Ilustrasi buku terbuka dengan hati di tengah, melambangkan kebenaran dan kasih ilahi

Khotbah 2 Yohanes 1:4-11: Kebenaran dan Kasih Ilahi dalam Dunia yang Penuh Penyesatan

Surat 2 Yohanes, meskipun singkat, adalah sebuah permata yang mengandung kebenaran-kebenaran vital bagi kehidupan gereja dan orang percaya. Ditulis oleh "Penatua" – yang secara luas diyakini adalah Rasul Yohanes sendiri – surat ini ditujukan kepada "Ibu yang terpilih dan anak-anaknya." Frase ini mungkin merujuk kepada sebuah gereja lokal dan jemaatnya, atau bisa juga kepada seorang perempuan Kristen terkemuka dan keluarganya. Apapun tafsiran spesifiknya, pesan inti surat ini relevan bagi kita semua: panggilan untuk hidup dalam kebenaran dan kasih, serta kewaspadaan terhadap ajaran sesat yang mengancam iman.

Dalam bagian khotbah ini, kita akan menyelami 2 Yohanes 1:4-11, sebuah bagian yang secara indah merangkum tension antara sukacita karena melihat umat percaya berjalan dalam kebenaran dan kewaspadaan yang harus ada terhadap ancaman penyesat. Kita akan melihat bagaimana Yohanes mendorong kita untuk merangkul kebenaran dan kasih sebagai dasar iman kita, sekaligus memperingatkan kita untuk tidak berkompromi dengan kesesatan. Ini adalah panggilan untuk kebijaksanaan rohani, keteguhan hati dalam doktrin, dan komitmen yang tak tergoyahkan terhadap jalan Allah.

Marilah kita membuka hati dan pikiran kita untuk Firman Tuhan, memohon agar Roh Kudus menerangi pengertian kita, sehingga kita tidak hanya menjadi pendengar Firman, tetapi juga pelaku yang setia.

2 Yohanes 1:4-11 (TB)
4 Aku sangat bersukacita, bahwa di antara anak-anakmu aku dapati ada yang hidup menurut kebenaran, sesuai dengan perintah yang telah kita terima dari Bapa.
5 Dan sekarang aku minta kepadamu, hai Ibu, bukan seolah-olah aku menuliskan perintah baru bagimu, melainkan perintah yang sudah ada pada kita dari mulanya, yaitu supaya kita saling mengasihi.
6 Dan inilah kasih itu, yaitu bahwa kita harus hidup menurut perintah-perintah-Nya. Itulah perintah, sebagaimana telah kamu dengar dari mulanya, bahwa kamu harus hidup di dalamnya.
7 Sebab banyak penyesat telah muncul dan pergi ke seluruh dunia, yang tidak mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia. Itu adalah si penyesat dan antikristus.
8 Waspadalah, supaya kamu jangan kehilangan apa yang telah kami kerjakan itu, tetapi supaya kamu memperoleh upahmu sepenuhnya.
9 Setiap orang yang tidak tinggal di dalam ajaran Kristus, tetapi melampauinya, ia tidak memiliki Allah. Barangsiapa tinggal di dalam ajaran itu, ia memiliki Bapa maupun Anak.
10 Jikalau seorang datang kepadamu dan ia tidak membawa ajaran ini, janganlah kamu menerima dia di dalam rumahmu dan janganlah memberi salam kepadanya.
11 Sebab barangsiapa memberi salam kepadanya, ia mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan jahatnya.

1. Sukacita dalam Kebenaran: Hidup yang Setia pada Ajaran Allah (2 Yohanes 1:4)

Ayat 4 dari 2 Yohanes dibuka dengan sebuah pernyataan yang menghangatkan hati: "Aku sangat bersukacita, bahwa di antara anak-anakmu aku dapati ada yang hidup menurut kebenaran, sesuai dengan perintah yang telah kita terima dari Bapa." Rasul Yohanes, sebagai "Penatua" yang penuh kasih, mengungkapkan sukacita yang mendalam ketika melihat jemaat, atau setidaknya sebagian dari mereka, berpegang teguh pada kebenaran. Sukacita ini bukan karena keberhasilan duniawi, kekayaan, atau status sosial, melainkan karena kesetiaan mereka pada jalan Tuhan. Ini adalah sukacita rohani yang tulus, yang bersumber dari melihat buah-buah iman yang sejati.

