Surat Efesus, yang ditulis oleh Rasul Paulus kepada jemaat di Efesus, adalah sebuah mahakarya teologi dan etika Kristen. Setelah meletakkan dasar doktrinal yang kokoh tentang kekayaan berkat rohani kita dalam Kristus (pasal 1-3), Paulus beralih ke aplikasi praktis dari kebenaran-kebenaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari (pasal 4-6). Bagian yang akan kita soroti hari ini, Efesus 4:17-32, adalah salah satu bagian paling vital yang menantang setiap orang percaya untuk menjalani transformasi hidup yang radikal, meninggalkan cara-cara dunia lama dan mengenakan cara hidup yang baru, yang selaras dengan identitas kita dalam Kristus.
Panggilan ini bukan sekadar ajakan untuk sedikit memperbaiki diri, melainkan sebuah seruan untuk sebuah revolusi spiritual dan moral. Ini adalah panggilan untuk menanggalkan 'manusia lama' kita yang korup dan mengenakan 'manusia baru' yang telah diciptakan menurut gambar Allah dalam kebenaran dan kekudusan sejati. Mari kita selami lebih dalam pesan yang mendalam ini.
"Sebab itu kukatakan dan kutegaskan ini kepadamu di dalam Tuhan: Janganlah kamu hidup lagi sama seperti bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kekerasan hati mereka." (Efesus 4:17-18)
1. Tinggalkan Cara Hidup Lama: Gambaran Manusia Tanpa Kristus (Ayat 17-19)
Paulus memulai dengan sebuah peringatan tegas: sebagai orang percaya, kita tidak boleh lagi hidup seperti "bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah." Kata "bangsa-bangsa" di sini merujuk pada orang-orang non-Yahudi atau orang-orang yang belum mengenal Injil, yang hidup tanpa bimbingan dan kebenaran ilahi. Ini bukan sekadar perbedaan budaya, melainkan perbedaan fundamental dalam pandangan hidup, nilai-nilai, dan prioritas.
Pikiran yang Sia-sia dan Pengertian yang Gelap (Ayat 17-18)
Paulus melukiskan kondisi spiritual mereka dengan gamblang:
- Pikiran yang sia-sia: Ini menggambarkan pikiran yang tidak produktif secara spiritual, yang berputar-putar dalam kesia-siaan, fokus pada hal-hal duniawi yang fana, dan tidak mencari kebenaran yang sejati. Mereka mungkin cerdas secara intelektual dalam hal-hal dunia, tetapi dalam hal rohani, pikiran mereka kosong dari makna ilahi. Hidup mereka terarah pada pengejaran yang pada akhirnya tidak membawa kepuasan atau tujuan abadi.
- Pengertian yang gelap: Ini bukan kegelapan fisik, melainkan kegelapan moral dan spiritual. Mata hati mereka tertutup sehingga mereka tidak dapat melihat terang kebenaran Allah. Mereka tidak memahami rencana dan kehendak-Nya, dan oleh karena itu, hidup mereka dipenuhi dengan kebingungan dan kekeliruan moral. Mereka mungkin berpikir mereka bijaksana, tetapi hikmat mereka adalah kebodohan di hadapan Allah.
- Jauh dari hidup persekutuan dengan Allah: Inilah akar dari segala masalah. Tanpa persekutuan dengan Sang Pencipta, manusia kehilangan arah, tujuan, dan sumber kehidupan yang sejati. Keterpisahan ini bukan hanya hasil dari ketidaktahuan, tetapi juga dari pemberontakan.
Kondisi ini diperparah oleh dua faktor kunci:
- Kebodohan yang ada di dalam mereka: Kebodohan ini bukan sekadar kurangnya informasi, tetapi penolakan untuk mengenal Allah atau keengganan untuk mengakui kebenaran-Nya. Ini adalah kebodohan yang disengaja, di mana hati manusia menolak terang dan memilih untuk tetap dalam kegelapan.
- Kekerasan hati mereka: Ini adalah inti dari dosa manusia. Hati yang keras adalah hati yang menolak panggilan Allah, hati yang tidak mau bertobat, hati yang acuh tak acuh terhadap kebenaran dan kebaikan-Nya. Kekerasan hati ini membuat mereka tidak peka terhadap suara Roh Kudus dan desakan nurani. Akibatnya, mereka terus mengeraskan diri dalam dosa dan pemberontakan.
