Khotbah Ekspositori: Memahami Iman Sejati

Sebuah penjelajahan mendalam tentang hakikat iman yang diajarkan Alkitab, melalui lensa Ibrani 11 dan contoh-contoh pahlawan iman.

Alkitab Terbuka

Sumber segala kebenaran: Alkitab Terbuka.

Pendahuluan: Mengapa Iman Begitu Penting?

Dalam dunia yang serba cepat, penuh ketidakpastian, dan seringkali membingungkan ini, manusia secara alami mencari sesuatu yang dapat dipercayai, sesuatu yang dapat menjadi jangkar bagi jiwa. Kita mendambakan kepastian, keamanan, dan makna hidup. Namun, pengalaman hidup seringkali menyajikan realitas yang berlawanan: kekecewaan, kegagalan, kehilangan, dan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban.

Di tengah semua gejolak ini, Alkitab menyajikan sebuah konsep yang fundamental, sebuah fondasi yang kokoh untuk berdiri, yaitu iman. Lebih dari sekadar keyakinan buta atau sekadar opini pribadi, iman yang alkitabiah adalah respons yang mendalam terhadap wahyu Tuhan, sebuah sikap hati yang memercayai keberadaan, karakter, dan janji-janji-Nya. Tanpa iman, Alkitab mengatakan, "tidak mungkin berkenan kepada Allah" (Ibrani 11:6). Ini menunjukkan betapa sentralnya iman dalam hubungan kita dengan Pencipta kita.

Khotbah ekspositori ini akan membawa kita menyelami kitab Ibrani pasal 11, sebuah pasal yang sering disebut sebagai "galeri pahlawan iman". Melalui pasal ini, Roh Kudus memberikan kita definisi yang jelas tentang iman, kemudian melanjutkannya dengan serangkaian contoh nyata dari tokoh-tokoh sepanjang sejarah Alkitab yang hidup dan bertindak berdasarkan iman ini. Kita tidak hanya akan melihat apa itu iman, tetapi juga bagaimana iman itu terwujud dalam kehidupan sehari-hari, dalam menghadapi tantangan, dan dalam menunggu penggenapan janji-janji Tuhan.

Mari kita buka hati dan pikiran kita untuk firman Tuhan, memohon agar Roh Kudus membimbing kita dalam memahami dan menghidupi iman yang sejati, iman yang bukan hanya teori, tetapi sebuah realitas yang mengubah hidup.

I. Definisi Iman: Ibrani 11:1

“Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.”

— Ibrani 11:1

Ayat ini adalah fondasi dari seluruh pembahasan kita tentang iman. Ini bukan sekadar definisi kamus, melainkan sebuah penjelasan teologis yang mendalam tentang hakikat dan fungsi iman.

A. "Dasar dari Segala Sesuatu yang Kita Harapkan" (Hypostasis)

Kata Yunani yang digunakan di sini adalah hypostasis. Dalam konteks kuno, kata ini memiliki beberapa makna yang kaya:

  1. Fondasi atau Substansi: Ini adalah sesuatu yang nyata, yang menjadi dasar bagi keberadaan hal-hal lain. Sama seperti sebuah bangunan membutuhkan fondasi yang kokoh, harapan kita akan masa depan, akan janji-janji Tuhan, membutuhkan iman sebagai fondasinya. Tanpa fondasi ini, harapan kita hanyalah angan-angan belaka yang mudah runtuh.
  2. Jaminan atau Hak Milik: Kata ini juga bisa merujuk pada dokumen kepemilikan atau akta. Ketika kita membeli properti, kita menerima akta yang menjamin bahwa properti itu adalah milik kita, meskipun kita belum menempatinya. Demikian pula, iman adalah "akta" atau "jaminan" bahwa apa yang Tuhan janjikan adalah milik kita, meskipun kita belum melihatnya terwujud sepenuhnya. Ini memberikan kita kepastian akan janji-janji Tuhan.

Jadi, iman bukan sekadar berharap secara pasif; iman adalah keyakinan yang aktif bahwa apa yang Tuhan janjikan pasti akan terjadi, dan kita telah memiliki "jaminan" atasnya sekarang juga. Harapan Kristen tidak didasarkan pada keinginan buta, melainkan pada karakter dan janji Tuhan yang tak pernah gagal.

B. "Bukti dari Segala Sesuatu yang Tidak Kita Lihat" (Elenchos)

Kata Yunani elenchos berarti "bukti", "meyakinkan", "persuasi". Ini adalah bukti atau keyakinan yang begitu kuat sehingga mengungguli bukti-bukti yang didapat melalui indra jasmani kita.