1.1. Apa Artinya "Hidup Menurut Kebenaran"?

Frase "hidup menurut kebenaran" adalah inti dari pernyataan Yohanes. Kebenaran yang dimaksud bukanlah kebenaran filosofis yang abstrak, melainkan kebenaran yang diwahyukan oleh Allah, yang berpuncak pada pribadi Yesus Kristus dan ajaran-Nya. Ini adalah kebenaran Injil yang memberitakan tentang penebusan dosa melalui kematian dan kebangkitan Kristus, dan jalan keselamatan melalui iman kepada-Nya. Hidup menurut kebenaran berarti:

1.2. Sumber Kebenaran: Perintah dari Bapa

Yohanes menekankan bahwa kebenaran ini tidak datang dari manusia, tetapi "dari Bapa." Ini memberikan otoritas ilahi yang tak terbantahkan pada kebenaran yang mereka ikuti. Dalam budaya yang terus-menerus mendefinisikan ulang apa itu "kebenaran," pengingat ini sangat penting. Kebenaran Kristen tidak relatif atau subjektif; itu adalah wahyu objektif dari Allah yang berdaulat. Ketika kita hidup menurut kebenaran ini, kita tidak hanya mengikuti ajaran kuno, tetapi kita selaras dengan kehendak Sang Pencipta alam semesta.

Menerima perintah dari Bapa juga menyiratkan sebuah hubungan. Sebagai anak-anak-Nya, kita dipanggil untuk mendengarkan suara Bapa dan menaati-Nya. Ini adalah inti dari hubungan perjanjian yang telah Ia tetapkan dengan umat-Nya. Ketaatan bukan karena takut hukuman semata, tetapi karena kasih dan rasa hormat yang mendalam kepada Bapa yang telah memberikan kebenaran-Nya kepada kita.

1.3. Implikasi Sukacita Rasul Yohanes

Sukacita Yohanes yang tulus ini adalah pelajaran berharga bagi para pemimpin rohani, orang tua, dan setiap orang percaya. Ketika kita melihat orang lain, terutama mereka yang kita bimbing atau kasihi, berjalan dalam kebenaran, itu adalah salah satu sukacita terbesar. Ini mengonfirmasi bahwa pekerjaan yang dilakukan, baik dalam pengajaran, penggembalaan, atau doa, tidak sia-sia. Sukacita ini adalah bukti hidup dari kuasa Firman Tuhan yang mentransformasi.

Bagi orang percaya, sukacita ini juga menjadi cerminan dari hati Allah. Allah sendiri bersukacita ketika anak-anak-Nya hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Ketika kita hidup menurut kebenaran, kita tidak hanya menyenangkan Yohanes atau sesama orang percaya, tetapi yang terpenting, kita menyenangkan hati Bapa surgawi.

Di dunia yang semakin diselimuti oleh kebingungan dan relativisme moral, komitmen untuk hidup menurut kebenaran adalah kesaksian yang kuat. Ini adalah mercusuar harapan yang menunjukkan bahwa ada jangkar yang teguh di tengah gelombang ketidakpastian. Yohanes melihat jangkar ini dalam kehidupan beberapa anak dari Ibu yang terpilih, dan sukacita-Nya mengalir deras karena kesetiaan mereka.

Maka, pertanyaan bagi kita adalah: Apakah hidup kita mencerminkan kebenaran yang telah kita terima dari Bapa? Apakah ada sukacita di antara mereka yang mengamati hidup kita, karena mereka mendapati kita berjalan dalam kebenaran? Ini adalah panggilan untuk introspeksi yang serius dan komitmen yang diperbarui untuk hidup dalam integritas rohani.