Hidup dalam Nafsu dan Kecemaran (Ayat 19)
"Perasaan mereka telah tumpul, sehingga mereka menyerahkan diri kepada hawa nafsu dan mengerjakan dengan serakah segala macam kecemaran." (Efesus 4:19)
Ketika hati mengeras dan pikiran menjadi gelap, indera rohani seseorang menjadi tumpul. Kata "tumpul" (Yunani: apalgéo) berarti kehilangan kepekaan, menjadi mati rasa. Sama seperti bagian tubuh yang mati rasa tidak merasakan sakit, demikian pula orang yang hatinya tumpul tidak merasakan lagi rasa bersalah, malu, atau penyesalan atas dosa. Nurani mereka telah dibakar hangus.
Dampaknya sangat mengerikan: mereka "menyerahkan diri kepada hawa nafsu." Ini adalah gambaran dari seseorang yang sepenuhnya dikuasai oleh keinginan-keinginan daging, tanpa kendali diri atau batasan moral. Mereka hidup untuk memuaskan setiap hasrat, tanpa memikirkan konsekuensi rohani atau moral.
Lebih jauh lagi, mereka "mengerjakan dengan serakah segala macam kecemaran." Kata "serakah" (Yunani: pleonexia) di sini berarti keinginan yang tak pernah puas untuk memiliki lebih banyak, sebuah ketamakan yang tidak terbatas, seringkali dalam konteks nafsu seksual dan kesenangan duniawi. Ini menggambarkan seseorang yang tidak hanya berbuat dosa, tetapi melakukannya dengan antusias, berulang kali, dan tanpa rasa malu, bahkan mencari kesempatan untuk berbuat lebih banyak kecemaran. Ini adalah puncak dari degradasi moral dan spiritual, sebuah lingkaran setan di mana dosa melahirkan lebih banyak dosa.
Paulus menggambarkan dengan jelas bahwa cara hidup ini adalah kebalikan total dari apa yang seharusnya dijalani oleh orang percaya. Gambaran ini adalah cermin bagi kita untuk melihat dari mana kita berasal, dan betapa besarnya anugerah Allah yang telah menarik kita keluar dari kegelapan tersebut.
2. Kenakan Manusia Baru: Ajaran Kristus dan Transformasi Internal (Ayat 20-24)
Setelah melukiskan kegelapan cara hidup lama, Paulus segera menghadirkan kontras yang tajam: "Tetapi kamu bukan demikian. Kamu telah belajar Kristus." (ayat 20). Ini adalah sebuah penegasan yang kuat. Sebagai pengikut Kristus, kita tidak lagi termasuk dalam golongan yang hatinya tumpul dan pikirannya gelap. Kita telah menerima ajaran yang berbeda, sebuah kebenaran yang mengubah hidup.
Bukan Demikian Kamu Belajar Kristus (Ayat 20-21)
"Tetapi kamu bukan demikian. Kamu telah belajar Kristus. Karena kamu telah mendengar tentang Dia dan menerima pengajaran di dalam Dia menurut kebenaran yang nyata dalam Yesus," (Efesus 4:20-21)
Ayat ini menekankan bahwa "belajar Kristus" bukan sekadar mengakumulasi informasi teologis, melainkan sebuah pengalaman yang mendalam dan transformatif. Ini adalah pengalaman pribadi mengenal Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Pengajaran Kristus tidak hanya tentang siapa Dia, tetapi juga bagaimana Dia hidup dan bagaimana kita seharusnya hidup. Ini adalah pengajaran yang "menurut kebenaran yang nyata dalam Yesus" – artinya, kebenaran yang dihidupkan, diwujudkan, dan dibuktikan secara sempurna oleh Yesus sendiri. Ia adalah teladan dan standar kebenaran kita.
Kebenaran ini berlawanan dengan kepalsuan, kegelapan, dan kesia-siaan yang dijelaskan sebelumnya. Kita telah mendengar tentang Dia dan diajar di dalam Dia. Ini menunjukkan sebuah proses pengajaran yang berpusat pada pribadi Kristus dan pengajaran-Nya, yang tidak hanya menyentuh akal budi tetapi juga hati dan kehendak.
