Pengantar: Kekayaan Sabda Tuhan dalam Setiap Hari
Setiap hari, umat beriman diundang untuk merenungkan Sabda Tuhan yang disampaikan melalui bacaan-bacaan Kitab Suci. Liturgi Gereja yang kaya menyediakan makanan rohani yang berkelanjutan, membimbing kita dalam perjalanan iman, memberikan terang di tengah kegelapan, dan menuntun langkah kita menuju kehidupan yang lebih bermakna dan berpusat pada Kristus. Membaca Kitab Suci bukanlah sekadar membaca teks kuno, melainkan sebuah pertemuan hidup dengan Tuhan yang terus berbicara kepada umat-Nya melalui kata-kata yang diilhami.
Bacaan-bacaan yang akan kita renungkan secara khusus memiliki benang merah yang kuat, mengajak kita untuk melihat bagaimana karunia-karunia rohani yang beragam itu dimaksudkan untuk membangun satu tubuh, bagaimana sukacita dalam ibadat mendorong kita untuk mencari damai, dan bagaimana kesabaran ilahi senantiasa memanggil kita pada pertobatan yang menghasilkan buah. Ketiga bacaan ini, meskipun berasal dari konteks dan penulis yang berbeda, secara harmonis menyatu untuk membentuk sebuah seruan yang koheren bagi setiap orang percaya agar hidup otentik dalam Kristus, bertumbuh dalam iman, dan berbuah bagi kemuliaan Tuhan.
Surat Paulus kepada Jemaat di Efesus mengajak kita menyelami misteri Tubuh Kristus yang satu, dibangun oleh berbagai karunia yang diberikan Roh Kudus. Mazmur mengajarkan kita tentang sukacita dan kedamaian yang ditemukan dalam hadirat Tuhan dan dalam komunitas-Nya. Sementara itu, Injil Lukas menghadirkan perumpamaan yang kuat tentang pertobatan, kesabaran Allah, dan pentingnya menghasilkan buah-buah pertobatan dalam hidup kita. Mari kita telusuri setiap bagian ini dengan hati yang terbuka, membiarkan Sabda Tuhan menembus kedalaman jiwa kita dan mengubah hidup kita.
Bagian Pertama: Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Efesus (Efesus 4:7-16) – Kesatuan dalam Keberagaman Karunia
Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus menguraikan sebuah visi yang agung tentang Gereja sebagai Tubuh Kristus. Pasal 4 ini secara spesifik berfokus pada pentingnya kesatuan dan bagaimana kesatuan ini diperkokoh melalui keberagaman karunia-karunia rohani yang diberikan oleh Kristus. Bagian ini bukan hanya sekadar daftar karunia, melainkan sebuah penjelasan mendalam tentang tujuan dan fungsi dari setiap karunia dalam rangka pembangunan Tubuh Kristus yang sempurna.
Pemberian Karunia Sesuai Ukuran Anugerah Kristus
"Tetapi kepada kita masing-masing telah dianugerahkan kasih karunia menurut ukuran pemberian Kristus. Itulah sebabnya kata nas: "Ia telah naik ke tempat tinggi, membawa tawanan-tawanan; Ia telah memberikan pemberian-pemberian kepada manusia." Bukankah "Ia telah naik" berarti, bahwa Ia juga telah turun ke bagian-bagian bumi yang paling bawah? Ia yang telah turun, Ia juga yang telah naik jauh lebih tinggi dari pada semua langit, untuk memenuhkan segala sesuatu."
(Efesus 4:7-10)
Paulus memulai dengan penegasan bahwa setiap orang percaya telah menerima kasih karunia. Karunia ini tidak diberikan secara seragam, melainkan "menurut ukuran pemberian Kristus." Ini menunjukkan kedaulatan Allah dalam memberikan karunia-karunia, dan bahwa setiap pemberian itu adalah sebuah anugerah, bukan hasil usaha atau jasa manusia. Konsep ini menegaskan keunikan setiap individu dalam Gereja dan menolak segala bentuk arogansi rohani atau rasa rendah diri.
Paulus mengutip Mazmur 68:19 untuk menjelaskan bahwa setelah Kristus bangkit dan naik ke surga, Ia memberikan "pemberian-pemberian kepada manusia." Penjelasan Paulus tentang "turun ke bagian-bagian bumi yang paling bawah" (yang sering diinterpretasikan sebagai turunnya Kristus ke alam maut atau penjelmaan-Nya) dan kemudian "naik jauh lebih tinggi dari pada semua langit," menekankan kemuliaan dan otoritas Kristus. Ia yang telah mengalami kedalaman penderitaan manusia kini bertakhta di tempat yang paling tinggi, dan dari posisi kemuliaan inilah Ia mencurahkan karunia-karunia-Nya kepada Gereja.
Implikasinya bagi kita sangat mendalam. Ini berarti karunia yang kita miliki bukan berasal dari diri kita sendiri, melainkan dari Kristus yang mahakuasa dan mahaesa. Hal ini seharusnya mendorong kita pada kerendahan hati dan rasa syukur. Setiap karunia, sekecil apa pun kelihatannya, adalah manifestasi dari anugerah Kristus yang melimpah, bertujuan untuk memenuhi rencana ilahi-Nya di dunia.
Jenis-jenis Karunia dan Tujuan Pemberiannya
"Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus."
