Renungan 1 Korintus 8: Kasih yang Membangun, Bukan Pengetahuan yang Menggembungkan

Dalam perjalanan iman kita, seringkali kita dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang kompleks, terutama ketika kebebasan pribadi berbenturan dengan kenyamanan atau keyakinan orang lain. Rasul Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, secara bijak menguraikan dilema ini, memberikan kita panduan abadi yang tetap relevan hingga hari ini. 1 Korintus pasal 8 secara khusus menyoroti isu krusial mengenai makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala, namun di baliknya, Paulus menyampaikan prinsip yang jauh lebih mendalam: superioritas kasih atas pengetahuan. Ini bukan sekadar tentang apa yang kita makan, melainkan tentang bagaimana kita hidup, bagaimana kita berinteraksi dengan sesama, dan apa yang sesungguhnya membentuk fondasi kehidupan Kristen yang sejati.

Jemaat Korintus adalah komunitas yang dinamis namun juga penuh tantangan. Kota Korintus sendiri adalah pusat perdagangan yang kosmopolitan, kaya akan budaya pagan, filsafat Yunani, dan berbagai praktik keagamaan. Dalam konteks seperti ini, pertanyaan tentang makanan yang dipersembahkan kepada berhala bukanlah hal sepele. Bagi banyak orang Kristen yang baru bertobat dari latar belakang pagan, atau bagi mereka yang memiliki hati nurani yang sensitif, tindakan memakan daging yang dijual di pasar (yang kemungkinan besar berasal dari persembahan berhala) bisa menjadi masalah besar, berpotensi menggoyahkan iman mereka atau bahkan membuat mereka merasa terlibat dalam penyembahan berhala lagi. Di sisi lain, ada orang-orang Kristen yang "berpengetahuan" yang memahami bahwa berhala tidak memiliki kuasa apa pun, dan oleh karena itu, memakan daging tersebut bukanlah masalah bagi mereka. Inilah titik konflik yang Paulus tangani dengan kepekaan pastoral yang luar biasa.

Simbol Kasih yang Membangun (hati) dan Pengetahuan (bola lampu/mata) yang Diarahkan oleh Hati Nurani.

Pengantar: Konflik Pengetahuan dan Kasih (Ayat 1-3)

1 Korintus 8:1-3 (TB)
1 Tentang makanan persembahan berhala kita tahu: "Semua mempunyai pengetahuan." Pengetahuan yang demikian membuat orang menjadi sombong, tetapi kasih membangun.
2 Jika ada seorang menyangka, bahwa ia mempunyai sesuatu "pengetahuan", maka ia belum juga mengenalnya sebagaimana yang harus ia kenal.
3 Tetapi orang yang mengasihi Allah, ia dikenal oleh Allah.

Pengetahuan yang Menggembungkan vs. Kasih yang Membangun

Paulus memulai dengan mengakui argumen kaum "kuat" di Korintus: "Kita tahu: 'Semua mempunyai pengetahuan.'" Frasa ini kemungkinan besar adalah slogan yang digunakan oleh sebagian jemaat di Korintus untuk membenarkan tindakan mereka. Mereka merasa memiliki pemahaman yang superior tentang keesaan Allah dan ketiadaan berhala. Memang, secara teologis, mereka benar. Ada satu Allah, dan berhala hanyalah patung buatan manusia tanpa kuasa ilahi. Pengetahuan ini adalah kebenaran Kristen fundamental yang membebaskan mereka dari takhayul dan ketakutan akan dewa-dewi pagan.

Namun, Paulus segera menambahkan sebuah peringatan yang tajam: "Pengetahuan yang demikian membuat orang menjadi sombong, tetapi kasih membangun." Ini adalah inti dari seluruh argumen pasal ini. Pengetahuan, betapapun benar dan berharganya, memiliki potensi untuk menumbuhkan arogansi spiritual. Orang yang merasa lebih tahu bisa menjadi jumawa, merendahkan orang lain yang pemahamannya belum sampai pada tingkat yang sama. Kesombongan ini merusak relasi dan menciptakan perpecahan dalam jemaat. Pengetahuan, ketika dipisahkan dari kasih, menjadi alat untuk meninggikan diri sendiri daripada melayani orang lain. Ia berpotensi menjadi bumerang, mengubah kebenaran menjadi kesombongan yang menghancurkan.

