Pengantar: Dua Jalan di Hadapan Kita
Kehidupan adalah serangkaian pilihan yang tak berkesudahan, dari yang paling sepele hingga yang paling krusial. Salah satu pilihan paling mendasar dan transformatif yang kita hadapi sebagai manusia adalah: pada siapa atau apa kita akan menaruh kepercayaan dan harapan kita? Dari mana kita akan mencari kekuatan, stabilitas, dan makna hidup di tengah pasang surut dunia yang tidak menentu ini? Pertanyaan ini bukanlah sekadar renungan filosofis, melainkan inti dari keberadaan kita, yang akan menentukan arah, kualitas, dan tujuan hidup kita.
Kitab Yeremia, melalui seruan nubuatnya, menghadirkan sebuah perikop yang tajam dan mencerahkan, menawarkan gambaran kontras yang mencolok tentang dua jalan kehidupan yang berbeda, lengkap dengan konsekuensi-konsekuensinya. Dalam Yeremia 17:5-8, sang nabi Yahweh tidak hanya memberikan peringatan, tetapi juga sebuah undangan ilahi. Ia menguraikan dengan jelas perbedaan antara mengandalkan manusia dan mengandalkan Tuhan, menggunakan metafora alam yang mudah dipahami namun penuh makna mendalam.
Perikop ini adalah cerminan dari hati Allah yang rindu agar umat-Nya hidup dalam kelimpahan sejati, bukan dalam kekeringan rohani. Ini adalah panggilan untuk introspeksi, sebuah tantangan untuk memeriksa fondasi tempat kita membangun hidup. Apakah kita sedang membangun di atas pasir yang rapuh, ataukah di atas batu karang yang kokoh? Mari kita selami lebih dalam pesan Yeremia ini, dan biarkan firman Tuhan menuntun kita pada pilihan yang akan membawa kehidupan berkelimpahan dan berbuah.
Konteks Nubuat Yeremia: Suara Tuhan di Tengah Krisis
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman Yeremia 17:5-8, kita perlu menempatkannya dalam konteks sejarah dan nubuat Kitab Yeremia. Yeremia adalah seorang nabi yang dipanggil Allah pada masa yang sangat kritis dalam sejarah Yehuda, sebuah periode yang ditandai dengan kemerosotan rohani dan moral yang parah. Ia memulai pelayanannya sekitar tahun 627 SM, pada masa pemerintahan Raja Yosia, dan berlanjut hingga beberapa waktu setelah kejatuhan Yerusalem pada tahun 586 SM.
1. Keadaan Bangsa Yehuda
Pada zaman Yeremia, bangsa Yehuda sedang berada di ambang kehancuran. Meskipun ada reformasi singkat di bawah Raja Yosia, kecenderungan umum adalah menjauh dari Tuhan dan beralih kepada ilah-ilah lain, serta mengandalkan aliansi politik dengan bangsa-bangsa besar seperti Mesir atau Babel. Mereka meninggalkan hukum Tuhan, melakukan penyembahan berhala secara terang-terangan, dan melakukan ketidakadilan sosial. Yeremia diutus sebagai "nabi air mata" untuk menyerukan pertobatan yang mendesak, memperingatkan tentang penghakiman yang akan datang jika mereka tidak kembali kepada Tuhan.
2. Tema Utama Kitab Yeremia
Kitab Yeremia penuh dengan tema-tema seperti: ketidaksetiaan Yehuda, penghakiman yang akan datang, penderitaan nabi, janji pemulihan, dan pentingnya pertobatan. Pesan inti Yeremia adalah bahwa Allah itu adil dan akan menghukum dosa, tetapi Dia juga Allah yang penuh belas kasihan dan akan memulihkan mereka yang bertobat. Dalam konteks inilah Yeremia 17:5-8 muncul sebagai sebuah peringatan tajam dan janji yang menghibur.
