Khotbah: Memberi dengan Sukacita – Menabur untuk Menuai Berkat Ilahi
Refleksi Mendalam atas 2 Korintus 9:6-15
Dalam perjalanan iman kita, ada sedikit ajaran yang begitu kuat dan transformatif seperti prinsip memberi. Bukan sekadar sebuah kewajiban agama, tetapi sebuah tindakan spiritual yang mendalam, mencerminkan hati Allah sendiri. Rasul Paulus dalam suratnya yang kedua kepada jemaat di Korintus, khususnya pada pasal 9 ayat 6 sampai 15, memberikan sebuah khotbah yang abadi tentang hakekat, motivasi, dan konsekuensi dari memberi. Ini adalah bagian Alkitab yang kaya akan kebenaran, menantang persepsi kita tentang harta, keamanan, dan kedaulatan Tuhan.
Paulus tidak hanya berbicara tentang pengumpulan dana; ia berbicara tentang transformasi hati, tentang sebuah kehidupan yang didorong oleh kasih karunia, dan tentang sebuah komunitas yang diperkaya oleh kemurahan hati. Mari kita selami lebih dalam setiap aspek dari perikop yang luar biasa ini, membiarkan terang Firman Tuhan membimbing kita menuju pemahaman yang lebih kaya akan panggilan kita untuk memberi.
2 Korintus 9:6-15
"Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit pula, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak pula. Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita. Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan untuk pelbagai kebajikan. Seperti ada tertulis: "Ia membagi-bagikan, ia memberikan kepada orang miskin; keadilan-Nya tetap untuk selama-lamanya." Ia yang menyediakan benih bagi penabur dan roti untuk dimakan, Ia juga yang akan menyediakan dan melipatgandakan benihmu itu dan menumbuhkan buah-buah kebenaranmu; kamu akan diperkaya dalam segala macam kemurahan hati, yang membangkitkan syukur kepada Allah oleh karena kami. Sebab pelayanan kasih yang kamu lakukan ini bukan hanya mencukupi keperluan-keperluan orang-orang kudus, tetapi juga melimpah dengan ucapan syukur kepada Allah. Dan oleh karena pelayanan ini, mereka memuliakan Allah atas ketaatan kamu dalam pengakuan akan Injil Kristus dan atas kemurahan hati kamu dalam membagi-bagikan segala sesuatu dengan mereka dan dengan semua orang. Dan dalam doa mereka bagi kamu, mereka menyatakan kerinduan mereka kepadamu oleh karena kasih karunia Allah yang melimpah atas kamu. Syukur kepada Allah karena karunia-Nya yang tak terkatakan!"
I. Konteks Surat dan Pentingnya Pemberian
Surat 2 Korintus ditulis Paulus untuk mengatasi berbagai masalah di antara jemaat Korintus, termasuk kritik terhadap kepemimpinannya dan tantangan terhadap otoritas kerasulannya. Namun, salah satu isu penting yang juga dibahas adalah pengumpulan persembahan untuk jemaat di Yerusalem yang miskin. Ini bukan sekadar permintaan dana, melainkan bagian integral dari teologi Paulus tentang kasih karunia dan persatuan tubuh Kristus.
Paulus telah menulis tentang topik ini di suratnya yang pertama (1 Korintus 16:1-4) dan juga di bagian awal surat kedua ini (2 Korintus 8). Ia menggunakan jemaat Makedonia sebagai teladan, yang meskipun dalam kemiskinan dan penderitaan, telah memberi dengan kelimpahan sukacita dan kemurahan hati yang luar biasa (2 Korintus 8:1-5). Motivasi mereka bukan paksaan, melainkan kasih karunia Allah yang melimpah atas mereka, yang mendorong mereka untuk menyerahkan diri pertama-tama kepada Tuhan, lalu kepada Paulus sesuai dengan kehendak Allah. Ini menunjukkan bahwa memberi adalah ekspresi dari iman dan penyerahan diri yang lebih dalam.