Sebaliknya, kasih, kata Paulus, "membangun." Kata Yunani yang digunakan di sini, oikodomē (οἰκοδομή), berarti membangun rumah, membangun fondasi, atau membangun secara umum. Kasih tidak mencari keuntungan diri sendiri, melainkan keuntungan orang lain. Kasih mendorong kita untuk bertindak dengan kepedulian, empati, dan kerendahan hati. Ketika kasih menjadi prinsip utama, ia membangun komunitas, menguatkan orang percaya yang lemah, dan memelihara kesatuan. Kasih tidak merendahkan, melainkan mengangkat; ia tidak menghancurkan, melainkan menyatukan. Inilah pondasi sejati dari jemaat Kristen yang sehat dan bertumbuh.

Mengenal Allah dan Dikenal oleh Allah

Paulus melanjutkan di ayat 2 dengan pernyataan yang paradoks: "Jika ada seorang menyangka, bahwa ia mempunyai sesuatu 'pengetahuan', maka ia belum juga mengenalnya sebagaimana yang harus ia kenal." Ini adalah pukulan telak bagi mereka yang membanggakan pengetahuan mereka. Pengetahuan sejati tentang Allah tidak akan pernah mengarah pada kesombongan, karena semakin kita mengenal Allah, semakin kita menyadari betapa luas dan tak terbatasnya Dia, dan betapa kecilnya kita. Pengetahuan sejati akan menumbuhkan kerendahan hati dan kekaguman, bukan arogansi. Orang yang benar-benar mengenal Allah akan tahu bahwa masih banyak yang harus dipelajari dan bahwa pemahaman kita selalu terbatas. Kesombongan adalah tanda bahwa seseorang belum benar-benar memahami kedalaman Allah.

Ayat 3 kemudian menyajikan kontras yang indah: "Tetapi orang yang mengasihi Allah, ia dikenal oleh Allah." Ini adalah salah satu ayat yang paling kuat dalam pasal ini. Fokusnya bergeser dari "pengetahuan yang kita miliki tentang Allah" menjadi "kasih kita kepada Allah," dan yang lebih penting lagi, "Allah yang mengenal kita." Paulus menyiratkan bahwa pengetahuan kita tentang Allah, betapapun mendalamnya, tidak sepenting fakta bahwa Allah mengenal kita secara pribadi. Dan bagaimana kita menunjukkan kasih kita kepada Allah? Tentu saja, melalui ketaatan kepada perintah-Nya, termasuk perintah untuk mengasihi sesama (Matius 22:37-40). Menjadi "dikenal oleh Allah" (Yunani: egnōstai hup' autou) bukan hanya berarti Allah mengetahui keberadaan kita, melainkan hubungan intim, mendalam, dan yang terpenting, persetujuan dan penerimaan ilahi. Ini adalah kasih karunia, bukan hasil dari pencapaian intelektual kita. Ini adalah hak istimewa yang hanya diberikan kepada mereka yang merespons kasih Allah dengan kasih yang tulus.

Oleh karena itu, prioritas utama bukanlah seberapa banyak kita tahu, tetapi seberapa besar kita mengasihi dan seberapa intim hubungan kita dengan Allah. Kasih menjadi jembatan yang menghubungkan kita dengan Allah dan, pada gilirannya, menuntun kita untuk hidup dengan cara yang menghormati Dia dan membangun orang lain.

Kebenaran Teologis: Berhala adalah Nol (Ayat 4-6)

1 Korintus 8:4-6 (TB)
4 Tentang hal makan daging persembahan berhala kita tahu: "Tidak ada berhala di dunia dan tidak ada Allah lain kecuali satu Allah."
5 Sebab sungguhpun ada apa yang disebut "allah", baik di sorga, maupun di bumi — karena memang ada banyak "allah" dan banyak "tuhan" —
6 namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang oleh-Nya kita hidup.

Tidak Ada Berhala, Hanya Satu Allah

Di sini, Paulus kembali menegaskan kebenaran teologis yang dipegang teguh oleh kaum "berpengetahuan" di Korintus. Ia tidak membantah pengetahuan mereka; sebaliknya, ia menguatkannya. "Tidak ada berhala di dunia dan tidak ada Allah lain kecuali satu Allah." Pernyataan ini adalah inti dari monoteisme Yahudi dan Kristen. Bagi orang percaya sejati, berhala-berhala pagan adalah hampa, objek mati yang tidak memiliki kekuatan atau realitas ilahi. Mereka hanyalah kayu, batu, atau logam yang dibentuk oleh tangan manusia, tanpa kemampuan untuk melihat, mendengar, atau melakukan apa pun. Oleh karena itu, secara esensi, persembahan kepada mereka adalah persembahan kepada ketiadaan.