2. Kasih: Perintah Kekal yang Hidup dalam Ketaatan (2 Yohanes 1:5-6)

Setelah menyatakan sukacitanya atas ketaatan jemaat pada kebenaran, Yohanes beralih ke tema yang tak terpisahkan: kasih. Dalam ayat 5-6, ia menyatukan kebenaran dan kasih sebagai dua pilar utama kehidupan Kristen. Kita seringkali tergoda untuk memisahkan keduanya, menganggap kebenaran sebagai doktrin yang kaku dan kasih sebagai emosi yang lunak. Namun, Yohanes mengajarkan bahwa keduanya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

5 Dan sekarang aku minta kepadamu, hai Ibu, bukan seolah-olah aku menuliskan perintah baru bagimu, melainkan perintah yang sudah ada pada kita dari mulanya, yaitu supaya kita saling mengasihi.
6 Dan inilah kasih itu, yaitu bahwa kita harus hidup menurut perintah-perintah-Nya. Itulah perintah, sebagaimana telah kamu dengar dari mulanya, bahwa kamu harus hidup di dalamnya.

2.1. Kasih sebagai Perintah yang "Sudah Ada dari Mulanya"

Yohanes dengan tegas menyatakan bahwa perintah untuk saling mengasihi bukanlah "perintah baru," melainkan "perintah yang sudah ada pada kita dari mulanya." Pernyataan ini memiliki beberapa lapisan makna:

Kasih yang dimaksud di sini bukanlah sekadar perasaan hangat atau sentimental, melainkan sebuah tindakan kehendak, sebuah komitmen aktif terhadap kebaikan orang lain. Ini adalah kasih agape, kasih yang rela berkorban, yang mencari yang terbaik bagi orang lain tanpa syarat.

2.2. Interkoneksi Kasih dan Ketaatan: "Inilah Kasih Itu"

Ayat 6 adalah jembatan yang sangat penting yang menyatukan kebenaran dan kasih: "Dan inilah kasih itu, yaitu bahwa kita harus hidup menurut perintah-perintah-Nya. Itulah perintah, sebagaimana telah kamu dengar dari mulanya, bahwa kamu harus hidup di dalamnya." Yohanes tidak membiarkan kita berkhayal bahwa kasih bisa eksis terlepas dari ketaatan. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa manifestasi sejati dari kasih adalah melalui ketaatan pada perintah-perintah Allah.

Ini adalah poin krusial yang sering disalahpahami dalam Kekristenan modern. Ada kecenderungan untuk memisahkan kasih dari kebenaran, dengan argumen bahwa "Allah adalah kasih" berarti Dia akan menerima segalanya tanpa peduli pada standar kebenaran atau ketaatan-Nya. Namun, Yohanes, dalam konsistensinya dengan seluruh Alkitab, menegaskan bahwa kasih sejati selalu terungkap dalam ketaatan. Yesus sendiri berkata, "Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku" (Yohanes 14:15).

Kasih kepada Allah tidak dapat dipisahkan dari ketaatan kepada Firman-Nya. Jika kita mengklaim mengasihi Allah tetapi mengabaikan perintah-perintah-Nya, maka kasih kita palsu atau dangkal. Demikian pula, kasih kepada sesama juga harus berakar pada perintah-perintah Allah. Kita tidak dapat mengklaim mengasihi sesama jika kita membenarkan dosa, mendukung ketidakadilan, atau membiarkan penyesatan tanpa peringatan, karena tindakan-tindakan tersebut bertentangan dengan perintah-perintah Allah yang kudus.

Dengan demikian, "hidup menurut kebenaran" (ayat 4) dan "hidup menurut perintah-perintah-Nya" (ayat 6) adalah dua sisi mata uang yang sama. Kebenaran memberi kita standar, dan kasih memotivasi kita untuk memenuhi standar itu. Tanpa kebenaran, kasih menjadi sentimen yang mudah berubah dan tidak berdasar. Tanpa kasih, kebenaran menjadi legalisme yang dingin dan tidak berjiwa.

2.3. Praktik Kasih dalam Komunitas Kristen

Perintah untuk saling mengasihi memiliki implikasi praktis yang mendalam bagi kehidupan komunitas Kristen. Dalam konteks surat 2 Yohanes, di mana penyesat mengancam integritas gereja, kasih menjadi lebih penting lagi:

Intinya, Yohanes mengajak kita untuk hidup dalam lingkaran ilahi: kebenaran menginformasikan kasih kita, dan kasih kita memotivasi ketaatan kita pada kebenaran. Ini adalah cara hidup yang memuliakan Allah dan membangun komunitas Kristen yang kuat dan sehat. Mari kita terus bertanya pada diri sendiri: Apakah kasih kita terikat pada kebenaran Firman Tuhan, dan apakah ketaatan kita dimotivasi oleh kasih yang sejati?

