Surat Petrus yang kedua, khususnya pasal terakhir, adalah sebuah karya yang kuat dan penuh peringatan, sebuah seruan dari seorang rasul yang telah melihat banyak hal dan kini berada di penghujung hidupnya. Dalam surat ini, Petrus tidak hanya mengingatkan jemaat tentang kebenaran yang fundamental, tetapi juga mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan masa depan, khususnya munculnya pengajar-pengajar palsu dan penyesat yang akan berusaha menggoyahkan iman mereka. Di tengah-tengah proklamasi tentang kedatangan Tuhan yang kedua kali dan pengharapan akan langit dan bumi yang baru, Petrus mengakhiri suratnya dengan dua nasihat krusial yang merangkum esensi kehidupan Kristen sejati: waspada dan bertumbuh. Kedua perintah ini, yang ditemukan dalam 2 Petrus 3:17-18, bukan sekadar anjuran, melainkan mandat ilahi bagi setiap orang percaya.
2 Petrus 3:17-18 (TB)
17 Sebab itu, saudara-saudara yang kekasih, kamu yang telah mengetahui hal ini sebelumnya, waspadalah, supaya kamu jangan terseret ke dalam kesesatan orang-orang yang tidak mengenal hukum, dan jangan sampai kamu kehilangan pegangan yang teguh.
18 Tetapi bertumbuhlah dalam kasih karunia dan dalam pengenalan akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus. Bagi-Nyalah kemuliaan, sekarang dan sampai selama-lamanya. Amin.
Ayat-ayat ini bukan hanya penutup yang indah, melainkan juga puncak dari seluruh argumen Petrus. Setelah membahas tentang janji kedatangan Tuhan, kehancuran dunia lama, dan penciptaan langit dan bumi yang baru, Petrus mengarahkan perhatian pada respons praktis yang harus diambil oleh orang percaya. Ia menegaskan bahwa pengetahuan akan masa depan tidak boleh membuat kita pasif, melainkan harus memicu respons aktif dalam hidup kita. Mari kita telusuri lebih dalam setiap aspek dari pesan vital ini.
Petrus memulai dengan frasa "Sebab itu" (oun dalam bahasa Yunani), yang mengaitkan nasihatnya dengan semua yang telah dia bahas sebelumnya. Ini adalah jembatan dari teologi ke praksis. Apa yang telah mereka ketahui? Mereka telah mengetahui tentang kedatangan Tuhan yang pasti, kehancuran dunia lama, dan penciptaan langit dan bumi yang baru. Mereka juga telah diperingatkan tentang pengajar-pengajar palsu dan pengejek yang akan muncul di akhir zaman, yang meragukan janji kedatangan Kristus dan menyebarkan ajaran-ajaran sesat yang memuaskan hawa nafsu duniawi.
Pengetahuan ini, kata Petrus, membawa tanggung jawab. Mereka bukan lagi orang-orang yang tidak tahu apa-apa; mereka telah diberitahu, diinstruksikan, dan diperingatkan. Ungkapan "saudara-saudara yang kekasih" (agapētoi) menunjukkan kasih dan perhatian mendalam dari Petrus. Ini bukan teguran dari seorang hakim yang dingin, melainkan seruan dari seorang ayah rohani yang peduli. Keakraban ini membuat peringatan yang akan datang semakin menusuk hati.
Dalam konteks modern, kita juga adalah "mereka yang telah mengetahui hal ini sebelumnya." Melalui Alkitab, kita memiliki akses ke kebenaran yang sama tentang kedatangan Kristus, natur dosa, dan tipu daya dunia. Kita hidup di zaman di mana informasi—baik yang benar maupun yang sesat—mudah diakses. Oleh karena itu, tanggung jawab kita untuk berwaspada bahkan lebih besar.
