Pengantar: Lebih dari Sekadar Pemberian Materi
Saudara-saudari yang terkasih dalam Tuhan, malam ini kita akan merenungkan sebuah topik yang fundamental dalam kehidupan iman kita: persembahan. Ketika kita berbicara tentang persembahan, seringkali pikiran kita langsung tertuju pada aspek finansial—uang yang kita masukkan ke dalam kantong persembahan atau transfer yang kita lakukan untuk gereja. Namun, mari kita luaskan pandangan kita. Persembahan jauh melampaui sekadar uang. Ini adalah ekspresi hati, manifestasi iman, dan wujud ketaatan yang menyeluruh kepada Allah yang telah terlebih dahulu memberikan segalanya kepada kita.
Persembahan adalah respons kita terhadap kasih karunia Allah yang tak terhingga. Ini adalah tindakan penyembahan, pengakuan akan kedaulatan-Nya atas segala sesuatu dalam hidup kita, termasuk harta, waktu, talenta, bahkan seluruh keberadaan kita. Dalam khotbah ini, kita akan menyelami dasar-dasar Alkitabiah persembahan, memahami dimensi-dimensi yang lebih dalam dari tindakan memberi, serta merenungkan berkat dan tantangan yang menyertainya. Kiranya perenungan ini akan memperbaharui semangat kita untuk memberi dengan hati yang tulus dan sukacita.
I. Fondasi Alkitabiah Persembahan: Dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru
Untuk memahami makna persembahan secara utuh, kita perlu menelusuri akarnya dalam Kitab Suci. Konsep persembahan bukanlah sesuatu yang baru dalam Perjanjian Baru; justru, ia memiliki sejarah panjang dan kaya yang dimulai sejak awal penciptaan.
A. Persembahan dalam Perjanjian Lama: Pengakuan Kedaulatan Allah
Sejak dini, manusia diajar untuk membawa persembahan kepada Penciptanya sebagai tanda pengakuan akan kedaulatan dan anugerah-Nya. Persembahan dalam Perjanjian Lama memiliki beragam bentuk dan tujuan, namun inti utamanya selalu sama: mengembalikan sebagian dari apa yang Allah berikan sebagai tindakan penyembahan, syukur, dan penebusan.
1. Kain dan Habel: Persembahan Hati
Kisah Kain dan Habel (Kejadian 4) adalah titik awal yang penting. Keduanya membawa persembahan kepada Tuhan, tetapi hanya persembahan Habel yang diterima. Mengapa? Kitab Suci tidak secara eksplisit menyatakan jenis persembahan Kain yang salah, melainkan mengisyaratkan kondisi hatinya. "Tuhan mengindahkan Habel dan persembahannya, tetapi Kain dan persembahannya tidak diindahkan-Nya." Ini menggarisbawahi bahwa persembahan yang berkenan bukanlah semata-mata tindakan fisik, melainkan juga terkait erat dengan motivasi dan sikap hati si pemberi. Kualitas hati lebih penting daripada kuantitas atau jenis pemberian itu sendiri. Allah melihat apa yang ada di balik persembahan, bukan hanya persembahan itu sendiri. Habel membawa yang terbaik dari hasil ternaknya, mungkin dengan kerendahan hati dan iman, sementara Kain mungkin melakukannya sebagai suatu kewajiban tanpa hati yang benar.
2. Abraham dan Melkisedek: Persepuluhan Pertama
Konsep persepuluhan muncul pertama kali dalam Kejadian 14, ketika Abraham memberikan sepersepuluh dari seluruh rampasan perang kepada Melkisedek, raja Salem dan imam Allah Yang Mahatinggi. Ini adalah tindakan sukarela, bukan perintah hukum, yang menunjukkan pengakuan Abraham akan berkat Allah atas kemenangannya dan kedaulatan Allah atas segala kekayaannya. Persepuluhan di sini adalah bentuk syukur dan hormat kepada Allah melalui imam-Nya. Ini menetapkan preseden bagi praktik persepuluhan di kemudian hari, bukan sebagai beban, melainkan sebagai respons iman.