Pemberian, dalam pandangan Paulus, adalah sebuah ujian terhadap keaslian iman dan kasih. Ini bukan tentang seberapa banyak seseorang memberi, melainkan bagaimana dan mengapa mereka memberi. Pemberian adalah salah satu cara konkret di mana orang percaya dapat menunjukkan ketaatan mereka kepada Injil dan kasih mereka kepada sesama saudara seiman.
II. Prinsip Ilahi dalam Memberi: Hukum Tabur Tuai (Ayat 6)
Ayat 6 adalah fondasi dari seluruh perikop ini: "Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit pula, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak pula." Ini adalah sebuah prinsip universal yang diilhami oleh alam dan berlaku dalam banyak aspek kehidupan, baik fisik maupun rohani. Paulus menggunakannya di sini secara khusus dalam konteks pemberian finansial, tetapi implikasinya jauh lebih luas.
A. Analogi Pertanian
Analogi "tabur tuai" sangatlah gamblang. Seorang petani yang bijak tahu bahwa panennya akan sebanding dengan jumlah benih yang ia taburkan. Jika ia menabur sedikit, ia tidak bisa mengharapkan panen yang melimpah. Demikian pula, jika ia menabur dengan murah hati, ia dapat mengharapkan panen yang berlimpah. Ini adalah hukum yang tak terhindarkan dalam pertanian.
Dalam konteks rohani, prinsip ini bukan hanya tentang uang. Ini mencakup waktu, talenta, kasih, doa, pengampunan, dan kemurahan hati dalam segala bentuk. Apa pun yang kita "taburkan" – apakah itu keluhan atau pujian, kritik atau dorongan, kebencian atau kasih – pada akhirnya akan kita "tuai" dalam bentuk yang serupa.
B. Implikasi Rohani
Prinsip ini bukan ajaran tentang "memberi untuk mendapatkan," seolah-olah kita sedang berdagang dengan Tuhan. Sebaliknya, ini adalah ekspresi dari kebenaran bahwa Tuhan adalah sumber dari segala sesuatu, dan Dia menghormati kemurahan hati yang keluar dari iman dan ketaatan. Allah yang telah memberikan benih kepada penabur dan roti untuk dimakan, juga akan menyediakan dan melipatgandakan "benih" kita dalam pelayanan dan menumbuhkan "buah-buah kebenaran" kita (ayat 10).
Jadi, memberi dengan murah hati adalah tindakan iman yang mengatakan, "Tuhan, aku percaya bahwa Engkau adalah penyediaku. Aku percaya bahwa Engkau akan mencukupkan kebutuhanku, bahkan ketika aku memberi sebagian dari apa yang kumiliki." Ini bukan tentang membuat Tuhan berhutang kepada kita, melainkan tentang berpartisipasi dalam pekerjaan-Nya dengan cara yang mencerminkan karakter-Nya yang murah hati.
Orang yang menabur sedikit mungkin takut akan kekurangan. Mereka berpegang erat pada apa yang mereka miliki, percaya bahwa keselamatan mereka ada pada kekayaan mereka sendiri. Namun, orang yang menabur banyak, bahkan dari sedikit yang mereka miliki (seperti janda miskin di Markus 12:41-44), menunjukkan iman yang mendalam kepada Allah yang menyediakan. Mereka percaya bahwa Tuhan dapat mengambil sedikit dan melipatgandakannya menjadi banyak. Ini adalah undangan untuk mempercayai kedaulatan Tuhan atas keuangan dan kehidupan kita.
III. Hati Seorang Pemberi: Sukacita dan Kerelaan (Ayat 7)
Setelah menetapkan prinsip tabur tuai, Paulus beralih ke motivasi yang lebih penting: hati seorang pemberi. "Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita."