3. Kewaspadaan Terhadap Penyesat dan Antikristus (2 Yohanes 1:7-9)

Setelah meletakkan dasar kebenaran dan kasih, Yohanes segera beralih ke ancaman yang mendesak yang dihadapi gereja: penyesatan. Ayat 7-9 adalah peringatan keras dan gamblang terhadap bahaya para penyesat dan ajaran palsu mereka. Dalam konteks modern, di mana "kebenaran" seringkali menjadi konsep yang relatif dan toleransi kadang disalahartikan sebagai penerimaan segala sesuatu, pesan Yohanes ini menjadi semakin relevan dan penting.

7 Sebab banyak penyesat telah muncul dan pergi ke seluruh dunia, yang tidak mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia. Itu adalah si penyesat dan antikristus.
8 Waspadalah, supaya kamu jangan kehilangan apa yang telah kami kerjakan itu, tetapi supaya kamu memperoleh upahmu sepenuhnya.
9 Setiap orang yang tidak tinggal di dalam ajaran Kristus, tetapi melampauinya, ia tidak memiliki Allah. Barangsiapa tinggal di dalam ajaran itu, ia memiliki Bapa maupun Anak.

3.1. Identifikasi Penyesat: Penyangkalan Inkarnasi

Yohanes tidak berbicara secara samar-samar tentang siapa penyesat ini. Ia memberikan kriteria yang sangat spesifik: "yang tidak mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia." Ini adalah poin doktrinal yang sangat mendasar dan non-negotiable dalam iman Kristen. Pada zaman Yohanes, ajaran sesat yang umum adalah Gnostisisme awal atau Docetisme, yang percaya bahwa materi itu jahat dan Allah yang kudus tidak mungkin berinkarnasi dalam tubuh fisik. Mereka berpendapat bahwa Yesus hanya *kelihatannya* seperti manusia, atau bahwa Kristus ilahi datang atas Yesus manusia pada baptisan-Nya dan meninggalkannya sebelum penyaliban-Nya.

Mengapa penyangkalan inkarnasi begitu berbahaya?

Yohanes bahkan lebih jauh lagi, menyatakan bahwa orang-orang seperti itu adalah "si penyesat dan antikristus." Istilah "antikristus" tidak hanya merujuk pada satu figur di akhir zaman, tetapi juga pada setiap roh atau orang yang menentang Kristus dan ajaran-Nya, terutama dalam hal menyangkal kebenaran inti tentang siapa Yesus itu. Ini adalah label yang sangat serius, menunjukkan betapa bahayanya ajaran ini di mata Allah.

3.2. Akibat Penyesatan: Kehilangan Upah dan Tidak Memiliki Allah

Peringatan Yohanes tidak hanya tentang identifikasi penyesat, tetapi juga tentang konsekuensi yang mengerikan bagi mereka yang terjerat dalam kesesatan ini. Ia mendesak, "Waspadalah, supaya kamu jangan kehilangan apa yang telah kami kerjakan itu, tetapi supaya kamu memperoleh upahmu sepenuhnya." Ini adalah peringatan untuk menjaga iman yang benar.

Apa yang bisa hilang?

Peringatan Yohanes sangat tajam di ayat 9: "Setiap orang yang tidak tinggal di dalam ajaran Kristus, tetapi melampauinya, ia tidak memiliki Allah. Barangsiapa tinggal di dalam ajaran itu, ia memiliki Bapa maupun Anak." Frase "melampauinya" (Yunani: proago) bisa berarti pergi terlalu jauh, melampaui batas yang ditetapkan oleh ajaran Kristus, atau meninggalkannya sama sekali. Intinya, ini adalah penolakan terhadap inti dari apa yang Kristus ajarkan dan siapa Dia. Ini adalah kesesatan yang fatal.

Implikasinya sangat jelas:

Ini bukan tentang nuansa teologis minor atau preferensi denominasional. Ini adalah tentang fondasi iman Kristen. Komitmen pada ajaran Kristus bukan pilihan, melainkan keharusan untuk memiliki Allah.