Kata "waspadalah" (phylassō atau variannya) dalam konteks ini mengandung arti menjaga diri, berhati-hati, atau berjaga-jaga. Ini adalah perintah aktif yang menuntut kewaspadaan konstan. Ini bukan hanya tentang mengetahui adanya bahaya, tetapi secara aktif mengambil langkah-langkah untuk melindungi diri dari bahaya tersebut. Kewaspadaan rohani berarti kita tidak boleh lengah atau puas diri. Kita tidak boleh berasumsi bahwa iman kita akan selalu kuat atau bahwa kita kebal terhadap godaan dan penyesatan.
Waspada bukan berarti hidup dalam ketakutan atau kecurigaan berlebihan, melainkan hidup dengan kebijaksanaan ilahi. Ini melibatkan:
Bagaimana kita bisa berwaspada dalam praktik? Ini melibatkan doa yang tekun, perenungan Firman Tuhan setiap hari, persekutuan yang sehat dengan orang percaya lainnya, dan kesediaan untuk menguji segala sesuatu dengan standar Alkitab.
Petrus memperingatkan tentang bahaya "terseret" (synapachthēte), sebuah kata yang menggambarkan seseorang yang diseret atau ditarik paksa. Ini menunjukkan bahwa kesesatan tidak selalu datang sebagai serangan frontal yang jelas, melainkan sering kali sebagai tarikan halus yang perlahan-lahan menjauhkan kita dari kebenaran. Seperti arus yang kuat, kesesatan bisa menyeret seseorang tanpa disadari hingga ia jauh dari pantai yang aman.
Siapa yang menjadi agen penyeret ini? "Orang-orang yang tidak mengenal hukum" (atheosmōn). Ini adalah mereka yang hidup tanpa menghiraukan hukum Tuhan, menolak standar moral-Nya, dan memutarbalikkan ajaran-Nya untuk membenarkan gaya hidup mereka yang tidak kudus. Mereka adalah pengajar palsu yang disebutkan Petrus sebelumnya, yang "memutarbalikkan Kitab Suci untuk kebinasaan mereka sendiri" (2 Petrus 3:16). Kesesatan mereka tidak hanya bersifat doktrinal, tetapi juga etis, memimpin kepada amoralitas dan penolakan otoritas ilahi.
Kesesatan ini bisa berwujud berbagai bentuk dalam konteks modern:
Bahaya utama dari kesesatan ini adalah bahwa ia sering kali menyamar sebagai "kebenaran baru" atau "pemahaman yang lebih mendalam," sehingga mudah menarik perhatian mereka yang tidak berakar kuat. Orang-orang yang "terseret" mungkin tidak bermaksud menolak Kristus, tetapi karena kurangnya kewaspadaan dan pemahaman, mereka secara bertahap ditarik menjauh dari kebenaran.
Puncak dari peringatan Petrus adalah konsekuensi yang mengerikan: "kehilangan pegangan yang teguh" (ekpesēte tou stērigmou tou idiou). Kata stērigmos berarti "keteguhan" atau "landasan yang kokoh." Ini adalah gambaran seseorang yang kehilangan pijakan, tergelincir dari fondasi yang kuat, dan akhirnya terjatuh. Pegangan yang teguh bagi orang percaya adalah iman kepada Kristus, kebenaran Firman Tuhan, dan pengharapan akan kedatangan-Nya.
Kehilangan pegangan yang teguh berarti kehilangan:
Petrus menekankan bahwa ini adalah sebuah tragedi yang bisa dihindari jika kita tetap waspada. Kita memiliki "pegangan yang teguh" dalam Yesus Kristus, Firman-Nya, dan Roh Kudus yang tinggal di dalam kita. Kita harus secara aktif memegang teguh kebenaran ini, menolak untuk melepaskannya, meskipun ada tekanan atau godaan.
Peringatan ini menjadi semakin relevan di era informasi yang membanjiri kita dengan berbagai pandangan dan "kebenaran" alternatif. Tanpa pegangan yang kuat pada ajaran Alkitab yang ortodoks dan pengalaman nyata dengan Yesus Kristus, kita berisiko besar untuk tersesat dan kehilangan arah rohani.