  1. Keyakinan atas Realitas yang Tidak Terlihat: Dunia kita didominasi oleh apa yang bisa kita lihat, sentuh, dengar, dan rasakan. Namun, iman memampukan kita untuk melihat realitas yang lebih besar, yaitu realitas rohani yang tak kasat mata. Kita tidak melihat Tuhan secara fisik, tetapi iman membuktikan keberadaan-Nya. Kita tidak melihat surga, tetapi iman memberikan keyakinan akan keberadaan dan keindahannya.
  2. Mengatasi Keterbatasan Indra: Indra kita terbatas. Banyak hal penting dalam hidup ini tidak dapat diukur atau dilihat secara fisik (cinta, keadilan, harapan). Iman melangkah lebih jauh dari batas-batas indra kita, memberikan kita "mata" rohani untuk memahami kebenaran ilahi. Ini adalah keyakinan yang mengalahkan keraguan yang muncul dari ketiadaan bukti empiris.

Singkatnya, iman adalah kepercayaan yang kokoh dan penuh keyakinan terhadap sesuatu yang belum kita lihat dengan mata kepala sendiri, tetapi yang kita yakini kebenarannya karena Firman dan karakter Tuhan. Iman adalah "kaca pembesar" rohani yang memungkinkan kita melihat realitas Tuhan di balik tirai dunia fisik.

II. Iman Sebelum Hukum: Saksi-Saksi dari Masa Lalu

Penulis Ibrani tidak berhenti pada definisi; ia segera melanjutkannya dengan "awan saksi" dari masa lalu. Ia ingin menunjukkan bahwa iman bukanlah konsep baru, melainkan prinsip yang telah bekerja dalam kehidupan umat Tuhan sepanjang sejarah. Bagian ini menyoroti bagaimana iman beroperasi bahkan sebelum hukum Taurat diberikan.

A. Iman dalam Penciptaan (Ibrani 11:3)

“Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat.”

— Ibrani 11:3

Ini adalah titik awal yang krusial. Sebelum berbicara tentang iman individu, penulis menyoroti iman kolektif kita dalam memahami asal-usul alam semesta. Kita tidak hadir saat Penciptaan terjadi, tetapi melalui iman dalam Firman Allah, kita percaya bahwa alam semesta ini ada karena kehendak dan kuasa-Nya. Ini adalah penolakan terhadap pemikiran bahwa segala sesuatu terjadi secara kebetulan. Iman memberitahu kita bahwa ada Pencipta yang berdaulat, yang menciptakan dari ketiadaan.

B. Abel: Iman dalam Persembahan yang Lebih Baik (Ibrani 11:4)

“Karena iman Habel telah mempersembahkan kepada Allah korban yang lebih baik dari pada korban Kain. Dengan jalan itu ia memperoleh kesaksian, bahwa ia benar, karena Allah berkenan kepada persembahannya itu dan oleh sebab iman itu ia masih berbicara, sesudah ia mati.”

— Ibrani 11:4

Kisah Habel dan Kain (Kejadian 4) adalah tentang dua saudara yang mempersembahkan kurban kepada Tuhan. Habel mempersembahkan yang terbaik dari kawanan ternaknya, sementara Kain mempersembahkan hasil tanah. Tuhan berkenan kepada Habel dan persembahannya, tetapi tidak kepada Kain. Mengapa?

Penulis Ibrani mengungkapkan alasannya: "Karena iman." Iman Habel mendorongnya untuk mempersembahkan yang terbaik, bukan hanya sisa atau kewajiban. Imannya mungkin memahamidengan lebih baik kebutuhan akan darah sebagai penebusan dosa, atau setidaknya menunjukkan sikap hati yang benar-benar memuliakan Tuhan. Ini bukan tentang jenis persembahan, melainkan tentang hati yang beriman di balik persembahan itu. Kematian Habel oleh tangan saudaranya tidak mengakhiri kesaksian imannya; ia "masih berbicara" melalui teladan imannya yang menginspirasi kita sampai hari ini.

C. Henokh: Iman dalam Berjalan dengan Allah (Ibrani 11:5)

“Karena iman Henokh terangkat, supaya ia tidak mengalami kematian, dan ia tidak ditemukan, karena Allah telah mengangkatnya. Sebab sebelum ia terangkat, ia memperoleh kesaksian, bahwa ia berkenan kepada Allah.”

— Ibrani 11:5

Henokh adalah salah satu tokoh paling misterius dalam Perjanjian Lama (Kejadian 5:21-24). Ia "hidup bergaul dengan Allah" dan kemudian "tidak ada lagi, sebab ia telah diangkat oleh Allah." Penulis Ibrani menjelaskan bahwa ini terjadi "karena iman."

Iman Henokh memampukannya untuk berjalan dalam persekutuan yang intim dengan Tuhan, dalam dunia yang kemungkinan besar sudah sangat korup. Ia percaya kepada Tuhan sedemikian rupa sehingga ia menyenangkan Tuhan, bahkan Tuhan memutuskan untuk tidak mengizinkannya mengalami kematian. Ini adalah contoh iman yang menghasilkan hubungan yang dalam dan ketaatan yang konsisten, berujung pada perkenanan dan berkat yang luar biasa dari Tuhan.

