Refleksi Mendalam Injil Katolik

Panggilan Keadilan, Kekayaan, dan Belas Kasih dalam Terang Sabda Tuhan

Pengantar: Membuka Hati pada Sabda Kehidupan

Setiap Minggu, umat Katolik di seluruh dunia berkumpul untuk merayakan Ekaristi, puncak dari seluruh hidup Kristiani. Bagian integral dari perayaan ini adalah Liturgi Sabda, di mana kita mendengarkan dengan penuh perhatian bacaan-bacaan dari Kitab Suci. Bacaan-bacaan ini, yang dipilih dengan cermat oleh Gereja, tidak sekadar mengulang kisah-kisah lama, melainkan merupakan Sabda Tuhan yang hidup dan selalu relevan, berbicara langsung ke dalam hati dan realitas hidup kita saat ini. Melalui Kitab Suci, Allah terus mewahyukan diri-Nya, membimbing kita, menantang kita, dan mengundang kita untuk sebuah pertobatan dan transformasi hidup yang lebih dalam.

Untuk Minggu Biasa Ke-26, Gereja mengundang kita untuk merenungkan tema-tema yang sangat fundamental dan mendalam tentang keadilan sosial, penggunaan kekayaan, dan panggilan untuk belas kasih. Tema-tema ini seringkali menantang, memaksa kita untuk melihat kembali prioritas kita, cara kita berinteraksi dengan sesama, dan bagaimana kita memahami peran kita sebagai pengikut Kristus di tengah dunia yang penuh ketidaksetaraan.

Sabda Tuhan pada hari ini mengajak kita untuk tidak hanya menjadi pendengar yang pasif, melainkan menjadi pelaksana yang aktif. Ia meminta kita untuk membuka mata terhadap penderitaan orang lain, terutama mereka yang terpinggirkan dan miskin. Lebih jauh lagi, bacaan-bacaan ini menyoroti bahaya kemewahan yang berlebihan, kemalasan rohani, dan sikap acuh tak acuh terhadap kebutuhan sesama. Inti dari pesan ini adalah sebuah seruan untuk pertobatan sosial dan pribadi, sebuah undangan untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai Kerajaan Allah, di mana kasih dan keadilan menjadi fondasi utama.

Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi setiap bacaan secara terperinci: dari Nabi Amos yang berapi-api, Mazmur yang penuh pujian dan harapan, surat Paulus kepada Timotius yang sarat nasihat pastoral, hingga perumpamaan Yesus yang mengguncang hati tentang Orang Kaya dan Lazarus. Kita akan mencoba memahami konteks historis dan teologis dari setiap bacaan, menemukan benang merah yang mengikatnya menjadi satu kesatuan pesan yang kuat, dan merenungkan bagaimana Sabda ini dapat membentuk dan mengubah hidup kita sebagai umat beriman.

Semoga renungan ini tidak hanya memperkaya pemahaman intelektual kita tentang Kitab Suci, tetapi juga membakar semangat kita untuk menghidupi Injil dalam tindakan nyata, sehingga kita dapat menjadi instrumen belas kasih dan keadilan Allah di dunia.

Bacaan Pertama: Kritik Tajam Nabi Amos (Amos 6:1a, 4-7)

Peringatan Terhadap Kemewahan dan Ketidakacuhan

Bacaan pertama diambil dari Kitab Nabi Amos, salah satu nabi minor dalam Perjanjian Lama, yang berkarya pada abad ke-8 SM. Amos adalah seorang gembala dan petani ara dari Yehuda, tetapi diutus oleh Tuhan untuk berkhotbah kepada Kerajaan Israel Utara yang makmur pada masa itu. Pesan utamanya adalah kritik keras terhadap ketidakadilan sosial, penyalahgunaan kekuasaan, dan kemerosotan moral yang melanda masyarakat Israel.

Pada saat itu, Israel sedang mengalami masa kemakmuran yang belum pernah terjadi sebelumnya di bawah Raja Yerobeam II. Namun, kemakmuran ini tidak dinikmati secara merata. Ada kesenjangan yang sangat besar antara orang kaya dan orang miskin. Orang-orang kaya hidup dalam kemewahan, sementara yang miskin semakin tertindas. Di sinilah suara profetis Amos muncul sebagai peringatan dari Tuhan.

"Celakalah orang-orang yang merasa aman di Sion, dan yang merasa tenteram di gunung Samaria, kepala-kepala bangsa yang paling terkemuka, kepada merekalah kaum Israel datang! Kamu yang berbaring di tempat tidur dari gading dan bermewah-mewah di ranjangmu, yang makan anak-anak domba dari kawanan kambing domba dan anak-anak lembu dari kandang. Kamu yang menyanyi diiringi kecapi, seperti Daud kamu mencipta lagu-lagu bagi dirimu. Kamu yang minum anggur dari piala-piala dan berurapan dengan minyak yang terbaik, tetapi tidak mempedulikan keruntuhan keturunan Yusuf!"

-- Amos 6:1a, 4-6

Ayat-ayat ini melukiskan gambaran yang mencolok tentang kehidupan para elit di Israel. Mereka hidup dalam kemewahan ekstrem: berbaring di tempat tidur gading, bermewah-mewah di ranjang, makan hidangan terbaik, minum anggur dari piala-piala, dan berurapan dengan minyak wangi yang mahal. Mereka bahkan menghabiskan waktu menciptakan lagu-lagu dan menikmati musik, mirip dengan Raja Daud, tetapi tanpa semangat dan kepekaan rohani Daud.

Namun, inti dari kritik Amos bukanlah pada kemewahan itu sendiri, melainkan pada sikap acuh tak acuh dan ketidakpedulian mereka terhadap penderitaan sesama. Frasa kunci di sini adalah: "tetapi tidak mempedulikan keruntuhan keturunan Yusuf!" "Keturunan Yusuf" adalah istilah metaforis untuk Kerajaan Israel Utara, yang berarti seluruh bangsa, terutama mereka yang miskin dan tertindas. Sementara para elit menikmati hidup mereka, fondasi moral dan sosial bangsa sedang runtuh, dan mereka tidak peduli.

Amos menubuatkan konsekuensi berat atas ketidakadilan ini: "Sebab itu sekarang mereka akan menjadi orang-orang yang pertama diangkut ke dalam pembuangan; pesta pora orang-orang yang bermewah-mewah itu akan berakhir" (Amos 6:7). Ini adalah peringatan keras bahwa kemewahan yang dibangun di atas ketidakadilan dan ketidakpedulian tidak akan bertahan. Tuhan yang adalah adil tidak akan membiarkan ketidakadilan terus berlanjut tanpa konsekuensi.

