Renungan Habakuk 1: Ketika Iman Bertanya di Tengah Kekacauan
Dalam perjalanan iman, seringkali kita dihadapkan pada situasi yang mengguncang, di mana keadilan terasa absen dan kejahatan merajalela. Di sinilah kisah nabi Habakuk menjadi sangat relevan. Kitab kecil ini, yang seringkali terlewatkan dalam studi Alkitab, menawarkan sebuah dialog yang jujur dan mendalam antara seorang hamba Allah dengan Tuhannya, di tengah pusaran ketidakadilan dan kekerasan. Habakuk tidak sekadar menyampaikan firman Tuhan; ia bergumul, ia bertanya, ia meratap. Kitab ini bukanlah sekadar serangkaian nubuatan, melainkan sebuah pergumulan iman yang otentik, di mana seorang nabi berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang paling mendalam tentang karakter Allah dan cara kerja-Nya di dunia yang penuh dosa ini.
Kitab Habakuk terdiri dari tiga pasal, dan pasal pertama menjadi fondasi dari seluruh pergumulan ini. Kita akan melihat bagaimana Habakuk mengajukan dua pertanyaan besar kepada Allah, dan bagaimana jawaban Allah, pada awalnya, tampaknya justru memperkeruh masalah, sebelum akhirnya membawa kepada pernyataan iman yang agung di pasal-pasal berikutnya. Mari kita selami lebih dalam setiap bagian dari Habakuk pasal 1, menggali konteks sejarah, makna teologis, dan relevansinya bagi kehidupan iman kita hari ini.
Latar Belakang Kitab Habakuk: Suara Nabi di Masa Kegelapan
Untuk memahami pergumulan Habakuk, penting untuk menempatkannya dalam konteks sejarah yang tepat. Kitab ini ditulis sekitar akhir abad ke-7 SM, kemungkinan besar pada masa pemerintahan Raja Yoyakim di Yehuda (sekitar 609-598 SM). Periode ini adalah masa yang sangat kelam bagi Yehuda. Setelah pemerintahan reformasi yang singkat di bawah Raja Yosia, Yehuda kembali jatuh ke dalam kemerosotan moral dan spiritual yang parah. Kekerasan, ketidakadilan, korupsi, dan penyembahan berhala merajalela di kalangan masyarakat, bahkan di antara para pemimpin.
Secara geopolitik, ini adalah masa transisi kekuasaan dunia. Kekaisaran Asyur, yang telah lama menjadi kekuatan dominan, sedang mengalami kemunduran. Kekuatan baru, Babel (Kasdim), mulai bangkit dan mengancam. Yehuda terjepit di antara kekuatan-kekuatan besar ini, dengan ancaman invasi yang membayangi. Habakuk adalah seorang nabi yang menyaksikan langsung kebobrokan bangsanya dari dalam, dan melihat awan hitam kehancuran yang mendekat dari luar. Beban yang dipikulnya adalah beban melihat dosa bangsanya sendiri dan bertanya mengapa Allah, yang Maha Kudus dan Adil, tampaknya berdiam diri.
Tidak banyak yang kita ketahui tentang pribadi Habakuk, selain bahwa ia adalah seorang "nabi" (Hab 1:1). Namanya berarti "merangkul" atau "bergumul," sebuah nama yang sangat cocok dengan inti dari kitabnya. Ia merangkul kebenaran Allah sambil bergumul dengan kenyataan pahit di sekelilingnya. Ia tidak diam, melainkan mengangkat suaranya, tidak hanya kepada umat, tetapi langsung kepada Allah. Ini menunjukkan keberanian dan kedalaman imannya.
Bagian 1: Ratapan Habakuk – Pertanyaan Pertama kepada Allah (Habakuk 1:1-4)
Pasal pertama dimulai dengan sebuah seruan yang penuh keputusasaan, menggambarkan kondisi Yehuda yang menyedihkan dan beban yang ditanggung oleh nabi.
Habakuk 1:1"Ucapan ilahi, yang dilihat nabi Habakuk."