D. Nuh: Iman dalam Ketaatan kepada Peringatan Ilahi (Ibrani 11:7)

“Karena iman, Nuh dengan petunjuk Allah tentang sesuatu yang belum kelihatan, dengan taat mempersiapkan bahtera untuk menyelamatkan keluarganya; dan karena iman itu ia menghukum dunia, dan ia menjadi ahli waris kebenaran, sesuai dengan iman.”

— Ibrani 11:7

Nuh hidup di zaman di mana kejahatan manusia sudah sangat besar (Kejadian 6). Allah memutuskan untuk menghukum bumi dengan air bah, tetapi Ia memilih Nuh. Tuhan memberinya instruksi untuk membangun bahtera, sebuah kapal raksasa di tengah daratan, padahal belum pernah ada hujan atau air bah yang melanda bumi. Ini adalah tugas yang tidak masuk akal dari sudut pandang manusia.

Namun, Nuh "dengan iman" dan "dengan taat mempersiapkan bahtera." Ia percaya pada peringatan Tuhan, meskipun belum ada bukti fisik dari ancaman tersebut. Imannya terwujud dalam tindakan ketaatan yang melelahkan dan memakan waktu bertahun-tahun, yang kemungkinan besar membuatnya menjadi bahan ejekan orang-orang di sekitarnya. Imannya menyelamatkan keluarganya dan menjadikannya ahli waris kebenaran.

Dari Nuh, kita belajar bahwa iman sejati tidak hanya mempercayai apa yang Tuhan katakan, tetapi juga bertindak sesuai dengan perkataan-Nya, bahkan ketika itu menuntut pengorbanan, menghadapi cemoohan, dan melakukan sesuatu yang tampaknya tidak logis menurut akal sehat kita.

Perjalanan Iman

Perjalanan iman seringkali menanjak dan penuh tantangan.

III. Abraham: Bapak Orang Beriman (Ibrani 11:8-19)

Abraham adalah salah satu tokoh paling sentral dalam sejarah iman, dan penulis Ibrani mendedikasikan bagian yang cukup panjang untuknya. Hidupnya adalah sebuah narasi iman yang luar biasa, penuh dengan panggilan yang tak terduga, janji-janji yang tampaknya mustahil, dan ujian-ujian yang berat.

A. Iman dalam Panggilan Allah (Ibrani 11:8)

“Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tuju.”

— Ibrani 11:8

Panggilan Tuhan kepada Abraham di Ur-Kasdim (Kejadian 12:1-4) adalah panggilan yang radikal. Ia diminta meninggalkan tanah airnya, sanak saudaranya, dan rumah ayahnya untuk pergi ke sebuah negeri yang tidak ia ketahui. Ini adalah tuntutan untuk melepaskan segala jaminan duniawi dan bergantung sepenuhnya pada Tuhan. Abraham, yang saat itu bernama Abram, merespons dengan ketaatan. Ia tidak tahu tujuan akhirnya, tetapi ia tahu siapa yang memanggilnya.

Iman Abraham di sini menunjukkan kerelaan untuk menyerahkan kendali, untuk mempercayai Tuhan bahkan ketika jalan di depan tidak jelas. Ini adalah iman yang berani, yang siap melangkah keluar dari zona nyaman berdasarkan janji Tuhan saja.

B. Iman dalam Penantian dan Pengembaraan (Ibrani 11:9-10)

“Karena iman ia diam di tanah yang dijanjikan itu seolah-olah di suatu tanah asing dan diam dalam kemah dengan Ishak dan Yakub, yang turut menjadi ahli waris janji yang satu itu. Sebab ia menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah.”

— Ibrani 11:9-10

Setelah tiba di Kanaan, Abraham tidak langsung memiliki tanah tersebut. Ia hidup sebagai orang asing, berpindah-pindah dalam kemah, meskipun Tuhan telah menjanjikan tanah itu kepadanya dan keturunannya. Ia tidak berusaha membangun kerajaan atau menetap secara permanen, karena ia tahu bahwa warisannya yang sejati bukanlah di bumi ini.

Imannya melihat melampaui janji tanah fisik. Ia "menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah." Ini adalah Yerusalem Baru, Kerajaan Allah yang kekal. Abraham menyadari bahwa hidupnya di bumi hanyalah sementara, dan ia hidup dengan perspektif kekekalan. Imannya adalah iman yang sabar, yang dapat menunda kepuasan instan demi janji yang lebih besar di masa depan.