3. Hukum Musa: Sistem Persembahan yang Komprehensif
Dalam Hukum Musa, sistem persembahan menjadi sangat terstruktur dan detail, mencakup berbagai jenis persembahan dengan tujuan yang berbeda. Ini bukan hanya tentang memberi, tetapi tentang memahami siapa Allah dan bagaimana umat-Nya seharusnya hidup di hadapan-Nya.
- Korban Bakaran (Olah): Seluruh korban dibakar habis di atas mezbah, melambangkan penyerahan total dan penebusan dosa secara umum. Ini adalah persembahan yang menenangkan hati Allah, menunjukkan komitmen total umat kepada-Nya. Asap yang naik ke surga melambangkan doa dan penyembahan yang diterima oleh Allah.
- Korban Sajian (Minchah): Terbuat dari tepung, minyak, dan kemenyan, melambangkan persembahan hasil pekerjaan tangan manusia. Ini adalah persembahan syukur atas berkat Allah dalam hidup sehari-hari, mengakui bahwa setiap hasil kerja berasal dari anugerah-Nya. Sebagian kecil dibakar, sisanya dimakan oleh imam.
- Korban Perdamaian (Shelem): Sebagian dibakar, sebagian lagi dimakan oleh imam dan pemberi persembahan. Melambangkan persekutuan, syukur, dan damai sejahtera antara Allah dan manusia. Ada tiga jenis: korban syukur, korban nazar, dan korban sukarela. Ini adalah perayaan akan hubungan yang baik dengan Allah.
- Korban Penghapus Dosa (Chatta'at): Khusus untuk dosa-dosa yang tidak disengaja atau dosa-dosa karena kelalaian. Darah korban dipersembahkan untuk membersihkan dan mendamaikan. Ini menunjukkan keseriusan Allah terhadap dosa dan kebutuhan akan pengampunan.
- Korban Penebus Salah (Asham): Untuk dosa-dosa yang melibatkan kerugian atau pelanggaran terhadap hak orang lain, di mana ada kewajiban untuk membayar ganti rugi ditambah seperlima. Ini menekankan pentingnya restorasi dan keadilan.
- Persepuluhan (Ma'aser): Selain korban-korban di atas, persepuluhan wajib dari hasil tanah, buah-buahan, dan ternak adalah penyokong utama bagi para Lewi (yang tidak memiliki tanah pusaka) dan untuk pemeliharaan Bait Allah. Ada berbagai jenis persepuluhan, termasuk persepuluhan untuk Lewi, persepuluhan kedua yang dimakan di Yerusalem (atau ditukar uang dan dibelanjakan di Yerusalem), dan persepuluhan untuk orang miskin setiap tiga tahun. Ini menunjukkan prinsip tanggung jawab sosial dan dukungan terhadap pelayan Tuhan.
Melalui sistem yang kompleks ini, umat Israel diajar tentang kesucian Allah, kekudusan dosa, pentingnya penebusan, dan ketergantungan mutlak mereka pada Allah untuk setiap aspek kehidupan. Persembahan bukan hanya ritual, tetapi sebuah pendidikan teologis yang mendalam.
4. Maleakhi: Seruan untuk Ketaatan dan Janji Berkat
Dalam kitab Maleakhi (Maleakhi 3:8-10), Allah menegur umat Israel karena menipu Dia dalam hal persepuluhan dan persembahan. Allah menantang mereka: "Ujilah Aku dalam hal itu...apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan." Ini adalah salah satu ayat paling terkenal mengenai janji berkat yang terkait dengan persembahan. Ini bukan manipulasi Allah, melainkan undangan untuk percaya pada karakter-Nya sebagai Pemberi yang setia. Ketaatan dalam persembahan membuka pintu bagi pengalaman berkat-Nya yang luar biasa.
B. Persembahan dalam Perjanjian Baru: Kasih, Anugerah, dan Hati yang Baru
Kedatangan Yesus Kristus membawa pemenuhan hukum dan persembahan dalam Perjanjian Lama. Persembahan Kristus di kayu salib adalah persembahan tertinggi dan sempurna yang menebus seluruh dosa umat manusia. Oleh karena itu, persembahan kita dalam Perjanjian Baru bukan lagi untuk penebusan dosa (karena itu sudah diselesaikan oleh Yesus), melainkan sebagai respons atas anugerah keselamatan yang tak ternilai harganya. Fokus bergeser dari ritual eksternal menjadi motivasi hati yang didorong oleh kasih dan ucapan syukur.