Paulus mengakui keberadaan "banyak 'allah' dan banyak 'tuhan'" dalam pemikiran pagan (ayat 5), yang mencerminkan realitas politeisme yang merajalela di dunia Romawi-Yunani. Orang-orang menyembah dewa-dewa di langit, di bumi, di laut, dewa kesuburan, perang, dll. Bagi mereka, dunia dipenuhi dengan entitas ilahi yang berbeda-beda. Namun, bagi Paulus dan orang Kristen, realitas ini hanya bersifat nominal, bukan substantif. Keberadaan entitas-entitas ini diakui, namun kuasa dan keilahian mereka disangkal.

Satu Allah dan Satu Tuhan

Kontrasnya sangat tajam di ayat 6: "namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang oleh-Nya kita hidup." Ini adalah pengakuan iman Kristen yang fundamental. Kita percaya pada satu Allah, Bapa, sebagai Pencipta dan sumber segala sesuatu. Dialah tujuan akhir dari keberadaan kita ("yang untuk Dia kita hidup"). Dan kita juga percaya pada satu Tuhan, Yesus Kristus, yang bukan hanya Mesias tetapi juga agen Penciptaan dan sumber kehidupan kita ("yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang oleh-Nya kita hidup").

Pengakuan ini membedakan orang Kristen dari semua agama lain di Korintus. Kepercayaan ini seharusnya memberikan kebebasan dan keberanian. Jika hanya ada satu Allah yang berdaulat, dan Yesus Kristus adalah satu-satunya Tuhan, maka segala bentuk kuasa berhala adalah ilusi. Oleh karena itu, bagi orang yang berpengetahuan, memakan makanan yang dipersembahkan kepada berhala tidak secara langsung mencemari mereka secara rohani atau membuat mereka terlibat dalam penyembahan berhala. Secara teologis, posisi mereka kuat. Namun, seperti yang akan kita lihat, kebenaran teologis saja tidak cukup untuk memandu semua tindakan kita.

Hati Nurani yang Lemah dan yang Kuat (Ayat 7)

1 Korintus 8:7 (TB)
7 Tetapi bukan semua orang mempunyai pengetahuan itu. Ada orang, yang karena terbiasa dengan berhala-berhala, makan daging itu seolah-olah sebagai daging persembahan berhala. Dan karena hati nurani mereka lemah, hati nurani mereka dicemarkan olehnya.

Perbedaan Tingkat Pengetahuan dan Pengalaman

Setelah menggarisbawahi kebenaran teologis, Paulus beralih ke realitas jemaat: "Tetapi bukan semua orang mempunyai pengetahuan itu." Inilah titik krusial dari argumennya. Meskipun kebenaran itu universal, pemahaman dan pengalaman individu terhadap kebenaran itu bervariasi. Tidak semua orang di Korintus memiliki latar belakang yang sama atau tingkat pemahaman teologis yang setara. Beberapa di antara mereka baru saja bertobat dari penyembahan berhala dan mungkin masih membawa bekas-bekas kebiasaan lama serta ketakutan yang mendalam terhadap kuasa-kuasa rohani yang pernah mereka sembah.

Bagi orang-orang ini, yang Paulus sebut memiliki "hati nurani yang lemah," memakan daging yang dipersembahkan kepada berhala bukanlah tindakan netral. Bagi mereka, tindakan itu terasa seperti kembali berpartisipasi dalam penyembahan berhala. Mereka mungkin melihat tindakan itu sebagai mengkhianati iman baru mereka atau sebagai sebuah kompromi yang serius. Sensitivitas hati nurani mereka yang belum sepenuhnya terlatih untuk membedakan antara yang benar dan yang salah dalam konteks kebebasan Kristen, membuat mereka rentan.

Hati Nurani yang Dicemarkan

Ketika seseorang dengan hati nurani yang lemah melihat orang Kristen yang "kuat" memakan daging persembahan berhala, dan kemudian mereka sendiri ikut-ikutan makan, hati nurani mereka "dicemarkan." Apa artinya hati nurani dicemarkan? Ini berarti hati nurani mereka dilukai, dibuat merasa bersalah, atau bahkan rusak. Mereka mungkin merasa telah melakukan dosa meskipun secara objektif, makanan itu sendiri tidak jahat. Namun, bagi mereka, tindakan itu terasa seperti dosa, dan melanggar hati nurani sendiri, sekalipun berdasarkan pemahaman yang keliru, adalah berbahaya. Ini dapat menyebabkan mereka merasa bersalah di hadapan Allah, meragukan iman mereka, atau bahkan kembali ke praktik-praktik paganisme lama karena kekecewaan atau kebingungan. Pencemaran hati nurani ini bisa sangat merusak secara rohani, menghancurkan kedamaian batin dan keyakinan mereka dalam Kristus.