C. Sarah: Iman dalam Memercayai Hal yang Mustahil (Ibrani 11:11-12)

“Karena iman Sara juga diberi kekuatan untuk mengandung dan melahirkan seorang anak, walaupun usianya sudah lewat, karena ia menganggap Dia, yang memberikan janji itu setia. Sebab itu jugalah dari satu orang saja, yaitu dari Abraham yang telah sangat lanjut usianya, lahir keturunan yang banyak, seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, yang tidak terhitung banyaknya.”

— Ibrani 11:11-12

Kisah Sarah mengandung Ishak di usia lanjut adalah contoh klasik dari iman yang memercayai hal yang mustahil secara alami (Kejadian 18:9-15; 21:1-7). Awalnya, Sarah tertawa ketika mendengar janji itu. Namun, penulis Ibrani mencatat bahwa "karena iman Sarah juga diberi kekuatan." Imannya mungkin goyah pada awalnya, tetapi pada akhirnya ia memegang teguh janji Tuhan karena ia "menganggap Dia, yang memberikan janji itu setia."

Ini adalah iman yang berpegang pada karakter Tuhan, bukan pada kemampuan diri sendiri atau kondisi fisik. Jika Tuhan berjanji, Dia pasti akan menepatinya, bahkan jika itu melanggar hukum alam. Dari satu pasangan yang sudah tidak mungkin memiliki anak, lahirlah bangsa Israel yang tak terhitung jumlahnya. Ini adalah bukti kuasa dan kesetiaan Tuhan yang direspons oleh iman.

D. Iman yang Melihat ke Depan (Ibrani 11:13-16)

“Dalam iman mereka semua telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi mereka melihatnya dari jauh dan melambai-lambai kepadanya dan mengaku, bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini… Karena itu Allah tidak malu disebut Allah mereka, sebab Ia telah mempersiapkan bagi mereka sebuah kota.”

— Ibrani 11:13-16

Abraham, Ishak, Yakub, dan para pahlawan iman lainnya mati tanpa melihat penggenapan penuh dari semua janji Tuhan, terutama janji mengenai kota kekal. Namun, mereka hidup dan mati dalam iman. Mereka "melihatnya dari jauh" – mereka memiliki perspektif yang jauh melampaui kehidupan duniawi mereka. Mereka tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang menanti mereka.

Ini adalah iman yang teguh, yang tidak terombang-ambing oleh kenyataan bahwa janji belum terwujud dalam hidup mereka. Mereka mengakui diri mereka "orang asing dan pendatang" di bumi ini, menunjukkan bahwa hati mereka tertuju pada tanah air yang lebih baik, yaitu surgawi. Karena iman seperti ini, Allah "tidak malu disebut Allah mereka." Ini adalah pujian tertinggi yang dapat diberikan kepada iman mereka.

E. Iman dalam Ujian Terberat: Persembahan Ishak (Ibrani 11:17-19)

“Karena iman maka Abraham, waktu dicobai, mempersembahkan Ishak. Ia, yang telah menerima janji itu, rela mempersembahkan anaknya yang tunggal, walaupun kepadanya telah dikatakan: ‘Keturunan yang berasal dari Ishaklah yang akan disebut keturunanmu.’ Sebab ia berpikir, bahwa Allah berkuasa membangkitkan orang-orang sekalipun dari antara orang mati. Dan dari sana ia seakan-akan menerima dia kembali.”

— Ibrani 11:17-19

Ujian terberat dalam hidup Abraham adalah perintah Tuhan untuk mempersembahkan Ishak, anak janji yang telah lama dinantikannya (Kejadian 22). Perintah ini tampak bertentangan dengan semua janji Tuhan sebelumnya bahwa keturunan Abraham akan melalui Ishak. Bagaimana mungkin janji itu terpenuhi jika Ishak mati?

Di sinilah iman Abraham bersinar paling terang. Ia tidak hanya taat, tetapi ia juga memiliki keyakinan yang luar biasa. Ia "berpikir, bahwa Allah berkuasa membangkitkan orang-orang sekalipun dari antara orang mati." Abraham percaya bahwa Tuhan adalah Allah yang setia pada janji-Nya dan Mahakuasa untuk melakukannya, bahkan jika itu berarti menghidupkan Ishak kembali dari kematian. Ini adalah puncak dari imannya, sebuah keyakinan absolut pada kedaulatan dan kesetiaan Tuhan.

Iman ini adalah iman yang siap mengorbankan hal yang paling berharga demi ketaatan kepada Tuhan, dengan keyakinan bahwa Tuhan memiliki rencana yang lebih besar dan lebih baik.

IV. Iman dalam Generasi Berikutnya (Ibrani 11:20-22)

Penulis kemudian melanjutkan dengan menyoroti iman dari keturunan Abraham, menunjukkan bagaimana tongkat estafet iman diteruskan dari generasi ke generasi.