3. Relevansi Kontras Yeremia 17:5-8
Dalam situasi di mana bangsa Yehuda terus-menerus mencari keamanan pada kekuatan manusia — baik itu kekuatan militer Mesir, intrik politik mereka sendiri, atau ilah-ilah buatan tangan — Yeremia 17:5-8 menjadi inti dari teguran Allah. Ini adalah panggilan untuk mengalihkan pandangan dari sumber-sumber yang fana dan tidak dapat diandalkan, kepada satu-satunya sumber yang kekal dan setia: Tuhan sendiri. Ini bukan hanya masalah teologis, tetapi masalah kelangsungan hidup bangsa, baik secara fisik maupun rohani.
Dengan latar belakang ini, pesan Yeremia 17:5-8 tidak hanya relevan bagi Yehuda kuno, tetapi juga bagi kita hari ini. Di dunia yang terus berubah, dengan tantangan dan ketidakpastian yang tak terduga, pilihan untuk mengandalkan Tuhan atau manusia tetap menjadi garis pemisah yang krusial antara kehidupan yang berbuah dan kehidupan yang kering.
Jalan Pertama: Kutuk Mengandalkan Manusia (Yeremia 17:5-6)
5 Beginilah firman TUHAN: "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari TUHAN!
6 Ia akan seperti semak bulus di padang belantara, ia tidak akan melihat datangnya kebaikan; ia akan tinggal di tanah yang tandus di padang gurun, di negeri asin yang tidak berpenghuni."
Ayat 5 dan 6 dari Yeremia 17 menyajikan gambaran yang suram dan peringatan yang tegas tentang konsekuensi mengandalkan sumber daya yang tidak tepat. Ini adalah deklarasi ilahi yang tidak ambigu, sebuah peringatan yang harus kita dengar dan renungkan dengan serius.
1. "Terkutuklah Orang yang Mengandalkan Manusia" (Ayat 5)
Kata "terkutuklah" di sini bukanlah sekadar sumpah serapah atau ungkapan kemarahan sepihak dari Tuhan. Sebaliknya, ini adalah pernyataan tentang konsekuensi alami dan tak terhindarkan dari pilihan yang salah. Sama seperti menanam benih di tanah yang buruk akan menghasilkan panen yang buruk, demikian pula mengandalkan manusia akan membawa hasil yang tidak diinginkan.
- Mengandalkan manusia: Apa artinya ini? Ini mencakup berbagai bentuk ketergantungan pada sumber daya yang fana dan terbatas. Ini bisa berarti mengandalkan kecerdasan kita sendiri, kekuatan fisik kita, kekayaan kita, status sosial kita, koneksi kita dengan orang-orang berpengaruh, atau bahkan sistem dan ideologi buatan manusia. Ketika menghadapi masalah, reaksi pertama kita mungkin adalah mencari solusi di antara manusia atau dalam kemampuan diri sendiri.
- Mengandalkan kekuatannya sendiri: Ini adalah manifestasi dari kesombongan manusia, keyakinan bahwa kita dapat mengatasi segalanya dengan upaya dan kemampuan kita sendiri, tanpa campur tangan ilahi. Ini adalah penolakan implisit terhadap kebutuhan kita akan Tuhan. Kekuatan manusia, sekaya dan sekuat apapun, memiliki batas. Ini rentan terhadap kelemahan, penyakit, perubahan keadaan, dan akhirnya, kematian.
- Hatinya menjauh dari TUHAN: Ini adalah inti dari masalahnya. Ketergantungan pada manusia atau diri sendiri pada akhirnya adalah gejala dari hati yang telah menjauh dari Tuhan. Ketika kita mencari solusi di tempat lain selain Tuhan, hati kita secara bertahap menjauh dari-Nya. Tuhan tidak lagi menjadi pusat, prioritas, atau sumber utama hidup kita. Ini adalah bentuk penyembahan berhala modern, di mana "aku" atau "manusia" menjadi ilah yang disembah. Hubungan yang intim dan bergantung kepada Sang Pencipta menjadi terputus.
Peringatan ini bukan tentang melarang kita untuk bekerja keras atau memanfaatkan talenta yang Tuhan berikan, melainkan tentang penempatan harapan dan kepercayaan kita yang paling dalam. Ketika sumber harapan kita beralih dari Tuhan kepada manusia, itulah saat kita masuk ke dalam area "terkutuk".