Paulus tidak mengkritik hati nurani yang lemah ini; sebaliknya, ia membelanya. Ini menunjukkan bahwa meskipun pengetahuan teologis penting, hati nurani individu harus dihargai. Orang Kristen yang "kuat" mungkin benar secara teologis, tetapi mereka harus mempertimbangkan dampak tindakan mereka pada orang lain yang belum mencapai tingkat pemahaman yang sama. Inilah panggilan untuk empati dan pemahaman di dalam komunitas Kristen.

Kebebasan Kristen dan Batu Sandungan (Ayat 8-9)

1 Korintus 8:8-9 (TB)
8 "Makanan tidak mendekatkan kita kepada Allah. Kita tidak rugi apa-apa, kalau tidak memakannya dan kita tidak untung apa-apa, kalau memakannya."
9 Tetapi jagalah, supaya kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah.

Makanan dan Hubungan Kita dengan Allah

Paulus kembali menyetujui poin kaum "kuat" di ayat 8. Ini mungkin adalah slogan lain yang mereka gunakan: "Makanan tidak mendekatkan kita kepada Allah. Kita tidak rugi apa-apa, kalau tidak memakannya dan kita tidak untung apa-apa, kalau memakannya." Ini adalah kebenaran yang mendalam mengenai iman Kristen. Hubungan kita dengan Allah tidak ditentukan oleh apa yang kita makan atau tidak kita makan. Itu ditentukan oleh iman kita kepada Kristus, anugerah Allah, dan kehidupan yang diubahkan oleh Roh Kudus. Hukum makanan lama telah digenapi dan dibatalkan dalam Kristus (bandingkan Markus 7:19; Roma 14:17). Dari sudut pandang ini, apakah seseorang makan daging yang dipersembahkan berhala atau tidak, itu tidak mengubah status rohaninya di hadapan Allah.

Kebebasan ini adalah bagian dari kebebasan yang lebih besar yang Kristus berikan kepada kita dari hukum Taurat dan tradisi-tradisi manusia. Ini adalah pembebasan dari segala bentuk legalisme dan formalisme agama yang menempatkan aturan manusia di atas kasih Allah. Jadi, secara prinsip, orang "kuat" memiliki kebebasan penuh untuk memakan daging tersebut, dan mereka tidak bersalah di hadapan Tuhan.

Ancaman Batu Sandungan

Namun, setelah mengakui kebebasan ini, Paulus langsung memberikan peringatan keras di ayat 9: "Tetapi jagalah, supaya kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah." Kata Yunani untuk "batu sandungan" adalah proskomma (πρόσκομμα), yang berarti rintangan, ganjalan, atau penyebab seseorang tersandung dan jatuh. Ini adalah peringatan yang sangat serius.

Kebebasan Kristen bukanlah lisensi untuk melakukan apa pun yang kita inginkan tanpa mempedulikan dampaknya pada orang lain. Sebaliknya, kebebasan sejati dalam Kristus adalah kebebasan untuk mengasihi dan melayani, bahkan jika itu berarti mengorbankan hak-hak pribadi kita. Bagi Paulus, kebebasan yang digunakan tanpa kasih dapat menghancurkan orang lain. Seorang Kristen yang "kuat" mungkin merasa benar dalam tindakannya, tetapi jika tindakan itu menyebabkan orang percaya yang lemah jatuh kembali ke dalam dosa atau meninggalkan imannya, maka kebebasan itu telah disalahgunakan dan menjadi "batu sandungan" yang berbahaya.

Ini mengharuskan orang Kristen untuk mempertimbangkan tidak hanya kebenaran teologis dari tindakan mereka, tetapi juga konteks sosial dan rohani di mana tindakan itu terjadi. Apakah tindakan saya, meskipun secara inheren tidak berdosa, dapat menyebabkan saudara atau saudari saya yang lebih lemah imannya tersandung? Pertanyaan ini menuntut kerendahan hati, kebijaksanaan, dan yang terpenting, kasih.