Setelah memberikan peringatan yang serius, Petrus beralih ke perintah yang positif dan proaktif: "Tetapi bertumbuhlah" (auxanō). Kata "tetapi" (de) di sini berfungsi sebagai kontras yang kuat. Jangan hanya menghindari kesesatan; secara aktif maju dan berkembang dalam iman. Kehidupan Kristen bukanlah tentang stagnasi atau hanya bertahan hidup, melainkan tentang pertumbuhan yang dinamis dan terus-menerus. Ini adalah bukti nyata dari kehidupan ilahi di dalam kita.
Pertumbuhan rohani bukanlah pilihan bagi orang percaya; ini adalah mandat ilahi dan tanda vitalitas rohani. Seperti tanaman yang tidak tumbuh akan layu dan mati, iman yang tidak bertumbuh juga akan stagnan dan akhirnya kehilangan kekuatannya. Pertumbuhan adalah proses seumur hidup, bukan sebuah tujuan yang dapat dicapai dalam semalam. Ini membutuhkan dedikasi, disiplin, dan ketergantungan pada Tuhan.
Pertumbuhan pertama yang Petrus sebutkan adalah "dalam kasih karunia" (en chariti). Ini adalah salah satu konsep sentral dalam kekristenan. Kasih karunia adalah anugerah Allah yang tidak layak kita terima, kemurahan hati-Nya yang tidak bersyarat, yang dinyatakan sepenuhnya dalam Yesus Kristus. Kita diselamatkan oleh kasih karunia (Efesus 2:8), dan kita juga harus bertumbuh di dalamnya.
Apa artinya bertumbuh dalam kasih karunia?
Pertumbuhan dalam kasih karunia adalah antidot terhadap kesesatan yang disebutkan di ayat 17, karena banyak kesesatan modern berakar pada penolakan kasih karunia—entah dengan menambahkan perbuatan pada keselamatan atau dengan menyalahgunakan kasih karunia sebagai lisensi untuk berbuat dosa.
Pertumbuhan kedua yang sangat penting adalah "dalam pengenalan akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus" (en gnōsei tou Kyriou hēmōn kai Sōtēros Iēsou Christou). Kata "pengenalan" (gnōsis) di sini bukan hanya sekadar pengetahuan intelektual atau fakta-fakta tentang Yesus, melainkan pengenalan yang intim, pribadi, dan transformatif. Ini adalah jenis pengenalan yang mengubah hati dan pikiran, yang hanya datang melalui hubungan pribadi dengan Dia.
Bertumbuh dalam pengenalan akan Yesus Kristus berarti:
Bagaimana kita bisa bertumbuh dalam pengenalan ini?
Kedua arah pertumbuhan ini—dalam kasih karunia dan dalam pengenalan akan Kristus—saling terkait erat. Mustahil untuk bertumbuh dalam satu tanpa yang lain. Semakin kita mengenal Kristus, semakin kita menghargai kasih karunia-Nya. Dan semakin kita menghargai kasih karunia-Nya, semakin kita rindu untuk mengenal Dia lebih dalam lagi. Ini adalah siklus pertumbuhan rohani yang tak berkesudahan.
Petrus mengakhiri suratnya dengan sebuah doxologi yang megah: "Bagi-Nyalah kemuliaan..." (Autō hē doxa). Ini adalah pernyataan iman dan penyembahan yang meninggikan Yesus Kristus sebagai satu-satunya yang layak menerima segala kemuliaan. Semua peringatan untuk waspada dan semua perintah untuk bertumbuh memiliki satu tujuan akhir: untuk membawa kemuliaan bagi Yesus Kristus.
Kemuliaan (doxa) dalam bahasa Yunani berarti kehormatan, keagungan, keunggulan, dan kemegahan. Ketika kita hidup dengan waspada, tidak tersesat oleh ajaran palsu, dan ketika kita aktif bertumbuh dalam kasih karunia dan pengenalan akan Kristus, hidup kita secara langsung mencerminkan kemuliaan-Nya. Kehidupan Kristen bukanlah tentang kemuliaan diri sendiri, tetapi tentang mengarahkan semua pujian dan penyembahan kepada Dia yang layak menerimanya.