2. Akibatnya: Seperti Semak Bulus di Padang Belantara (Ayat 6)
Yeremia kemudian menggambarkan nasib orang yang mengandalkan manusia dengan metafora yang kuat dan jelas dari alam:
- Seperti semak bulus di padang belantara: "Semak bulus" (bahasa Ibrani: 'ar'ar) adalah semacam semak yang tumbuh di daerah gurun, tidak menarik, tidak berbuah, dan tidak memiliki nilai. Ia tumbuh di tempat yang keras, terpisah dari sumber air, dan tidak memberikan naungan atau keindahan. Ini adalah gambaran kekeringan rohani dan ketidakproduktifan.
- Tidak akan melihat datangnya kebaikan: Ini bukan berarti Allah tidak lagi berbuat baik kepadanya, tetapi orang tersebut buta terhadap kebaikan Allah. Hati yang menjauh dari Tuhan tidak dapat mengenali berkat-berkat-Nya, bahkan ketika itu ada di sekitarnya. Pandangan hidupnya menjadi pesimis, pahit, dan penuh kekecewaan. Ia mungkin mendapatkan keuntungan sementara dari mengandalkan manusia, tetapi itu tidak akan memberinya kebaikan sejati yang bertahan lama.
- Akan tinggal di tanah yang tandus di padang gurun, di negeri asin yang tidak berpenghuni: Gambaran ini melengkapi metafora semak bulus. "Tanah tandus," "padang gurun," dan "negeri asin" semuanya berbicara tentang lingkungan yang tidak mendukung kehidupan, kemandulan, dan isolasi. Hidup seperti ini akan dipenuhi dengan kekosongan, kesepian, dan ketidakpuasan. Segala upaya untuk menemukan kepuasan atau makna di luar Tuhan akan berakhir dengan kekeringan yang lebih dalam. Tidak ada pertumbuhan, tidak ada buah, hanya kehampaan yang terus-menerus.
Singkatnya, jalan mengandalkan manusia adalah jalan menuju kekecewaan, kekeringan, dan kehampaan. Ini adalah jalan yang pada akhirnya tidak memberikan apa pun selain ilusi keamanan yang fana, meninggalkan jiwa dalam keadaan yang lebih buruk daripada sebelumnya.
Jalan Kedua: Berkat Mengandalkan TUHAN (Yeremia 17:7-8)
7 Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!
8 Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merentangkan akar-akarnya ke sungai, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kekeringan, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.
Berlawanan dengan gambaran suram sebelumnya, ayat 7 dan 8 menawarkan sebuah janji yang indah dan gambaran yang penuh harapan bagi mereka yang memilih jalan yang benar. Ini adalah deklarasi berkat ilahi bagi mereka yang meletakkan iman dan kepercayaan mereka pada Tuhan.
1. "Diberkatilah Orang yang Mengandalkan TUHAN" (Ayat 7)
Kata "diberkatilah" (bahasa Ibrani: barukh) di sini menandakan adanya anugerah, kemakmuran sejati, dan kebahagiaan yang datang dari Tuhan. Ini bukan sekadar keberuntungan, tetapi keadaan yang diberkati secara ilahi karena hubungan yang benar dengan Sang Sumber Berkat.
- Mengandalkan TUHAN: Ini adalah kebalikan dari mengandalkan manusia. Mengandalkan Tuhan berarti menempatkan iman, kepercayaan, dan ketergantungan kita yang paling dalam kepada-Nya. Ini melibatkan pengakuan bahwa Dia adalah sumber segala sesuatu, pencipta, pemelihara, dan penyelamat kita. Ketika kita menghadapi tantangan, langkah pertama kita adalah berpaling kepada-Nya dalam doa, mencari hikmat-Nya dalam Firman-Nya, dan menyerahkan kendali atas hidup kita kepada-Nya.
- Menaruh harapannya pada TUHAN: Harapan yang diletakkan pada Tuhan bukanlah harapan pasif atau sekadar angan-angan. Ini adalah harapan yang aktif, sebuah keyakinan teguh akan janji-janji-Nya dan karakter-Nya yang setia. Harapan ini memungkinkan kita untuk melihat melampaui keadaan saat ini, mengetahui bahwa Tuhan memegang kendali dan akan bekerja demi kebaikan kita. Ini adalah penyerahan diri total, mengakui bahwa kekuatan dan kemampuan kita terbatas, namun kuasa Tuhan tidak terbatas.