Dampak Tindakan Kita: Contoh di Kuil Berhala (Ayat 10-11)

1 Korintus 8:10-11 (TB)
10 Karena apabila orang melihat engkau, yang mempunyai "pengetahuan", duduk makan di dalam kuil berhala, bukankah orang yang lemah hati nuraninya itu dikuatkan dalam keyakinannya, sehingga ia turut makan daging persembahan berhala?
11 Dengan jalan demikian orang yang lemah, untuk siapa Kristus telah mati, menjadi binasa karena pengetahuanmu.

Dampak Visual dan Pengaruh Sosial

Paulus menggambarkan skenario konkret untuk mengilustrasikan bahaya batu sandungan: "apabila orang melihat engkau, yang mempunyai 'pengetahuan', duduk makan di dalam kuil berhala." Di Korintus, kuil-kuil berhala seringkali menjadi tempat makan umum, di mana daging yang dipersembahkan dijual atau disantap dalam perjamuan. Bagi orang Kristen yang kuat, ini mungkin hanyalah sebuah rumah makan, dan makanan hanyalah makanan. Namun, bagi seseorang yang memiliki hati nurani yang lemah, pemandangan ini memiliki makna yang sangat berbeda. Ia mungkin melihatnya sebagai partisipasi dalam penyembahan berhala, atau setidaknya sebagai persetujuan terhadap praktik-praktik pagan.

Melihat orang Kristen yang dihormati atau "berpengetahuan" melakukan tindakan ini akan "menguatkan" hati nurani yang lemah tersebut, tetapi bukan dalam arti yang positif. "Dikuatkan" di sini berarti "diberanikan" atau "didorong" untuk melakukan hal yang sama, meskipun hati nuraninya sendiri menentangnya. Ia mungkin berpikir, "Jika orang yang lebih rohani dariku melakukannya, pasti itu tidak apa-apa." Ini adalah tekanan sosial dan contoh yang buruk yang dapat mendorong seseorang untuk bertindak melawan keyakinan batinnya sendiri, sebuah tindakan yang pada akhirnya akan mencemarkan dan merusak hati nuraninya.

Inilah inti dari tanggung jawab kita sebagai orang percaya. Tindakan kita tidak hanya memengaruhi diri kita sendiri; mereka memiliki gelombang efek yang meluas ke orang-orang di sekitar kita. Terutama di hadapan orang-orang yang baru atau rapuh dalam iman, kita memiliki tanggung jawab untuk menjadi teladan yang baik dan tidak menyebabkan mereka tersandung.

Menghancurkan Saudara yang Lemah

Peringatan Paulus mencapai puncaknya di ayat 11: "Dengan jalan demikian orang yang lemah, untuk siapa Kristus telah mati, menjadi binasa karena pengetahuanmu." Kata "binasa" (Yunani: apollytai) di sini adalah kata yang sangat kuat. Meskipun mungkin tidak selalu berarti kehilangan keselamatan abadi (ini adalah perdebatan teologis), namun setidaknya bisa berarti kehancuran rohani yang parah, kerusakan iman, atau bahkan kejatuhan dari Kristus. Ini adalah prospek yang mengerikan.

Paulus menekankan bahwa orang yang lemah ini adalah seseorang "untuk siapa Kristus telah mati." Ini adalah pengingat yang mengharukan akan harga yang telah dibayar oleh Kristus untuk setiap individu, bahkan yang paling lemah sekalipun. Jika Kristus bersedia mati untuk mereka, bagaimana mungkin kita, yang mengklaim mengasihi-Nya, rela melakukan sesuatu yang dapat menghancurkan mereka? Ironisnya, kehancuran ini terjadi "karena pengetahuanmu"—pengetahuan yang seharusnya membebaskan, malah menjadi alat penghancur ketika tidak diimbangi dengan kasih.

Ini adalah seruan untuk introspeksi mendalam. Apakah kebebasan kita lebih penting daripada keselamatan dan kesejahteraan rohani saudara kita? Apakah kita bersedia mengorbankan hak pribadi kita demi membangun dan menjaga iman orang lain, terutama mereka yang rentan? Pertanyaan ini menuntut respons yang didasarkan pada kasih agape, kasih yang rela berkorban.

Dosa Terhadap Saudara dan Terhadap Kristus (Ayat 12)

1 Korintus 8:12 (TB)
12 Jika engkau dengan jalan demikian berdosa terhadap saudara-saudaramu dan melukai hati nurani mereka yang lemah, engkau berdosa juga terhadap Kristus.

