dapat berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku."
Ayat ini secara langsung berhubungan dengan Yeremia 17:8. Untuk berbuah, ranting harus tetap terhubung dengan pokok anggur. Untuk "tidak berhenti berbuah" dalam segala musim kehidupan, orang percaya harus tetap tinggal di dalam Kristus, sumber nutrisi dan kehidupan mereka. "Merambatkan akar" adalah tindakan "tinggal di dalam Aku." Tanpa koneksi yang hidup ini, kita menjadi seperti semak bulus yang kering, tidak mampu menghasilkan buah rohani yang berarti.
Dalam khotbah-Nya di bukit, Yesus juga menggunakan metafora bangunan yang fondasinya kokoh (Matius 7:24-27). Ia berkata, "Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh, sebab didirikan di atas batu."
Orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu, adalah seperti pohon yang mengandalkan Tuhan. Ketika "panas terik" dan "kekeringan" (hujan, banjir, angin) datang, mereka tetap teguh. Fondasi batu itu adalah ketaatan pada Firman Tuhan, yang merupakan manifestasi praktis dari mengandalkan-Nya. Sebaliknya, orang yang membangun di atas pasir, yang diibaratkan dengan Yeremia 17:5-6, tidak akan mampu bertahan ketika badai datang.
Mengatakan "saya akan mengandalkan Tuhan" lebih mudah daripada melakukannya. Ada banyak tantangan dan hambatan yang dapat mencegah kita untuk sepenuhnya menancapkan akar kita pada sumber air hidup.
Yeremia 17:7-8 bukan sekadar puisi indah; ini adalah sebuah janji ilahi dan sebuah panggilan yang mendalam untuk setiap jiwa yang haus akan makna dan ketenteraman sejati. Di tengah padang gurun kehidupan yang kering dan penuh tantangan, di mana godaan untuk mengandalkan kekuatan manusia atau ilah-ilah palsu selalu mengintai, Tuhan menawarkan sebuah alternatif yang menjanjikan kehidupan yang penuh berkat, stabilitas, dan keberhasilan sejati.
Pesan Yeremia ini adalah tentang pilihan. Pilihan untuk tidak menjadi seperti semak bulus yang merana di tanah yang kering dan tidak berpenghuni, tetapi untuk menjadi seperti pohon yang kokoh dan hijau subur di tepi air kehidupan. Pilihan ini dimulai dengan sebuah keputusan hati: untuk meletakkan seluruh kepercayaan kita, setiap harapan kita, pada TUHAN yang hidup dan setia.
Ketika kita mengandalkan TUHAN dan menaruh harapan kita pada-Nya, kita sedang melakukan investasi yang paling bijaksana dalam hidup kita. Kita menancapkan akar-akar keberadaan kita ke dalam sumber yang tak terbatas dan tak pernah kering. Hasilnya adalah kehidupan yang ditandai dengan ketahanan luar biasa: kita tidak takut akan datangnya panas terik, daun kita tetap hijau meskipun dunia di sekitar kita layu, kita tidak khawatir dalam tahun kekeringan, dan yang paling indah, kita tidak berhenti berbuah.
Keberanian di tengah kesulitan, ketenangan di tengah kekhawatiran, dan konsistensi dalam menghasilkan buah karakter ilahi—ini semua adalah tanda-tanda dari kehidupan yang berakar dalam Tuhan. Ini adalah janji yang teguh, yang diberikan oleh Allah yang tidak pernah berubah, kepada mereka yang memilih untuk menaruh iman mereka sepenuhnya pada-Nya.
Marilah kita merespons panggilan ini hari ini. Marilah kita secara aktif mencari Tuhan, merambatkan akar-akar spiritual kita lebih dalam ke dalam Firman-Nya, doa, persekutuan, dan penyembahan. Marilah kita mempercayakan setiap aspek hidup kita kepada-Nya, baik dalam suka maupun duka, dalam kelimpahan maupun kelangkaan. Biarlah hati kita memilih untuk mengandalkan TUHAN, sehingga kita pun dapat menjadi pohon yang diberkati, kokoh, hijau subur, dan tidak berhenti berbuah, menjadi kesaksian hidup akan kebaikan dan kesetiaan Allah yang tak terbatas.