A. Bukan Karena Sedih Hati atau Paksaan
Pemberian yang sejati bukanlah hasil dari tekanan, rasa bersalah, atau kewajiban yang dingin. Allah tidak tertarik pada jumlah yang kita berikan jika itu diberikan dengan hati yang terpaksa atau tidak rela. Pemberian yang dipaksakan atau karena sedih hati mencerminkan ketidakpercayaan kepada Tuhan, atau kurangnya kasih kepada sesama. Ini menjadi sebuah ritual kosong tanpa makna rohani.
Dalam budaya kontemporer, seringkali ada tekanan sosial atau institusional untuk memberi, baik di gereja maupun di masyarakat umum. Paulus menantang kita untuk melampaui motivasi eksternal ini dan menyelami kedalaman hati kita sendiri. Apakah pemberian kita datang dari tempat sukarela, dari sebuah keinginan tulus untuk menghormati Tuhan dan melayani sesama?
B. Allah Mengasihi Orang yang Memberi dengan Sukacita (Hilaros Dotes)
Frasa "Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita" (Yunani: hilaros dotes) adalah salah satu ungkapan paling indah dalam Alkitab tentang pemberian. Kata hilaros adalah akar kata dari "hilarious" dalam bahasa Inggris, yang berarti sangat gembira, riang, atau ceria. Ini menggambarkan seseorang yang memberi bukan hanya dengan senang hati, tetapi dengan kegembiraan yang meluap, seolah-olah ia sedang merayakan sesuatu.
Mengapa Allah mengasihi pemberi yang sukacita? Karena pemberian seperti itu mencerminkan hati Allah sendiri. Allah adalah pemberi yang paling sukacita. Dia memberikan Putra-Nya yang tunggal (Yohanes 3:16) dengan sukacita yang tak terhingga, agar kita dapat memperoleh hidup yang kekal. Ketika kita memberi dengan sukacita, kita menjadi serupa dengan Dia. Pemberian yang sukacita juga menunjukkan:
- Iman: Kepercayaan bahwa Allah akan menyediakan segala kebutuhan kita, bahkan jika kita "mengosongkan" diri kita sendiri untuk orang lain.
- Kasih: Kasih yang tulus kepada Tuhan dan kepada sesama, yang mendorong kita untuk berkorban demi kesejahteraan mereka.
- Syukur: Pengakuan bahwa segala yang kita miliki adalah karunia dari Tuhan, dan memberi adalah cara kita mengembalikan sebagian kepada-Nya dengan hati yang penuh terima kasih.
- Kebebasan: Kebebasan dari rasa tamak dan keterikatan pada harta duniawi, yang membebaskan kita untuk hidup dengan murah hati.
Pemberian dengan sukacita bukanlah tentang ukuran persembahan, tetapi tentang ukuran hati yang memberi. Sebuah persembahan kecil yang diberikan dengan sukacita jauh lebih berharga di mata Tuhan daripada persembahan besar yang diberikan dengan terpaksa atau untuk pamer.
IV. Jaminan Allah yang Mencukupi dan Melimpah (Ayat 8-10)
Setelah membahas prinsip dan hati pemberi, Paulus mengalihkan perhatian kita kepada sumber kekuatan dan penyediaan terbesar: Allah sendiri. Ini adalah bagian yang memberikan jaminan yang kuat bagi mereka yang bersedia memberi dengan sukacita.
A. Kasih Karunia Allah yang Melimpah (Ayat 8)
"Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan untuk pelbagai kebajikan." Ini adalah janji yang luar biasa! Kata "sanggup" (Yunani: dynatos) menekankan kuasa dan kemampuan Allah yang tak terbatas. "Melimpahkan segala kasih karunia" (Yunani: pasin charin perisseuō) berarti Allah dapat memberikan lebih dari cukup, dengan kelimpahan yang melebihi apa yang kita butuhkan atau harapkan.
Tujuan dari kelimpahan kasih karunia ini ganda:
- Senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu (panta autarkei): Kita akan memiliki "kemandirian penuh" atau "kecukupan diri" yang disediakan oleh Allah. Ini bukan janji kekayaan berlebihan, tetapi jaminan bahwa kita akan selalu memiliki apa yang kita butuhkan untuk hidup dan untuk melayani Tuhan. Ini menghilangkan rasa takut akan kekurangan yang seringkali menghambat kemurahan hati.