1.1. Beban Ilahi dan Penglihatan Nabi
Ayat pertama ini sederhana namun mengandung makna yang dalam. Kata "ucapan ilahi" (מַשָּׂא - massa) juga bisa berarti "beban." Ini bukan sekadar pesan yang diterima Habakuk, melainkan sebuah beban di hatinya, sesuatu yang memberatkan jiwanya. Nabi tidak hanya menjadi penyampai pesan, tetapi juga turut merasakan beban dari pesan tersebut, terutama ketika pesan itu adalah tentang kehancuran dan ketidakadilan yang merajalela. Habakuk "melihat" (חָזָה - hazah) penglihatan ini, menunjukkan bahwa ia menerima wahyu dari Allah, bukan hanya gagasan pribadinya. Penglihatan ini membuka matanya terhadap realitas spiritual dan moral yang mengerikan.
Beban ini adalah beban melihat bangsanya sendiri, umat perjanjian Allah, yang tenggelam dalam dosa dan menolak kebenaran. Ini adalah beban mengetahui bahwa penghakiman Allah akan datang, namun juga beban melihat mengapa Allah belum bertindak. Beban ini mendorong Habakuk untuk tidak berdiam diri, tetapi berseru kepada Allah.
Habakuk 1:2"Berapa lama lagi, TUHAN, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar? Aku berseru kepada-Mu: "Penindasan!" tetapi tidak Kauberi pertolongan."
1.2. Seruan Jujur dari Hati yang Patah
Ini adalah inti dari pertanyaan pertama Habakuk, sebuah seruan yang akrab bagi banyak orang percaya yang bergumul dengan penderitaan dan ketidakadilan. "Berapa lama lagi, TUHAN?" adalah pertanyaan universal yang muncul dari hati yang putus asa. Ini bukan pertanyaan yang meragukan keberadaan Allah, tetapi meragukan cara kerja Allah atau waktu-Nya. Habakuk merasa Allah berdiam diri, tidak mendengarkan, dan tidak memberikan pertolongan meskipun ia terus berseru tentang "penindasan."
Kata "penindasan" (חָמָס - hamas) di sini mengacu pada kekerasan, ketidakadilan, dan kezaliman yang dilakukan oleh manusia terhadap sesamanya. Ini adalah istilah yang kuat, menggambarkan kondisi sosial yang sangat buruk. Habakuk melihat kekerasan ini terjadi di antara umat Allah sendiri, bukan dari musuh asing. Ini adalah krisis internal. Bagaimana mungkin Allah, yang dikenal sebagai pembela keadilan dan penolong orang yang tertindas, membiarkan ini terus terjadi tanpa campur tangan? Habakuk merasa doanya tidak dijawab, seruannya tidak digubris. Ini adalah puncak dari kejujuran iman yang berani menghadirkan keluhan paling pahit kepada Pencipta semesta.
Pergumulan Habakuk mengajarkan kita pentingnya kejujuran dalam doa. Kita tidak perlu menyembunyikan perasaan marah, frustrasi, atau kebingungan kita dari Allah. Sebaliknya, seperti Habakuk, kita diundang untuk menuangkan hati kita sepenuhnya di hadapan-Nya, percaya bahwa Dia cukup besar untuk menangani pertanyaan-pertanyaan sulit kita dan cukup kasih untuk mendengarkan ratapan kita. Kejujuran seperti ini adalah tanda iman yang sejati, bukan kelemahan iman.
Habakuk 1:3"Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, dan Engkau membiarkan kelaliman? Mengapa perampasan dan kekerasan ada di depanku? Perbantahan dan pertikaian terjadi."
1.3. Mempertanyakan Kehadiran Kejahatan
Pertanyaan Habakuk semakin mendalam. Ia tidak hanya bertanya mengapa Allah tidak bertindak, tetapi juga mengapa Allah "memperlihatkan kepadaku kejahatan" dan "membiarkan kelaliman." Frasa ini menyiratkan bahwa Habakuk tidak bisa menghindar dari realitas dosa di sekitarnya; itu terus-menerus terpampang di hadapannya. Ia melihat "perampasan dan kekerasan," "perbantahan dan pertikaian." Ini adalah gambaran masyarakat yang rusak parah, di mana hak-hak diinjak-injak, orang-orang saling menipu, dan harmoni sosial hancur.