Relevansi Pesan Amos Hari Ini

Pesan Amos tetap relevan di zaman modern ini. Di banyak bagian dunia, termasuk di sekitar kita, kita masih melihat kesenjangan ekonomi yang mencolok. Ada orang-orang yang hidup dalam kemewahan berlebihan, seringkali tanpa mempedulikan jutaan orang lain yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, kelaparan, dan kekurangan. Gereja, melalui ajaran sosialnya, terus-menerus mengingatkan kita akan panggilan untuk keadilan dan solidaritas dengan yang miskin.

Kemewahan yang dicela oleh Amos bukan sekadar memiliki barang-barang mewah, tetapi lebih pada hati yang tertutup dan mata yang buta terhadap penderitaan orang lain. Ini adalah tentang sikap egois yang hanya mementingkan diri sendiri dan kenyamanan pribadi, sambil mengabaikan tanggung jawab moral terhadap komunitas dan sesama. Pesan Amos adalah panggilan untuk menguji hati kita: apakah kita terlalu asyik dengan kenyamanan kita sendiri sehingga tidak lagi peka terhadap tangisan orang-orang yang membutuhkan?

Ini bukan berarti bahwa memiliki kekayaan itu sendiri adalah dosa. Masalahnya terletak pada bagaimana kekayaan itu diperoleh, bagaimana digunakan, dan bagaimana ia memengaruhi sikap kita terhadap Tuhan dan sesama. Kekayaan, jika digunakan untuk kemuliaan Tuhan dan kesejahteraan sesama, bisa menjadi berkat. Namun, jika ia menjadi berhala yang mengalihkan fokus kita dari keadilan dan kasih, ia bisa menjadi kutukan.

Nabi Amos menyerukan pertobatan, tidak hanya dari dosa-dosa pribadi, tetapi juga dari dosa-dosa struktural dan sosial yang menyebabkan penderitaan banyak orang. Ini adalah panggilan bagi kita untuk melihat sistem dan struktur dalam masyarakat kita yang mungkin berkontribusi pada ketidakadilan, dan untuk bekerja menuju perubahan yang lebih adil dan manusiawi.

Mazmur Tanggapan: Allah Pelindung yang Miskin (Mazmur 146:7, 8-9, 9-10)

Pujian bagi Allah yang Mendukung Keadilan

Setelah mendengar kritik keras dari Nabi Amos, Mazmur tanggapan datang sebagai penghiburan dan pengingat akan karakter Allah yang sejati. Mazmur 146 adalah Mazmur pujian yang mengagungkan Tuhan sebagai Pencipta dan Pemelihara yang adil dan penuh kasih, terutama bagi mereka yang rentan. Mazmur ini berfungsi sebagai kontras yang tajam terhadap gambaran para elit yang acuh tak acuh dalam bacaan Amos.

Mzm 146:7, 8-9, 9-10

Ayat 7: "Dialah yang menegakkan keadilan bagi orang yang diperas, dan memberi roti kepada orang-orang yang lapar. TUHAN membebaskan orang-orang yang terbelenggu."

Ayat 8: "TUHAN membuka mata orang-orang buta, TUHAN menegakkan orang yang tertunduk, TUHAN mengasihi orang-orang benar."

Ayat 9: "TUHAN menjaga orang-orang asing, anak yatim dan janda ditegakkan-Nya kembali, tetapi jalan orang fasik dibengkokkan-Nya."

Ayat 10: "TUHAN adalah Raja untuk selama-lamanya, Allahmu, ya Sion, turun-temurun! Haleluya!"

-- Mazmur 146:7-10

Mazmur ini adalah deklarasi iman yang kuat tentang siapa Allah itu dan apa yang Dia lakukan. Di tengah dunia yang penuh ketidakadilan (seperti yang digambarkan oleh Amos), Mazmur ini meyakinkan kita bahwa ada keadilan ilahi. Allah digambarkan sebagai pembela mereka yang lemah, yang diperas, yang lapar, yang terbelenggu, yang buta, yang tertunduk, orang asing, anak yatim, dan janda. Ini adalah kategori orang-orang yang paling rentan dalam masyarakat mana pun, dan Allah menempatkan diri-Nya sebagai pelindung mereka.

Mazmur ini secara khusus menyoroti beberapa tindakan kunci Allah:

  1. Menegakkan keadilan bagi yang diperas: Ini adalah respons langsung terhadap eksploitasi yang dicela oleh Amos. Allah tidak pasif di hadapan ketidakadilan.
  2. Memberi roti kepada orang-orang yang lapar: Sebuah tindakan nyata belas kasih dan pemeliharaan.
  3. Membebaskan orang-orang yang terbelenggu: Baik secara fisik maupun spiritual.
  4. Membuka mata orang buta: Ini bisa berarti secara harfiah menyembuhkan buta, atau secara metaforis membuka pemahaman rohani.
  5. Menegakkan orang yang tertunduk: Memberikan harapan dan martabat kepada mereka yang telah dihancurkan.
  6. Mengasihi orang-orang benar: Allah berpihak pada mereka yang hidup dalam kebenaran dan keadilan.
  7. Menjaga orang-orang asing, anak yatim, dan janda: Kategori masyarakat yang paling rentan tanpa perlindungan sosial.

Kontrasnya, "jalan orang fasik dibengkokkan-Nya." Ini adalah pernyataan bahwa mereka yang hidup dalam ketidakadilan dan kejahatan pada akhirnya akan menghadapi konsekuensi dari perbuatan mereka. Ini menggemakan ancaman hukuman Amos bagi para elit yang acuh tak acuh.

Mazmur ini menegaskan kedaulatan abadi Allah: "TUHAN adalah Raja untuk selama-lamanya, Allahmu, ya Sion, turun-temurun! Haleluya!" Ini adalah deklarasi bahwa meskipun keadaan dunia mungkin terlihat suram dan ketidakadilan merajalela, Allah tetap memegang kendali. Kekuasaan-Nya tidak lekang oleh waktu, dan keadilan-Nya akan ditegakkan pada akhirnya.

Hubungan dengan Bacaan Lain

Mazmur 146 memberikan perspektif ilahi terhadap seruan Amos. Jika Amos menunjukkan masalahnya—kemewahan egois dan ketidakadilan—Mazmur ini menunjukkan solusinya, atau setidaknya harapan akan solusinya, yaitu Allah sendiri. Allah adalah sumber keadilan dan belas kasih yang sejati, dan Dia akan membela mereka yang tertindas. Ini juga membangun jembatan ke Injil, di mana kita melihat bagaimana Allah membela Lazarus yang miskin dan menghakimi orang kaya yang acuh tak acuh.