1. Yesus dan Persembahan Janda Miskin (Markus 12:41-44)
Kisah ini adalah salah satu pengajaran Yesus yang paling kuat tentang persembahan. Sementara orang kaya memasukkan banyak uang dari kelimpahan mereka, seorang janda miskin memasukkan dua peser, yang merupakan semua yang dimilikinya. Yesus memuji janda itu, mengatakan bahwa ia telah memberi lebih banyak daripada mereka semua, sebab ia memberi dari kekurangannya, bukan dari kelebihannya. Ini kembali menegaskan bahwa Tuhan tidak melihat jumlah atau kuantitas, melainkan kualitas hati dan pengorbanan di balik persembahan itu. Persembahan yang tulus, meskipun kecil secara materi, sangat berharga di mata Tuhan.
2. Ajaran Yesus tentang Harta dan Hati
Yesus berulang kali mengajarkan tentang bahaya kekayaan dan pentingnya mengutamakan Kerajaan Allah daripada harta duniawi. "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Matius 6:19-21). Ini adalah inti dari persembahan: memindahkan prioritas kita dari duniawi ke rohani, mengakui bahwa kekayaan sejati ada di surga, dan hati kita harus selaras dengan nilai-nilai Kerajaan Allah.
Yesus juga mengatakan, "Tidak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." (Matius 6:24). Persembahan adalah ujian kesetiaan kita: kepada siapa hati kita benar-benar terikat?
3. Ajaran Rasul Paulus: Memberi dengan Sukacita dan Sistematis
Rasul Paulus memberikan banyak panduan praktis dan teologis tentang persembahan kepada jemaat-jemaat perdana:
- 2 Korintus 9:6-7: "Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga. Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita." Ayat ini adalah dasar dari prinsip memberi dengan sukacita dan kerelaan. Ini adalah tindakan kasih, bukan kewajiban yang memberatkan. Paulus menggunakan analogi menabur dan menuai untuk menggambarkan bahwa pemberian kita memiliki konsekuensi, baik di dunia ini maupun di kekekalan.
- 1 Korintus 16:2: "Pada hari pertama dari tiap-tiap minggu hendaklah kamu masing-masing menyisihkan sesuatu dan menyimpannya menurut apa yang kamu peroleh, supaya jangan diadakan pengumpulan uang bilamana aku datang." Paulus mengajarkan prinsip memberi secara teratur, sistematis, dan proporsional. Ini mendorong perencanaan dan disiplin dalam memberi, bukan hanya memberi dari sisa atau secara spontan.
- Filipi 4:18: Jemaat Filipi terkenal dengan kemurahan hati mereka dalam mendukung pelayanan Paulus. Paulus menggambarkan persembahan mereka sebagai "suatu persembahan yang harum, suatu korban yang disukai dan yang berkenan kepada Allah." Ini menunjukkan bahwa persembahan materi kita dapat menjadi tindakan penyembahan yang naik sebagai bau yang harum di hadapan Allah.
- Roma 12:1-2: "Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." Ayat ini adalah puncak dari konsep persembahan dalam Perjanjian Baru. Ini melampaui uang, waktu, atau talenta. Ini adalah persembahan seluruh hidup kita—tubuh, pikiran, kehendak—sebagai tindakan penyembahan yang paling sejati. Ini adalah transformasi total yang memuliakan Allah.
II. Dimensi Persembahan yang Lebih Dalam: Hati, Waktu, Talenta, dan Hidup
Setelah melihat fondasi Alkitabiah, mari kita perlebar pemahaman kita tentang persembahan. Ini bukan hanya tentang apa yang kita berikan, tetapi tentang siapa kita dan bagaimana kita hidup.
A. Persembahan Hati: Motivasi yang Murni
Inti dari setiap persembahan yang sejati adalah hati. Tanpa hati yang benar, persembahan materi kita hanyalah ritual kosong. Allah mencari hati yang tulus, yang termotivasi oleh kasih dan ucapan syukur, bukan kewajiban atau keinginan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
- Kasih dan Syukur: Kita memberi karena kita mengasihi Allah dan bersyukur atas segala kebaikan-Nya, terutama anugerah keselamatan melalui Yesus Kristus. Persembahan adalah respons alami dari hati yang dipenuhi syukur. Kita memberi bukan karena Dia membutuhkan, melainkan karena kita ingin mengungkapkan penghargaan kita kepada Pemberi segala sesuatu.