Yang lebih menyakitkan bagi Habakuk adalah gagasan bahwa Allah seolah-olah "membiarkan" semua ini. Sebagai nabi, ia tahu tentang sifat Allah yang adil dan kudus, yang membenci dosa. Konflik internal ini—antara pengetahuan teologis tentang Allah dan pengalaman pahit akan realitas—adalah inti dari pergumulan Habakuk. Ia seperti melihat Allah menahan diri, membiarkan kejahatan berkembang tanpa campur tangan yang tegas. Ini adalah tantangan terhadap teodisi, yaitu bagaimana Allah yang baik dan maha kuasa dapat mengizinkan penderitaan dan kejahatan di dunia. Bagi Habakuk, kejahatan ini bukanlah abstrak; itu adalah realitas yang ia lihat dan alami setiap hari.
Habakuk 1:4"Itulah sebabnya hukum kehilangan kekuatannya dan keadilan tidak pernah muncul, sebab orang fasik mengurung orang benar; itulah sebabnya keadilan muncul terbalik."
1.4. Keadilan yang Terbalik
Ayat ini menggambarkan konsekuensi langsung dari kelaliman yang disebutkan sebelumnya. Ketika kejahatan merajalela, "hukum kehilangan kekuatannya." Ini berarti sistem hukum, yang seharusnya menjadi penjaga keadilan, telah lumpuh. Para hakim, pemimpin, dan penegak hukum yang seharusnya menegakkan kebenaran justru menjadi bagian dari masalah, atau setidaknya tidak berdaya melawannya. Akibatnya, "keadilan tidak pernah muncul," atau jika muncul, ia "muncul terbalik." Ini adalah ironi yang menyedihkan: apa yang seharusnya lurus menjadi bengkok, apa yang benar menjadi salah.
"Orang fasik mengurung orang benar" adalah gambaran yang jelas tentang bagaimana penindasan bekerja. Orang-orang yang memiliki kekuatan, baik politik, ekonomi, atau sosial, menggunakan posisi mereka untuk menindas mereka yang lemah dan benar. Mereka menjerat, memenjarakan, atau menghancurkan orang-orang yang mencoba hidup jujur atau mencari keadilan. Ini adalah dunia yang terbalik, di mana kebaikan dihukum dan kejahatan merayakan kemenangannya. Habakuk melihat ini bukan sebagai penyimpangan sesaat, tetapi sebagai kondisi yang meresap dan sistematis dalam masyarakat Yehuda. Pergumulannya adalah mengapa Allah membiarkan umat-Nya sendiri mengalami kerusakan moral yang begitu parah, dan mengapa penghakiman tidak kunjung datang.
Seperti Habakuk, kita seringkali dihadapkan pada realitas ketidakadilan dan penderitaan di dunia ini, atau bahkan dalam komunitas kita sendiri. Pertanyaan-pertanyaan Habakuk adalah pertanyaan kita juga: "Berapa lama, Tuhan?" dan "Mengapa Engkau membiarkan ini?" Bagian ini mendorong kita untuk:
- Berani jujur dalam doa: Jangan takut mengungkapkan keputusasaan, kemarahan, atau kebingungan kita kepada Allah. Dia sanggup menanggungnya.
- Mengenali beban di hati: Apakah kita merasakan beban atas ketidakadilan di sekitar kita? Atau apakah kita sudah terlalu terbiasa sehingga menjadi mati rasa?
- Mempercayai karakter Allah: Meskipun realitas tampaknya bertentangan, kita dipanggil untuk tetap berpegang pada pengetahuan kita tentang Allah yang adil dan kudus.
Bagian 2: Jawaban Allah yang Mengejutkan (Habakuk 1:5-11)
Setelah mendengar ratapan Habakuk, Allah tidak berdiam diri. Dia menjawab, tetapi jawaban-Nya sama sekali tidak seperti yang mungkin diharapkan oleh Habakuk. Jawaban ini justru menimbulkan pertanyaan yang lebih besar lagi.
Habakuk 1:5"Lihatlah di antara bangsa-bangsa dan perhatikanlah, tercengang-cenganglah dan tertegun-tegunlah, sebab Aku melakukan suatu pekerjaan dalam zamanmu yang tidak akan kamu percayai, jika diceritakan."