Bagi kita sebagai umat beriman, Mazmur ini adalah panggilan untuk meniru karakter Allah. Jika Allah adalah pembela yang miskin dan yang diperas, maka kita yang adalah citra-Nya juga dipanggil untuk menjadi pembela bagi mereka. Iman kita tidak boleh hanya terbatas pada ritual keagamaan, tetapi harus terwujud dalam tindakan nyata keadilan dan belas kasih terhadap sesama, terutama mereka yang paling membutuhkan.

Mazmur ini mengingatkan kita bahwa harapan sejati kita bukanlah pada kekuasaan manusia, kekayaan, atau sistem sosial, tetapi pada Allah sendiri. Dialah yang setia, adil, dan mampu membalikkan keadaan. Ini adalah ajakan untuk memuji Allah bukan hanya dengan bibir kita, tetapi juga dengan hidup kita, dengan berkomitmen untuk keadilan yang Dia cintai.

Bacaan Kedua: Berjuang dalam Iman yang Benar (1 Timotius 6:11-16)

Nasihat Paulus tentang Iman, Keadilan, dan Menghindari Cinta Uang

Bacaan kedua diambil dari Surat Pertama Rasul Paulus kepada Timotius, sebuah surat pastoral yang berisi nasihat-nasihat praktis dan teologis untuk seorang pemimpin gereja muda. Dalam konteks Minggu Biasa Ke-26, bagian ini berfungsi sebagai petunjuk etis tentang bagaimana seorang Kristiani sejati seharusnya hidup, terutama dalam hal kekayaan dan prioritas hidup.

"Tetapi engkau, hai manusia Allah, jauhilah semuanya itu, kejarlah keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran, dan kelemahlembutan. Bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar dan rebutlah hidup yang kekal yang untuk itu engkau telah dipanggil dan telah engkau ikrarkan di hadapan banyak saksi. Di hadapan Allah yang menghidupkan segala sesuatu dan di hadapan Kristus Yesus yang oleh-Nya telah diberikan kesaksian yang benar di muka Pontius Pilatus, kuserukan kepadamu: peliharalah perintah ini tanpa cacat dan tanpa cela sampai pada menyatakan diri Kristus Yesus, yang akan dinyatakan pada waktu yang ditentukan oleh Allah, yaitu Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan, yang di dalam kemuliaan-Nya itu, hanya Dia sendirilah yang tidak dapat mati dan yang mendiami terang yang tidak terhampiri. Kepada-Nya hormat dan kuasa yang kekal! Amin."

-- 1 Timotius 6:11-16

Dalam ayat-ayat sebelumnya (1 Timotius 6:3-10), Paulus telah memperingatkan Timotius tentang bahaya pengajaran palsu, kebanggaan yang kosong, dan secara khusus, "cinta uang adalah akar segala kejahatan." Konteks inilah yang membuat nasihat pada ayat 11 menjadi sangat relevan: "Tetapi engkau, hai manusia Allah, jauhilah semuanya itu." "Semuanya itu" merujuk pada keserakahan, cinta uang, dan keinginan untuk menjadi kaya yang seringkali membawa pada kehancuran.

Sebagai gantinya, Paulus memerintahkan Timotius (dan kita semua sebagai "manusia Allah") untuk "mengejar" sifat-sifat ilahi dan keutamaan Kristiani:

  1. Keadilan (Dikaiosyne): Hidup dengan benar di hadapan Allah dan sesama, menegakkan apa yang benar.
  2. Ibadah/Kesalehan (Eusebeia): Sikap hormat dan bakti kepada Allah.
  3. Kesetiaan/Iman (Pistis): Kepercayaan yang teguh kepada Allah.
  4. Kasih (Agape): Kasih tanpa syarat yang meniru kasih Allah.
  5. Kesabaran (Hypomone): Daya tahan dalam menghadapi kesulitan.
  6. Kelemahlembutan (Praotes): Sikap rendah hati dan lembut, terutama dalam menghadapi orang lain.

Ini adalah daftar keutamaan yang secara langsung berlawanan dengan sifat-sifat yang muncul dari cinta uang: keserakahan, egoisme, dan ketidakpedulian. Untuk hidup dalam keutamaan ini, Paulus menggunakan metafora perjuangan atletik: "Bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar dan rebutlah hidup yang kekal." Iman bukanlah jalan yang pasif, melainkan sebuah perjuangan aktif yang memerlukan disiplin, fokus, dan ketekunan. Tujuannya adalah "hidup yang kekal," yaitu hidup dalam persekutuan dengan Allah, yang telah menjadi janji bagi kita sejak kita dipanggil dan mengikrarkan iman kita.

Paulus kemudian menguatkan perintahnya dengan referensi kepada Allah yang mahakuasa dan Kristus Yesus. Ia mengingatkan Timotius (dan kita) akan kesaksian Yesus yang tak tergoyahkan bahkan di hadapan Pontius Pilatus. Ini adalah teladan keberanian dan kesetiaan yang harus kita ikuti. Perintah untuk memelihara iman "tanpa cacat dan tanpa cela" adalah panggilan untuk integritas rohani, sebuah panggilan untuk hidup kudus sampai kedatangan Kristus kembali.

Bagian ini diakhiri dengan doxologi yang indah, memuji Allah sebagai Raja di atas segala raja, Tuan di atas segala tuan, yang tidak dapat mati, yang mendiami terang yang tidak terhampiri. Ini adalah pengingat akan kebesaran dan kedaulatan Allah, kepada siapa segala kemuliaan dan kekuasaan adalah milik-Nya. Mengingat kebesaran Allah ini membantu kita menempatkan segala sesuatu, termasuk kekayaan duniawi, dalam perspektif yang benar.

Kaitan dengan Bacaan Lain

Nasihat Paulus kepada Timotius ini sangat cocok dengan bacaan Amos dan Injil. Jika Amos mengkritik orang kaya yang acuh tak acuh, Paulus memberikan petunjuk bagaimana seseorang yang ingin menjadi "manusia Allah" harus bertindak secara etis. Ia menekankan bahwa prioritas kita seharusnya bukan pada kekayaan duniawi, melainkan pada pertumbuhan dalam keadilan, ibadah, iman, kasih, kesabaran, dan kelemahlembutan. Ini adalah sifat-sifat yang memungkinkan kita untuk mengasihi sesama dan menjalankan keadilan, sehingga kita tidak akan jatuh ke dalam perangkap yang sama dengan orang-orang yang dicela oleh Amos dan orang kaya dalam perumpamaan Yesus.