- Pengakuan Kedaulatan Allah: Ketika kita memberi, kita mengakui bahwa segala yang kita miliki—harta, kesehatan, keluarga, pekerjaan—semuanya berasal dari Allah. Kita adalah pengelola (steward) atas berkat-berkat-Nya, bukan pemilik mutlak. Dengan memberi, kita mengembalikan sebagian kepada Pemilik sejati, mengakui bahwa Ia adalah sumber dari segala kelimpahan.
- Ketaatan dan Kepercayaan: Persembahan adalah tindakan ketaatan terhadap perintah-Nya dan wujud kepercayaan kita bahwa Allah akan mencukupi segala kebutuhan kita, bahkan ketika kita memberi dari kekurangan. Ini adalah langkah iman yang mengatakan, "Aku percaya Engkau lebih besar daripada kebutuhan dan ketakutanku."
- Bukan Pamer atau Mencari Keuntungan: Yesus mengutuk orang-orang Farisi yang memberi untuk dilihat orang (Matius 6:2). Motivasi yang salah dapat merusak nilai persembahan di mata Tuhan. Demikian pula, memberi dengan motif "investasi" kepada Tuhan, mengharapkan imbalan materi yang berlipat ganda, mengerdilkan makna sejati persembahan. Kita memberi karena kita telah menerima, bukan untuk menerima.
B. Persembahan Waktu dan Talenta: Pelayanan yang Berharga
Selain harta benda, Tuhan juga menghendaki kita mempersembahkan waktu dan talenta yang Ia anugerahkan kepada kita. Ini adalah bentuk pelayanan yang konkret dan sangat dibutuhkan dalam Kerajaan Allah.
- Mengelola Waktu untuk Tuhan: Waktu adalah sumber daya yang terbatas dan paling berharga. Mempersembahkan waktu berarti mengalokasikan sebagian dari waktu kita untuk doa, membaca Alkitab, bersekutu dengan sesama orang percaya, dan melayani. Ini bisa berarti menyisihkan waktu untuk pelayanan di gereja, kunjungan pastoral, atau membantu komunitas. Ini adalah investasi kekal yang tidak akan pernah sia-sia.
- Menggunakan Talenta untuk Kemuliaan Allah: Setiap dari kita dianugerahi talenta dan karunia yang unik (Roma 12:6-8; 1 Korintus 12:4-11). Apakah itu dalam musik, mengajar, administrasi, keramahtamahan, keterampilan teknis, atau kemampuan berempati, semua talenta ini diberikan untuk tujuan tertentu: membangun tubuh Kristus dan memuliakan Allah. Mempersembahkan talenta berarti menggunakannya secara sukarela dalam pelayanan gereja, untuk membantu orang lain, atau dalam pekerjaan kita sehari-hari dengan integritas dan keunggulan sebagai kesaksian bagi Kristus.
- Melayani Sesama: Yesus mengajarkan bahwa ketika kita melayani yang paling hina di antara saudara-saudara-Nya, kita melayani Dia sendiri (Matius 25:40). Mempersembahkan waktu dan talenta kita untuk membantu orang miskin, yang sakit, yang sendirian, atau yang membutuhkan, adalah persembahan yang sangat berkenan di hadapan Allah.
C. Persembahan Hidup: Ibadah yang Sejati (Roma 12:1-2)
Inilah puncak dari semua persembahan. Paulus menasihati kita untuk "mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati." Ini bukan tentang kematian fisik, melainkan tentang kematian terhadap diri sendiri dan penyerahan total kepada kehendak Allah. Persembahan hidup mencakup:
- Penyerahan Diri Total: Ini berarti menyerahkan setiap aspek kehidupan kita—keinginan, ambisi, rencana, hubungan, bahkan identitas kita—kepada Allah. Mengizinkan Dia menjadi Tuhan atas segalanya, bukan hanya sebagian kecil dari hidup kita. Ini adalah hidup yang berorientasi pada kemuliaan Allah, bukan pada pemenuhan diri sendiri.