Menanggalkan Manusia Lama dan Mengenakan Manusia Baru (Ayat 22-24)
Paulus kemudian menjelaskan proses transformasi ini dalam tiga langkah vital:
- Menanggalkan Manusia Lama (Ayat 22):
"yaitu, bahwa kamu harus menanggalkan manusia lama, yang oleh nafsu yang menyesatkan mengalami kebinasaan," (Efesus 4:22)
Analogi "menanggalkan" (Yunani: apotithemi) pakaian sangat kuat di sini. Sama seperti kita menanggalkan pakaian kotor atau usang, demikian pula kita harus secara sadar dan sengaja menanggalkan identitas lama kita yang berdosa. "Manusia lama" adalah diri kita sebelum Kristus, yang dikuasai oleh dosa, hawa nafsu, dan keegoisan. Ini adalah sifat dosa yang melekat pada diri kita yang menyebabkan kita secara alami cenderung berdosa.
Nafsu-nafsu yang menyesatkan (Yunani: epithymia apates) adalah keinginan-keinginan yang menipu kita, menjanjikan kepuasan tetapi akhirnya membawa kehancuran dan kebinasaan. Ini termasuk keserakahan, keinginan seksual yang tidak senonoh, kesombongan, iri hati, dan segala bentuk keinginan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Menanggalkan manusia lama berarti mengakui bahwa identitas lama kita ini tidak lagi pantas untuk orang yang telah ditebus oleh Kristus. Ini adalah tindakan pertobatan yang terus-menerus, mematikan keinginan daging dan menolak godaan dosa.
- Memperbarui Roh dan Pikiran (Ayat 23):
"supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu," (Efesus 4:23)
Langkah kedua adalah sebuah proses internal yang berkelanjutan: "dibaharui di dalam roh dan pikiranmu" (Yunani: anakainosis tou noos). Pembaharuan ini berbeda dari menanggalkan. Menanggalkan adalah tindakan melepaskan, sedangkan pembaharuan adalah tindakan menerima perubahan. Ini adalah perubahan cara berpikir, cara memandang dunia, Allah, diri sendiri, dan orang lain. Ini adalah sebuah revolusi kognitif dan spiritual.
Roh dan pikiran yang diperbarui adalah hati yang dipenuhi dengan Roh Kudus, yang memimpin kita kepada kebenaran, hikmat, dan pemahaman ilahi. Ini adalah pikiran yang selaras dengan pikiran Kristus (Filipi 2:5). Pembaharuan ini adalah pekerjaan Roh Kudus dalam diri kita, yang mengubah nilai-nilai, prioritas, dan keinginan kita. Ini adalah sebuah proses seumur hidup di mana kita terus-menerus menyerahkan diri kepada Allah agar Dia dapat membentuk dan memperbaharui kita dari dalam ke luar.
- Mengenakan Manusia Baru (Ayat 24):
"dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya." (Efesus 4:24)
Jika menanggalkan adalah membuang yang lama, maka mengenakan (Yunani: endyomai) adalah tindakan aktif untuk mengambil identitas yang baru. "Manusia baru" adalah diri kita yang telah ditebus dan diubahkan oleh Kristus. Identitas ini diciptakan "menurut kehendak Allah," yang berarti kita sekarang mencerminkan karakter dan sifat-sifat-Nya.
Dua karakteristik utama dari manusia baru ini adalah: kebenaran sejati (Yunani: dikaiosyne – kebenaran yang sesuai dengan standar Allah) dan kekudusan sejati (Yunani: hosiotētos – kekudusan yang datang dari hubungan yang benar dengan Allah). Ini bukan kebenaran atau kekudusan buatan manusia atau berdasarkan standar duniawi, melainkan kebenaran dan kekudusan yang bersumber dari Allah sendiri, yang dimungkinkan melalui karya penebusan Kristus dan kuasa Roh Kudus.
Mengenakan manusia baru berarti menghidupi identitas baru kita dalam setiap aspek kehidupan kita. Itu berarti bertindak sesuai dengan karakter Kristus, menunjukkan kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Galatia 5:22-23). Ini adalah panggilan untuk secara aktif meniru Kristus dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan kita.
3. Aplikasi Praktis Kehidupan Baru: Hidup dalam Kasih dan Kekudusan (Ayat 25-32)
Setelah meletakkan dasar teologis untuk menanggalkan manusia lama dan mengenakan manusia baru, Paulus tidak berhenti di situ. Ia segera memberikan aplikasi praktis yang konkret tentang bagaimana hidup baru ini seharusnya terlihat dalam interaksi kita sehari-hari dengan orang lain. Ini adalah etika Kristen yang berakar pada identitas kita dalam Kristus, bukan sekadar daftar aturan moral, melainkan ekspresi alami dari hati yang telah diubahkan.
a. Berkata Benar dan Tinggalkan Dusta (Ayat 25)
"Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota." (Efesus 4:25)
Salah satu manifestasi pertama dari manusia lama adalah kebohongan dan penipuan. Manusia cenderung menipu diri sendiri dan orang lain untuk melindungi diri, mencari keuntungan, atau menghindari tanggung jawab. Paulus secara langsung menyerang hal ini. Dusta adalah racun bagi setiap hubungan, terutama dalam komunitas orang percaya.