A. Ishak dan Yakub: Iman dalam Berkat (Ibrani 11:20-21)

“Karena iman Ishak memberkati Yakub dan Esau tentang hal-hal yang akan datang. Karena iman Yakub, ketika hampir meninggal, memberkati setiap anak Yusuf dan menyembah Allah sambil bertopang pada kepalanya.”

— Ibrani 11:20-21

Ishak memberkati Yakub dan Esau, meskipun ia sendiri mungkin terkecoh (Kejadian 27). Yakub, di ranjang kematiannya, memberkati anak-anak Yusuf (Manasye dan Efraim) dan bahkan menyembah Tuhan (Kejadian 48). Berkat-berkat ini bukanlah sekadar ucapan kosong; mereka adalah proklamasi kenabian yang didasarkan pada iman akan janji-janji Tuhan yang akan datang kepada keturunan mereka. Mereka melihat ke depan, memercayai rencana Tuhan yang akan terwujud melalui keturunan mereka.

Ini menunjukkan iman yang melihat melampaui kondisi fisik mereka yang lemah atau kesalahan masa lalu. Mereka percaya bahwa Tuhan akan terus bekerja melalui janji-Nya kepada bangsa Israel.

B. Yusuf: Iman dalam Janji Keluaran (Ibrani 11:22)

“Karena iman Yusuf menjelang matinya berbicara tentang keluaran bangsa Israel dan memberi pesan tentang tulang-tulangnya.”

— Ibrani 11:22

Yusuf hidup dan mati di Mesir, di tengah-tengah kekuasaan Firaun. Namun, menjelang ajalnya, ia tidak hanya berbicara tentang keluaran Israel dari Mesir, tetapi ia bahkan meminta agar tulang-tulangnya dibawa serta ketika mereka keluar (Kejadian 50:24-25). Ini adalah tindakan iman yang luar biasa!

Yusuf tahu bahwa janji Tuhan kepada Abraham tentang tanah Kanaan pasti akan digenapi. Imannya melihat ke masa depan yang jauh, melampaui dominasi Mesir yang ia alami. Ia yakin bahwa Tuhan akan setia pada janji-Nya untuk membawa umat-Nya kembali ke tanah perjanjian. Permintaan tentang tulang-tulangnya adalah simbol nyata dari keyakinan ini, sebuah tanda bahwa ia mengidentifikasikan dirinya sepenuhnya dengan janji Tuhan kepada umat-Nya.

Salib Kristen

Salib sebagai pusat dan fondasi iman Kristen.

V. Musa: Iman dalam Penolakan dan Pilihan Ilahi (Ibrani 11:23-29)

Musa adalah salah satu figur paling menonjol dalam sejarah Israel, dan kehidupannya dipenuhi dengan tindakan-tindakan iman yang luar biasa, mulai dari kelahirannya hingga memimpin Israel keluar dari perbudakan.

A. Iman Orang Tua Musa (Ibrani 11:23)

“Karena iman maka Musa, setelah ia lahir, disembunyikan tiga bulan lamanya oleh orang tuanya, karena mereka melihat, bahwa anak itu elok rupanya dan mereka tidak takut akan perintah raja.”

— Ibrani 11:23

Pada masa itu, Firaun mengeluarkan perintah kejam untuk membunuh semua bayi laki-laki Ibrani yang baru lahir (Keluaran 1:15-22). Namun, orang tua Musa (Amram dan Yokebed) bertindak "karena iman." Mereka melihat bahwa Musa adalah anak yang "elok rupanya" (secara rohani, ia memiliki takdir khusus dari Tuhan) dan mereka tidak takut akan perintah raja. Mereka percaya bahwa hidup anak mereka lebih berharga di mata Tuhan daripada di mata Firaun.

Iman mereka mendorong mereka untuk mengambil risiko besar demi melindungi anak mereka, percaya bahwa Tuhan memiliki rencana bagi Musa. Tindakan iman mereka menyelamatkan Musa dan pada akhirnya memimpin kepada pembebasan Israel.

B. Pilihan Iman Musa (Ibrani 11:24-26)

“Karena iman maka Musa, setelah dewasa, menolak disebut anak puteri Firaun, karena ia lebih suka menderita sengsara dengan umat Allah dari pada untuk sementara menikmati kesenangan dari dosa. Ia menganggap penghinaan karena Kristus sebagai kekayaan yang lebih besar dari pada semua harta Mesir, sebab pandangannya tertuju kepada upah.”

— Ibrani 11:24-26

Ini adalah salah satu pilihan iman terbesar dalam Alkitab. Musa dibesarkan di istana Firaun, dengan semua kemewahan, pendidikan, dan kekuasaan yang menyertainya. Namun, "setelah dewasa," ia membuat keputusan yang mengubah hidup: ia menolak identitas Mesirnya dan memilih untuk mengidentifikasikan diri dengan umat Allah yang tertindas.