- Hidup dalam Kekudusan: Sebagai persembahan yang "kudus," kita dipanggil untuk hidup terpisah dari dosa dan dunia, untuk mencerminkan karakter Allah dalam setiap tindakan dan perkataan. Ini adalah perjuangan yang berkelanjutan untuk hidup sesuai dengan standar Kerajaan Allah.
- Pembaharuan Budi: "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu." Persembahan hidup melibatkan transformasi internal, di mana pikiran kita diperbaharui oleh Firman Allah. Ini memampukan kita untuk membedakan kehendak Allah dan menjalani hidup yang menyenangkan Dia.
- Gaya Hidup Misi: Persembahan hidup juga berarti hidup dengan tujuan ilahi—menjadi alat di tangan Allah untuk menjangkau dunia yang hilang dan memuridkan bangsa-bangsa. Ini bisa berarti pelayanan di tempat kerja, di komunitas, atau bahkan di ladang misi yang jauh.
Pada akhirnya, semua persembahan—harta, waktu, talenta—adalah manifestasi dari persembahan hidup kita yang lebih besar. Mereka adalah bagian dari ibadah sejati yang mengalir dari hati yang telah menyerahkan segalanya kepada Tuhan.
III. Berkat dan Tantangan dalam Persembahan
Memberi adalah hak istimewa yang membawa banyak berkat, tetapi juga tidak luput dari tantangan. Mari kita telaah keduanya.
A. Berkat Persembahan: Pengalaman Kebaikan Allah
Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa ada berkat yang menyertai tindakan memberi yang tulus.
- Berkat Rohani:
- Pertumbuhan Iman: Ketika kita memberi dengan iman, kita melatih diri untuk lebih percaya kepada Allah sebagai pencukupan kita. Ini memperkuat iman kita dan membawa kita lebih dekat kepada-Nya.
- Sukacita dan Kedamaian: "Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita." Ada sukacita yang mendalam yang berasal dari kemurahan hati, karena kita meniru karakter Allah yang adalah Pemberi terbesar. Kedamaian datang dari mengetahui bahwa kita telah menempatkan kepercayaan kita pada Allah.
- Kepekaan Rohani yang Meningkat: Memberi membantu kita melepaskan diri dari ikatan duniawi dan fokus pada hal-hal rohani. Ini menajamkan kepekaan kita terhadap pimpinan Roh Kudus.
- Berkat Jasmani (Materi):
- Pencukupan Ilahi: Allah berjanji untuk "membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan" (Maleakhi 3:10). Ini tidak berarti "kesejahteraan instan" atau bahwa setiap persembahan akan menghasilkan kekayaan, tetapi janji bahwa Allah akan mencukupi segala kebutuhan kita sesuai dengan kekayaan dan kemuliaan-Nya (Filipi 4:19). Kita mungkin tidak selalu menjadi kaya raya, tetapi kita akan selalu memiliki cukup untuk hidup dan untuk terus memberi.
- Kekayaan Sejati: Yesus mengajarkan untuk mengumpulkan harta di surga. Persembahan kita di bumi adalah investasi di surga, di mana "ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya." Berkat sejati adalah kekayaan rohani dan kekekalan.
- Berkat bagi Gereja dan Pelayanan: Persembahan kita adalah tulang punggung pelayanan gereja. Tanpa persembahan, pekerjaan Tuhan—penginjilan, misi, pelayanan sosial, pendidikan Alkitab, pemeliharaan gedung—tidak dapat berjalan. Dengan memberi, kita secara langsung berkontribusi pada penyebaran Injil dan pembangunan Kerajaan Allah di bumi. Kita menjadi mitra Allah dalam pekerjaan-Nya.
- Berkat bagi Sesama: Melalui gereja dan organisasi nirlaba yang didukung oleh persembahan, jutaan orang di seluruh dunia menerima bantuan—makanan, pendidikan, medis, dan dukungan rohani. Persembahan kita memiliki dampak nyata dalam meringankan penderitaan dan membawa harapan kepada yang membutuhkan.
B. Tantangan dalam Persembahan: Mengatasi Rintangan
Meskipun penuh berkat, praktik persembahan seringkali diiringi oleh berbagai tantangan.