- Malah berkelebihan untuk pelbagai kebajikan (eis pan ergon agathon perisseuēte): Allah tidak hanya menjamin kecukupan kita, tetapi juga kelimpahan agar kita dapat berpartisipasi dalam setiap pekerjaan baik. Kelimpahan ini bukan untuk penimbunan pribadi atau kemewahan egois, tetapi untuk memperlengkapi kita dalam melakukan kehendak Allah dan melayani sesama. Ini menegaskan bahwa tujuan utama berkat Tuhan adalah agar kita menjadi saluran berkat bagi orang lain.
B. Allah sebagai Penyedia dan Penabur Keadilan (Ayat 9-10)
Paulus mengutip Mazmur 112:9 untuk menegaskan kebenaran ini: "Seperti ada tertulis: "Ia membagi-bagikan, ia memberikan kepada orang miskin; keadilan-Nya tetap untuk selama-lamanya."" Kutipan ini menunjukkan bahwa kemurahan hati dan keadilan adalah sifat Allah yang kekal. Allah adalah Pemberi yang murah hati, yang peduli pada orang miskin dan yang menegakkan keadilan. Ketika kita memberi, kita meniru karakter-Nya.
Ayat 10 melanjutkan dengan penegasan yang kuat: "Ia yang menyediakan benih bagi penabur dan roti untuk dimakan, Ia juga yang akan menyediakan dan melipatgandakan benihmu itu dan menumbuhkan buah-buah kebenaranmu."
- Penyedia benih dan roti: Allah adalah sumber dari segala kebutuhan dasar kita. Dialah yang memberi kita kemampuan untuk bekerja dan menghasilkan, dan Dialah yang menyediakan makanan untuk kita.
- Melipatgandakan benihmu: Ini adalah janji bahwa Allah tidak hanya akan mengembalikan apa yang kita taburkan, tetapi melipatgandakannya. "Benih" di sini adalah apa yang kita berikan, baik itu uang, waktu, talenta. Allah akan mengambilnya dan menggunakannya untuk tujuan-Nya, menghasilkan pertumbuhan yang melampaui harapan kita.
- Menumbuhkan buah-buah kebenaranmu: Hasil akhir dari proses ini bukanlah kekayaan pribadi semata, melainkan "buah-buah kebenaran." Ini bisa berarti karakter yang semakin saleh, dampak positif pada orang lain, atau berkat rohani dan materi yang memungkinkan kita terus melakukan pekerjaan baik. Ini bukan tentang keuntungan pribadi, tetapi tentang kemuliaan Allah dan pertumbuhan Kerajaan-Nya.
V. Kekayaan Sejati dan Tujuannya (Ayat 11)
Paulus kemudian menyimpulkan dampak dari penyediaan Allah: "kamu akan diperkaya dalam segala macam kemurahan hati, yang membangkitkan syukur kepada Allah oleh karena kami."
A. Diperkaya untuk Kemurahan Hati
Ini adalah poin krusial. Allah tidak memperkaya kita agar kita bisa menimbun kekayaan atau hidup mewah untuk diri sendiri. Tujuan dari "kekayaan" (Yunani: ploutizesthai) yang disediakan Allah adalah agar kita dapat melimpah dalam "segala macam kemurahan hati" (Yunani: eis pasan haplotēta). Kata haplotēs berarti "kedermawanan," "kemurahan hati yang tulus," atau "kemurnian motivasi." Ini adalah hati yang tidak tamak, yang murni dalam niatnya untuk memberi.
Jadi, kita diberkati bukan hanya untuk menjadi kaya secara materi, tetapi untuk menjadi kaya dalam kemampuan dan keinginan kita untuk memberi. Kekayaan sejati di mata Tuhan diukur bukan dari seberapa banyak yang kita miliki, melainkan dari seberapa murah hati kita dengan apa yang kita miliki. Berkat Tuhan ditujukan untuk memfasilitasi kemurahan hati kita, menjadikannya sebuah siklus berkat yang terus-menerus mengalir.