Panggilan untuk "berkatalah benar seorang kepada yang lain" bukanlah anjuran opsional, tetapi sebuah perintah. Alasan yang diberikan sangat mendalam: "karena kita adalah sesama anggota." Dalam tubuh Kristus, kita saling terhubung, saling bergantung. Kebohongan merusak kepercayaan, memecah belah komunitas, dan menghancurkan ikatan yang mempersatukan kita. Jika satu anggota tubuh berbohong kepada yang lain, seluruh tubuh akan menderita. Kebenaran adalah fondasi bagi komunitas yang sehat dan kuat. Ini mencakup kejujuran dalam perkataan, dalam bisnis, dalam janji-janji, dan dalam setiap aspek komunikasi kita. Bahkan "dusta putih" atau kebohongan kecil sekalipun dapat mengikis integritas dan merusak kesaksian kita.
Dalam konteks modern, ini mencakup kejujuran di media sosial, dalam email, dalam percakapan online, dan setiap bentuk interaksi digital. Kita dipanggil untuk menjadi orang-orang yang jujur, yang kata-katanya dapat dipercaya, karena kita adalah cerminan dari Kristus yang adalah Kebenaran.
b. Kelola Amarah dengan Bijaksana (Ayat 26-27)
"Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis." (Efesus 4:26-27)
Paulus tidak melarang amarah sepenuhnya. Ada jenis amarah yang benar, yaitu amarah yang adil terhadap ketidakadilan, dosa, atau penolakan terhadap Allah (seperti amarah Yesus di Bait Suci). Namun, ada batasan yang jelas: "janganlah kamu berbuat dosa." Amarah seringkali menjadi pintu gerbang bagi dosa, seperti kepahitan, kebencian, atau tindakan kekerasan.
Dua instruksi penting diberikan:
- "Janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu": Ini adalah nasihat praktis untuk tidak membiarkan amarah berlarut-larut atau menetap di hati. Amarah yang tidak terselesaikan dapat membusuk menjadi kepahitan, dendam, dan kebencian. Kita harus segera menangani masalah yang menyebabkan amarah, mencari rekonsiliasi, dan melepaskan kemarahan itu melalui pengampunan dan doa. Ini membutuhkan kerendahan hati dan kemauan untuk berdamai.
- "Janganlah beri kesempatan kepada Iblis": Amarah yang tidak terkendali atau yang dipelihara adalah lahan subur bagi Iblis untuk menabur benih perpecahan, permusuhan, dan kehancuran. Ketika kita membiarkan amarah menguasai kita, kita membuka pintu bagi serangan spiritual yang lebih besar. Iblis akan menggunakan celah ini untuk merusak hubungan kita dengan Allah dan sesama. Mengelola amarah adalah bagian dari perang rohani kita.
Mengelola amarah dengan bijaksana berarti mengenali pemicunya, mengevaluasi validitasnya, dan merespons dengan cara yang membangun, bukan merusak. Ini membutuhkan Roh Kudus untuk memberikan penguasaan diri dan hikmat.
c. Bekerja Keras dan Memberi (Ayat 28)
"Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan." (Efesus 4:28)
Perintah ini adalah contoh indah dari transformasi radikal. Bukan hanya "jangan mencuri lagi" (menanggalkan dosa lama), tetapi juga "bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik" (mengenakan manusia baru). Ini adalah transisi dari kemalasan dan eksploitasi menuju tanggung jawab, produktivitas, dan integritas.
Tujuan dari kerja keras yang etis ini bukan semata-mata untuk keuntungan pribadi atau akumulasi kekayaan. Paulus memberikan alasan yang jauh lebih mulia: "supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan." Ini adalah etika kerja Kristen: bekerja bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk melayani dan memberkati orang lain. Kedermawanan menjadi buah dari kerja keras yang kudus.