Surat ini juga memperingatkan tentang ilusi keamanan yang ditawarkan oleh kekayaan. Kekayaan itu fana, tetapi hidup yang kekal dan keutamaan rohani adalah abadi. Dengan demikian, bacaan ini melengkapi gambaran yang disajikan oleh bacaan-bacaan lainnya, memberikan kerangka kerja etis bagi umat beriman untuk menavigasi pertanyaan-pertanyaan tentang kekayaan, kemiskinan, dan tanggung jawab sosial.

Bacaan Injil: Orang Kaya dan Lazarus (Lukas 16:19-31)

Peringatan Terhadap Ketidakacuhan dan Konsekuensi Abadi

Sabda Tuhan

Ilustrasi Kitab Suci Terbuka dengan Cahaya Ilahi, melambangkan bimbingan dan kebenaran Firman Tuhan.

Perumpamaan tentang Orang Kaya dan Lazarus adalah salah satu perumpamaan Yesus yang paling kuat dan provokatif dalam Injil Lukas. Ini adalah kisah yang tidak hanya berbicara tentang kekayaan dan kemiskinan, tetapi juga tentang keadilan ilahi, belas kasih, dan konsekuensi abadi dari pilihan kita di dunia ini.

"Ada seorang kaya yang selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan. Dan ada seorang pengemis bernama Lazarus, penuh dengan borok, terbaring dekat pintu rumah orang kaya itu, dan ingin makan remah-remah yang jatuh dari meja orang kaya itu. Bahkan anjing-anjing datang menjilat borok-boroknya. Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur."

"Dan sementara ia menderita sengsara di alam maut, ia memandang ke atas, dan dari jauh ia melihat Abraham dan Lazarus di pangkuannya. Lalu ia berseru: Bapa Abraham, kasihanilah aku! Suruhlah Lazarus datang untuk mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan menyejukkan lidahku, sebab aku sangat menderita dalam nyala api ini. Tetapi Abraham berkata: Anakku, ingatlah, bahwa engkau telah menerima segala yang baik semasa hidupmu, dan Lazarus juga segala yang buruk. Sekarang ia dihibur di sini, dan engkau menderita sengsara. Selain dari pada itu di antara kami dan engkau terbentang jurang yang tak terseberangi, supaya mereka yang mau pergi dari sini kepadamu, atau sebaliknya, tidak dapat menyeberang."

"Kata orang kaya itu: Kalau demikian, aku mohon kepadamu, Bapa, supaya engkau menyuruh dia ke rumah ayahku, sebab masih ada lima orang saudaraku, supaya ia memperingatkan mereka dengan sungguh-sungguh, agar mereka jangan sampai masuk ke tempat penderitaan ini. Tetapi kata Abraham: Ada pada mereka kesaksian Musa dan para nabi; baiklah mereka mendengarkan kesaksian itu. Jawab orang kaya itu: Tidak, Bapa Abraham, tetapi jika ada seorang yang datang kepada mereka dari antara orang mati, mereka akan bertobat. Kata Abraham kepadanya: Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati."

-- Lukas 16:19-31

Analisis Perumpamaan

  1. Karakter-karakter:
    • Orang Kaya: Dia tidak memiliki nama, yang seringkali melambangkan anonimitas dalam kesombongan dan keegoisan. Pakaiannya (jubah ungu dan kain halus) melambangkan kekayaan dan status tinggi. Ungu adalah warna kerajaan dan kemewahan, dan kain halus adalah bahan yang sangat mahal. Dia "setiap hari bersukaria dalam kemewahan," yang menunjukkan gaya hidup hedonistik tanpa kepedulian.
    • Lazarus: Ini adalah satu-satunya perumpamaan Yesus di mana salah satu karakter memiliki nama. Nama Lazarus (dari bahasa Ibrani Eleazar) berarti "Allah adalah penolongku." Dia adalah personifikasi dari kemiskinan ekstrem: terbaring di pintu, penuh borok, kelaparan, dan bahkan anjing-anjing datang menjilat boroknya—sebuah simbol kehinaan dan penderitaan yang tak terbayangkan.
  2. Jarak dan Ketidakacuhan:

    Yang paling menonjol dari perumpamaan ini bukanlah keberadaan orang kaya atau orang miskin secara terpisah, tetapi kedekatan fisik yang ekstrem dengan jarak sosial dan spiritual yang sangat jauh. Lazarus terbaring di pintu orang kaya, yang berarti orang kaya itu harus melihatnya setiap hari saat masuk dan keluar. Namun, tidak ada catatan bahwa orang kaya itu pernah melihat Lazarus, apalagi berbelas kasih kepadanya. Dia membiarkan Lazarus kelaparan dan menderita di ambang pintu rumahnya sendiri. Ini adalah dosa ketidakacuhan, kegagalan untuk bertindak ketika ada kesempatan dan kemampuan.

  3. Perubahan Keadaan Setelah Kematian:

    Setelah kematian, terjadi pembalikan nasib yang dramatis. Lazarus, yang di dunia menderita, dibawa oleh malaikat ke pangkuan Abraham—sebuah gambaran surga atau tempat peristirahatan yang damai dan penuh hormat. Sementara itu, orang kaya itu mati dan dikubur, lalu "menderita sengsara di alam maut" (Hades). Ini adalah pengingat bahwa keadilan ilahi akan ditegakkan di akhirat.

  4. Permohonan Orang Kaya:

    Di alam maut, orang kaya itu memohon kepada Abraham untuk belas kasih. Menariknya, ia meminta Lazarus untuk melayaninya ("suruhlah Lazarus datang untuk mencelupkan ujung jarinya ke dalam air"). Bahkan dalam penderitaannya, ia masih memandang Lazarus sebagai bawahan yang bisa disuruh-suruh. Ini menunjukkan betapa mengakar sikap superioritas dan egoismenya.

  5. Jawaban Abraham dan Jurang Tak Terseberangi:

    Abraham menolak permohonan itu, mengingatkan orang kaya itu bahwa ia telah menerima segala yang baik di dunia, sementara Lazarus menderita. Sekarang, keadaan telah berbalik. Yang terpenting, Abraham menyatakan bahwa ada "jurang yang tak terseberangi" antara mereka. Jurang ini melambangkan pemisahan yang tidak dapat diubah antara mereka yang memilih Allah dan sesama, dan mereka yang memilih diri sendiri dan kekayaan duniawi. Ini adalah gambaran dari konsekuensi abadi dari pilihan kita di bumi.