B. Membangkitkan Syukur kepada Allah
Dampak lain dari kemurahan hati yang diperkaya adalah bahwa hal itu "membangkitkan syukur kepada Allah oleh karena kami." Ketika jemaat Korintus memberi dengan murah hati, dan ketika mereka menerima berkat dari Allah untuk melakukannya, itu bukan hanya menguntungkan penerima persembahan, tetapi juga menghasilkan gelombang syukur yang naik kepada Allah.
Pemberian kita menjadi sebuah kesaksian yang kuat. Ketika orang lain melihat kemurahan hati kita, dan ketika mereka menjadi penerima dari kemurahan hati itu, mereka tidak hanya bersyukur kepada kita, tetapi yang lebih penting, mereka bersyukur kepada Allah yang adalah sumber dari segala kemurahan. Ini mengangkat seluruh tindakan pemberian dari sekadar transaksi finansial menjadi sebuah tindakan penyembahan dan pujian kepada Tuhan.
VI. Dampak Ganda dari Pemberian: Berkat bagi Sesama dan Kemuliaan Bagi Allah (Ayat 12-14)
Paulus kemudian menjelaskan dampak yang lebih luas dari pelayanan pemberian ini, menunjukkan bahwa berkatnya menyentuh banyak aspek kehidupan dan membawa kemuliaan bagi Allah.
A. Memenuhi Kebutuhan dan Melimpahnya Syukur (Ayat 12)
"Sebab pelayanan kasih yang kamu lakukan ini bukan hanya mencukupi keperluan-keperluan orang-orang kudus, tetapi juga melimpah dengan ucapan syukur kepada Allah."
Dampak pertama dan paling langsung dari pemberian adalah praktis: mencukupi kebutuhan material "orang-orang kudus" di Yerusalem. Ini adalah demonstrasi kasih yang nyata. Iman yang tidak disertai perbuatan, termasuk memberi kepada yang membutuhkan, adalah iman yang mati (Yakobus 2:14-17).
Namun, Paulus menekankan bahwa dampak ini melampaui sekadar pemenuhan kebutuhan. Ini "melimpah dengan ucapan syukur kepada Allah." Ini berarti bahwa bukan hanya mereka yang menerima persembahan yang bersyukur, tetapi seluruh komunitas orang percaya—termasuk Paulus dan timnya—akan mengangkat syukur kepada Allah atas kemurahan hati jemaat Korintus. Pemberian menjadi katalisator bagi penyembahan kolektif.
B. Memuliakan Allah dan Ketaatan pada Injil (Ayat 13)
"Dan oleh karena pelayanan ini, mereka memuliakan Allah atas ketaatan kamu dalam pengakuan akan Injil Kristus dan atas kemurahan hati kamu dalam membagi-bagikan segala sesuatu dengan mereka dan dengan semua orang."
Ini adalah dampak spiritual yang paling mendalam. Melalui pemberian jemaat Korintus, orang-orang akan "memuliakan Allah." Mengapa? Karena pemberian itu merupakan bukti yang terlihat dari:
- Ketaatan dalam pengakuan akan Injil Kristus: Kemurahan hati mereka adalah demonstrasi konkret bahwa mereka benar-benar telah menerima dan hidup sesuai dengan Injil. Injil Kristus yang adalah kabar baik tentang kasih karunia dan pemberian diri Allah yang terbesar, mendorong umat-Nya untuk hidup dengan cara yang sama. Ketika mereka memberi, itu menjadi sebuah "pengakuan" (Yunani: homologia) yang kuat atas iman mereka kepada Kristus.
- Kemurahan hati dalam membagi-bagikan: Ini adalah bukti dari hati yang diubahkan. Mereka tidak hanya memberi kepada jemaat di Yerusalem, tetapi juga "dengan semua orang," menunjukkan kemurahan hati yang luas dan inklusif. Pemberian mereka bukan hanya tugas, tetapi gaya hidup yang didorong oleh kasih Kristus.