(Efesus 4:11-12)
Paulus kemudian menyebutkan beberapa karunia kepemimpinan yang spesifik: rasul, nabi, pemberita Injil, gembala, dan pengajar. Penting untuk dicatat bahwa ini bukan daftar yang eksklusif atau lengkap dari semua karunia rohani (lihat 1 Korintus 12 atau Roma 12 untuk daftar yang lebih luas). Sebaliknya, ini adalah contoh karunia-karunia yang sangat penting untuk kepemimpinan dan pengarahan jemaat pada masa itu.
Fokus utama di sini adalah pada tujuan dari pemberian karunia-karunia ini: "untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus." Ini adalah inti dari ajaran Paulus. Karunia-karunia kepemimpinan ini tidak diberikan untuk kemuliaan pribadi atau untuk mendominasi, melainkan untuk memperlengkapi setiap anggota jemaat, "orang-orang kudus," agar mereka dapat melaksanakan pelayanan mereka sendiri. Setiap orang percaya dipanggil untuk melayani, dan para pemimpin karunia ini bertugas untuk membimbing dan melatih jemaat agar mereka dapat berkarya secara efektif.
Pembangunan Tubuh Kristus adalah tujuan akhir. Ini bukan hanya tentang pertumbuhan jumlah, tetapi juga pertumbuhan kualitas: kedewasaan rohani, kekuatan iman, dan kesatuan dalam kasih. Gereja bukanlah sekadar kumpulan individu, tetapi sebuah organisme hidup yang saling bergantung, di mana setiap bagian memiliki peran vital dalam kesehatan dan pertumbuhannya secara keseluruhan.
Menuju Kedewasaan Kristus dan Kesatuan Iman
"sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan serong manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala."
(Efesus 4:13-15)
Tujuan dari seluruh proses ini sangat ambisius: mencapai "kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah," serta "kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus." Ini adalah gambaran tentang Gereja yang dewasa, yang tidak lagi rapuh atau mudah diombang-ambingkan oleh ajaran-ajaran sesat atau tipu daya manusia. Kedewasaan ini mencakup pemahaman doktrinal yang kokoh dan kehidupan yang mencerminkan karakter Kristus.
Paulus menggambarkan bahaya dari ketidakdewasaan: menjadi "anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran." Dunia ini penuh dengan berbagai ideologi, filosofi, dan interpretasi yang menyimpang dari kebenaran Injil. Tanpa dasar yang kokoh dalam Kristus dan dalam pengajaran yang benar, umat percaya dapat dengan mudah tersesat.
Solusinya adalah "dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala." Kebenaran dan kasih harus berjalan beriringan. Memegang kebenaran tanpa kasih bisa menjadi dogmatis dan dingin. Memiliki kasih tanpa dasar kebenaran bisa menjadi sentimental dan tidak berarah. Keduanya harus ada untuk mencapai pertumbuhan rohani yang sejati, yang selalu berpusat pada Kristus sebagai Kepala Gereja.
Setiap Bagian Berkontribusi untuk Pertumbuhan Tubuh
"Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, yang rapi tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota, menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih."
(Efesus 4:16)
Ayat terakhir ini merangkum seluruh gagasan Paulus tentang Tubuh Kristus. Kristus adalah Kepala, sumber kehidupan, dan penggerak bagi seluruh tubuh. Tubuh itu "rapi tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya." Ini adalah gambaran sebuah organisme yang kompleks dan harmonis, di mana setiap sel, setiap organ, memiliki fungsi spesifik dan penting.
Tidak ada anggota yang terlalu kecil atau tidak signifikan. Setiap orang percaya memiliki karunia dan peran "sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota." Melalui kontribusi unik dari setiap individu, Tubuh Kristus "menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih." Kasih adalah perekat yang mengikat semuanya, motivasi yang mendorong pelayanan, dan atmosfer di mana pertumbuhan sejati terjadi.
Inti pesan dari Efesus 4:7-16 adalah bahwa kesatuan bukanlah keseragaman. Kesatuan justru ditemukan dalam keberagaman, di mana setiap anggota menggunakan karunia uniknya untuk melayani yang lain, semuanya di bawah kepemimpinan Kristus, dengan tujuan akhir membangun tubuh-Nya dalam kasih dan mencapai kedewasaan rohani. Ini adalah panggilan untuk melihat diri kita sebagai bagian integral dari sesuatu yang lebih besar, dengan tanggung jawab untuk berpartisipasi aktif dalam misi ilahi Gereja.
Bagian Kedua: Mazmur Tanggapan (Mazmur 122:1-2, 3-4ab, 4cd-5) – Sukacita di Rumah Tuhan
Mazmur 122 adalah sebuah kidung ziarah, sebuah lagu yang dinyanyikan oleh para peziarah Israel saat mereka melakukan perjalanan ke Yerusalem untuk merayakan hari-hari raya. Mazmur ini memancarkan sukacita yang mendalam dan kerinduan akan kota kudus, Yerusalem, yang melambangkan hadirat Tuhan dan pusat kehidupan spiritual bagi umat Israel. Bagi kita saat ini, Mazmur ini berbicara tentang pentingnya komunitas iman, tempat ibadah, dan kerinduan akan kedamaian ilahi.