2.1. Pekerjaan Allah yang Tak Terduga
Allah memulai jawaban-Nya dengan perintah untuk "lihatlah," "perhatikanlah," dan bersiaplah untuk "tercengang-cenganglah dan tertegun-tegunlah." Ini adalah persiapan untuk sebuah wahyu yang akan mengguncang pemahaman Habakuk. Allah menyatakan bahwa Dia sedang melakukan "suatu pekerjaan dalam zamanmu" yang begitu luar biasa dan tidak terduga sehingga orang tidak akan "mempercayai jika diceritakan."
Ayat ini mengandung ironi yang mendalam. Habakuk mengeluh bahwa Allah tidak bertindak, tetapi Allah menjawab bahwa Dia sebenarnya sedang bertindak, dan tindakan-Nya akan jauh melampaui imajinasi siapa pun. Ini adalah pengingat bahwa Allah selalu bekerja di balik layar, bahkan ketika kita tidak melihat atau memahaminya. Rencana dan metode Allah seringkali berada di luar nalar manusia. Kedaulatan-Nya berarti Dia memiliki tujuan dan cara yang mungkin tidak kita duga, bahkan jika itu berarti menggunakan alat yang tidak terpikirkan.
Pernyataan ini juga menekankan transendensi dan kemahatahuan Allah. Dia tidak pasif atau tidak tahu apa-apa tentang kondisi Yehuda. Sebaliknya, Dia memiliki rencana yang sedang berjalan, dan rencana itu akan terungkap dengan cara yang mengejutkan. Ini adalah awal dari wahyu yang akan datang, yang akan menjelaskan bagaimana Allah berniat menangani kejahatan yang dikeluhkan Habakuk.
Habakuk 1:6"Sebab, sesungguhnya, Akulah yang membangkitkan orang Kasdim, bangsa yang gagah dan tangkas itu, yang melintasi lintasan bumi untuk menduduki tempat kediaman, yang bukan kepunyaannya."
2.2. Bangkitnya Kasdim: Alat Penghakiman Allah
Inilah jawaban yang mengejutkan Habakuk: Allah akan menggunakan bangsa Kasdim (Babilonia) sebagai alat penghakiman-Nya. Kasdim digambarkan sebagai "bangsa yang gagah dan tangkas," yang akan "melintasi lintasan bumi untuk menduduki tempat kediaman, yang bukan kepunyaannya." Ini berarti mereka adalah bangsa penakluk yang kejam, yang akan datang dan mengambil alih tanah Yehuda.
Pernyataan ini pasti sangat mengejutkan bagi Habakuk. Ia mengeluh tentang ketidakadilan di antara bangsanya, dan jawaban Allah adalah akan mendatangkan bangsa yang jauh lebih jahat dan kejam untuk menghukum mereka. Ini seperti menyembuhkan luka dengan asam; solusi Allah tampaknya lebih buruk daripada masalahnya. Mengapa Allah yang adil menggunakan bangsa yang tidak mengenal-Nya dan terkenal kejam untuk menghukum umat-Nya sendiri? Pertanyaan ini akan menjadi inti dari pergumulan kedua Habakuk.
Namun, ini juga menegaskan kedaulatan Allah atas bangsa-bangsa. Allah adalah Tuhan atas sejarah dan politik dunia. Dia dapat membangkitkan atau menjatuhkan kekaisaran sesuai dengan tujuan-Nya. Bahkan bangsa-bangsa yang tidak mengenal Dia atau menentang Dia dapat menjadi alat di tangan-Nya untuk menjalankan keadilan dan tujuan-Nya. Ini adalah pelajaran penting tentang bagaimana Allah bekerja dengan cara yang tak terduga, bahkan melalui kekuatan yang tampak jahat, untuk mencapai kehendak-Nya yang lebih besar.