Dosa Ganda: Terhadap Sesama dan Terhadap Kristus

Paulus menguatkan argumennya dengan menyatakan bahwa tindakan menyebabkan saudara seiman tersandung bukanlah dosa kecil. Ini adalah dosa ganda. Pertama, "engkau berdosa terhadap saudara-saudaramu dan melukai hati nurani mereka yang lemah." Ini adalah dosa yang merusak hubungan horizontal dalam komunitas Kristen. Melukai hati nurani seseorang berarti menyebabkan penderitaan rohani, kebingungan, rasa bersalah, dan potensi kejatuhan. Ini adalah pelanggaran terhadap prinsip kasih yang seharusnya menjadi ciri khas hubungan antar sesama orang percaya.

Namun, Paulus tidak berhenti di situ. Ia mengangkat tingkat keseriusan dosa ini dengan menambahkan, "engkau berdosa juga terhadap Kristus." Ini adalah pernyataan yang sangat kuat dan seringkali mengejutkan. Bagaimana dosa terhadap sesama bisa menjadi dosa terhadap Kristus? Ini didasarkan pada identifikasi Kristus dengan tubuh-Nya, yaitu gereja. Seperti yang Kristus sendiri katakan di Matius 25:40, "Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." Ketika kita melukai anggota tubuh Kristus, kita melukai Kristus sendiri. Ketika kita menyebabkan saudara kita tersandung dan jatuh, kita secara langsung menentang kehendak Kristus yang ingin agar tidak seorang pun dari umat-Nya binasa.

Implikasi dari ayat ini sangatlah besar. Ini menuntut kita untuk melihat setiap interaksi dengan saudara seiman sebagai interaksi dengan Kristus sendiri. Kasih yang kita tunjukkan kepada sesama adalah cerminan kasih kita kepada Kristus. Dan sebaliknya, setiap tindakan yang merusak atau menyakiti saudara seiman adalah penghinaan terhadap Dia yang telah mati untuk mereka. Ini mengubah perspektif kita tentang "kebebasan" dan "hak" pribadi; kebebasan dan hak tidak pernah lebih penting daripada kasih dan kesejahteraan rohani sesama, dan pada akhirnya, daripada Kristus sendiri.

Pernyataan ini mendorong kita untuk mengevaluasi kembali motivasi di balik tindakan kita. Apakah kita bertindak demi kepuasan diri sendiri, atau demi kemuliaan Kristus dan pembangunan tubuh-Nya? Apakah kita lebih peduli pada kebenaran intelektual kita daripada pada hati dan jiwa saudara kita?

Kesimpulan Paulus: Pengorbanan Diri demi Kasih (Ayat 13)

1 Korintus 8:13 (TB)
13 Karena itu, apabila makanan menyebabkan saudaraku tersandung, aku tidak akan makan daging untuk selama-lamanya, supaya aku jangan menjadi batu sandungan bagi saudaraku.

Prinsip Kasih yang Radikal

Paulus menyimpulkan seluruh argumennya dengan pernyataan pribadi yang kuat dan radikal: "Karena itu, apabila makanan menyebabkan saudaraku tersandung, aku tidak akan makan daging untuk selama-lamanya, supaya aku jangan menjadi batu sandungan bagi saudaraku." Ini bukanlah sebuah perintah untuk semua orang Kristen agar menjadi vegetarian atau menghindari daging persembahan berhala sepenuhnya. Sebaliknya, ini adalah sebuah ilustrasi nyata dari prinsip kasih yang dia ajarkan sepanjang pasal ini.

Paulus, yang adalah seorang rasul dengan pemahaman teologis yang mendalam dan kebebasan dalam Kristus, menyatakan kesediaannya untuk menyerahkan hak pribadinya demi kebaikan orang lain. Ia rela mengorbankan kebebasannya untuk makan daging, bukan karena makan daging itu salah, melainkan karena potensi dampaknya yang merusak pada saudara seiman yang lemah. Ini adalah bentuk kasih agape yang paling murni: kasih yang tidak mencari keuntungan diri sendiri, melainkan keuntungan orang lain; kasih yang rela berkorban dan mendahulukan kesejahteraan sesama.

Prinsip ini melampaui isu makanan persembahan berhala. Ini adalah panggilan bagi setiap orang percaya untuk secara sadar mempertimbangkan bagaimana tindakan, kata-kata, dan pilihan gaya hidup mereka dapat memengaruhi orang lain dalam komunitas iman. Jika ada sesuatu yang kita lakukan, betapapun netralnya secara moral, memiliki potensi untuk menyebabkan saudara seiman tersandung, maka kasih menuntut kita untuk mempertimbangkan kembali dan mungkin bahkan menyerahkan hak kita. Ini bisa berarti mengabaikan kebiasaan yang kita sukai, membatasi kebebasan kita dalam area tertentu, atau mengubah cara kita berkomunikasi, semua demi membangun tubuh Kristus dan menjaga kesatuan.