Sukacita Mendalam Akan Pergi ke Rumah Tuhan
"Aku bersukacita, ketika dikatakan kepadaku: "Mari kita pergi ke rumah TUHAN!" Kini kaki kami berdiri di pintu gerbangmu, ya Yerusalem."
(Mazmur 122:1-2)
Pembukaan Mazmur ini segera mengungkapkan emosi inti: sukacita. Ini bukan sukacita biasa, melainkan sukacita yang timbul dari antisipasi untuk pergi ke "rumah TUHAN." Bagi seorang Israel kuno, pergi ke Yerusalem untuk beribadah di Bait Allah adalah puncak dari kehidupan spiritual mereka. Ini adalah perjalanan yang penuh makna, sebuah ziarah yang menyatukan mereka dengan sesama umat dan dengan kehadiran Allah yang kudus.
Ungkapan "kaki kami berdiri di pintu gerbangmu, ya Yerusalem" menggambarkan momen puncak dari perjalanan panjang tersebut. Setelah berhari-hari atau berminggu-minggu berjalan, akhirnya mereka tiba di gerbang kota. Perasaan lega, sukacita, dan antisipasi untuk masuk ke dalam kota dan akhirnya ke Bait Allah pasti meluap-luap. Ini adalah perasaan yang dapat kita hubungkan dengan saat kita datang ke tempat ibadah, entah itu gereja, kapel, atau bahkan pertemuan doa di rumah, dengan hati yang penuh kerinduan untuk berjumpa dengan Tuhan dan bersekutu dengan saudara seiman.
Ayat ini mengingatkan kita akan pentingnya ibadah komunal dan kehadiran fisik di tempat yang dikuduskan untuk perjumpaan dengan Tuhan. Di tengah kehidupan yang serba cepat dan seringkali individualistik, Mazmur ini memanggil kita kembali kepada sukacita sederhana namun mendalam yang ditemukan dalam kebersamaan rohani dan dalam mendekat kepada Allah dalam komunitas. Ini adalah respons yang pantas bagi orang yang mengasihi Allah dan menghargai kesempatan untuk bersekutu dengan-Nya dan umat-Nya.
Yerusalem sebagai Pusat Kesatuan dan Kedamaian
"Hai Yerusalem, yang dibangun sebagai kota yang rapi tersusun, tempat suku-suku naik, yakni suku-suku TUHAN, untuk bersaksi bagi Israel dan untuk mengucap syukur kepada nama TUHAN. Sebab di sanalah diletakkan kursi-kursi pengadilan, kursi-kursi rumah Daud."
(Mazmur 122:3-5)
Yerusalem digambarkan sebagai "kota yang rapi tersusun," sebuah gambaran yang menekankan keteraturan, stabilitas, dan keindahan. Lebih dari sekadar kota fisik, Yerusalem adalah simbol kesatuan bagi suku-suku Israel yang berbeda. Ini adalah tempat di mana "suku-suku naik," berkumpul dari seluruh penjuru negeri untuk "bersaksi bagi Israel dan untuk mengucap syukur kepada nama TUHAN." Ini adalah pusat kehidupan keagamaan, sosial, dan bahkan politik.
Kehadiran "kursi-kursi pengadilan, kursi-kursi rumah Daud," menunjukkan bahwa Yerusalem juga merupakan pusat keadilan dan pemerintahan. Ini adalah tempat di mana keadilan ditegakkan dan di mana keturunan Daud memerintah, menjaga tatanan dan kedamaian bangsa. Dengan demikian, Yerusalem tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga lambang dari tatanan ilahi yang melibatkan baik aspek spiritual maupun aspek kemasyarakatan.
Bagi Gereja saat ini, Yerusalem dapat dilihat sebagai metafora untuk komunitas orang percaya. Gereja, sama seperti Yerusalem kuno, dipanggil untuk menjadi tempat kesatuan di tengah keberagaman, tempat di mana umat Tuhan berkumpul untuk beribadah, saling membangun, dan mencari keadilan ilahi. Ini adalah tempat di mana Kristus, keturunan Daud yang sejati, memerintah sebagai Raja dan Hakim.
Doa untuk Kedamaian Yerusalem
"Berdoalah untuk perdamaian Yerusalem: "Biarlah orang-orang yang mencintaimu hidup tenteram! Biarlah damai sejahtera ada di dalam tembok-tembokmu, dan ketenteraman di dalam istana-istanamu! Oleh karena saudara-saudaraku dan teman-temanku, aku mau berkata: "Damai sejahtera bagimu!" Oleh karena rumah TUHAN, Allah kita, aku mau mencari kebaikan bagimu.""
(Mazmur 122:6-9)
Mazmur ini berakhir dengan sebuah doa yang kuat untuk "perdamaian Yerusalem." Ini adalah doa yang relevan sepanjang masa. Kata Ibrani untuk damai sejahtera, "shalom," memiliki makna yang jauh lebih luas dari sekadar absennya konflik; ia mencakup kesejahteraan, keutuhan, kelengkapan, dan kemakmuran dalam segala aspek kehidupan. Mendoakan shalom Yerusalem berarti mendoakan kesejahteraan total bagi kota itu dan penduduknya.