Pilihan untuk mengandalkan Tuhan berarti menempatkan Dia sebagai prioritas utama dalam segala aspek kehidupan kita. Ini adalah tindakan iman yang radikal, yang menggeser fokus dari diri sendiri atau dunia kepada Pribadi yang Mahakuasa.
2. Akibatnya: Seperti Pohon di Tepi Air (Ayat 8)
Seperti semak bulus, pohon yang ditanam di tepi air adalah metafora yang kaya akan makna, menggambarkan kehidupan yang berkelimpahan dan berbuah:
- Seperti pohon yang ditanam di tepi air: Ini adalah gambaran vitalitas, pertumbuhan, dan kesuburan. Pohon semacam ini memiliki akses terus-menerus ke sumber kehidupan yang tak habis-habisnya. Ini melambangkan kedekatan dan keterhubungan yang tak terputus dengan Allah, yang adalah "air kehidupan" itu sendiri.
- Yang merentangkan akar-akarnya ke sungai: Akar yang merentang jauh ke dalam tanah untuk mencari air menunjukkan usaha aktif dan ketergantungan yang mendalam. Orang yang mengandalkan Tuhan akan secara aktif mencari Dia, "merentangkan akarnya" ke dalam Firman-Nya, doa, dan persekutuan dengan Roh Kudus, untuk menarik kekuatan dan kehidupan. Ini bukan ketergantungan pasif, melainkan keterlibatan aktif dalam hubungan dengan Tuhan.
- Dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau: "Panas terik" melambangkan kesulitan, krisis, godaan, atau tantangan hidup yang berat. Orang yang akarnya terhubung dengan Tuhan tidak akan hancur oleh kesulitan-kesulitan ini. Mereka memiliki ketahanan rohani, daun mereka (yaitu, semangat, iman, dan pengharapan mereka) tetap segar dan hidup, tidak layu. Ini adalah gambaran ketahanan di tengah penderitaan.
- Yang tidak kuatir dalam tahun kekeringan: "Tahun kekeringan" bisa berarti masa-masa sulit secara ekonomi, pandemi, krisis pribadi, atau kekurangan rohani di sekitar mereka. Namun, mereka yang mengandalkan Tuhan tidak akan khawatir, karena mereka tahu bahwa sumber mereka tidak pernah kering. Tuhan akan menyediakan kebutuhan mereka dan menjaga mereka tetap teguh, bahkan ketika orang lain panik. Ini adalah gambaran ketenangan dan keyakinan di tengah ketidakpastian.
- Dan yang tidak berhenti menghasilkan buah: Tujuan dari pohon adalah berbuah, dan buah melambangkan produktivitas, dampak positif, karakter yang diubahkan (buah Roh), dan menjadi berkat bagi orang lain. Orang yang mengandalkan Tuhan akan terus-menerus menghasilkan buah yang baik, tidak peduli apa pun kondisi eksternal. Hidup mereka akan menjadi kesaksian nyata tentang kuasa dan kebaikan Tuhan.
Jalan mengandalkan Tuhan adalah jalan menuju kehidupan yang penuh makna, produktif, stabil, dan berkelimpahan. Ini adalah janji bahwa di dalam Tuhan, kita akan menemukan semua yang kita butuhkan untuk hidup dan berbuah, bahkan di tengah dunia yang kering dan tandus.
Mengapa Pilihan Ini Begitu Penting? Perbandingan Mendalam
Kontras yang disajikan dalam Yeremia 17:5-8 bukan sekadar perbedaan minor; ini adalah jurang pemisah antara dua cara hidup yang fundamental dengan hasil akhir yang sangat berbeda. Memahami signifikansi pilihan ini sangat penting untuk kehidupan iman kita.