Kasih sebagai Pengarah Kebebasan Kristen

Kebebasan Kristen, menurut Paulus, bukanlah anarki atau lisensi tanpa batas. Kebebasan sejati dalam Kristus adalah kebebasan untuk mengasihi. Itu adalah kebebasan untuk menyerahkan hak-hak kita demi melayani orang lain, mengikuti teladan Kristus sendiri yang mengosongkan diri-Nya demi kita (Filipi 2:5-8). Kasihlah yang menjadi kompas moral dan etika bagi orang percaya.

Ketika kita menghadapi dilema etika atau pilihan pribadi, pertanyaan yang harus selalu kita ajukan bukanlah, "Apakah ini dosa bagiku?" tetapi, "Bagaimana tindakan ini akan memengaruhi saudara/saudari seimanku? Apakah ini akan membangun atau menjatuhkan mereka? Apakah ini memuliakan Kristus melalui kasih?" Ini adalah standar yang tinggi, tetapi itulah panggilan bagi mereka yang telah merasakan kasih karunia Allah. Kita dipanggil untuk hidup bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk Kristus dan sesama.

Aplikasi Kontemporer Renungan 1 Korintus 8

Prinsip-prinsip dalam 1 Korintus 8 jauh melampaui konteks makanan persembahan berhala di Korintus kuno. Dalam dunia modern kita, "makanan persembahan berhala" bisa berwujud berbagai hal: isu-isu sosial, politik, hiburan, gaya hidup, atau bahkan penggunaan teknologi. Berikut adalah beberapa area di mana kita bisa menerapkan ajaran Paulus:

  1. Gaya Hidup dan Pilihan Hiburan:

    Beberapa bentuk hiburan (musik, film, game, media sosial) mungkin dianggap netral oleh sebagian orang Kristen ("kuat"), tetapi dapat menjadi batu sandungan bagi yang lain yang memiliki latar belakang atau hati nurani yang berbeda ("lemah"). Misalnya, kehadiran di tempat hiburan tertentu, atau terlibat dalam konten tertentu yang mungkin dianggap "biasa" oleh satu orang, bisa jadi sangat problematis bagi orang lain yang baru bertobat atau bergumul dengan kebiasaan lama. Kasih menuntut kita untuk mempertimbangkan: apakah partisipasiku dalam hal ini akan menguatkan iman saudaraku, atau justru menyebabkan ia ragu, tersandung, atau merasa terdorong ke arah yang tidak sehat?

    Pertimbangkan konteks media sosial. Seorang Kristen yang "kuat" mungkin merasa bebas untuk mengikuti berbagai akun, membagikan meme, atau terlibat dalam perdebatan daring. Namun, bagi seseorang yang lebih rentan terhadap kecanduan media sosial, konten yang dibagikan atau cara berinteraksi tersebut bisa menjadi godaan untuk membuang waktu, terjebak dalam perdebatan yang tidak sehat, atau bahkan melihat konten yang tidak membangun. Kebebasan untuk berekspresi secara daring harus diimbangi dengan kasih dan kebijaksanaan terhadap mereka yang mungkin terpengaruh.

  2. Isu Sosial dan Politik:

    Dalam masyarakat yang terpecah belah, pilihan politik atau pandangan tentang isu-isu sosial tertentu seringkali sangat memecah belah, bahkan di dalam gereja. Seorang Kristen mungkin memiliki pandangan yang kuat dan berlandaskan pada pemahaman teologis atau etika tertentu. Namun, jika ia mengekspresikan pandangannya dengan cara yang menghakimi, merendahkan, atau memecah belah orang lain dalam jemaat yang memiliki pandangan berbeda (mungkin karena latar belakang atau hati nurani mereka), maka pengetahuannya telah menjadi batu sandungan. Kasih menuntut kita untuk mencari kesatuan, menghormati perbedaan, dan berinteraksi dengan kepekaan, terutama ketika berhadapan dengan orang-orang yang bergumul atau memiliki keyakinan yang rapuh mengenai isu-isu tersebut. Penting untuk mencari cara untuk menyatakan kebenaran tanpa menghancurkan persatuan dan hati nurani orang lain.