Habakuk 1:7-11"Dahsyat dan menakutkan ia; keadilan dan keluhurannya berasal dari padanya sendiri. Kudanya lebih cepat daripada macan tutul, dan lebih buas daripada serigala pada waktu malam; pasukan berkudanya menyerbu dengan bergelora, penunggang-penunggang kudanya datang dari jauh, melayang seperti rajawali yang menyambar mangsa. Pasukan itu seluruhnya datang untuk melakukan kekerasan, dengan muka membara ke muka, dan mengumpulkan tawanan seperti pasir. Raja-raja dicemoohkannya, dan penguasa-penguasa diperolok-olokkannya; ia menertawakan segala kubu, menimbun tanah dan merebutnya. Lalu ia melintas pergi seperti angin, dan bersalah dengan menjadikan kekuatannya sebagai allahnya."
2.3. Gambaran Keganasan Bangsa Kasdim
Allah melanjutkan dengan memberikan gambaran yang jelas dan mengerikan tentang bangsa Kasdim. Mereka digambarkan sebagai bangsa yang "dahsyat dan menakutkan," yang menganggap "keadilan dan keluhurannya berasal dari padanya sendiri." Ini menunjukkan kesombongan dan kemandirian mereka, tidak mengakui otoritas ilahi. Mereka bertindak seolah-olah merekalah hukumnya sendiri.
Metafora yang digunakan untuk menggambarkan kekuatan militer mereka sangat kuat:
- Kuda lebih cepat daripada macan tutul dan lebih buas daripada serigala pada waktu malam: Menggambarkan kecepatan, kelincahan, dan keganasan yang tak terduga dalam serangan mereka.
- Pasukan berkuda menyerbu dengan bergelora, datang dari jauh, melayang seperti rajawali yang menyambar mangsa: Menggambarkan serangan yang cepat, tiba-tiba, dan tanpa ampun, dengan tujuan tunggal untuk menghancurkan.
Bukan hanya itu, mereka juga menertawakan "raja-raja" dan "penguasa-penguasa," mencemooh "segala kubu." Ini menunjukkan bahwa tidak ada kekuatan manusia yang dapat menghentikan mereka. Mereka dapat menaklukkan benteng-benteng yang paling kuat sekalipun dengan mudah, hanya dengan "menimbun tanah" (membuat rampasan untuk memanjat tembok).
Ayat 11 diakhiri dengan peringatan penting: "Lalu ia melintas pergi seperti angin, dan bersalah dengan menjadikan kekuatannya sebagai allahnya." Meskipun Allah menggunakan mereka sebagai alat, bukan berarti Allah merestui dosa-dosa mereka. Bangsa Kasdim akan bersalah karena kesombongan mereka, karena mereka mengaitkan kekuatan dan keberhasilan mereka dengan ilah-ilah mereka sendiri atau dengan kekuatan mereka sendiri, bukannya mengakui kedaulatan Allah yang sejati. Mereka akan melampaui batas yang ditetapkan Allah, dan untuk itu, mereka juga akan dihukum pada waktunya. Ini adalah prinsip penting dalam Alkitab: Allah dapat menggunakan orang jahat untuk menghukum orang jahat, tetapi orang jahat itu sendiri tidak akan luput dari penghakiman-Nya.
Jawaban Allah seringkali tidak seperti yang kita harapkan. Ketika kita mengharapkan solusi yang cepat dan sesuai keinginan kita, Allah mungkin justru menunjukkan cara-cara yang lebih besar dan tak terduga.
- Kedaulatan Allah yang melampaui pemahaman kita: Allah memiliki rencana yang lebih besar dan bekerja melalui cara-cara yang misterius. Dia adalah Tuhan atas semua bangsa dan sejarah.
- Tujuan Allah di balik penghakiman: Bahkan ketika Allah menggunakan alat yang tampaknya jahat, tujuan-Nya adalah untuk mendatangkan keadilan dan membersihkan umat-Nya.
- Peringatan tentang kesombongan: Bangsa Kasdim, meskipun digunakan oleh Allah, akan dihukum karena kesombongan dan kejahatan mereka sendiri. Tidak ada yang bisa menjadikan kekuatannya sebagai allahnya dan lolos dari penghakiman Allah.