1. Stabilitas vs. Ketidakpastian
- Mengandalkan Manusia: Fondasinya adalah hal-hal yang fana dan tidak stabil – kekayaan yang bisa hilang, kesehatan yang bisa menurun, hubungan yang bisa retak, kekuasaan yang bisa goyah, bahkan pengetahuan manusia yang terus berubah. Kehidupan yang dibangun di atas dasar ini akan selalu diguncang oleh setiap badai dan ketidakpastian. Ia akan rentan terhadap kekhawatiran, ketakutan, dan keputusasaan karena tidak ada yang bisa dipegang teguh secara absolut.
- Mengandalkan TUHAN: Tuhan adalah Alfa dan Omega, gunung batu yang kekal, yang tidak berubah kemarin, hari ini, dan sampai selama-lamanya. Mengandalkan Dia berarti membangun hidup di atas fondasi yang paling kokoh di alam semesta. Bahkan ketika dunia di sekitar kita runtuh, jiwa yang mengandalkan Tuhan akan tetap memiliki jangkar yang kuat, damai sejahtera yang melampaui akal, dan kepastian akan kasih dan rencana-Nya.
2. Sumber Daya Terbatas vs. Sumber Daya Tak Terbatas
- Mengandalkan Manusia: Sumber daya manusia, baik itu finansial, emosional, intelektual, atau fisik, semuanya terbatas. Kita memiliki batas energi, waktu, dan kemampuan. Ketergantungan pada sumber daya ini akan selalu membawa pada kelelahan, kekurangan, dan frustrasi ketika batas-batas itu tercapai.
- Mengandalkan TUHAN: Tuhan adalah sumber dari segala sumber. Hikmat-Nya tak terbatas, kuasa-Nya tak terukur, kasih-Nya tak berkesudahan, dan kekayaan-Nya tak terhingga. Ketika kita mengandalkan Dia, kita terhubung pada "sungai kehidupan" yang tak pernah kering. Kita tidak perlu khawatir tentang "tahun kekeringan" karena sumber kita melampaui kondisi duniawi. Ini bukan jaminan kekayaan materi, tetapi jaminan akan kecukupan ilahi dalam segala hal yang benar-benar penting.
3. Dampak Jangka Pendek vs. Jangka Panjang/Kekal
- Mengandalkan Manusia: Kemenangan dan pencapaian yang diperoleh melalui kekuatan manusia seringkali bersifat sementara dan superfisial. Keberhasilan duniawi bisa memberikan kepuasan sesaat, tetapi tidak bisa mengisi kekosongan rohani atau memberikan makna yang abadi. Semak bulus mungkin tumbuh cepat, tetapi tidak berbuah dan cepat layu.
- Mengandalkan TUHAN: Buah yang dihasilkan dari hidup yang mengandalkan Tuhan memiliki dampak yang kekal. Karakter Kristus yang terbentuk dalam diri kita, pelayanan yang kita lakukan dengan motivasi ilahi, dan berkat yang kita salurkan kepada orang lain, semuanya memiliki nilai abadi. Pohon di tepi air tidak hanya berbuah sekarang, tetapi juga siap menghadapi masa depan, menunjukkan ketahanan dan kelanjutan.
4. Keterasingan dari Tuhan vs. Keintiman dengan Tuhan
- Mengandalkan Manusia: Seperti yang disebutkan dalam ayat 5, inti dari masalah ini adalah hati yang menjauh dari Tuhan. Ketika kita mencari kepuasan dan keamanan di tempat lain, hubungan kita dengan Tuhan menjadi dangkal, bahkan terputus. Ini mengarah pada perasaan terasing, kesepian rohani, dan kurangnya arah ilahi.
- Mengandalkan TUHAN: Sebaliknya, mengandalkan Tuhan adalah tindakan iman yang mendekatkan kita kepada-Nya. Ini memperdalam keintiman kita dengan Sang Pencipta, membangun kepercayaan, dan memperkuat hubungan kita sebagai anak-anak-Nya. Dalam keintiman ini, kita menemukan kedamaian, bimbingan, dan kasih yang sejati.
5. Identitas dalam Diri vs. Identitas dalam Kristus
- Mengandalkan Manusia: Ketika kita mengandalkan kekuatan diri sendiri, nilai diri kita seringkali terikat pada pencapaian, penampilan, atau validasi dari orang lain. Kegagalan atau penolakan bisa menghancurkan identitas kita.