    Sebagai contoh, perdebatan tentang peran pemerintah, imigrasi, atau keadilan sosial. Seorang percaya mungkin memiliki keyakinan kuat berdasarkan prinsip Alkitab. Namun, jika penyampaian keyakinan itu dilakukan dengan cara yang merendahkan mereka yang memiliki pengalaman hidup berbeda atau pemahaman teologis yang belum sejalan, itu bisa menyebabkan perpecahan dan bahkan menjauhkan mereka dari Kristus. Mengembangkan kerangka berpikir yang sensitif terhadap perspektif "saudara yang lemah" berarti berupaya memahami dari mana perspektif mereka berasal, dan bagaimana tindakan atau perkataan kita dapat secara tidak sengaja memicu luka lama atau merusak iman yang sedang berkembang.

  3. Penggunaan Kekayaan dan Hak Pribadi:

    Prinsip ini juga berlaku untuk bagaimana kita menggunakan kekayaan, waktu, atau talenta kita. Seorang Kristen mungkin merasa bebas untuk menikmati kemewahan tertentu atau memiliki standar hidup yang tinggi. Namun, jika hal itu menyebabkan orang lain yang bergumul secara finansial merasa iri, putus asa, atau mempertanyakan keadilan Allah, maka kebebasan itu perlu ditinjau ulang. Kasih mungkin menuntut kita untuk hidup lebih sederhana, lebih murah hati, atau setidaknya lebih bijaksana dalam menunjukkan kekayaan kita, demi tidak menjadi batu sandungan bagi mereka yang kekurangan. Ini adalah tentang menempatkan kebutuhan orang lain di atas keinginan kita sendiri, meniru kemurahan hati dan kerendahan hati Kristus.

    Bukan berarti kita tidak boleh memiliki harta atau menikmati berkat. Poinnya adalah, bagaimana kita mengelolanya dan bagaimana kita menampilkannya. Apakah kita memamerkan kekayaan kita di hadapan mereka yang bergumul, atau apakah kita menggunakannya untuk memberkati dan melayani? Prinsip kasih ini mengajak kita untuk berpikir dua kali sebelum membeli barang mewah, liburan mewah, atau gaya hidup boros, jika hal itu berpotensi menyebabkan saudara seiman merasa rendah diri, iri, atau bahkan mempertanyakan iman mereka sendiri di tengah kesulitan ekonomi.

  4. Pembelajaran Teologis dan Ekspresi Iman:

    Bahkan dalam studi teologi dan diskusi iman, prinsip ini berlaku. Orang yang memiliki pengetahuan teologis yang mendalam harus berhati-hati agar tidak menjadi sombong atau merendahkan orang lain yang pemahamannya kurang. Menggunakan terminologi teologis yang rumit tanpa menjelaskan, atau mengkritik pandangan orang lain dengan cara yang tidak simpatik, dapat menghancurkan semangat dan menghalangi pertumbuhan. Kasih mendorong kita untuk menjadi guru yang sabar, yang bersemangat untuk membangun dan mendidik, bukan untuk memamerkan kecerdasan kita.

    Juga, dalam praktik ibadah. Beberapa orang mungkin merasa bebas untuk berekspresi dalam ibadah dengan cara tertentu (misalnya, mengangkat tangan, menari, bersorak), sementara yang lain merasa lebih nyaman dengan ibadah yang tenang dan reflektif. Masing-masing memiliki kebebasan dalam Kristus. Namun, jika kebebasan satu kelompok diekspresikan dengan cara yang menghakimi atau mengasingkan kelompok lain, maka hal itu bisa menjadi batu sandungan. Paulus mengajarkan bahwa semua harus dilakukan untuk pembangunan jemaat, dengan kasih dan ketertiban. Ini bukan tentang memaksakan gaya ibadah kita pada orang lain, melainkan tentang menciptakan ruang di mana setiap orang dapat berinteraksi dengan Allah sesuai dengan hati nurani mereka yang telah dibentuk oleh Roh Kudus, tanpa merasa dihakimi atau diabaikan.

Pada akhirnya, 1 Korintus 8 adalah seruan untuk kasih yang matang—kasih yang melampaui kebenaran teologis yang murni dan mempertimbangkan dampak etis dan rohani dari setiap tindakan kita pada orang-orang di sekitar kita. Pengetahuan memang penting, tetapi kasihlah yang membangun dan memuliakan Kristus dalam komunitas kita. Mari kita menjadi orang percaya yang tidak hanya tahu, tetapi juga mengasihi, sehingga kita dapat membangun sesama dan bukan menjadi batu sandungan bagi mereka.