- Ketakutan akan Kekurangan/Kehilangan: Salah satu tantangan terbesar adalah kekhawatiran bahwa dengan memberi, kita akan kehilangan apa yang kita miliki atau tidak memiliki cukup untuk diri sendiri. Ini adalah tanda kurangnya iman kepada Allah sebagai pencukupan. Ketakutan ini seringkali berakar pada fokus pada apa yang terlihat (kekurangan) daripada pada janji Allah yang tidak terlihat.
- Keserakahan dan Egoisme: Sifat manusia yang berdosa cenderung egois dan serakah, ingin menimbun dan mempertahankan harta. Roh duniawi ini dapat menghalangi kita untuk memberi dengan murah hati. Persembahan adalah obat penawar bagi keserakahan, melatih kita untuk melepaskan diri dari ikatan harta duniawi.
- Kurangnya Pemahaman Teologis: Banyak orang Kristen tidak sepenuhnya memahami mengapa mereka harus memberi, atau melihatnya sebagai kewajiban yang memberatkan. Ini menunjukkan kurangnya pengajaran yang mendalam tentang teologi persembahan, tentang bagaimana persembahan adalah bagian integral dari penyembahan dan pertumbuhan rohani.
- Kecurigaan terhadap Pengelolaan Dana Gereja: Sayangnya, kasus-kasus penyalahgunaan dana di beberapa institusi keagamaan dapat menyebabkan jemaat skeptis dan enggan memberi. Meskipun ini adalah masalah nyata yang harus ditangani oleh kepemimpinan gereja dengan transparansi dan akuntabilitas, ini tidak boleh menghentikan individu dari memberi dengan hati yang tulus. Tanggung jawab gereja adalah mengelola dengan bijak; tanggung jawab kita adalah memberi dengan iman.
- Tekanan Finansial: Di tengah kesulitan ekonomi, ketika pendapatan pas-pasan atau bahkan tidak mencukupi, memberi persembahan bisa terasa seperti beban yang tak tertahankan. Namun, justru dalam kondisi seperti inilah iman kita diuji dan persembahan kita menjadi bukti kepercayaan yang paling murni, seperti janda miskin. Ini adalah saat di mana kita perlu lebih mengandalkan Allah.
IV. Praktik Persembahan yang Bijak dan Bertanggung Jawab
Bagaimana kita dapat menerapkan prinsip-prinsip persembahan ini dalam hidup kita secara praktis dan bijaksana?
A. Persepuluhan dan Persembahan Sukarela: Titik Awal dan Pelampauannya
Bagi banyak orang Kristen, persepuluhan (memberikan 10% dari pendapatan) adalah titik awal dari persembahan materi. Meskipun ada perdebatan teologis tentang apakah persepuluhan adalah perintah yang mengikat bagi orang Kristen di Perjanjian Baru, sebagian besar sepakat bahwa ini adalah standar yang baik untuk melatih kemurahan hati dan ketaatan.
- Persepuluhan sebagai Disiplin: Mengapa 10%? Ini adalah jumlah yang ditetapkan dalam Perjanjian Lama yang mendukung sistem imamat dan pelayanan bait Allah. Bagi orang Kristen, ini dapat berfungsi sebagai disiplin rohani yang membantu kita menguji kesetiaan kita kepada Allah dan mengakui bahwa Dia adalah pemilik dari semua kekayaan kita. Ini mengajarkan kita untuk memberi secara teratur, proporsional, dan tidak dari sisa.
- Melampaui Persepuluhan dengan Persembahan Sukarela: Perjanjian Baru mendorong kita untuk memberi "menurut kerelaan hati," yang berarti kita tidak terikat pada angka minimum, melainkan didorong oleh kemurahan hati yang melimpah (2 Korintus 9). Persembahan kasih atau persembahan sukarela adalah pemberian di atas persepuluhan, yang diberikan untuk proyek-proyek khusus, misi, membantu individu, atau mendukung pelayanan tertentu. Ini adalah manifestasi dari hati yang dipenuhi syukur dan ingin memberi sebanyak mungkin untuk kemuliaan Allah.