Ayat ini mengajarkan kita tentang martabat kerja dan pentingnya berbagi sumber daya kita dengan mereka yang membutuhkan. Ini adalah demonstrasi kasih Kristus yang nyata dalam komunitas. Ini juga menggarisbawahi pentingnya memiliki etos kerja yang kuat, menjadi produktif, dan menggunakan talenta yang Tuhan berikan untuk kemuliaan-Nya dan kebaikan sesama.
d. Jaga Perkataan Kita (Ayat 29)
"Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia." (Efesus 4:29)
Perkataan adalah alat yang sangat kuat, dapat membangun atau meruntuhkan. Paulus menyoroti pentingnya mengendalikan lidah, sebuah tema yang sering diulang dalam Kitab Suci (misalnya Yakobus 3).
Ia melarang "perkataan kotor" (Yunani: logos sapros), yang secara harfiah berarti perkataan yang busuk, merusak, tidak berguna, atau cabul. Ini mencakup gosip, fitnah, sumpah serapah, perkataan jorok, perkataan yang merendahkan, atau apa pun yang tidak menghormati Allah dan sesama.
Sebaliknya, kita diperintahkan untuk menggunakan "perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia." Perkataan kita haruslah konstruktif, positif, dan bertujuan untuk membawa anugerah Allah kepada pendengar. Ini berarti kata-kata yang menguatkan, mendorong, menghibur, mengajar, dan memberikan harapan. Ini adalah perkataan yang diucapkan dengan kasih, pada waktu yang tepat, dan dengan tujuan yang benar.
Dalam era digital di mana komunikasi tertulis dan lisan tersebar luas, prinsip ini menjadi semakin relevan. Bagaimana kita berkomentar online? Apa yang kita bagikan? Apakah kata-kata kita di media sosial membangun atau merusak? Perkataan yang baik mencerminkan hati yang telah diubahkan oleh Kristus.
e. Jangan Mendukakan Roh Kudus (Ayat 30)
"Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan." (Efesus 4:30)
Ini adalah ayat yang sangat menyentuh hati. Roh Kudus bukan hanya suatu kekuatan, melainkan pribadi Allah yang tinggal di dalam setiap orang percaya. Mendukakan Roh Kudus berarti melakukan sesuatu yang menyedihkan atau menyakiti hati-Nya. Dosa-dosa yang Paulus daftarkan sebelumnya (dusta, amarah yang tidak terkendali, mencuri, perkataan kotor) adalah contoh nyata bagaimana kita dapat mendukakan Roh Kudus.
Roh Kudus adalah "yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan." Meterai ini adalah jaminan Allah bahwa kita adalah milik-Nya, bahwa kita telah dibeli dengan harga mahal, dan bahwa kita akan diselamatkan sepenuhnya pada hari kedatangan Kristus kembali. Ketika kita berdosa, kita tidak kehilangan meterai ini, tetapi kita merusak persekutuan kita dengan Roh Kudus, menyebabkan Dia berduka. Hidup yang mendukakan Roh Kudus menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap karya dan kehadiran-Nya dalam hidup kita.
Menghormati Roh Kudus berarti hidup dalam ketaatan, peka terhadap tuntunan-Nya, dan membiarkan-Nya menghasilkan buah dalam hidup kita. Ini adalah panggilan untuk hidup kudus, bukan karena takut kehilangan keselamatan, tetapi karena kasih dan penghormatan kepada Pribadi Ilahi yang tinggal di dalam kita.
f. Buang Sikap Negatif dan Kenakan Sikap Positif (Ayat 31-32)
Paulus mengakhiri bagian ini dengan dua ayat yang merupakan ringkasan kuat tentang sikap hati yang harus ditanggalkan dan dikenakan. Ini adalah inti dari transformasi karakter Kristen.
Buanglah Hal-hal Negatif (Ayat 31):
"Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertengkaran dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan." (Efesus 4:31)
Paulus memberikan daftar enam dosa yang merusak hubungan dan meracuni hati, yang harus "dibuang" (Yunani: airo - mengangkat dan membuang, seperti membuang sampah):
- Kepahitan (pikria): Rasa sakit hati yang disimpan, dendam, sikap pahit yang menolak untuk memaafkan. Ini seperti racun yang perlahan membunuh jiwa.
- Kegeraman (thymos): Amarah yang meledak-ledak, luapan emosi yang cepat dan tak terkendali.
- Kemarahan (orgē): Amarah yang lebih mendalam, kebencian yang berakar dan berlarut-larut, yang bisa berubah menjadi dendam.
- Pertengkaran (kraugē): Perkelahian verbal, teriakan, argumen yang keras dan tanpa kendali.
- Fitnah (blasphēmia): Kata-kata jahat yang merusak reputasi orang lain, gosip yang merugikan, pencemaran nama baik. Ini juga bisa berarti menghujat Allah.