Mengapa? Karena ia "lebih suka menderita sengsara dengan umat Allah dari pada untuk sementara menikmati kesenangan dari dosa." Ia memiliki perspektif yang kekal. Ia tahu bahwa kesenangan dosa bersifat sementara, sedangkan penderitaan karena Tuhan akan menghasilkan upah yang kekal. Ia menganggap "penghinaan karena Kristus" (yaitu, karena menjadi bagian dari umat Allah yang diurapi/janji Mesias) lebih berharga dari semua harta Mesir. Pandangannya tertuju pada upah yang dijanjikan Tuhan.

Iman Musa adalah iman yang membuat pilihan moral dan spiritual yang sulit, yang mendahulukan Tuhan dan umat-Nya di atas kenyamanan dan kekayaan duniawi.

C. Iman dalam Keberanian dan Ketaatan (Ibrani 11:27-29)

“Karena iman maka ia meninggalkan Mesir tanpa takut akan murka raja. Ia bertahan seolah-olah ia melihat apa yang tidak kelihatan. Karena iman ia mengadakan Paskah dan menaburkan darah, supaya Pembinasa anak-anak sulung jangan menyentuh mereka. Karena iman mereka telah melintasi Laut Merah sama seperti melintasi tanah kering, sedangkan orang-orang Mesir tenggelam ketika mencobanya.”

— Ibrani 11:27-29

Musa memimpin Israel keluar dari Mesir, meskipun Firaun sangat murka. Keberaniannya datang dari iman. Ia "bertahan seolah-olah ia melihat apa yang tidak kelihatan." Meskipun ia tidak melihat Tuhan secara fisik memimpin, ia percaya pada keberadaan dan tuntunan-Nya. Ini adalah iman yang memberikan keberanian untuk menghadapi kekuatan duniawi yang besar.

Iman Musa juga terlihat dalam ketaatannya untuk mengadakan Paskah sesuai perintah Tuhan, termasuk menaburkan darah pada ambang pintu. Tindakan ketaatan ini menyelamatkan anak-anak sulung Israel dari malaikat maut. Dan puncaknya adalah melintasi Laut Merah. Ketika Israel terdesak antara laut dan pasukan Firaun, Musa mengangkat tongkatnya dan laut terbelah. Mereka melintasi laut di tanah kering, suatu mukjizat yang hanya mungkin terjadi melalui iman yang teguh pada kuasa Tuhan.

Dari Musa, kita belajar bahwa iman sejati adalah iman yang berani, taat, dan memercayai Tuhan untuk melakukan hal-hal yang melampaui pemahaman dan kemampuan manusia.

VI. Iman Para Hakim, Nabi, dan Rakyat Israel (Ibrani 11:30-38)

Setelah Musa, penulis dengan cepat menyebutkan serangkaian tokoh dan peristiwa lain, menunjukkan bahwa iman bukanlah fenomena yang terisolasi, melainkan benang merah yang mengikat sejarah keselamatan.

A. Iman dalam Kemenangan atas Kota dan Bangsa (Ibrani 11:30-31)

“Karena iman maka tembok-tembok Yerikho runtuh, setelah dikelilingi tujuh hari lamanya. Karena iman Rahab, perempuan sundal itu, tidak turut binasa bersama-sama dengan orang-orang durhaka, karena ia telah menyambut pengintai-pengintai itu dengan baik.”

— Ibrani 11:30-31

Runtuhnya tembok Yerikho (Yosua 6) adalah contoh iman kolektif yang luar biasa. Tentara Israel tidak menyerang secara militer; mereka hanya mengelilingi kota dan berseru kepada Tuhan. Ini adalah strategi yang sama sekali tidak konvensional, yang hanya masuk akal jika didasarkan pada iman bahwa Tuhan akan bertindak. Tuhan menghormati iman mereka dan melakukan mukjizat.

Kemudian ada Rahab, seorang perempuan non-Israel, seorang pelacur, yang menunjukkan iman yang luar biasa (Yosua 2). Ia percaya kepada Allah Israel sebagai satu-satunya Allah yang benar dan menyembunyikan mata-mata Israel, meskipun itu menempatkan hidupnya dalam bahaya besar. Imannya menyelamatkan dia dan keluarganya dari kehancuran. Ini menunjukkan bahwa iman tidak mengenal batas sosial, etnis, atau moral masa lalu.