Alasan untuk mendoakan Yerusalem adalah ganda: "Oleh karena saudara-saudaraku dan teman-temanku" dan "Oleh karena rumah TUHAN, Allah kita." Ini menunjukkan bahwa kepedulian terhadap komunitas dan kepedulian terhadap ibadah kepada Tuhan saling terkait. Kesejahteraan kota berarti kesejahteraan orang-orang yang tinggal di dalamnya, dan kesejahteraan mereka juga berarti ibadah kepada Tuhan dapat berlangsung dengan damai.
Bagi kita, ini adalah panggilan untuk mendoakan gereja kita, komunitas iman kita, dan bahkan kota atau negara kita. Mendoakan "shalom" bagi tempat-tempat ini berarti mendoakan agar Tuhan memberkati mereka dengan kesejahteraan rohani, sosial, dan fisik. Ini juga berarti secara aktif mencari kebaikan bagi mereka, bukan hanya melalui doa tetapi juga melalui tindakan kasih dan pelayanan, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasul Paulus dalam suratnya.
Mazmur 122 mengingatkan kita bahwa ibadah bukanlah aktivitas soliter. Ia adalah pengalaman komunal yang membawa sukacita, mempererat ikatan, dan mendorong kita untuk mendoakan dan mencari kebaikan bagi komunitas iman kita dan juga dunia di sekitar kita. Ini adalah seruan untuk menghargai tempat di mana kita bertemu dengan Tuhan dan umat-Nya, serta untuk menjadi pembawa damai di tengah-tengah dunia yang seringkali gelisah.
Bagian Ketiga: Injil Lukas (Lukas 13:1-9) – Panggilan untuk Pertobatan dan Kesabaran Allah
Bagian Injil dari Lukas 13 ini menghadirkan sebuah perjumpaan yang kuat antara Yesus dan orang banyak, yang diwarnai oleh pertanyaan tentang penderitaan, panggilan mendesak untuk pertobatan, dan perumpamaan yang penuh makna tentang kesabaran Allah. Yesus menantang pemikiran konvensional tentang dosa dan penderitaan, dan menegaskan bahwa pertobatan adalah kunci untuk menghindari kehancuran.
Bukan Hukuman, Melainkan Panggilan Pertobatan
"Pada waktu itu datanglah kepada Yesus beberapa orang dan memberitahukan kepada-Nya tentang orang-orang Galilea, yang darahnya dicampur Pilatus dengan korban-korban mereka. Yesus menjawab mereka: "Sangkamu orang-orang Galilea itu lebih besar dosanya dari pada segala orang Galilea yang lain, karena mereka menderita hal itu? Tidak, kata-Ku kepadamu. Jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa dengan cara demikian. Atau sangkamu kedelapan belas orang, yang mati ditimpa menara dekat Siloam, lebih besar kesalahannya dari pada segala orang lain yang diam di Yerusalem? Tidak, kata-Ku kepadamu. Jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa dengan cara demikian.""
(Lukas 13:1-5)
Pembukaan perikop ini mencatat dua insiden tragis yang dilaporkan kepada Yesus: pembantaian orang Galilea oleh Pilatus saat mereka mempersembahkan korban, dan kematian 18 orang yang tertimpa menara di Siloam. Dalam budaya Yahudi pada masa itu, sering ada kecenderungan untuk menghubungkan penderitaan dan bencana langsung dengan dosa-dosa tertentu dari individu yang mengalaminya. Orang-orang mungkin berpikir bahwa para korban ini pasti lebih berdosa daripada yang lain.
Yesus dengan tegas menolak pandangan ini. Ia tidak mengatakan bahwa mereka tidak berdosa sama sekali, tetapi Ia menolak ide bahwa penderitaan mereka adalah bukti dosa yang lebih besar dibandingkan dengan orang lain. Dengan kata lain, bencana dan tragedi bukan selalu merupakan hukuman langsung Allah atas dosa-dosa individu. Ini adalah pelajaran penting yang menantang pandangan kita sendiri tentang penderitaan dan keadilan ilahi.
Sebaliknya, Yesus menggunakan insiden-insiden tragis ini sebagai sebuah peringatan universal dan seruan mendesak: "Jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa dengan cara demikian." Fokusnya beralih dari menganalisis dosa orang lain ke introspeksi diri dan kebutuhan akan pertobatan pribadi. Kematian yang mendadak dan tak terduga seharusnya menjadi pengingat akan kerapuhan hidup dan urgensi untuk berdamai dengan Allah. Pertobatan ("metanoia" dalam bahasa Yunani, yang berarti perubahan pikiran, arah, atau hati) adalah respons yang diminta dari setiap individu, bukan hanya dari mereka yang menderita bencana.
Pernyataan Yesus ini mengandung kebenaran yang mengejutkan dan seringkali tidak nyaman. Ia menarik perhatian dari spekulasi tentang mengapa orang lain menderita dan mengalihkannya pada tanggung jawab pribadi kita untuk bertobat dan hidup benar. Ini adalah peringatan bahwa setiap orang berdiri di hadapan Allah yang kudus, dan setiap orang perlu memeriksa kehidupannya sendiri. Kehancuran yang dibicarakan Yesus tidak hanya terbatas pada kematian fisik, tetapi juga dapat merujuk pada kehancuran rohani yang kekal jika seseorang menolak panggilan pertobatan.