B. Memberi secara Teratur dan Terencana
Paulus mengajarkan jemaat Korintus untuk menyisihkan persembahan pada hari pertama setiap minggu. Ini menunjukkan pentingnya memberi secara teratur dan terencana.
- Sisihkan, Jangan Sisakan: Alih-alih memberi dari sisa uang di akhir bulan, kita diajarkan untuk menyisihkan persembahan di awal. Ini menunjukkan bahwa persembahan adalah prioritas, bukan pilihan. Ketika kita menyisihkan, kita memastikan bahwa persembahan akan diberikan, dan kita melatih diri dalam disiplin rohani.
- Buat Anggaran Pribadi: Mengelola keuangan pribadi dengan bijak, termasuk membuat anggaran, adalah bagian dari persembahan hidup kita. Dengan perencanaan yang baik, kita dapat mengalokasikan dana untuk persembahan, tabungan, dan kebutuhan lainnya tanpa merasa terbebani. Ini adalah bentuk pengelolaan yang baik atas berkat Tuhan.
C. Transparansi dan Akuntabilitas Gereja
Meskipun motivasi memberi harus berasal dari hati yang tulus kepada Allah, peran gereja dalam mengelola persembahan juga sangat penting. Gereja memiliki tanggung jawab moral dan etis untuk mengelola dana dengan transparan dan akuntabel.
- Laporan Keuangan yang Jelas: Gereja harus secara teratur menyediakan laporan keuangan yang jelas kepada jemaat, menunjukkan bagaimana persembahan digunakan. Ini membangun kepercayaan dan memastikan bahwa dana digunakan sesuai dengan tujuan Kerajaan Allah.
- Pengelolaan yang Bijaksana: Pemimpin gereja harus menjadi pengelola yang bijaksana atas sumber daya yang dipercayakan kepada mereka. Ini mencakup penggunaan dana untuk pelayanan inti, misi, program sosial, dan pemeliharaan fasilitas dengan efisien dan bertanggung jawab.
Ketika gereja menunjukkan integritas dalam pengelolaan keuangan, ini akan mendorong jemaat untuk memberi dengan lebih banyak keyakinan dan sukacita.
V. Kesimpulan: Persembahan sebagai Gaya Hidup dan Ibadah yang Utuh
Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan, kita telah menjelajahi perjalanan panjang persembahan dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru, dari korban darah hingga persembahan hidup. Kita telah melihat bahwa persembahan adalah lebih dari sekadar transaksi finansial; ia adalah refleksi dari hati kita, pengakuan iman kita, dan respons kita terhadap kasih karunia Allah yang tak terlukiskan.
Persembahan sejati mengalir dari hati yang penuh syukur dan kasih, bukan dari kewajiban atau paksaan. Ini adalah tindakan menyembah, menyerahkan kembali kepada Allah sebagian dari apa yang telah Dia berikan kepada kita, mengakui kedaulatan-Nya atas segala sesuatu. Baik itu harta, waktu, talenta, maupun seluruh keberadaan kita, semua dapat menjadi persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan di mata-Nya.
Mari kita meninjau kembali sikap hati kita terhadap persembahan. Apakah kita memberi dengan sukacita atau dengan sedih hati? Apakah kita memberi dari kelimpahan atau dari pengorbanan yang tulus? Ingatlah kisah janda miskin yang memberi semua yang ia miliki, dan ingatlah janji berkat bagi mereka yang memberi dengan murah hati.
Persembahan yang utuh adalah persembahan diri kita sepenuhnya kepada Kristus. Ketika kita menyerahkan hidup kita kepada-Nya, maka semua yang kita miliki—harta, waktu, talenta—akan secara alami mengalir sebagai ekspresi dari persembahan diri tersebut. Ini adalah gaya hidup yang dipenuhi kemurahan hati, di mana setiap aspek keberadaan kita memuliakan Allah.
Marilah kita berkomitmen untuk menjadi orang-orang yang memberi dengan murah hati, bukan hanya dengan tangan kita, tetapi dengan seluruh hati kita. Dengan demikian, kita akan mengalami berkat-berkat rohani yang melimpah, melihat pekerjaan Tuhan bertumbuh, dan menjadi saluran berkat bagi orang lain. Kiranya hidup kita senantiasa menjadi persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah kita yang Mahakuasa.
Amin.