  6. Permohonan untuk Saudara-saudaranya:

    Menyadari nasibnya, orang kaya itu kemudian memohon agar Lazarus dikirim untuk memperingatkan lima saudaranya yang masih hidup. Ini adalah momen di mana ia akhirnya menunjukkan kepedulian, meskipun terlambat dan untuk orang yang salah (saudaranya, bukan Lazarus). Ini menunjukkan bahwa ia mulai memahami beratnya dosa ketidakacuhannya.

  7. "Ada Musa dan Para Nabi":

    Abraham menolak permohonan itu dengan tegas: "Ada pada mereka kesaksian Musa dan para nabi; baiklah mereka mendengarkan kesaksian itu." Ini adalah poin kunci dari perumpamaan ini. Yesus menegaskan bahwa Sabda Tuhan yang telah diwahyukan dalam Taurat (Musa) dan Kitab Para Nabi (termasuk Amos) sudah cukup untuk membimbing manusia menuju pertobatan dan keadilan. Mereka sudah memiliki semua yang mereka butuhkan untuk mengetahui kehendak Tuhan.

  8. Penolakan Bahkan Terhadap Kebangkitan:

    Orang kaya itu bersikeras: "Tidak, Bapa Abraham, tetapi jika ada seorang yang datang kepada mereka dari antara orang mati, mereka akan bertobat." Namun, Abraham dengan bijak menjawab: "Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati." Ini adalah peringatan keras dari Yesus. Jika seseorang tidak mau mendengarkan dan mematuhi Sabda Tuhan yang telah diwahyukan, tidak peduli mukjizat atau tanda apa pun (bahkan kebangkitan dari kematian, yang akan dialami Yesus sendiri), hati mereka tidak akan berubah. Ini adalah tentang kehendak bebas dan kemauan untuk membuka hati kepada Tuhan.

Pesan Utama Perumpamaan

Perumpamaan ini bukanlah kutukan terhadap kekayaan itu sendiri, melainkan terhadap cinta uang yang berlebihan, kemewahan yang mengasingkan diri, dan, yang paling penting, ketidakacuhan yang mematikan terhadap penderitaan sesama. Orang kaya itu tidak dihukum karena ia kaya, melainkan karena ia gagal menggunakan kekayaannya untuk berbelas kasih, karena ia mengabaikan Lazarus yang terbaring di pintu rumahnya setiap hari. Ia melihat, tetapi tidak sungguh-sungguh melihat. Ia tahu, tetapi tidak sungguh-sungguh peduli.

Yesus juga menyoroti pentingnya mendengarkan dan mematuhi Sabda Tuhan yang sudah ada. Taurat dan para nabi sudah mengajarkan tentang keadilan sosial, belas kasih kepada yang miskin, dan tanggung jawab terhadap sesama. Kita tidak perlu menunggu tanda-tanda yang spektakuler untuk mengetahui apa yang benar; Sabda Tuhan sudah cukup.

Kaitan dengan Minggu Biasa Ke-26

Perumpamaan ini mengikat erat ketiga bacaan hari ini. Ia adalah klimaks yang konkret dan mengguncang dari seruan Amos dan nasihat Paulus.

Bersama-sama, bacaan-bacaan ini membentuk sebuah seruan yang sangat kuat bagi setiap orang Kristiani untuk memeriksa hati dan hidup mereka. Apakah kita hidup dalam ketidakacuhan terhadap penderitaan sesama? Apakah kekayaan atau kenyamanan kita menghalangi kita untuk melihat dan bertindak demi orang-orang yang membutuhkan? Apakah kita sungguh-sungguh mendengarkan dan mematuhi Sabda Tuhan, yang telah diberikan kepada kita dalam kelimpahan?

Perumpamaan ini menantang kita untuk melihat realitas kemiskinan dan ketidakadilan bukan sebagai masalah yang jauh, tetapi sebagai bagian dari kehidupan kita sehari-hari, seringkali tepat di depan pintu kita. Ini adalah panggilan untuk belas kasih yang radikal, yang tidak hanya melihat, tetapi juga bertindak.

Benang Merah Tema: Panggilan untuk Keadilan dan Belas Kasih

Meskipun berasal dari kitab-kitab yang berbeda dan ditulis pada waktu yang berbeda, ketiga bacaan hari ini (Amos, Mazmur, 1 Timotius, dan Injil Lukas) saling terkait erat oleh sebuah benang merah yang kuat dan tak terbantahkan: panggilan untuk keadilan sosial, bahaya kekayaan yang egois, dan kebutuhan akan belas kasih yang nyata terhadap mereka yang miskin dan terpinggirkan.

1. Kritisisme Terhadap Ketidakacuhan dan Kemewahan yang Egois

Nabi Amos dengan berapi-api mengecam para elit Israel yang hidup dalam kemewahan berlebihan dan sama sekali tidak peduli terhadap penderitaan bangsa mereka yang miskin. Mereka menikmati "kemewahan di ranjang dari gading" sambil "tidak mempedulikan keruntuhan keturunan Yusuf." Injil Lukas menggemakan sentimen ini melalui kisah Orang Kaya yang anonim. Orang Kaya itu tidak dihukum karena kekayaannya semata, melainkan karena ia gagal untuk melihat dan bertindak terhadap Lazarus yang sekarat di ambang pintu rumahnya. Kehidupan "bersukaria dalam kemewahan" membuatnya buta terhadap kebutuhan fundamental sesamanya.

Kedua teks ini menyajikan gambaran yang menakutkan tentang bagaimana kemewahan dan kenyamanan dapat mengeraskan hati seseorang, menjadikannya acuh tak acuh terhadap panggilan untuk berbelas kasih. Kekayaan, ketika diakumulasi dan dinikmati hanya untuk diri sendiri, tanpa mempertimbangkan tanggung jawab sosial atau moral, dapat menjadi sebuah penghalang yang memisahkan kita dari Tuhan dan sesama.