Perumpamaan tentang Pohon Ara yang Tidak Berbuah
"Lalu Yesus menceritakan perumpamaan ini: "Seorang mempunyai pohon ara yang tumbuh di kebun anggurnya, dan ia datang mencari buah pada pohon itu, tetapi ia tidak menemukannya. Lalu ia berkata kepada pengurus kebun anggur itu: Sudah tiga tahun aku datang mencari buah pada pohon ara ini, dan aku tidak menemukannya. Tebanglah pohon ini! Untuk apa ia menghabiskan tanah? Tetapi jawab pengurus kebun anggur itu: Tuan, biarkanlah dia tumbuh setahun lagi, aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya, mungkin tahun depan ia berbuah; jika tidak, tebanglah dia!""
(Lukas 13:6-9)
Setelah seruan untuk pertobatan, Yesus melanjutkan dengan perumpamaan tentang pohon ara. Pohon ara yang ditanam di kebun anggur adalah simbol yang lazim dalam Kitab Suci untuk bangsa Israel, tetapi dalam konteks ini, ia dapat mewakili setiap individu atau kelompok yang telah menerima kasih karunia dan pemeliharaan Allah. Pemilik kebun anggur yang datang mencari buah selama tiga tahun melambangkan Allah yang penuh kesabaran, yang telah memberikan waktu dan kesempatan kepada umat-Nya untuk menghasilkan buah-buah kebenaran.
Fakta bahwa pemilik kebun tidak menemukan buah selama tiga tahun adalah masalah yang serius. Pohon ara seharusnya berbuah, dan jika tidak, ia "menghabiskan tanah," yaitu menyia-nyiakan sumber daya dan potensi yang bisa digunakan untuk tanaman yang berbuah. Permintaan pemilik kebun untuk "tebanglah pohon ini!" menunjukkan bahwa ada batas waktu untuk kesabaran Allah. Ia adil dan mengharapkan hasil dari investasi-Nya.
Namun, di sini peran "pengurus kebun anggur" menjadi krusial. Pengurus ini, yang sering diinterpretasikan sebagai Yesus Kristus sendiri atau mereka yang berdoa syafaat, memohon agar pohon itu diberi kesempatan satu tahun lagi. Ia berjanji untuk melakukan upaya ekstra: "mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya." Ini adalah gambaran tentang kasih karunia dan intervensi ilahi yang memberikan kesempatan kedua, ketiga, bahkan keempat.
Syaratnya adalah "mungkin tahun depan ia berbuah; jika tidak, tebanglah dia!" Kesabaran Allah bukanlah tanpa batas, dan kasih karunia-Nya bukan tanpa tujuan. Kesabaran itu diberikan agar kita dapat bertobat dan menghasilkan buah. Jika kesempatan tambahan ini juga disia-siakan, maka konsekuensi yang tegas akan datang. Perumpamaan ini menegaskan urgensi pertobatan dan mengingatkan kita bahwa kita harus menjadi orang-orang yang berbuah.
Pesan dari perumpamaan ini adalah bahwa Allah itu panjang sabar. Ia tidak segera menghukum ketika kita gagal berbuah, tetapi Ia memberikan waktu, kesempatan, dan sumber daya untuk pertumbuhan. Namun, kesabaran-Nya memiliki batas, dan pada akhirnya, setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas bagaimana ia menggunakan waktu dan anugerah yang telah diberikan. Ini adalah panggilan untuk menanggapi kesabaran Allah dengan hati yang bertobat dan kehidupan yang berbuah.
Koneksi Antar Bacaan: Tema-tema yang Saling Menguatkan
Ketiga bacaan ini, meskipun berbeda konteks dan asalnya, berbicara dalam harmoni yang luar biasa, menyajikan sebuah pesan yang komprehensif tentang kehidupan Kristen. Ada beberapa benang merah yang kuat yang menghubungkan Efesus 4, Mazmur 122, dan Lukas 13, memberikan kita pemahaman yang lebih dalam tentang kehendak Allah bagi umat-Nya.
1. Panggilan pada Kesatuan dan Komunitas
Surat Efesus berbicara tentang "kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah" (Ef 4:13) dan bagaimana seluruh tubuh "rapi tersusun dan diikat menjadi satu" (Ef 4:16). Ini adalah gambaran tentang Gereja sebagai komunitas yang utuh, di mana setiap anggota, dengan karunia-karunia uniknya, berkontribusi pada pertumbuhan bersama dalam kasih. Tidak ada ruang untuk individualisme yang ekstrem; sebaliknya, ada penekanan pada saling ketergantungan dan pelayanan satu sama lain.
Mazmur 122 secara indah menggambarkan sukacita yang ditemukan dalam komunitas ini. Yerusalem, sebagai pusat ibadah dan pertemuan suku-suku Israel, melambangkan tempat di mana umat Tuhan berkumpul dalam kesatuan. Ungkapan "Mari kita pergi ke rumah TUHAN!" (Mzm 122:1) adalah undangan untuk berkumpul, untuk berbagi sukacita dalam hadirat Allah, dan untuk mencari damai sejahtera bersama. Doa untuk "kedamaian Yerusalem" (Mzm 122:6) adalah doa untuk kesejahteraan komunitas yang utuh, yang mencakup baik aspek spiritual maupun sosial.