- Mengandalkan TUHAN: Ketika kita mengandalkan Tuhan, identitas kita ditemukan dalam Kristus – kita adalah anak-anak Allah yang dikasihi, ditebus, dan memiliki tujuan ilahi. Nilai kita tidak ditentukan oleh apa yang kita lakukan atau miliki, tetapi oleh siapa kita di dalam Dia. Ini adalah identitas yang tak tergoyahkan, yang memberikan keamanan sejati dan kebebasan.
Dengan demikian, pilihan untuk mengandalkan Tuhan bukanlah sekadar preferensi, melainkan sebuah keputusan krusial yang membentuk seluruh keberadaan kita, baik di dunia ini maupun di kekekalan.
Aplikasi Praktis: Bagaimana Kita Mengandalkan Tuhan dalam Kehidupan Sehari-hari?
Setelah memahami kontras yang tajam antara mengandalkan manusia dan mengandalkan Tuhan, pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana kita menerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari? Bagaimana kita bisa menggeser ketergantungan kita dari yang fana kepada yang kekal?
1. Mengidentifikasi Area Ketergantungan pada Manusia/Diri Sendiri
Langkah pertama adalah introspeksi jujur. Di area mana dalam hidup kita cenderung mengandalkan diri sendiri atau manusia lain daripada Tuhan?
- Karier dan Keuangan: Apakah kita menaruh harapan penuh pada pekerjaan, gaji, tabungan, atau investasi kita sebagai sumber keamanan utama, melupakan bahwa Tuhanlah penyedia kita?
- Hubungan dan Validasi Sosial: Apakah kita terlalu bergantung pada pujian, penerimaan, atau persetujuan orang lain untuk merasa berharga, sehingga takut akan penolakan atau kritik?
- Kesehatan dan Kekuatan Fisik: Apakah kita terlalu percaya pada kemampuan tubuh kita, pola makan, atau obat-obatan sebagai satu-satunya penjamin kesejahteraan, tanpa mengakui kuasa penyembuhan dan pemeliharaan Tuhan?
- Pendidikan dan Pengetahuan: Apakah kita meninggikan akal budi dan pencapaian akademik sebagai puncak kebijaksanaan, mengesampingkan hikmat ilahi yang melampaui pemahaman manusia?
- Pemerintahan dan Politik: Apakah kita menaruh harapan penuh pada sistem politik, pemimpin, atau undang-undang untuk membawa solusi final bagi masalah masyarakat, lupa bahwa perubahan hati sejati datang dari Tuhan?
- Bahkan dalam Pelayanan: Apakah kita mengandalkan karisma pribadi, strategi yang cemerlang, atau jumlah jemaat/pengikut sebagai indikator keberhasilan, lupa bahwa Tuhanlah yang membangun gereja-Nya dan memberikan pertumbuhan?
Mengakui area-area ini adalah awal dari pertobatan dan pergeseran fokus.
2. Praktik Menaruh Harapan pada TUHAN
Menggeser ketergantungan bukanlah tugas satu kali, melainkan proses seumur hidup yang memerlukan disiplin rohani dan komitmen hati. Berikut adalah beberapa praktik konkret:
- Doa yang Konsisten dan Jujur:
- Jadikan doa sebagai reaksi pertama, bukan pilihan terakhir. Sebelum membuat keputusan besar, hadapi masalah, atau memulai hari, datanglah kepada Tuhan.
- Nyatakan keterbatasan dan ketidakberdayaan kita secara jujur di hadapan-Nya. Akui bahwa tanpa Dia, kita tidak dapat berbuat apa-apa yang berarti.
- Sertakan doa syukur, bahkan di tengah kesulitan, untuk melatih hati kita melihat kebaikan dan anugerah Tuhan.
- Perenungan Firman Tuhan secara Mendalam:
- Baca Alkitab bukan hanya sebagai informasi, tetapi sebagai Wahyu Allah yang hidup dan berkuasa. Biarkan Firman-Nya membentuk pikiran dan hati kita.
- Meditasikan janji-janji-Nya, perintah-Nya, dan kisah-kisah kesetiaan-Nya. Ini membangun iman kita dan menguatkan harapan kita kepada-Nya.