Dengan demikian, pemberian kita menjadi sebuah "khotbah" tanpa kata-kata, sebuah kesaksian yang hidup tentang kuasa Injil yang mengubah hati dari keserakahan menjadi kemurahan hati.
C. Persekutuan Doa dan Kasih Karunia (Ayat 14)
"Dan dalam doa mereka bagi kamu, mereka menyatakan kerinduan mereka kepadamu oleh karena kasih karunia Allah yang melimpah atas kamu."
Dampak selanjutnya adalah terjalinnya persekutuan rohani yang kuat. Orang-orang kudus di Yerusalem, yang menerima bantuan dari Korintus, akan berdoa untuk mereka. Doa ini bukan hanya ucapan terima kasih, tetapi juga ekspresi "kerinduan" (Yunani: epipothia) dan kasih yang mendalam. Mereka akan merindukan hubungan yang lebih dekat dengan jemaat Korintus, karena mereka telah melihat bukti kasih karunia Allah yang melimpah dalam kehidupan mereka.
Pemberian, dengan demikian, melampaui batas geografis dan budaya, menciptakan ikatan persaudaraan yang kuat dalam tubuh Kristus. Ini adalah salah satu cara Allah menyatukan umat-Nya, melewati perbedaan, melalui tindakan kasih dan kemurahan hati.
VII. Karunia Allah yang Tak Terkatakan (Ayat 15)
Paulus menyimpulkan seluruh bagian ini dengan sebuah seruan pujian yang penuh sukacita: "Syukur kepada Allah karena karunia-Nya yang tak terkatakan!"
Ayat terakhir ini adalah puncak dari seluruh argumen Paulus tentang memberi. Setelah berbicara tentang pemberian jemaat Korintus, balasan Allah, dan dampaknya, Paulus mengangkat pandangannya lebih tinggi lagi. Ia mengingatkan kita bahwa semua kemurahan hati manusia, semua berkat yang kita terima, pada akhirnya berakar pada satu "karunia-Nya yang tak terkatakan" (Yunani: anekdiegētō dōrea).
A. Sumber dari Segala Pemberian
Apakah "karunia yang tak terkatakan" ini? Banyak penafsir setuju bahwa ini merujuk kepada Yesus Kristus dan keselamatan yang Dia tawarkan. Semua prinsip tentang memberi, semua janji tentang penyediaan Allah, semua motivasi untuk kemurahan hati, bermuara pada karunia Allah yang terbesar: Putra-Nya sendiri. Allah telah memberi kita karunia yang tak terhingga, yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, yang tidak dapat sepenuhnya dipahami, dan yang tidak dapat kita balas.
Karunia Kristus adalah dasar mengapa kita dapat memberi dengan sukacita dan murah hati. Kita telah menerima begitu banyak, bahkan ketika kita tidak layak, sehingga respons alami kita adalah memberi kembali, bukan untuk mendapatkan, melainkan sebagai ungkapan syukur atas anugerah yang telah kita terima. Jika Allah telah memberi kita Anak-Nya, bagaimana mungkin Dia tidak memberikan segala sesuatu yang lain kepada kita (Roma 8:32)?
B. Motivasi Sejati Memberi
Pemberian kita bukanlah cara untuk mendapatkan kasih atau berkat Allah, melainkan respons atas kasih dan berkat yang sudah Dia berikan kepada kita. Karena Dia telah memberi kita karunia yang tak terkatakan, kita sekarang termotivasi untuk memberi kepada orang lain, bukan karena kewajiban, tetapi karena kebahagiaan yang meluap dari hati yang telah diubahkan.
Ayat ini mengalihkan fokus dari apa yang kita berikan atau apa yang kita terima, kepada siapa yang memberi: Allah sendiri. Ini adalah pengingat bahwa di balik setiap tindakan kemurahan hati, di balik setiap berkat yang diterima, ada Tuhan yang murah hati, sumber dari segala kebaikan.