Bagian 3: Pertanyaan Kedua Habakuk – Mengapa Allah Membiarkan Kejahatan yang Lebih Besar? (Habakuk 1:12-17)
Setelah mendengar jawaban Allah, Habakuk bukannya merasa tenang, justru semakin gelisah. Pertanyaan pertamanya tentang mengapa Allah membiarkan kejahatan kecil di Yehuda dijawab dengan janji datangnya kejahatan yang jauh lebih besar dari Kasdim. Ini mendorongnya untuk mengajukan pertanyaan kedua, yang lebih mendalam dan teologis, kepada Allah.
Habakuk 1:12"Bukankah Engkau, ya TUHAN, dari dahulu Allahku, Yang Mahakudus? Kami tidak akan mati. Ya TUHAN, Engkau telah menetapkan dia untuk penghakiman; ya Gunung Batu, Engkau telah menentukan dia sebagai pembalas."
3.1. Penegasan Iman dan Kebingungan
Habakuk memulai pertanyaan keduanya dengan penegasan iman yang kuat: "Bukankah Engkau, ya TUHAN, dari dahulu Allahku, Yang Mahakudus?" dan "Kami tidak akan mati." Ini menunjukkan bahwa meskipun ia bingung, imannya tidak goyah. Ia tetap berpegang pada karakter Allah yang kekal, kudus, dan setia. Ia percaya bahwa sebagai umat Allah, mereka tidak akan binasa sepenuhnya, bahkan di tengah penghakiman. Frasa "Gunung Batu" adalah gelar yang sering digunakan untuk Allah, melambangkan kekuatan, kekekalan, dan perlindungan-Nya.
Namun, di balik penegasan ini, ada kebingungan yang nyata. Habakuk mengakui bahwa Allah "telah menetapkan dia (Kasdim) untuk penghakiman" dan "telah menentukan dia sebagai pembalas." Ia memahami bahwa Allah berdaulat dan memiliki tujuan di balik semua ini. Namun, ia tidak dapat memahami bagaimana Allah yang kudus dapat menggunakan bangsa yang tidak kudus, bahkan jauh lebih jahat, untuk menghukum umat-Nya yang, meskipun berdosa, masih lebih baik daripada Kasdim. Konflik antara pengetahuan teologis dan realitas yang dihadapinya masih sangat kuat.
Habakuk 1:13"Mata-Mu terlalu suci untuk melihat kejahatan dan Engkau tidak dapat memandang kelaliman. Mengapa Engkau memandang orang-orang yang berkhianat itu dan berdiam diri, apabila orang fasik menelan orang yang lebih benar dari dia?"
3.2. Konflik Karakter Allah dan Tindakan-Nya
Inilah inti dari pergumulan teologis Habakuk. Ia tahu dan percaya bahwa "Mata-Mu terlalu suci untuk melihat kejahatan dan Engkau tidak dapat memandang kelaliman." Ini adalah doktrin fundamental tentang kesucian Allah. Allah adalah murni, tanpa noda, dan tidak dapat mentolerir dosa. Lalu, bagaimana mungkin Allah "memandang orang-orang yang berkhianat itu" (Kasdim) dan "berdiam diri, apabila orang fasik menelan orang yang lebih benar dari dia?"
Habakuk melihat paradoks: Allah yang suci akan menggunakan bangsa yang jauh lebih berdosa (Kasdim) untuk menghukum umat-Nya (Yehuda) yang, meskipun fasik, tetap "lebih benar" daripada Kasdim dalam konteks perjanjian. Ini adalah pertanyaan tentang keadilan relatif dan kesucian absolut Allah. Bagaimana Allah bisa menggunakan kejahatan yang lebih besar untuk menghukum kejahatan yang lebih kecil tanpa mengkompromikan kesucian-Nya sendiri? Ini adalah pertanyaan yang mengguncang dasar pemahaman Habakuk tentang keadilan ilahi.
Bagi banyak orang, pertanyaan ini juga relevan dalam menghadapi penderitaan di dunia. Mengapa Allah yang baik membiarkan kejahatan besar terjadi, yang bahkan menelan orang-orang yang tampak lebih tidak bersalah? Habakuk berani mengajukan pertanyaan ini, bukan untuk menolak Allah, melainkan untuk mencari pemahaman yang lebih dalam tentang karakter-Nya dan cara kerja-Nya yang misterius.