- Segala kejahatan (kakia): Ini adalah istilah umum yang mencakup semua jenis keburukan, kejahatan, dan niat jahat. Ini adalah akar dari semua dosa yang disebutkan sebelumnya.
Semua hal ini adalah karakteristik dari manusia lama yang harus sepenuhnya disingkirkan dari kehidupan orang percaya. Ini adalah panggilan untuk melakukan pembersihan hati yang radikal.
Kenakan Belas Kasihan, Keramahan, dan Pengampunan (Ayat 32):
"Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu." (Efesus 4:32)
Sebagai ganti dari sikap-sikap negatif, Paulus menyerukan untuk mengenakan tiga kebajikan positif yang mencerminkan karakter Kristus:
- Ramah (chrēstos): Bersikap baik, bermanfaat, murah hati, dan peduli terhadap orang lain. Ini adalah kebaikan yang aktif dan nyata dalam interaksi sehari-hari.
- Penuh kasih mesra (eúsplagchnos): Memiliki hati yang lembut dan berbelas kasihan, yang merasakan penderitaan orang lain dan ingin menolong. Ini adalah belas kasihan yang tulus dan mendalam.
- Saling mengampuni (charizomai): Membebaskan orang lain dari kesalahan mereka, melepaskan dendam, dan menawarkan pengampunan. Ini adalah puncak dari kasih Kristen.
Dasar dan model untuk pengampunan kita adalah "sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu." Kita dapat mengampuni orang lain karena kita sendiri telah menerima pengampunan yang tak terhingga dari Allah melalui Kristus. Pengampunan ilahi ini adalah kekuatan pendorong di balik kemampuan kita untuk mengampuni. Ini adalah pengingat bahwa jika Allah yang Mahakudus rela mengampuni dosa-dosa kita yang besar, betapa lebihnya kita harus mengampuni kesalahan orang lain yang mungkin jauh lebih kecil. Pengampunan adalah salah satu tanda paling jelas dari hati yang telah diubahkan.
Saling mengampuni juga berarti kita tidak hanya menunggu orang lain meminta maaf, tetapi kita proaktif dalam mencari rekonsiliasi dan menawarkan pengampunan, bahkan sebelum diminta. Ini adalah cerminan dari hati yang telah menyerupai Kristus.
Kesimpulan: Hidup sebagai Manusia Baru dalam Kristus
Efesus 4:17-32 adalah sebuah ringkasan etika Kristen yang sangat kuat, sebuah panggilan untuk hidup yang radikal berbeda dari dunia di sekeliling kita. Ini adalah peta jalan menuju pertumbuhan rohani dan kehidupan yang memuliakan Allah. Pesan Paulus dapat diringkas dalam dua tindakan utama:
- Menanggalkan Manusia Lama: Secara sadar dan terus-menerus menyingkirkan cara berpikir, berbicara, dan bertindak yang dikuasai oleh dosa dan ego. Ini adalah proses pertobatan yang berkelanjutan, membuang kepahitan, dusta, amarah yang tidak terkendali, dan segala bentuk kejahatan.
- Mengenakan Manusia Baru: Secara aktif dan sengaja mempraktikkan kebenaran, kekudusan, kasih, kebaikan, dan pengampunan yang menjadi identitas kita dalam Kristus. Ini adalah proses pembaharuan pikiran dan hati yang menghasilkan buah-buah Roh Kudus dalam hidup kita.
Transformasi ini bukanlah upaya kita sendiri. Kita tidak bisa menanggalkan dosa-dosa kita atau mengenakan kebenaran dengan kekuatan kita sendiri. Ini adalah pekerjaan Roh Kudus yang diam di dalam kita, yang memberikan kuasa untuk berubah. Dia adalah meterai jaminan kita, dan mendukakan-Nya berarti menghalangi pekerjaan-Nya dalam hidup kita.
Mari kita hidup sebagai manusia baru yang telah ditebus dan diubahkan oleh Kristus. Mari kita biarkan hidup kita menjadi kesaksian nyata tentang kuasa Injil yang mengubah. Setiap hari adalah kesempatan untuk menanggalkan yang lama dan mengenakan yang baru, semakin menyerupai Yesus Kristus, Tuhan kita. Amin.
Khotbah ini merupakan interpretasi dan pengembangan dari Efesus 4:17-32, dengan penekanan pada aplikasi praktis bagi kehidupan orang percaya.