Bagaimana hidup kita dapat membawa kemuliaan bagi Kristus?
Doxologi ini adalah pengingat bahwa iman Kristen bersifat teosentris—berpusat pada Allah. Bukan tentang bagaimana kita bisa menjadi lebih baik untuk diri kita sendiri, meskipun itu adalah hasil dari pertumbuhan; melainkan tentang bagaimana kita bisa memuliakan Allah dengan seluruh keberadaan kita.
Frasa "sekarang dan sampai selama-lamanya" (kai nyn kai eis hēmeras aiōnos) menegaskan bahwa kemuliaan Kristus tidak terbatas oleh waktu atau ruang. Dia layak menerima kemuliaan di masa kini, dalam setiap aspek kehidupan kita, dan akan terus layak menerima kemuliaan yang sama di masa depan, bahkan sampai kekekalan. Ini adalah perspektif eskatologis yang mendalam, mengingatkan kita bahwa pelayanan dan hidup kita di bumi ini memiliki implikasi kekal.
Kata "Amin" (Amēn) adalah penutup yang kuat, yang berarti "kiranya demikian" atau "sesungguhnya." Ini adalah sebuah pernyataan penegasan yang sungguh-sungguh, menegaskan kebenaran dan keteguhan dari apa yang baru saja dikatakan. Ini adalah respons iman terhadap kedaulatan dan kemuliaan Kristus.
Doxologi ini berfungsi sebagai motivasi tertinggi untuk waspada dan bertumbuh. Mengapa kita harus berjuang melawan dosa? Mengapa kita harus mengejar kekudusan? Mengapa kita harus berjerih lelah dalam mengenal Kristus? Karena Dia layak menerima semua itu. Kemuliaan-Nya adalah tujuan akhir dari segala sesuatu, termasuk hidup kita sebagai orang percaya.
Pesan dari 2 Petrus 3:17-18 bukanlah sekadar teori teologis; ini adalah peta jalan praktis untuk kehidupan Kristen yang dinamis dan berpusat pada Kristus. Bagaimana kita dapat menerapkan prinsip-prinsip ini dalam kehidupan kita saat ini?
Kedua perintah ini—waspada dan bertumbuh—saling melengkapi. Kita berwaspada agar kita tidak terhambat dalam pertumbuhan, dan kita bertumbuh agar kita menjadi lebih efektif dalam kewaspadaan kita. Kehidupan Kristen adalah sebuah perjalanan yang berkelanjutan, di mana kita terus-menerus belajar, beradaptasi, dan diubahkan oleh kuasa Roh Kudus.
Pada akhirnya, tujuan dari segala sesuatu adalah kemuliaan Allah. Setiap keputusan yang kita buat, setiap kata yang kita ucapkan, setiap tindakan yang kita lakukan—semuanya harus diarahkan untuk memuliakan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus. Ini bukan hanya sebuah motto, tetapi sebuah filosofi hidup yang mengubah perspektif kita dari berpusat pada diri sendiri menjadi berpusat pada Tuhan.
Di dunia yang semakin egois dan berpusat pada manusia, panggilan untuk hidup bagi kemuliaan Kristus adalah sebuah kontra-budaya yang radikal. Ini berarti kita menolak untuk mencari validasi, pujian, atau pengakuan dari dunia, tetapi hanya dari Dia. Ini berarti kita rela mengorbankan keinginan dan ambisi pribadi kita demi rencana dan tujuan-Nya yang lebih besar.
Ketika kita hidup dengan kesadaran ini, setiap aspek hidup kita—pekerjaan, keluarga, hobi, hubungan—menjadi sebuah arena di mana kita dapat memanifestasikan kemuliaan Kristus. Ini memberikan makna yang lebih dalam dan tujuan yang kekal pada setiap momen keberadaan kita.
