Persembahan dalam Iman: Khotbah Inspiratif untuk Hidup Berkat dan Kemuliaan Allah

Pengantar: Lebih dari Sekadar Pemberian Materi

Saudara-saudari yang terkasih dalam Tuhan, malam ini kita akan merenungkan sebuah topik yang fundamental dalam kehidupan iman kita: persembahan. Ketika kita berbicara tentang persembahan, seringkali pikiran kita langsung tertuju pada aspek finansial—uang yang kita masukkan ke dalam kantong persembahan atau transfer yang kita lakukan untuk gereja. Namun, mari kita luaskan pandangan kita. Persembahan jauh melampaui sekadar uang. Ini adalah ekspresi hati, manifestasi iman, dan wujud ketaatan yang menyeluruh kepada Allah yang telah terlebih dahulu memberikan segalanya kepada kita.

Persembahan adalah respons kita terhadap kasih karunia Allah yang tak terhingga. Ini adalah tindakan penyembahan, pengakuan akan kedaulatan-Nya atas segala sesuatu dalam hidup kita, termasuk harta, waktu, talenta, bahkan seluruh keberadaan kita. Dalam khotbah ini, kita akan menyelami dasar-dasar Alkitabiah persembahan, memahami dimensi-dimensi yang lebih dalam dari tindakan memberi, serta merenungkan berkat dan tantangan yang menyertainya. Kiranya perenungan ini akan memperbaharui semangat kita untuk memberi dengan hati yang tulus dan sukacita.

I. Fondasi Alkitabiah Persembahan: Dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru

Untuk memahami makna persembahan secara utuh, kita perlu menelusuri akarnya dalam Kitab Suci. Konsep persembahan bukanlah sesuatu yang baru dalam Perjanjian Baru; justru, ia memiliki sejarah panjang dan kaya yang dimulai sejak awal penciptaan.

A. Persembahan dalam Perjanjian Lama: Pengakuan Kedaulatan Allah

Sejak dini, manusia diajar untuk membawa persembahan kepada Penciptanya sebagai tanda pengakuan akan kedaulatan dan anugerah-Nya. Persembahan dalam Perjanjian Lama memiliki beragam bentuk dan tujuan, namun inti utamanya selalu sama: mengembalikan sebagian dari apa yang Allah berikan sebagai tindakan penyembahan, syukur, dan penebusan.

1. Kain dan Habel: Persembahan Hati

Kisah Kain dan Habel (Kejadian 4) adalah titik awal yang penting. Keduanya membawa persembahan kepada Tuhan, tetapi hanya persembahan Habel yang diterima. Mengapa? Kitab Suci tidak secara eksplisit menyatakan jenis persembahan Kain yang salah, melainkan mengisyaratkan kondisi hatinya. "Tuhan mengindahkan Habel dan persembahannya, tetapi Kain dan persembahannya tidak diindahkan-Nya." Ini menggarisbawahi bahwa persembahan yang berkenan bukanlah semata-mata tindakan fisik, melainkan juga terkait erat dengan motivasi dan sikap hati si pemberi. Kualitas hati lebih penting daripada kuantitas atau jenis pemberian itu sendiri. Allah melihat apa yang ada di balik persembahan, bukan hanya persembahan itu sendiri. Habel membawa yang terbaik dari hasil ternaknya, mungkin dengan kerendahan hati dan iman, sementara Kain mungkin melakukannya sebagai suatu kewajiban tanpa hati yang benar.

2. Abraham dan Melkisedek: Persepuluhan Pertama

Konsep persepuluhan muncul pertama kali dalam Kejadian 14, ketika Abraham memberikan sepersepuluh dari seluruh rampasan perang kepada Melkisedek, raja Salem dan imam Allah Yang Mahatinggi. Ini adalah tindakan sukarela, bukan perintah hukum, yang menunjukkan pengakuan Abraham akan berkat Allah atas kemenangannya dan kedaulatan Allah atas segala kekayaannya. Persepuluhan di sini adalah bentuk syukur dan hormat kepada Allah melalui imam-Nya. Ini menetapkan preseden bagi praktik persepuluhan di kemudian hari, bukan sebagai beban, melainkan sebagai respons iman.

3. Hukum Musa: Sistem Persembahan yang Komprehensif

Dalam Hukum Musa, sistem persembahan menjadi sangat terstruktur dan detail, mencakup berbagai jenis persembahan dengan tujuan yang berbeda. Ini bukan hanya tentang memberi, tetapi tentang memahami siapa Allah dan bagaimana umat-Nya seharusnya hidup di hadapan-Nya.