Injil Lukas, meskipun fokus utamanya pada pertobatan individu, secara implisit mendukung pentingnya komunitas. Perumpamaan tentang pohon ara yang diberi kesempatan tambahan oleh pengurus kebun anggur dapat dilihat sebagai refleksi peran Gereja (atau mereka yang bersyafaat) dalam mendukung pertumbuhan individu. Komunitas yang sehat akan mendorong anggotanya untuk bertobat, bertumbuh, dan berbuah, sebagaimana para pemimpin dalam Efesus 4 "memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan."
2. Urgensi Pertobatan dan Kedewasaan Rohani
Lukas 13 dengan tegas menyatakan: "Jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa dengan cara demikian" (Luk 13:3,5). Ini adalah seruan yang mendesak bagi setiap orang untuk memeriksa hatinya dan berbalik dari dosa. Kesabaran Allah, seperti yang digambarkan dalam perumpamaan pohon ara, diberikan sebagai kesempatan untuk bertobat dan menghasilkan buah. Pertobatan bukanlah peristiwa sekali jalan, melainkan sebuah proses berkelanjutan yang membentuk karakter kita.
Seruan untuk pertobatan ini selaras dengan tujuan yang Paulus sampaikan dalam Efesus 4: mencapai "kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus" (Ef 4:13). Kedewasaan rohani mencakup kemampuan untuk membedakan kebenaran dari kesalahan, untuk tidak lagi "diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran," dan untuk "bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus." Pertobatan adalah langkah pertama dan terus-menerus menuju kedewasaan ini. Seseorang yang sungguh-sungguh bertobat akan menghasilkan buah-buah Roh yang menunjukkan kedewasaan dan keserupaan dengan Kristus.
Mazmur 122, dengan fokusnya pada Yerusalem sebagai "tempat suku-suku naik... untuk mengucap syukur kepada nama TUHAN" (Mzm 122:4), juga berbicara tentang respons yang benar terhadap Allah. Pengucapan syukur dan ibadah adalah buah dari hati yang telah mengenal kebaikan Tuhan. Kedatangan ke rumah Tuhan dengan sukacita dapat menjadi sarana bagi pertumbuhan rohani dan pertobatan yang lebih dalam, di mana kita membiarkan diri kita dibentuk oleh Sabda dan hadirat-Nya.
3. Pentingnya Berbuah dan Bertanggung Jawab
Perumpamaan pohon ara di Lukas 13 adalah alegori yang kuat tentang ekspektasi Allah terhadap umat-Nya untuk menghasilkan buah. Pohon yang tidak berbuah meskipun telah dipelihara akan ditebang. Ini adalah peringatan keras bahwa anugerah dan kesabaran Allah datang dengan tanggung jawab untuk hidup sesuai dengan panggilan-Nya dan memanifestasikan buah-buah iman dalam kehidupan kita. Buah-buah ini tidak hanya merujuk pada perbuatan baik, tetapi juga pada karakter Kristus yang terpancar dalam diri kita (Galatia 5:22-23).
Tema berbuah ini beresonansi dengan Efesus 4 yang berbicara tentang "membangun dirinya dalam kasih" (Ef 4:16) dan setiap anggota berkontribusi "sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota." Buah-buah ini adalah manifestasi dari karunia-karunia rohani yang kita gunakan untuk melayani, untuk memperlengkapi orang lain, dan untuk membangun Tubuh Kristus. Sebuah gereja yang berbuah adalah gereja di mana setiap anggota secara aktif menggunakan karunianya untuk kemuliaan Tuhan dan kebaikan sesama.
Mazmur 122 menunjukkan salah satu buah yang penting: sukacita dalam hadirat Tuhan dan doa untuk perdamaian. Hati yang berbuah adalah hati yang bersyukur, yang mencari damai, dan yang peduli terhadap kesejahteraan orang lain. Ketika kita hidup dalam pertobatan dan menghasilkan buah, kita tidak hanya memberkati diri sendiri, tetapi juga komunitas kita dan dunia di sekitar kita.
4. Kedaulatan dan Kesabaran Allah
Dalam ketiga bacaan ini, kita melihat Allah yang berdaulat dan penuh kesabaran. Dalam Efesus, Kristus yang telah naik ke tempat tinggi adalah Dia yang "telah memberikan pemberian-pemberian kepada manusia" (Ef 4:8), menunjukkan kedaulatan-Nya atas karunia-karunia. Allah adalah arsitek dari Gereja dan Dia yang menggerakkan pertumbuhannya.
Dalam Lukas, perumpamaan pohon ara dengan jelas menunjukkan kesabaran Allah yang memberi kesempatan tambahan, namun juga keadilan-Nya yang mengharapkan hasil. Ini adalah Allah yang tidak ingin ada yang binasa, tetapi ingin semua orang bertobat (2 Petrus 3:9). Kesabaran-Nya adalah undangan untuk perubahan, bukan izin untuk berpuas diri dalam dosa.
Mazmur 122 memperlihatkan Allah sebagai pusat dari segala sesuatu, yang hadirat-Nya dicari dengan sukacita di Yerusalem. Di sana, di Bait Allah, nama Tuhan diucap syukur dan keadilan ditegakkan. Kedaulatan-Nya membawa kedamaian dan keteraturan bagi umat-Nya. Semua tema ini mengingatkan kita akan sifat Allah yang konsisten, yaitu kasih, keadilan, dan kesabaran-Nya yang tak terbatas, namun juga dengan harapan akan respons yang tulus dari pihak kita.