Habakuk 1:14-17"Mengapa Engkau membuat manusia seperti ikan di laut, seperti binatang melata yang tidak ada pemimpinnya? Sekaliannya ditangkapnya dengan kail, ditariknya dengan jalanya dan dikumpulkannya dalam pukatnya. Sebab itu ia bersukaria dan bersorak-sorai. Sebab itu ia mempersembahkan korban kepada jalanya dan membakar korban kepada pukatnya, sebab oleh karena alat-alat itulah pendapatannya banyak dan makanannya mewah. Apakah ia akan selalu mengosongkan jalanya dan membunuh bangsa-bangsa dengan tidak kenal belas kasihan?"
3.3. Manusia seperti Ikan dan Kekejaman Penindas
Habakuk menggunakan metafora nelayan untuk menggambarkan kekejaman bangsa Kasdim. Ia melihat manusia, termasuk umat Allah, "seperti ikan di laut, seperti binatang melata yang tidak ada pemimpinnya," yang dengan mudah "ditangkapnya dengan kail, ditariknya dengan jalanya dan dikumpulkannya dalam pukatnya." Ini adalah gambaran dari kerentanan dan ketidakberdayaan manusia di hadapan kekuatan Kasdim yang brutal dan tak terkendali. Mereka tidak memiliki pemimpin, tidak ada yang membela, dan tidak ada yang melindungi mereka dari penangkapan massal.
Yang lebih mengerikan adalah tanggapan Kasdim terhadap kesuksesan mereka: mereka "bersukaria dan bersorak-sorai." Dan yang paling mengganggu bagi Habakuk adalah bahwa Kasdim "mempersembahkan korban kepada jalanya dan membakar korban kepada pukatnya." Ini berarti mereka menyembah alat kekuatan mereka sendiri, entah itu dewa-dewa palsu atau kekuatan militer mereka sendiri. Mereka mengagungkan hasil tangan dan keberhasilan mereka sendiri, mengabaikan Allah yang sejati yang, ironisnya, menggunakan mereka sebagai alat. Mereka menganggap "alat-alat itulah pendapatannya banyak dan makanannya mewah." Ini adalah kesombongan ekstrem dan penyembahan diri.
Pertanyaan terakhir Habakuk di pasal ini adalah seruan yang mendesak: "Apakah ia akan selalu mengosongkan jalanya dan membunuh bangsa-bangsa dengan tidak kenal belas kasihan?" Intinya, Habakuk bertanya, "Apakah ini akan berlangsung tanpa henti? Apakah kejahatan dan kesombongan ini tidak akan dihukum? Akankah Allah membiarkan ini terus berlanjut tanpa batas?" Ia tidak dapat menerima bahwa bangsa yang begitu jahat, yang bahkan menyembah alat kekuatannya sendiri, akan diizinkan untuk terus merajalela tanpa akhir. Ini adalah panggilan untuk keadilan ilahi yang tidak hanya menghukum Yehuda, tetapi juga Kasdim yang jauh lebih jahat.
Pergumulan Habakuk dengan pertanyaan kedua ini menyoroti kedalaman iman yang berani mempertanyakan bahkan cara Allah yang paling misterius.
- Berpegang teguh pada karakter Allah: Meskipun bingung, Habakuk tidak pernah meragukan kesucian dan kekekalan Allah. Ini adalah jangkar iman di tengah badai pertanyaan.
- Keadilan Ilahi yang lebih besar: Kita harus percaya bahwa Allah memiliki standar keadilan yang melampaui logika manusia. Cara-Nya mungkin tidak masuk akal bagi kita, tetapi Dia tidak pernah berbuat salah.
- Harapan akan penghakiman akhir: Habakuk menantikan waktu ketika Allah tidak hanya akan menghukum umat-Nya untuk pemurnian, tetapi juga menghukum bangsa-bangsa yang berbuat kejahatan ekstrem dan menyombongkan diri terhadap-Nya.