Melalui sistem yang kompleks ini, umat Israel diajar tentang kesucian Allah, kekudusan dosa, pentingnya penebusan, dan ketergantungan mutlak mereka pada Allah untuk setiap aspek kehidupan. Persembahan bukan hanya ritual, tetapi sebuah pendidikan teologis yang mendalam.

4. Maleakhi: Seruan untuk Ketaatan dan Janji Berkat

Dalam kitab Maleakhi (Maleakhi 3:8-10), Allah menegur umat Israel karena menipu Dia dalam hal persepuluhan dan persembahan. Allah menantang mereka: "Ujilah Aku dalam hal itu...apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan." Ini adalah salah satu ayat paling terkenal mengenai janji berkat yang terkait dengan persembahan. Ini bukan manipulasi Allah, melainkan undangan untuk percaya pada karakter-Nya sebagai Pemberi yang setia. Ketaatan dalam persembahan membuka pintu bagi pengalaman berkat-Nya yang luar biasa.

B. Persembahan dalam Perjanjian Baru: Kasih, Anugerah, dan Hati yang Baru

Kedatangan Yesus Kristus membawa pemenuhan hukum dan persembahan dalam Perjanjian Lama. Persembahan Kristus di kayu salib adalah persembahan tertinggi dan sempurna yang menebus seluruh dosa umat manusia. Oleh karena itu, persembahan kita dalam Perjanjian Baru bukan lagi untuk penebusan dosa (karena itu sudah diselesaikan oleh Yesus), melainkan sebagai respons atas anugerah keselamatan yang tak ternilai harganya. Fokus bergeser dari ritual eksternal menjadi motivasi hati yang didorong oleh kasih dan ucapan syukur.

1. Yesus dan Persembahan Janda Miskin (Markus 12:41-44)

Kisah ini adalah salah satu pengajaran Yesus yang paling kuat tentang persembahan. Sementara orang kaya memasukkan banyak uang dari kelimpahan mereka, seorang janda miskin memasukkan dua peser, yang merupakan semua yang dimilikinya. Yesus memuji janda itu, mengatakan bahwa ia telah memberi lebih banyak daripada mereka semua, sebab ia memberi dari kekurangannya, bukan dari kelebihannya. Ini kembali menegaskan bahwa Tuhan tidak melihat jumlah atau kuantitas, melainkan kualitas hati dan pengorbanan di balik persembahan itu. Persembahan yang tulus, meskipun kecil secara materi, sangat berharga di mata Tuhan.

2. Ajaran Yesus tentang Harta dan Hati

Yesus berulang kali mengajarkan tentang bahaya kekayaan dan pentingnya mengutamakan Kerajaan Allah daripada harta duniawi. "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Matius 6:19-21). Ini adalah inti dari persembahan: memindahkan prioritas kita dari duniawi ke rohani, mengakui bahwa kekayaan sejati ada di surga, dan hati kita harus selaras dengan nilai-nilai Kerajaan Allah.

Yesus juga mengatakan, "Tidak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." (Matius 6:24). Persembahan adalah ujian kesetiaan kita: kepada siapa hati kita benar-benar terikat?

3. Ajaran Rasul Paulus: Memberi dengan Sukacita dan Sistematis

Rasul Paulus memberikan banyak panduan praktis dan teologis tentang persembahan kepada jemaat-jemaat perdana:

II. Dimensi Persembahan yang Lebih Dalam: Hati, Waktu, Talenta, dan Hidup

Setelah melihat fondasi Alkitabiah, mari kita perlebar pemahaman kita tentang persembahan. Ini bukan hanya tentang apa yang kita berikan, tetapi tentang siapa kita dan bagaimana kita hidup.

A. Persembahan Hati: Motivasi yang Murni

Inti dari setiap persembahan yang sejati adalah hati. Tanpa hati yang benar, persembahan materi kita hanyalah ritual kosong. Allah mencari hati yang tulus, yang termotivasi oleh kasih dan ucapan syukur, bukan kewajiban atau keinginan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

B. Persembahan Waktu dan Talenta: Pelayanan yang Berharga

Selain harta benda, Tuhan juga menghendaki kita mempersembahkan waktu dan talenta yang Ia anugerahkan kepada kita. Ini adalah bentuk pelayanan yang konkret dan sangat dibutuhkan dalam Kerajaan Allah.