Secara keseluruhan, bacaan-bacaan ini membentuk sebuah seruan yang kuat: hiduplah dalam kesatuan sebagai Tubuh Kristus, gunakan karuniamu untuk membangun sesama, bertekunlah dalam pertobatan yang sejati, dan hasilkanlah buah-buah yang memuliakan Allah, semua ini dalam kesadaran akan kedaulatan dan kesabaran-Nya yang tak terhingga.
Aplikasi Praktis dalam Kehidupan Sehari-hari
Sabda Tuhan tidak hanya untuk dipelajari, tetapi juga untuk dihidupi. Bagaimana ketiga bacaan ini dapat kita terapkan dalam konteks kehidupan modern, tantangan pribadi, dan interaksi sosial kita?
1. Menghargai dan Mengembangkan Karunia Rohani
Dari Efesus 4, kita belajar bahwa setiap orang percaya telah menerima karunia dari Kristus. Tantangannya adalah mengidentifikasi karunia kita dan menggunakannya secara aktif untuk membangun komunitas. Ini bukan hanya tugas para pemimpin gereja, tetapi setiap anggota. Kita perlu bertanya pada diri sendiri:
- Karunia apa yang telah Tuhan berikan kepada saya? Apakah itu pengajaran, pelayanan, memberi, memimpin, belas kasihan, atau karunia-karunia lainnya?
- Bagaimana saya saat ini menggunakan karunia tersebut untuk melayani orang lain di gereja, di rumah, atau di tempat kerja?
- Apakah saya bersedia untuk diperlengkapi dan dilatih agar dapat melayani dengan lebih efektif, seperti yang Paulus katakan, untuk "memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan"?
- Bagaimana saya dapat berkontribusi pada kesatuan dan pertumbuhan Gereja, alih-alih menjadi sumber perpecahan atau ketidakaktifan? Ini mungkin berarti keluar dari zona nyaman, belajar hal baru, atau bahkan mengakui keterbatasan kita dan mencari bantuan orang lain.
Meningkatnya individualisme di masyarakat modern seringkali membuat kita lupa akan pentingnya peran dalam sebuah tubuh kolektif. Efesus 4 adalah pengingat bahwa iman kita tidak hanya personal, tetapi juga komunal. Pertumbuhan pribadi tidak terpisah dari pertumbuhan komunitas, dan sebaliknya. Dengan aktif terlibat dan menggunakan karunia kita, kita tidak hanya menggenapi tujuan Allah bagi diri kita, tetapi juga memberdayakan orang lain dan memuliakan Kristus.
2. Mencari Sukacita dalam Ibadah dan Komunitas
Mazmur 122 mengajak kita untuk menemukan sukacita dalam hadirat Tuhan dan dalam komunitas iman. Di tengah kesibukan hidup, mudah sekali melupakan pentingnya berhenti sejenak, berkumpul, dan menyembah. Bagaimana kita bisa menerapkan ini?
- Apakah saya datang ke ibadah (gereja, kelompok doa, dll.) dengan hati yang bersukacita dan antisipasi untuk bertemu Tuhan dan sesama? Atau apakah itu hanya sebuah kewajiban?
- Bagaimana saya bisa lebih aktif mendoakan komunitas iman saya, pemimpin-pemimpin saya, dan orang-orang di sekitar saya, seperti doa untuk "kedamaian Yerusalem"? Ini bisa berarti mendoakan agar ada kesatuan, kedamaian, dan pertumbuhan rohani dalam gereja atau kelompok kita.
- Bagaimana saya bisa berkontribusi pada suasana damai dan kondusif dalam komunitas, baik dalam pertemuan ibadah maupun interaksi sehari-hari? Ini mungkin berarti menjadi pendengar yang baik, menawarkan bantuan, atau menahan diri dari gosip dan kritik yang merusak.
Di era digital, kita bisa merasa terhubung tanpa benar-benar terhubung. Mazmur ini mengingatkan kita pada nilai ibadah secara fisik dan kebersamaan yang otentik. Ada sesuatu yang tak tergantikan ketika kita berkumpul sebagai tubuh Kristus, memuji, berdoa, dan mendengarkan Sabda bersama. Ini memperkuat iman kita dan memberi kita rasa memiliki yang mendalam.
3. Merespons Panggilan Pertobatan dengan Serius
Pesan Yesus dalam Lukas 13 adalah panggilan yang serius untuk pertobatan. Ini bukan tentang merasa bersalah terus-menerus, tetapi tentang perubahan hati dan arah hidup yang sungguh-sungguh. Pertobatan adalah proses yang berkelanjutan.
- Apakah ada area dalam hidup saya yang perlu dipertobatkan? Kebiasaan buruk, sikap yang salah, dosa-dosa tersembunyi, atau bahkan kelalaian dalam melakukan kebaikan?
- Bagaimana saya menanggapi kesabaran Allah yang masih memberi saya waktu? Apakah saya menggunakannya untuk menunda pertobatan, atau untuk sungguh-sungguh berbalik dan mencari Dia?
- Buah-buah apa yang harusnya terlihat dalam hidup saya sebagai bukti pertobatan? Apakah itu perubahan karakter, peningkatan kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan hati, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, atau penguasaan diri (Galatia 5:22-23)?
- Apakah saya bersedia menerima "pemupukan" dari Allah—melalui Firman-Nya, nasihat dari pemimpin rohani, atau disiplin hidup—untuk membantu saya menghasilkan buah?