Refleksi dan Aplikasi
Pasal 2 Korintus 9:6-15 adalah sebuah panggilan untuk transformasi dalam cara kita memandang pemberian. Ini bukan sekadar tentang persembahan mingguan, tetapi tentang seluruh gaya hidup kita sebagai orang percaya. Beberapa poin aplikasi penting:
- Ubahlah Perspektif Anda tentang Harta: Kenali bahwa segala yang Anda miliki adalah karunia dari Tuhan. Kita adalah penatalayan, bukan pemilik mutlak. Pandangan ini akan membebaskan kita dari cengkeraman keserakahan dan ketakutan akan kekurangan.
- Prioritaskan Hati yang Sukacita: Fokuslah pada motivasi Anda saat memberi. Berdoa memohon kepada Tuhan agar Dia memberikan hati yang sukacita, rela, dan penuh kasih. Jika Anda memberi dengan terpaksa, mintalah Tuhan untuk mengubah hati Anda.
- Percayalah pada Penyediaan Allah: Jangan biarkan rasa takut akan kekurangan menghalangi Anda untuk memberi. Percayalah pada janji Allah bahwa Dia sanggup melimpahkan segala kasih karunia, mencukupkan Anda di dalam segala sesuatu, dan bahkan memberi Anda kelebihan untuk setiap pekerjaan baik.
- Jadilah Saluran Berkat: Sadari bahwa berkat yang Anda terima bukan hanya untuk diri Anda sendiri, tetapi agar Anda dapat menjadi saluran berkat bagi orang lain, khususnya mereka yang membutuhkan.
- Arahkan Segala Puji kepada Allah: Ingatlah bahwa kemurahan hati Anda akan memuliakan Allah dan membangkitkan syukur dalam hati banyak orang. Ini adalah kesaksian yang kuat tentang kuasa Injil.
- Renungkan Karunia Kristus: Setiap kali Anda memberi, renungkanlah karunia Allah yang tak terkatakan, yaitu Yesus Kristus. Kasih karunia yang kita terima melalui Dia adalah motivasi tertinggi dan terbesar untuk hidup dalam kemurahan hati.
Khotbah Paulus di 2 Korintus 9:6-15 adalah sebuah undangan untuk masuk ke dalam siklus berkat ilahi: kita memberi dengan sukacita dan kerelaan, Allah memberkati kita dengan kelimpahan yang cukup untuk segala pekerjaan baik, yang kemudian memicu lebih banyak pemberian, menghasilkan syukur dan pujian kepada Allah, serta memperkuat persekutuan dalam tubuh Kristus. Pada akhirnya, semua ini menunjuk kembali kepada Karunia Allah yang paling agung dan tak terlukiskan, Yesus Kristus, yang adalah sumber dan tujuan dari segala sesuatu.
Kesimpulan
Pemberian adalah salah satu ekspresi paling mendalam dari iman Kristen. Ini bukan tentang seberapa banyak kita memberi, tetapi tentang hati yang memberi. Pemberian yang didasari oleh sukacita, kerelaan, dan kepercayaan penuh pada penyediaan Allah akan selalu diberkati dan akan selalu memuliakan Dia. Paulus menunjukkan bahwa dengan memberi secara murah hati, kita tidak hanya memenuhi kebutuhan praktis orang lain, tetapi juga membangun persekutuan, menunjukkan ketaatan kita kepada Injil, dan yang terpenting, membawa kemuliaan kepada Allah.
Mari kita menanggapi panggilan ini untuk menjadi orang-orang yang murah hati, bukan karena paksaan, tetapi karena sukacita yang meluap-luap atas karunia Kristus yang tak terkatakan dalam hidup kita. Kiranya kita menjadi penabur yang berani dan sukacita, sehingga Allah dapat melipatgandakan benih kita dan menumbuhkan buah-buah kebenaran yang melimpah, untuk kemuliaan nama-Nya.