B. Iman dalam Kemenangan dan Ketahanan (Ibrani 11:32-35a)

“Dan apakah lagi yang harus kusebut? Sebab aku akan kekurangan waktu, apabila aku menceriterakan tentang Gideon, Barak, Simson, Yefta, Daud dan Samuel dan para nabi, yang karena iman telah menaklukkan kerajaan-kerajaan, mengamalkan kebenaran, memperoleh apa yang dijanjikan, menutup mulut singa, memadamkan api yang dahsyat, luput dari mata pedang, dari kelemahan menjadi kuat, gagah perkasa dalam peperangan dan mengalahkan tentara asing. Ibu-ibu menerima kembali orang-orangnya yang telah mati, sebab dibangkitkan.”

— Ibrani 11:32-35a

Penulis dengan cepat mendaftar serangkaian tokoh dan pencapaian mereka. Ini adalah "rol iman" yang luar biasa:

Mereka semua, "karena iman," melakukan hal-hal luar biasa: menaklukkan kerajaan, mengamalkan kebenaran, memperoleh janji-janji Tuhan (sebagian), menutup mulut singa (Daniel), memadamkan api yang dahsyat (Sadrakh, Mesakh, Abednego), luput dari mata pedang, dari kelemahan menjadi kuat. Bahkan, beberapa ibu menerima kembali anak-anak mereka yang telah mati karena iman, seperti janda di Sarfat (1 Raja-raja 17) dan perempuan Sunem (2 Raja-raja 4).

Ini adalah bukti bahwa iman memberikan kekuatan dan keberanian yang melampaui batas kemampuan manusia, memampukan orang untuk menghadapi bahaya terbesar dan melihat mukjizat Tuhan.

C. Iman dalam Penderitaan dan Pengorbanan (Ibrani 11:35b-38)

“Tetapi orang-orang lain membiarkan dirinya disiksa dan tidak mau menerima pembebasan, supaya mereka beroleh kebangkitan yang lebih baik. Ada pula yang diejek dan didera, bahkan diikat dan dipenjarakan. Mereka dilempari, digergaji, dibunuh dengan mata pedang; mereka mengembara dengan pakaian kulit domba dan kulit kambing dengan kekurangan, kesesakan dan penganiayaan. Dunia tidak layak bagi mereka. Mereka mengembara di padang gurun dan di pegunungan, dalam gua-gua dan celah-celah gunung.”

— Ibrani 11:35b-38

Bagian ini adalah kontras yang tajam. Iman tidak selalu berarti kemenangan fisik atau pembebasan dari penderitaan. Bagi banyak pahlawan iman, iman berarti bertahan dalam penderitaan dan bahkan kematian.

Iman ini adalah iman yang tahan uji, iman yang melihat melampaui kehidupan ini dan berpegang pada janji kebangkitan dan upah kekal. Dunia "tidak layak bagi mereka" karena nilai-nilai mereka jauh melampaui nilai-nilai duniawi. Mereka adalah saksi-saksi yang paling kuat bahwa iman sejati tidak bergantung pada kenyamanan hidup ini, melainkan pada kebenaran dan kesetiaan Tuhan.

VII. Kesimpulan: Awan Saksi dan Panggilan untuk Iman (Ibrani 11:39-12:3)

A. Janji yang Lebih Baik (Ibrani 11:39-40)

“Dan mereka semua tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, sekalipun iman mereka telah memberikan kepada mereka suatu kesaksian yang baik tentang diri mereka, karena Allah telah menyediakan sesuatu yang lebih baik bagi kita, supaya mereka tanpa kita tidak dapat mencapai kesempurnaan.”

— Ibrani 11:39-40

Ironisnya, semua pahlawan iman ini, yang hidup dengan iman yang luar biasa, tidak melihat penggenapan penuh dari semua janji Tuhan. Mereka menanti-nantikan Mesias yang akan datang, keselamatan yang dibawa oleh-Nya. Namun, Alkitab mengatakan, "Allah telah menyediakan sesuatu yang lebih baik bagi kita." Apa itu?

Sesuatu yang lebih baik itu adalah kedatangan Yesus Kristus, kematian-Nya di kayu salib, kebangkitan-Nya, dan penyediaan keselamatan yang sempurna bagi kita. Kita hidup di era perjanjian baru, di mana janji-janji yang mereka nantikan kini telah digenapi dalam Kristus. Tanpa kedatangan Kristus dan tanpa kita yang menerima-Nya, mereka tidak dapat mencapai kesempurnaan. Mereka menunjuk pada Dia, dan kita adalah bagian dari penggenapan janji tersebut. Ini menghubungkan iman Perjanjian Lama dengan iman Kristen di Perjanjian Baru.

B. Berlomba dengan Tekun (Ibrani 12:1-3)

“Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita, dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.”