- Izinkan Firman-Nya menyoroti area-area di mana kita masih mengandalkan diri sendiri dan menuntun kita kepada pertobatan.
- Hidup dalam Ketaatan:
- Mengandalkan Tuhan berarti juga mempercayai hikmat dan kebaikan-Nya melalui perintah-perintah-Nya. Ketaatan bukan beban, melainkan ekspresi cinta dan kepercayaan kita.
- Ambil langkah iman, bahkan ketika jalan tidak sepenuhnya jelas, karena percaya bahwa Tuhan akan memimpin dan menyediakan.
- Mengembangkan Komunitas Rohani yang Sehat:
- Bergabunglah dengan gereja atau kelompok sel yang mengasihi Tuhan dan Firman-Nya.
- Belajar dari pengalaman orang percaya lain yang telah melewati tantangan dengan mengandalkan Tuhan.
- Carilah akuntabilitas dan dorongan dari saudara seiman ketika kita tergoda untuk kembali mengandalkan diri sendiri.
- Praktik Penyerahan dan Kepercayaan:
- Setiap hari, secara sadar serahkan kekhawatiran, ketakutan, dan rencana kita kepada Tuhan.
- Percayalah pada providensi-Nya, bahkan ketika keadaan terlihat tidak menguntungkan. Ingatlah bahwa Tuhan seringkali bekerja dengan cara yang melampaui pemahaman kita.
- Latih diri untuk bersabar dan menunggu waktu Tuhan, bukan tergesa-gesa mencari jalan keluar sendiri.
- Melihat Kesulitan sebagai Kesempatan:
- Ketika badai kehidupan datang, jangan langsung panik atau mencari "jalan keluar manusiawi" pertama.
- Lihatlah kesulitan sebagai kesempatan emas untuk semakin mengandalkan Tuhan dan menyaksikan kuasa-Nya bekerja. Ini adalah saat di mana iman kita diuji dan diperkuat.
Mengandalkan Tuhan adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan tunggal. Ini membutuhkan komitmen setiap hari untuk memutar kembali hati kita kepada-Nya, bahkan ketika godaan untuk kembali mengandalkan diri sendiri begitu kuat.
Tantangan dan Penghiburan dalam Mengandalkan TUHAN
Mengatakan "saya mengandalkan Tuhan" jauh lebih mudah daripada benar-benar menjalankannya dalam setiap aspek kehidupan. Jalan ini bukannya tanpa tantangan. Namun, di tengah tantangan itu, ada penghiburan yang besar bagi mereka yang setia.
1. Tantangan dalam Mengandalkan Tuhan
- Kesabaran: Tuhan bekerja sesuai waktu-Nya, yang seringkali berbeda dengan waktu kita. Menunggu Tuhan bisa jadi sangat sulit, terutama ketika kita terbiasa dengan kepuasan instan.
- Ketidakpastian: Mengandalkan Tuhan berarti melangkah dalam iman ke dalam hal yang tidak kita ketahui. Kita mungkin tidak selalu tahu bagaimana Dia akan bertindak, atau mengapa Dia mengizinkan situasi tertentu. Ini memerlukan kepercayaan mutlak.
- Godaan untuk Kembali ke Zona Nyaman: Kekuatan manusia dan sumber daya duniawi seringkali terasa lebih nyata dan dapat dipegang. Ada godaan besar untuk kembali mengandalkan apa yang terlihat dan terasa "aman" di mata dunia.
- Keraguan dan Ketakutan: Ketika kesulitan datang bertubi-tubi, keraguan bisa muncul, bahkan bagi orang percaya yang paling setia. Apakah Tuhan benar-benar ada? Apakah Dia peduli? Apakah Dia sanggup?
- Opini Dunia: Cara hidup yang mengandalkan Tuhan seringkali bertentangan dengan nilai-nilai dan logika dunia. Kita mungkin dianggap bodoh, naif, atau tidak praktis oleh orang-orang di sekitar kita.