C. Persembahan Hidup: Ibadah yang Sejati (Roma 12:1-2)

Inilah puncak dari semua persembahan. Paulus menasihati kita untuk "mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati." Ini bukan tentang kematian fisik, melainkan tentang kematian terhadap diri sendiri dan penyerahan total kepada kehendak Allah. Persembahan hidup mencakup:

Pada akhirnya, semua persembahan—harta, waktu, talenta—adalah manifestasi dari persembahan hidup kita yang lebih besar. Mereka adalah bagian dari ibadah sejati yang mengalir dari hati yang telah menyerahkan segalanya kepada Tuhan.

III. Berkat dan Tantangan dalam Persembahan

Memberi adalah hak istimewa yang membawa banyak berkat, tetapi juga tidak luput dari tantangan. Mari kita telaah keduanya.

A. Berkat Persembahan: Pengalaman Kebaikan Allah

Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa ada berkat yang menyertai tindakan memberi yang tulus.

B. Tantangan dalam Persembahan: Mengatasi Rintangan

Meskipun penuh berkat, praktik persembahan seringkali diiringi oleh berbagai tantangan.

IV. Praktik Persembahan yang Bijak dan Bertanggung Jawab

Bagaimana kita dapat menerapkan prinsip-prinsip persembahan ini dalam hidup kita secara praktis dan bijaksana?

A. Persepuluhan dan Persembahan Sukarela: Titik Awal dan Pelampauannya

Bagi banyak orang Kristen, persepuluhan (memberikan 10% dari pendapatan) adalah titik awal dari persembahan materi. Meskipun ada perdebatan teologis tentang apakah persepuluhan adalah perintah yang mengikat bagi orang Kristen di Perjanjian Baru, sebagian besar sepakat bahwa ini adalah standar yang baik untuk melatih kemurahan hati dan ketaatan.

B. Memberi secara Teratur dan Terencana

Paulus mengajarkan jemaat Korintus untuk menyisihkan persembahan pada hari pertama setiap minggu. Ini menunjukkan pentingnya memberi secara teratur dan terencana.

C. Transparansi dan Akuntabilitas Gereja

Meskipun motivasi memberi harus berasal dari hati yang tulus kepada Allah, peran gereja dalam mengelola persembahan juga sangat penting. Gereja memiliki tanggung jawab moral dan etis untuk mengelola dana dengan transparan dan akuntabel.

Ketika gereja menunjukkan integritas dalam pengelolaan keuangan, ini akan mendorong jemaat untuk memberi dengan lebih banyak keyakinan dan sukacita.

V. Kesimpulan: Persembahan sebagai Gaya Hidup dan Ibadah yang Utuh

Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan, kita telah menjelajahi perjalanan panjang persembahan dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru, dari korban darah hingga persembahan hidup. Kita telah melihat bahwa persembahan adalah lebih dari sekadar transaksi finansial; ia adalah refleksi dari hati kita, pengakuan iman kita, dan respons kita terhadap kasih karunia Allah yang tak terlukiskan.

Persembahan sejati mengalir dari hati yang penuh syukur dan kasih, bukan dari kewajiban atau paksaan. Ini adalah tindakan menyembah, menyerahkan kembali kepada Allah sebagian dari apa yang telah Dia berikan kepada kita, mengakui kedaulatan-Nya atas segala sesuatu. Baik itu harta, waktu, talenta, maupun seluruh keberadaan kita, semua dapat menjadi persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan di mata-Nya.

Mari kita meninjau kembali sikap hati kita terhadap persembahan. Apakah kita memberi dengan sukacita atau dengan sedih hati? Apakah kita memberi dari kelimpahan atau dari pengorbanan yang tulus? Ingatlah kisah janda miskin yang memberi semua yang ia miliki, dan ingatlah janji berkat bagi mereka yang memberi dengan murah hati.

Persembahan yang utuh adalah persembahan diri kita sepenuhnya kepada Kristus. Ketika kita menyerahkan hidup kita kepada-Nya, maka semua yang kita miliki—harta, waktu, talenta—akan secara alami mengalir sebagai ekspresi dari persembahan diri tersebut. Ini adalah gaya hidup yang dipenuhi kemurahan hati, di mana setiap aspek keberadaan kita memuliakan Allah.

Marilah kita berkomitmen untuk menjadi orang-orang yang memberi dengan murah hati, bukan hanya dengan tangan kita, tetapi dengan seluruh hati kita. Dengan demikian, kita akan mengalami berkat-berkat rohani yang melimpah, melihat pekerjaan Tuhan bertumbuh, dan menjadi saluran berkat bagi orang lain. Kiranya hidup kita senantiasa menjadi persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah kita yang Mahakuasa.

Amin.