3.3. Pentingnya Berpegang pada Ajaran Kristus

Di tengah maraknya ideologi, filosofi, dan "kebenaran" alternatif di dunia, desakan Yohanes untuk "tinggal di dalam ajaran Kristus" adalah panggilan yang mendesak. Bagaimana kita bisa melakukannya?

  1. Belajar Firman dengan Tekun: Kita harus membaca, mempelajari, dan merenungkan Firman Tuhan secara konsisten. Ini adalah satu-satunya cara untuk membedakan kebenaran dari kesalahan.
  2. Memelihara Iman yang Ortodoks: Ini berarti berpegang teguh pada doktrin-doktrin inti kekristenan yang telah dipegang oleh gereja sepanjang zaman, seperti Tritunggal, keilahian dan kemanusiaan Kristus, penebusan melalui salib, dan kebangkitan.
  3. Berdoa untuk Hikmat dan Diskernasi: Roh Kudus adalah Roh Kebenaran (Yohanes 16:13). Kita perlu memohon kepada-Nya untuk memberikan hikmat dan kemampuan untuk membedakan roh-roh (1 Yohanes 4:1).
  4. Bertumbuh dalam Komunitas: Berada dalam komunitas orang percaya yang sehat dan berpusat pada Alkitab memberikan dukungan, pengajaran, dan akuntabilitas yang diperlukan untuk tetap setia pada ajaran Kristus.
  5. Menilai Segala Sesuatu: Paulus menasihati untuk "ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik" (1 Tesalonika 5:21). Kita tidak boleh menerima setiap ajaran atau guru secara membabi buta, tetapi harus mengujinya dengan Firman Tuhan.

Bahaya penyesatan adalah nyata. Sejarah gereja dipenuhi dengan contoh-contoh komunitas yang menyimpang dari kebenaran dan akhirnya kehilangan identitas Kristen mereka. Peringatan Yohanes adalah panggilan untuk tetap waspada, tidak lengah, dan senantiasa berakar kuat dalam ajaran yang telah diterima dari Kristus dan para rasul-Nya. Ini bukan tentang menjadi tidak toleran, melainkan tentang menjaga kemurnian Injil demi keselamatan jiwa-jiwa dan kemuliaan Allah.

4. Bagaimana Bersikap Terhadap Penyesat: Batasan Kasih dan Perlindungan Kebenaran (2 Yohanes 1:10-11)

Ayat-ayat terakhir dari bagian yang kita kaji ini, 2 Yohanes 1:10-11, berisi perintah yang mungkin paling sulit dan paling sering disalahpahami dalam seluruh surat ini. Yohanes memberikan instruksi yang sangat spesifik dan tampaknya keras tentang bagaimana jemaat harus berinteraksi dengan para penyesat. Ini menantang gagasan modern tentang toleransi tanpa batas dan kebaikan tanpa diskriminasi. Namun, untuk memahami pesan Yohanes dengan benar, kita harus melihatnya dalam terang konteksnya: perlindungan kebenaran Injil dan kesehatan rohani jemaat.

10 Jikalau seorang datang kepadamu dan ia tidak membawa ajaran ini, janganlah kamu menerima dia di dalam rumahmu dan janganlah memberi salam kepadanya.
11 Sebab barangsiapa memberi salam kepadanya, ia mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan jahatnya.

4.1. "Janganlah Kamu Menerima Dia di dalam Rumahmu"

Perintah pertama adalah "janganlah kamu menerima dia di dalam rumahmu." Pada zaman kuno, rumah seringkali berfungsi sebagai pusat ibadah dan pengajaran bagi komunitas Kristen lokal, terutama sebelum pembangunan gereja-gereja khusus. Menerima seseorang ke dalam rumah bukan hanya tentang keramah-tamahan sosial, tetapi seringkali juga berarti memberikan platform, pengakuan, dan dukungan kepada pengajar tersebut. Ini mirip dengan mengundang seorang penceramah untuk berbicara di mimbar gereja kita atau di kelompok studi Alkitab kita.