2. Penghiburan dan Janji Tuhan
Meskipun ada tantangan, Tuhan tidak meninggalkan kita sendirian. Dia memberikan penghiburan dan janji yang tak tergoyahkan:
- Roh Kudus sebagai Penolong: Tuhan tidak hanya memerintahkan kita untuk mengandalkan-Nya, tetapi juga memperlengkapi kita dengan Roh Kudus yang berdiam di dalam kita. Roh Kuduslah yang memampukan kita untuk beriman, berdoa, memahami Firman, dan hidup dalam ketaatan. Dia adalah Penolong dan Penghibur kita.
- Kesetiaan Tuhan yang Tak Terbantahkan: Sepanjang sejarah Alkitab dan sejarah Gereja, Tuhan telah berulang kali membuktikan kesetiaan-Nya kepada umat-Nya. Dia tidak pernah gagal menepati janji-Nya. Apa yang Dia katakan dalam Yeremia 17:7-8 adalah janji yang pasti.
- Kedamaian yang Melampaui Akal: Filipi 4:6-7 mengajarkan bahwa ketika kita menyerahkan kekhawatiran kita kepada Tuhan melalui doa dan permohonan, kedamaian Allah yang melampaui segala akal akan memelihara hati dan pikiran kita. Ini adalah berkat yang luar biasa di tengah badai.
- Kekuatan di Tengah Kelemahan: 2 Korintus 12:9-10 mengingatkan kita bahwa kuasa Tuhan menjadi sempurna dalam kelemahan kita. Ketika kita mengakui ketidakmampuan kita sendiri dan bersandar sepenuhnya kepada-Nya, saat itulah Dia dapat bekerja paling kuat dalam dan melalui kita.
- Penyediaan yang Ilahi: Matius 6:25-34 menegaskan bahwa Bapa di surga tahu apa yang kita butuhkan dan akan menyediakannya bagi mereka yang mencari Kerajaan-Nya terlebih dahulu. Kita tidak perlu khawatir tentang hidup kita, pakaian kita, atau makanan kita.
Mengandalkan Tuhan bukanlah sebuah eksperimen tanpa risiko, melainkan sebuah keyakinan yang berdasar pada karakter Allah yang sempurna. Setiap kali kita memilih untuk mengandalkan Dia, kita memperkuat iman kita dan semakin mengenal kebaikan serta kuasa-Nya.
Kesimpulan: Pilihan Abadi untuk Kehidupan Berkelimpahan
Yeremia 17:5-8 adalah perikop yang kuat dan relevan, sebuah cermin yang menantang kita untuk melihat fondasi hidup kita. Kita dihadapkan pada dua jalur yang jelas dengan tujuan akhir yang sangat berbeda: jalan kekeringan, kekecewaan, dan kehampaan bagi mereka yang mengandalkan manusia dan diri sendiri; atau jalan kehidupan, vitalitas, dan keberlimpahan bagi mereka yang menaruh harapan sepenuhnya pada TUHAN.
Pilihan ini bukanlah sesuatu yang kita buat sekali seumur hidup dan kemudian lupakan. Sebaliknya, ini adalah sebuah pilihan yang harus kita perbarui setiap hari, dalam setiap keputusan besar maupun kecil. Setiap kali kita merasa takut, setiap kali kita menghadapi kesulitan, setiap kali kita tergoda untuk mencari solusi instan dari dunia, kita dihadapkan kembali pada pertanyaan inti: pada siapa atau apa kita akan mengandalkan?
Seperti pohon di tepi air, yang akarnya terus-menerus merentang mencari sumber kehidupan, demikian pula kita dipanggil untuk secara aktif dan konsisten mencari Tuhan. Mari kita tanamkan hati kita dalam Firman-Nya, perkuat akar iman kita melalui doa, dan biarkan Roh Kudus memimpin kita untuk menghasilkan buah yang melimpah, tidak hanya untuk kemuliaan-Nya tetapi juga sebagai berkat bagi dunia di sekitar kita.
Di tengah dunia yang tandus dan penuh kekeringan rohani, biarlah hidup kita menjadi kesaksian akan kebenaran janji Tuhan: "Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!" Pilihlah kehidupan, pilihlah Tuhan, dan nikmati kelimpahan yang hanya dapat ditemukan di dalam Dia.