2. Allah sebagai Pembela yang Miskin dan Tertindas

Mazmur 146 berfungsi sebagai penyeimbang profetik dan teologis yang penting. Di tengah kritik Amos dan gambaran suram Yesus, Mazmur ini mengingatkan kita akan karakter fundamental Allah. Dialah "yang menegakkan keadilan bagi orang yang diperas, dan memberi roti kepada orang-orang yang lapar." Allah adalah pembela orang asing, anak yatim, dan janda. Kisah Lazarus yang dibawa oleh malaikat ke pangkuan Abraham setelah kematiannya adalah visualisasi dari keadilan ilahi ini. Allah, pada akhirnya, akan membalikkan keadaan dan memberikan keadilan kepada mereka yang menderita di dunia ini.

Pesan ini menguatkan umat beriman bahwa Tuhan tidak buta atau tuli terhadap penderitaan yang miskin. Sebaliknya, Dia berpihak pada mereka. Ini adalah dorongan bagi kita untuk juga berpihak pada mereka, karena dengan demikian kita meneladani karakter Allah sendiri.

3. Panggilan untuk Hidup yang Benar dan Bertanggung Jawab

Surat 1 Timotius melengkapi gambaran ini dengan memberikan kerangka etis bagi seorang Kristiani sejati. Setelah memperingatkan tentang "cinta uang adalah akar segala kejahatan," Paulus mendesak Timotius untuk "mengejar keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran, dan kelemahlembutan." Ini adalah sebuah daftar keutamaan yang secara langsung berlawanan dengan egoisme dan ketidakacuhan yang dicela dalam bacaan lain.

Panggilan untuk "bertanding dalam pertandingan iman yang benar" adalah ajakan untuk hidup secara proaktif dalam nilai-nilai Injil, bukan hanya sebagai keyakinan pasif, tetapi sebagai gaya hidup aktif yang melibatkan tindakan dan pilihan setiap hari. Ini berarti menggunakan sumber daya kita (waktu, bakat, dan juga kekayaan) bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk kemuliaan Tuhan dan kesejahteraan sesama.

4. Pentingnya Mendengarkan Sabda Tuhan

Titik puncak dari perumpamaan Yesus adalah jawaban Abraham: "Ada pada mereka kesaksian Musa dan para nabi; baiklah mereka mendengarkan kesaksian itu." Ini adalah penegasan yang kuat tentang otoritas dan kecukupan Kitab Suci. Kita tidak perlu menunggu mukjizat atau tanda-tanda luar biasa (seperti orang yang bangkit dari kematian) untuk mengetahui kehendak Tuhan. Kitab Suci, terutama dalam tradisi Musa dan para nabi (yang mencakup seruan-seruan keadilan seperti Amos), sudah memberikan panduan yang jelas. Kegagalan untuk bertindak bukan karena kurangnya informasi, melainkan karena kurangnya kemauan untuk mendengarkan dan mematuhi.

Dalam konteks liturgi Sabda, pesan ini sangat kuat. Setiap Minggu, kita mendengarkan Sabda Tuhan. Pertanyaannya adalah, apakah kita sungguh-sungguh mendengarkannya dan membiarkannya mengubah hati dan tindakan kita? Atau apakah kita, seperti saudara-saudara orang kaya itu, acuh tak acuh terhadap "Musa dan para nabi" yang berbicara kepada kita setiap hari?

Secara keseluruhan, bacaan-bacaan Minggu ini adalah panggilan untuk sebuah pertobatan yang holistik: pertobatan dari egoisme pribadi, pertobatan dari ketidakacuhan sosial, dan pertobatan menuju hidup yang aktif dalam keadilan dan belas kasih, dengan Sabda Tuhan sebagai pedoman utama kita. Ini adalah pengingat bahwa iman kita harus memiliki dampak nyata pada cara kita hidup, cara kita berinteraksi dengan dunia, dan cara kita merespons kebutuhan orang-orang di sekitar kita.

Refleksi dan Aplikasi dalam Hidup Kristiani

Sabda Tuhan pada Minggu ini bukan sekadar cerita atau ajaran teologis semata; ia adalah cermin yang memantulkan kondisi hati kita dan panggilan yang mendesak untuk perubahan. Bagaimana kita dapat mengaplikasikan pesan-pesan yang kuat ini dalam kehidupan kita sebagai umat Katolik di tengah dunia saat ini?

1. Menguji Hati dan Prioritas Kita

Bacaan ini secara tegas menantang kita untuk melakukan pemeriksaan batin yang jujur. Di manakah hati kita berlabuh? Apakah kita terlalu terikat pada kenyamanan materi, kesenangan pribadi, atau aspirasi duniawi sehingga kita menjadi buta terhadap penderitaan orang lain? Perumpamaan Orang Kaya dan Lazarus adalah peringatan yang tajam bahwa fokus yang berlebihan pada diri sendiri dapat menghasilkan isolasi spiritual dan konsekuensi abadi.

Kita dipanggil untuk bertanya: Apakah kita, seperti orang kaya itu, membangun "jurang tak terseberangi" antara diri kita dan mereka yang membutuhkan, meskipun mereka mungkin berada tepat di depan pintu kita? Ini bukan hanya tentang kekayaan materi, tetapi juga tentang "kekayaan" lain yang kita miliki: waktu, bakat, pendidikan, koneksi, atau bahkan sekadar telinga untuk mendengarkan. Apakah kita menggunakannya untuk kemuliaan Tuhan dan kesejahteraan sesama, atau hanya untuk kepentingan diri sendiri?

2. Melatih Mata dan Hati untuk Belas Kasih

Dosa utama orang kaya bukanlah karena ia memiliki kekayaan, tetapi karena ia gagal melihat dan berbelas kasih kepada Lazarus. Ini adalah panggilan bagi kita untuk secara aktif melatih mata dan hati kita untuk melihat realitas penderitaan. Di tengah hiruk pikuk kehidupan, sangat mudah untuk mengabaikan mereka yang miskin, terpinggirkan, atau menderita. Mungkin itu adalah pengemis di pinggir jalan, tetangga yang kesepian, rekan kerja yang sedang berjuang, atau bahkan anggota keluarga yang membutuhkan dukungan emosional.

Mata iman yang sejati harus mampu melihat Kristus dalam diri setiap orang yang menderita. Setiap tindakan belas kasih kecil, setiap kata penghiburan, setiap uluran tangan, adalah tindakan kasih kepada Yesus sendiri (Mat 25:40).

3. Menanggapi Panggilan Keadilan Sosial

Pesan Amos dan Mazmur 146 menekankan dimensi keadilan sosial dari iman kita. Iman Katolik tidak pernah bisa dipisahkan dari komitmen terhadap keadilan. Kita tidak bisa hanya berdoa dan beribadah tanpa peduli terhadap struktur dan sistem yang menyebabkan kemiskinan dan penindasan. Kita dipanggil untuk menjadi suara bagi mereka yang tidak bersuara, untuk membela hak-hak mereka yang lemah, dan untuk bekerja menuju masyarakat yang lebih adil.