Mempertahankan perspektif kemuliaan Allah juga akan membantu kita tetap teguh di tengah badai kehidupan. Ketika kesulitan datang, atau ketika kita menghadapi pencobaan yang berat, mengingat bahwa semua ini pada akhirnya akan membawa kemuliaan bagi Kristus dapat memberikan kekuatan dan pengharapan yang tak tergoyahkan. Itu mengingatkan kita bahwa penderitaan kita tidak sia-sia, tetapi dapat digunakan oleh Allah untuk menunjukkan kuasa dan kebaikan-Nya.
Dua ayat terakhir dari 2 Petrus, ayat 17 dan 18, adalah ringkasan yang indah dan kuat dari pesan esensial bagi setiap orang percaya. Mereka tidak hanya memberikan peringatan yang relevan untuk setiap zaman, tetapi juga panggilan yang memberdayakan untuk kehidupan yang berlimpah di dalam Kristus. Petrus, yang pada suatu waktu pernah menyangkal Tuhannya karena ketidaksiapan dan ketidakwaspadaan, kini, setelah bertahun-tahun melayani dan diubahkan oleh kasih karunia, memberikan nasihat ini dengan otoritas dan pengalaman yang mendalam.
Peringatan untuk waspada mengingatkan kita bahwa kita hidup di dunia yang penuh bahaya rohani. Kesesatan, godaan, dan tipu daya adalah nyata dan selalu mengancam untuk menarik kita dari kebenaran. Kewaspadaan bukanlah paranoia, melainkan kebijaksanaan yang lahir dari kesadaran akan realitas ini dan keyakinan akan kuasa Tuhan untuk melindungi kita. Ini adalah panggilan untuk menjadi murid yang cerdas, yang memegang teguh Firman Allah dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh setiap angin pengajaran.
Di sisi lain, perintah untuk bertumbuh dalam kasih karunia dan pengenalan akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus, adalah panggilan untuk kehidupan yang proaktif dan transformatif. Iman bukanlah titik statis yang telah dicapai, melainkan sebuah perjalanan dinamis menuju keserupaan dengan Kristus. Pertumbuhan ini adalah tanda kehidupan ilahi di dalam kita, dan ia terjadi melalui ketergantungan kita pada kasih karunia Allah serta usaha yang tekun dalam mengenal Dia secara lebih intim.
Kedua tiang penopang iman ini—kewaspadaan dan pertumbuhan—bukanlah pilihan terpisah, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama. Kewaspadaan tanpa pertumbuhan bisa menjadi legalistik dan tanpa daya. Pertumbuhan tanpa kewaspadaan bisa menjadi rentan terhadap kesesatan dan penyimpangan. Keduanya bekerja sama untuk memastikan bahwa kita tidak hanya bertahan hidup dalam iman, tetapi juga berkembang dan berbuah lebat bagi kemuliaan Tuhan.
Pada akhirnya, semua ini mengarah pada kemuliaan Yesus Kristus, sekarang dan sampai selama-lamanya. Dialah tujuan akhir dari segalanya. Dialah yang menyelamatkan kita, yang memelihara kita, dan yang pada akhirnya akan kembali untuk menjemput kita. Oleh karena itu, biarlah setiap aspek hidup kita, setiap keputusan, setiap pergumulan, dan setiap kemenangan, menjadi sebuah persembahan penyembahan yang meninggikan nama-Nya yang kudus.
Marilah kita menanggapi seruan Petrus ini dengan hati yang rendah dan taat. Marilah kita berkomitmen kembali untuk menjadi orang-orang yang waspada terhadap bahaya di sekitar kita, namun pada saat yang sama, bersemangat untuk terus bertumbuh dalam kasih karunia dan pengenalan akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus. Dengan demikian, kita akan siap menghadapi kedatangan-Nya, dan nama-Nya akan dimuliakan melalui hidup kita, sekarang dan sampai kekekalan. Amin.