Jika seseorang datang dengan ajaran yang bertentangan dengan inti Injil (khususnya penyangkalan inkarnasi Kristus, seperti yang dijelaskan di ayat 7 dan 9), menerimanya ke dalam rumah atau komunitas berarti:

Perintah ini bukan tentang menutup pintu bagi setiap orang yang berbeda pandangan atau yang belum percaya. Ini secara khusus ditujukan kepada mereka yang secara aktif "tidak membawa ajaran ini," yaitu ajaran yang benar tentang Kristus. Ini adalah tindakan perlindungan terhadap kawanan domba dari serigala yang menyamar.

4.2. "Janganlah Memberi Salam Kepadanya"

Perintah kedua, "janganlah memberi salam kepadanya," mungkin terdengar lebih ekstrem bagi telinga modern. Kata Yunani untuk "salam" (chairein) tidak hanya berarti sapaan biasa seperti "halo," tetapi juga bisa berfungsi sebagai ucapan selamat atau harapan baik yang lebih formal. Dalam konteks budaya waktu itu, memberikan salam semacam itu kepada seorang guru pengelana bisa diartikan sebagai tanda persetujuan, persekutuan, atau dukungan bagi misi mereka. Ini mirip dengan memberikan "cap persetujuan" atau restu kepada seseorang dan pekerjaannya.

Yohanes tidak menganjurkan untuk menjadi kasar atau tidak ramah secara pribadi dalam setiap interaksi. Sebaliknya, ia melarang tindakan yang bisa diartikan sebagai dukungan terhadap misi dan ajaran sesat. Ini adalah tindakan tegas untuk menunjukkan pemisahan doktrinal yang jelas. Mengapa begitu penting?

Ayat 11 memberikan alasannya: "Sebab barangsiapa memberi salam kepadanya, ia mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan jahatnya." Ini adalah konsekuensi yang sangat serius. Dengan memberikan dukungan, bahkan yang tampaknya kecil seperti sebuah salam formal, seseorang bisa menjadi terlibat dalam kejahatan doktrinal penyesat tersebut. "Perbuatan-perbuatan jahatnya" adalah penyebaran ajaran palsu yang merusak iman dan menjauhkan orang dari Kristus.

Ini adalah panggilan untuk diskernasi yang tajam dan ketegasan moral. Kekristenan tidak pernah menganjurkan toleransi mutlak terhadap kebohongan. Ada saatnya kasih sejati menuntut kita untuk berdiri teguh demi kebenaran, bahkan jika itu berarti membuat kita tidak nyaman atau tampak "tidak ramah" di mata dunia.

4.3. Batasan Toleransi dan Perlindungan Jemaat

Pesan Yohanes di sini memberikan prinsip penting mengenai batasan toleransi. Kasih dan toleransi adalah nilai-nilai penting dalam kekristenan, tetapi keduanya harus selalu berakar dalam kebenaran. Toleransi tanpa kebenaran adalah acuh tak acuh. Kasih yang berkompromi dengan kesesatan bukanlah kasih sejati, karena ia gagal melindungi yang dikasihi dari bahaya rohani.

Ayat-ayat ini mengajarkan kita bahwa:

4.4. Penerapan di Era Modern

Bagaimana kita menerapkan perintah-perintah ini dalam masyarakat modern yang seringkali sangat mengedepankan inklusivitas dan toleransi?

  1. Bedakan antara Orang yang Mencari dan Penyesat Aktif: Yohanes tidak berbicara tentang orang yang belum percaya yang sedang mencari kebenaran, atau orang yang bergumul dengan pertanyaan iman. Gereja harus selalu terbuka untuk orang-orang seperti itu dengan kasih dan kerendahan hati. Ia berbicara tentang mereka yang secara sadar dan aktif menyebarkan ajaran yang merusak inti iman Kristen.
  2. Jaga Batasan Doktrinal: Gereja harus jelas tentang apa yang diyakininya sebagai kebenaran inti Injil. Sementara ada ruang untuk perbedaan pendapat tentang isu-isu sekunder, kita tidak boleh berkompromi pada doktrin-doktrin fundamental tentang Kristus dan keselamatan.
  3. Tolak Platform, Bukan Individu (dalam Batasan): Kita mungkin tidak harus memusuhi individu yang salah dalam doktrin dalam setiap interaksi sosial. Namun, kita harus menolak memberikan mereka platform untuk mengajar, atau dukungan yang bisa menyiratkan persetujuan terhadap ajaran mereka. Dalam konteks pelayanan gereja atau pengajaran, kita harus sangat ketat.
  4. Berdoa untuk Penyesat: Meskipun kita harus menolak ajaran mereka, kita tetap dipanggil untuk mengasihi musuh dan mendoakan mereka yang menyesatkan. Harapan kita adalah pertobatan mereka dan pengenalan mereka akan kebenaran.
  5. Berlatihlah Diskernasi Rohani: Di era informasi yang melimpah, di mana ajaran palsu dapat menyebar dengan cepat melalui media sosial dan platform digital, kita harus lebih dari sebelumnya melatih diskernasi rohani. Kita perlu membandingkan semua yang kita dengar dengan Firman Tuhan.