Ini mungkin berarti mendukung organisasi amal yang memerangi kemiskinan, menyuarakan keprihatinan tentang ketidakadilan dalam kebijakan publik, atau bahkan sekadar memastikan bahwa kita memperlakukan semua orang dengan martabat dan hormat dalam interaksi sehari-hari kita. Prinsip-prinsip Ajaran Sosial Gereja (ASG) menjadi panduan penting dalam upaya ini, yang menekankan martabat pribadi, kebaikan bersama, subsidiaritas, dan solidaritas.

4. Bersyukur dan Bertanggung Jawab Atas Berkat

Jika kita diberkati dengan kelimpahan dalam bentuk apa pun, baik materi maupun non-materi, kita dipanggil untuk mengelolanya dengan rasa syukur dan tanggung jawab. Semua yang kita miliki adalah anugerah dari Tuhan, dan kita adalah penatalayan-Nya. Ini berarti menggunakan berkat-berkat itu bukan hanya untuk kenyamanan kita sendiri, tetapi untuk melayani Tuhan dan sesama, khususnya mereka yang paling membutuhkan.

Paulus mengingatkan Timotius untuk "mengejar keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran, dan kelemahlembutan." Ini adalah buah-buah Roh yang harus mewarnai hidup kita sebagai penatalayan yang setia. Penggunaan kekayaan yang benar akan selalu mencerminkan nilai-nilai ini.

5. Mendengarkan Sabda Tuhan dengan Hati yang Terbuka

Peringatan Abraham kepada orang kaya tentang "Musa dan para nabi" adalah sebuah pengingat yang serius bagi kita semua. Kita memiliki Kitab Suci, kita memiliki ajaran Gereja, kita memiliki homili setiap Minggu. Informasi dan bimbingan yang kita butuhkan untuk hidup benar sudah tersedia melimpah ruah. Pertanyaannya adalah, apakah kita mendengarkan dengan sungguh-sungguh? Apakah kita membiarkan Sabda Tuhan menantang dan membentuk kita, atau apakah kita membiarkannya berlalu begitu saja?

Praktik Lectio Divina (membaca, merenungkan, mendoakan, dan menghidupi Sabda Tuhan) dapat membantu kita untuk membuka hati kita lebih dalam terhadap suara Tuhan dalam Kitab Suci. Ini adalah cara untuk membiarkan Sabda itu tidak hanya didengar oleh telinga, tetapi juga meresap ke dalam jiwa dan menginspirasi tindakan nyata.

Pada akhirnya, perayaan Ekaristi dan Liturgi Sabda bukanlah akhir dari sebuah pengalaman spiritual, melainkan awal dari sebuah misi. Kita dipanggil untuk membawa pesan keadilan, belas kasih, dan pertobatan ini ke dalam dunia, menjadi "Kristus yang lain" bagi mereka yang kita temui, terutama mereka yang terpinggirkan, sehingga Kerajaan Allah dapat semakin nyata di bumi.

Mendalami Pentingnya Kitab Suci dalam Hidup Katolik

Pesan Abraham dalam perumpamaan Orang Kaya dan Lazarus—"Ada pada mereka kesaksian Musa dan para nabi; baiklah mereka mendengarkan kesaksian itu"—adalah sebuah penekanan luar biasa dari Yesus sendiri tentang sentralitas Kitab Suci. Bagi umat Katolik, Sabda Tuhan bukanlah sekadar teks kuno, melainkan firman yang hidup dan berkuasa, sumber hikmat, bimbingan, dan kekuatan spiritual. Oleh karena itu, memahami dan menghidupi Kitab Suci adalah pilar fundamental dari kehidupan iman kita.

1. Wahyu Allah yang Berkelanjutan

Gereja Katolik mengajarkan bahwa Kitab Suci adalah firman Allah yang diilhami. Ini berarti bahwa Allah, melalui Roh Kudus, membimbing para penulis manusia sehingga mereka menuliskan semua yang Dia ingin mereka tuliskan, dan hanya itu. Kitab Suci adalah catatan wahyu diri Allah kepada umat manusia, sebuah kisah panjang tentang cinta-Nya, rencana keselamatan-Nya, dan panggilan-Nya kepada kita.

Meskipun ditulis di masa lalu, Sabda Tuhan tidak pernah menjadi usang. Setiap kali kita membaca Kitab Suci, Allah berbicara kepada kita di masa kini, dalam konteks hidup kita yang spesifik. Ia menyingkapkan kebenaran-Nya, menantang dosa kita, menghibur dalam penderitaan, dan membimbing kita menuju hidup yang lebih penuh.

2. Kitab Suci dalam Liturgi Ekaristi

Puncak dari perjumpaan kita dengan Kitab Suci adalah dalam Liturgi Sabda selama Ekaristi. Di sana, Gereja tidak hanya membaca Sabda, tetapi memproklamasikannya sebagai sesuatu yang sakral dan hidup. Pembacaan-pembacaan (dari Perjanjian Lama, Mazmur Tanggapan, Surat-surat Apostolik, dan Injil) dipilih secara cermat dalam siklus tiga tahunan (Tahun A, B, C) untuk memastikan bahwa seluruh kekayaan wahyu ilahi dapat dinikmati oleh umat beriman.

Dalam Ekaristi, Sabda Tuhan tidak hanya didengar, tetapi juga menjadi makanan rohani yang mempersiapkan kita untuk menerima makanan Ekaristi. Keduanya—Meja Sabda dan Meja Ekaristi—adalah satu kesatuan tak terpisahkan yang menopang kehidupan Kristiani. Homili yang mengikuti pembacaan Injil berfungsi untuk menjelaskan dan mengaplikasikan Sabda Tuhan ke dalam kehidupan konkret umat beriman.

3. Pentingnya Lectio Divina

Selain mendengarkan Sabda dalam Liturgi, Gereja sangat menganjurkan praktik pribadi membaca Kitab Suci, terutama melalui metode Lectio Divina. Ini adalah cara yang kontemplatif untuk mendekati Kitab Suci, melibatkan empat langkah:

  1. Lectio (Membaca): Membaca bagian Kitab Suci dengan perlahan dan penuh perhatian, berulang kali, untuk memahami apa yang dikatakan teks.
  2. Meditatio (Merenungkan): Merenungkan teks, membiarkannya masuk ke dalam hati dan pikiran kita. Mengapa Allah mengatakan ini kepada saya? Apa artinya bagi hidup saya?
  3. Oratio (Berdoa): Merespons Sabda Tuhan dalam doa. Ini bisa berupa doa syukur, permohonan, penyesalan, atau pujian yang lahir dari perenungan.
  4. Contemplatio (Kontemplasi): Beristirahat dalam hadirat Allah, membiarkan diri dipenuhi oleh Sabda-Nya, tanpa kata-kata, sekadar berada dalam kasih-Nya.