Perumpamaan pohon ara menunjukkan bahwa Tuhan memberikan kita kesempatan. Kesempatan ini harus kita manfaatkan dengan bijak. Setiap hari adalah anugerah untuk bertumbuh dan berbuah. Jangan sampai kita menyia-nyiakan waktu yang berharga ini, hanya untuk ditemukan tidak berbuah pada akhirnya. Ini adalah panggilan untuk hidup dengan tujuan, dengan kesadaran bahwa hidup ini adalah sebuah penatalayanan yang akan kita pertanggungjawabkan.
4. Berfokus pada Kristus sebagai Kepala
Pada akhirnya, semua kembali kepada Kristus. Efesus 4 menekankan bahwa kita "bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala" (Ef 4:15). Kristus adalah sumber karunia, Dia adalah objek iman kita, dan Dia adalah teladan sempurna dari kehidupan yang berbuah. Di tengah segala aktivitas pelayanan, pencarian kesatuan, dan proses pertobatan, kita tidak boleh kehilangan fokus pada Pribadi Kristus.
- Apakah Kristus benar-benar pusat dari iman dan hidup saya?
- Apakah saya mengizinkan Roh Kudus bekerja melalui saya untuk menunjukkan karakter Kristus kepada dunia?
- Apakah setiap tindakan dan keputusan saya bertujuan untuk memuliakan Dia?
Ketika kita secara sadar berfokus pada Kristus, segala sesuatu yang lain akan mengikuti. Karunia kita akan digunakan dengan benar, ibadah kita akan menjadi tulus, dan pertobatan kita akan menjadi mendalam dan menghasilkan buah yang berkelanjutan. Ini adalah undangan untuk hidup sepenuhnya di dalam Dia, dengan Dia, dan untuk Dia.
Dengan merenungkan dan menerapkan pelajaran dari Efesus, Mazmur, dan Injil Lukas ini, kita dapat menjadi umat percaya yang lebih dewasa, lebih bersatu, lebih berbuah, dan pada akhirnya, lebih memuliakan Allah dalam setiap aspek kehidupan kita. Ini adalah perjalanan iman yang terus-menerus, tetapi dengan bimbingan Roh Kudus dan Sabda Tuhan, kita dapat melangkah maju dengan keyakinan dan harapan.
Penutup: Hidup yang Terus Bertumbuh dan Berbuah
Dari renungan kita atas bacaan-bacaan Kitab Suci ini, kita ditarik pada sebuah panggilan yang jelas dan mendalam. Efesus 4 mengingatkan kita akan keagungan Gereja sebagai Tubuh Kristus yang satu, dibangun oleh keberagaman karunia-karunia yang dianugerahkan oleh Kepala, yaitu Kristus sendiri. Setiap anggota memiliki peran yang unik dan vital, tidak ada yang terlalu kecil untuk berkontribusi, dan tujuan akhir dari semua ini adalah mencapai kedewasaan penuh dalam Kristus, terbebas dari ajaran sesat, dan bertumbuh dalam kasih dan kebenaran.
Mazmur 122 kemudian memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana kesatuan ini diwujudkan dalam praktik. Sukacita yang mendalam saat pergi ke Rumah Tuhan, kerinduan akan komunitas yang damai, dan doa syafaat untuk kesejahteraan Yerusalem (yang dapat kita analogikan dengan komunitas iman kita hari ini) menggarisbawahi pentingnya ibadah komunal dan kepedulian terhadap sesama. Ibadah yang sejati mengalir dari hati yang bersyukur dan mendorong kita untuk menjadi pembawa damai dan berkat bagi lingkungan sekitar.
Panggilan Yesus dalam Lukas 13 dengan tegas mengingatkan kita akan urgensi pertobatan. Dengan menantang asumsi umum tentang penderitaan dan dosa, Yesus mengarahkan perhatian pada kebutuhan setiap individu untuk berbalik dari jalan dosa dan menghasilkan buah-buah pertobatan. Perumpamaan pohon ara yang tidak berbuah adalah peringatan keras tentang kesabaran Allah yang berbatas, namun juga merupakan penegasan akan kasih karunia-Nya yang memberikan kesempatan tambahan, didukung oleh intervensi Sang Pengurus Kebun.
Benang merah yang mengikat ketiga bacaan ini adalah panggilan untuk hidup yang bermakna dan berpusat pada Allah. Hidup yang berbuah adalah hidup yang karunia-karunianya digunakan untuk membangun Tubuh Kristus, hidup yang mencari sukacita dan damai dalam ibadah dan komunitas, serta hidup yang secara terus-menerus merespons panggilan pertobatan Allah yang penuh kasih dan kesabaran.
Semoga renungan ini menginspirasi kita semua untuk tidak hanya menjadi pendengar Sabda, melainkan juga pelaku-pelaku setia. Mari kita secara aktif mencari tahu karunia kita dan menggunakannya, mari kita menghargai dan memupuk komunitas iman kita, dan mari kita menanggapi panggilan pertobatan Allah dengan sepenuh hati, sehingga hidup kita dapat menjadi kesaksian yang hidup akan kasih dan anugerah-Nya yang melimpah. Biarlah kita terus bertumbuh di dalam Kristus, Kepala kita, dan berbuah lebat bagi kemuliaan-Nya.
Amin.