Perintah Yohanes ini tidak populer, tetapi vital. Ini adalah tindakan kasih yang kuat untuk melindungi jemaat dari kehancuran rohani. Dalam dunia yang terus-menerus mencoba mengikis kebenaran mutlak, kita dipanggil untuk berani berdiri teguh, menjaga ajaran Kristus, dan melindungi kawanan domba dari segala bentuk kesesatan. Ini adalah bagian dari panggilan kita untuk hidup dalam kebenaran dan kasih ilahi.

Penutup: Bertahan dalam Kebenaran dan Kasih

Surat 2 Yohanes, meskipun begitu singkat, telah memberikan kita sebuah pesan yang padat dan mendalam. Melalui tiga poin utama kita – sukacita dalam kebenaran, kasih sebagai perintah kekal, dan kewaspadaan terhadap penyesat – Rasul Yohanes menggarisbawahi esensi dari kehidupan Kristen yang otentik. Dia tidak hanya memanggil kita untuk sebuah pengalaman iman yang subjektif, tetapi untuk sebuah iman yang berakar kuat dalam kebenaran objektif dan diwujudkan melalui kasih yang taat.

Kita telah melihat bahwa sukacita sejati dalam iman muncul ketika kita melihat diri kita sendiri dan sesama orang percaya "hidup menurut kebenaran, sesuai dengan perintah yang telah kita terima dari Bapa" (ayat 4). Kebenaran ini bukan ciptaan manusia, melainkan wahyu ilahi yang harus kita peluk dan taati.

Selanjutnya, Yohanes mengingatkan kita bahwa kasih bukanlah pilihan, melainkan "perintah yang sudah ada pada kita dari mulanya" (ayat 5). Kasih yang sejati, seperti yang dijelaskan dalam ayat 6, adalah "bahwa kita harus hidup menurut perintah-perintah-Nya." Dengan demikian, kebenaran dan kasih tidak dapat dipisahkan; kasih yang otentik selalu terwujud dalam ketaatan pada kebenaran ilahi.

Akhirnya, dan mungkin yang paling menantang, Yohanes memperingatkan kita dengan keras terhadap "banyak penyesat" yang menyangkal kebenaran inti tentang Yesus Kristus yang datang sebagai manusia. Ia menegaskan bahwa orang-orang seperti itu adalah "si penyesat dan antikristus," dan bahwa mereka yang melampaui ajaran Kristus "tidak memiliki Allah" (ayat 7-9). Oleh karena itu, kita dipanggil untuk "waspada" agar tidak kehilangan upah kita. Peringatan ini berpuncak pada instruksi yang tegas untuk tidak memberikan dukungan atau persekutuan kepada penyesat, agar kita tidak ikut serta dalam perbuatan jahat mereka (ayat 10-11).

Pesan 2 Yohanes adalah seruan untuk ketegasan rohani di tengah dunia yang terus berubah. Ini adalah panggilan untuk:

Semoga kita semua, sebagai anak-anak Allah yang terpilih, diberi kekuatan oleh Roh Kudus untuk hidup dalam kebenaran dan kasih yang tak tergoyahkan. Marilah kita berdiri teguh dalam iman yang telah dipercayakan kepada kita, menjadi mercusuar kebenaran dan kasih di tengah dunia yang gelap dan penuh penyesatan. Dengan demikian, kita akan memuliakan Bapa dan Anak, dan meraih upah kita sepenuhnya.

Amin.