Melalui Lectio Divina, Kitab Suci tidak hanya menjadi sumber informasi, tetapi menjadi tempat perjumpaan pribadi dengan Kristus, Sang Sabda yang hidup.

4. Kitab Suci sebagai Pedoman Moral dan Etika

Seperti yang ditekankan oleh Abraham, "Musa dan para nabi" memberikan panduan moral dan etika yang jelas bagi umat Allah. Perintah-perintah, hukum-hukum, dan ajaran-ajaran dalam Kitab Suci berfungsi sebagai kompas moral bagi kita. Mereka membantu kita membedakan yang baik dari yang jahat, yang benar dari yang salah, dan yang adil dari yang tidak adil.

Bacaan-bacaan hari ini adalah contoh sempurna dari ini. Mereka memberikan prinsip-prinsip yang jelas tentang bagaimana kita harus berhubungan dengan kekayaan, kemiskinan, dan sesama. Mengabaikan Sabda ini berarti mengabaikan bimbingan ilahi untuk hidup yang penuh dan bermakna.

5. Kitab Suci dan Tradisi Gereja

Bagi umat Katolik, Kitab Suci dipahami dalam terang Tradisi Suci dan Magisterium (Wewenang Mengajar Gereja). Ketiga pilar ini—Kitab Suci, Tradisi, dan Magisterium—bekerja sama secara harmonis untuk melestarikan dan menafsirkan wahyu ilahi. Tradisi membantu kita memahami konteks dan makna Kitab Suci yang kaya, dan Magisterium memastikan bahwa interpretasi kita tetap setia pada iman yang diwariskan oleh para Rasul.

Oleh karena itu, ketika kita membaca Kitab Suci, kita tidak sendirian. Kita membacanya bersama dengan komunitas Gereja yang telah merenungkan dan menghidupi Sabda itu selama dua ribu tahun. Ini memberikan kekayaan dan kedalaman yang luar biasa pada pengalaman kita dengan Firman Tuhan.

Dengan demikian, komitmen untuk mendalami Kitab Suci bukan hanya sebuah tugas rohani, tetapi sebuah hak istimewa yang akan memperkaya iman kita, membimbing langkah kita, dan menguatkan kita dalam panggilan kita untuk menjadi saksi Kristus di dunia.

Kesimpulan: Panggilan untuk Pertobatan yang Berkelanjutan

Bacaan-bacaan Katolik untuk Minggu Biasa Ke-26, yang berpusat pada tema keadilan, kekayaan, dan belas kasih, menyajikan sebuah seruan yang sangat kuat dan mendalam. Dari teguran keras Nabi Amos terhadap kemewahan yang egois, Mazmur yang mengagungkan Allah sebagai pembela yang miskin, nasihat pastoral Paulus tentang mengejar keutamaan iman, hingga perumpamaan Yesus yang mengguncang hati tentang Orang Kaya dan Lazarus, kita dihadapkan pada kebenaran yang tidak nyaman namun esensial: iman kita harus memiliki dampak nyata pada cara kita hidup dan berinteraksi dengan dunia.

Pesan utama yang bergema dari semua bacaan ini adalah panggilan untuk pertobatan. Ini bukan sekadar pertobatan dari dosa-dosa individu yang terang-terangan, melainkan juga pertobatan dari dosa-dosa kealpaan, dari ketidakacuhan yang mematikan, dan dari sikap egois yang mengutamakan kenyamanan pribadi di atas kebutuhan sesama. Orang kaya dalam perumpamaan Yesus tidak dihukum karena melakukan kejahatan aktif terhadap Lazarus, tetapi karena ia gagal melihat dan menanggapi kebutuhannya. Ini adalah pengingat yang serius bahwa dosa-dosa kita yang paling merusak mungkin adalah dosa-dosa pasif, yaitu kegagalan kita untuk mengasihi dan melayani ketika kita memiliki kesempatan.

Gereja, melalui ajaran sosialnya, terus-menerus mengingatkan kita akan tanggung jawab kita sebagai umat beriman untuk mewujudkan Kerajaan Allah di dunia ini, yang ditandai oleh keadilan, kasih, dan perdamaian. Ini berarti kita tidak bisa hanya berpuas diri dengan praktik-praktik keagamaan pribadi, tetapi harus aktif terlibat dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan manusiawi. Ini adalah panggilan untuk solidaritas dengan mereka yang menderita, untuk menjadi suara bagi mereka yang tidak bersuara, dan untuk menjadi tangan Kristus yang berbelas kasih di dunia.

Setiap kali kita mendengarkan Sabda Tuhan dalam Liturgi, kita menerima sebuah undangan baru untuk memperbaharui komitmen kita. Kita diingatkan bahwa kita memiliki "Musa dan para nabi"—Kitab Suci, ajaran Gereja, bimbingan Roh Kudus—yang memberikan kita semua yang kita butuhkan untuk mengetahui kehendak Allah. Pertanyaannya bukan lagi "Apa yang harus saya lakukan?", melainkan "Apakah saya akan mendengarkan dan bertindak sesuai dengan apa yang saya dengar?"

Marilah kita memohon rahmat dari Tuhan untuk membuka mata hati kita agar melihat Kristus dalam diri setiap Lazarus yang kita temui, untuk memiliki keberanian seperti Nabi Amos dalam menantang ketidakadilan, dan untuk mengejar keutamaan iman seperti yang diajarkan oleh Rasul Paulus. Semoga Sabda Tuhan hari ini menjadi api yang membakar semangat kita untuk menjadi instrumen keadilan dan belas kasih-Nya yang hidup di dunia ini, sehingga kita dapat menghidupi Injil secara otentik dan memuliakan Allah dengan seluruh keberadaan kita.

Dengan demikian, kita tidak hanya menjadi pendengar Sabda, tetapi menjadi pelaku Sabda, yang pada akhirnya akan membawa kita kepada kehidupan kekal dalam kebersamaan dengan Abraham, Lazarus, dan semua orang kudus di Kerajaan Surga. Amin.