— Ibrani 12:1-3

Setelah melihat "awan saksi" ini, penulis memberikan aplikasi praktis yang kuat bagi kita. Karena kita dikelilingi oleh begitu banyak teladan iman, kita dipanggil untuk:

  1. Menanggalkan semua beban dan dosa: Hal-hal yang menghambat iman kita dan memperlambat langkah kita dalam perlombaan rohani. Dosa adalah penghalang utama, tetapi beban juga bisa berupa kekhawatiran, materialisme, atau keterikatan duniawi yang menyedot energi rohani kita.
  2. Berlomba dengan tekun: Hidup Kristen adalah sebuah perlombaan yang membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Ini bukan sprint, melainkan maraton. Kita tidak boleh menyerah ketika menghadapi kesulitan.
  3. Dengan mata yang tertuju kepada Yesus: Yesus adalah teladan iman yang sempurna. Dia adalah "pemimpin" (pelopor) dan "penyempurna" iman kita. Dia sendiri hidup dengan iman yang sempurna, melewati penderitaan salib demi sukacita yang menanti-Nya. Jika kita ingin belajar bagaimana hidup beriman, kita harus memandang kepada Yesus. Dia adalah contoh utama bagaimana iman harus bekerja dalam hidup kita, bahkan sampai kepada kematian.

Yesus sendiri adalah iman yang menjadi daging. Dia adalah puncak dari semua yang para pahlawan iman Perjanjian Lama nantikan. Imannya memungkinkan Dia untuk menanggung kehinaan salib, mengetahui upah yang menanti-Nya di sebelah kanan takhta Allah.

VIII. Aplikasi Praktis: Bagaimana Kita Hidup Beriman Hari Ini?

Setelah meninjau begitu banyak contoh iman, pertanyaan pentingnya adalah: bagaimana kita menerapkan kebenaran ini dalam kehidupan kita sehari-hari?

A. Memahami Bahwa Iman Adalah Karunia dan Tanggung Jawab

Alkitab mengajarkan bahwa iman adalah karunia dari Allah (Efesus 2:8-9). Kita tidak dapat menghasilkan iman sejati dengan kekuatan kita sendiri. Namun, karunia ini juga menuntut respons. Kita bertanggung jawab untuk menumbuhkan dan menggunakan iman yang telah diberikan kepada kita.

B. Iman dalam Ketaatan Sehari-hari

Iman sejati selalu menghasilkan ketaatan. Sama seperti Nuh yang membangun bahtera atau Abraham yang pergi ke tanah yang tidak dikenalnya, iman kita harus terwujud dalam tindakan. Ini bukan tentang melakukan perbuatan baik untuk mendapatkan keselamatan, tetapi perbuatan baik sebagai bukti dari keselamatan yang telah kita terima melalui iman.

C. Iman dalam Menghadapi Ketidakpastian dan Penderitaan

Hidup ini tidak selalu mudah. Kita akan menghadapi tantangan, keraguan, dan mungkin penderitaan. Di sinilah iman diuji dan dimurnikan.

D. Iman yang Memiliki Perspektif Kekal

Abraham menantikan kota yang kekal, dan para pahlawan iman yang menderita memilih untuk tidak menerima pembebasan demi kebangkitan yang lebih baik. Iman sejati selalu melihat melampaui kehidupan ini. Ini memberi kita kekuatan untuk membuat pilihan-pilihan yang sulit di dunia ini, mengetahui bahwa ada upah yang kekal menanti.

Doa dan Penyerahan

Tangan yang terangkat dalam doa dan penyerahan, fondasi iman.

Penutup: Iman yang Menggerakkan Gunung

Kita telah berjalan melalui "galeri iman" yang luar biasa dari Ibrani 11. Dari Abel hingga para martir, dari Penciptaan hingga penantian Mesias, kita melihat bahwa iman adalah benang emas yang mengikat seluruh rencana keselamatan Tuhan. Iman bukan sekadar konsep abstrak; iman adalah realitas yang mengubah hidup, yang memampukan manusia untuk berjalan bersama Allah, menaati perintah-Nya, dan bertahan dalam segala kesulitan.

Ingatlah bahwa kita tidak sendirian dalam perlombaan iman ini. Kita dikelilingi oleh "awan saksi" yang besar, yang telah menjalani hidup mereka dengan iman dan kini bersorak untuk kita. Dan yang terpenting, kita memiliki Yesus Kristus, "pemimpin dan penyempurna iman kita," yang adalah teladan sempurna dari iman. Dialah yang memungkinkan kita untuk memiliki iman sejati, dan Dialah yang akan membawa iman kita kepada kesempurnaan.

Maka, marilah kita hari ini memperbarui komitmen kita untuk hidup dengan iman yang lebih dalam. Marilah kita menanggalkan segala beban dan dosa yang menghalangi. Marilah kita memandang kepada Yesus dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang telah ditetapkan bagi kita. Semoga iman kita bukan hanya sebuah kepercayaan di pikiran, tetapi sebuah realitas yang hidup, aktif, dan transformatif, yang memuliakan Allah dalam setiap aspek kehidupan kita. Amin.