Pelajaran Penting dari Habakuk 1
Pasal pertama kitab Habakuk adalah sebuah mahakarya teologis yang mengajarkan beberapa pelajaran krusial bagi iman kita:
- Kejujuran dalam Doa dan Pergumulan Iman: Habakuk menunjukkan bahwa iman yang sejati tidak takut untuk bertanya, meratap, atau bahkan mengeluh kepada Allah. Doa bukanlah ritual untuk menyembunyikan kebingungan kita, melainkan wadah untuk menuangkan seluruh hati kita, termasuk kekecewaan dan keraguan. Allah tidak terintimidasi oleh pertanyaan-pertanyaan sulit kita; sebaliknya, Dia mengundang kita untuk mendekat dan bergumul dengan-Nya. Kejujuran ini adalah fondasi dari pertumbuhan iman yang otentik. Mengabaikan atau menekan keraguan hanya akan menghasilkan iman yang dangkal atau rapuh. Habakuk mengajarkan kita bahwa keraguan dapat menjadi jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang Allah, jika kita berani menyuarakannya kepada-Nya.
- Kedaulatan Allah yang Melampaui Pemahaman Manusia: Allah adalah penguasa atas segala sesuatu, termasuk atas bangsa-bangsa yang paling kejam sekalipun. Dia dapat menggunakan siapa pun atau apa pun sebagai alat untuk mencapai tujuan-Nya yang lebih besar. Jawaban Allah kepada Habakuk menunjukkan bahwa cara kerja Allah seringkali berada di luar nalar dan ekspektasi manusia. Dia tidak terbatas pada metode yang kita anggap "baik" atau "adil" menurut standar kita. Ini menantang kita untuk mempercayai kebijaksanaan dan rencana Allah yang lebih tinggi, bahkan ketika jalan-Nya tampak membingungkan atau bahkan menakutkan.
- Penghakiman Allah adalah Nyata dan Tak Terhindarkan: Baik kejahatan di dalam Yehuda maupun kesombongan Kasdim, semuanya akan menghadapi penghakiman Allah. Allah tidak akan membiarkan dosa tanpa hukuman selamanya. Meskipun waktu dan cara-Nya mungkin misterius, kepastian penghakiman adalah sebuah janji ilahi. Ini mengingatkan kita bahwa tidak ada dosa yang luput dari pandangan Allah, dan pada akhirnya, setiap orang dan setiap bangsa akan dimintai pertanggungjawaban. Penghakiman ini, meskipun seringkali menyakitkan, pada akhirnya bertujuan untuk memulihkan keadilan dan kesucian.
- Kesucian Allah yang Mutlak dan Konsisten: Meskipun Habakuk bergumul dengan mengapa Allah menggunakan Kasdim, imannya tetap berpegang pada kesucian Allah. Pertanyaan "Mata-Mu terlalu suci untuk melihat kejahatan" menunjukkan pemahaman mendalam Habakuk akan karakter Allah. Ini adalah jaminan bahwa pada akhirnya, Allah akan bertindak sesuai dengan karakter-Nya yang sempurna. Dia tidak dapat mengkompromikan kesucian-Nya sendiri. Jika Dia membiarkan kejahatan Kasdim berlanjut tanpa batas, itu akan bertentangan dengan sifat-Nya. Oleh karena itu, Habakuk yakin bahwa ada batas bagi tindakan Kasdim dan bahwa mereka juga akan dihukum.
- Menunggu dengan Iman: Meskipun Habakuk mengakhiri pasal 1 dengan pertanyaan yang belum terjawab dan rasa bingung, ia tidak menyerah. Sebaliknya, ia menyatakan dalam Habakuk 2:1 bahwa ia akan "berdiri di tempat pengintaianku dan menempatkan diriku di menara penjagaan, aku mau meninjau dan menantikan apa yang akan difirmankan-Nya kepadaku." Ini adalah sikap iman yang penting: setelah bertanya dan menuangkan hati, kita harus menunggu jawaban Allah dengan harapan dan kesabaran, percaya bahwa Dia akan berbicara dan menyatakan kebenaran-Nya.
Relevansi Renungan Habakuk 1 untuk Masa Kini
Kisah Habakuk bukanlah sekadar catatan sejarah kuno, melainkan cerminan dari pergumulan yang tak lekang oleh waktu. Di tengah dunia kita saat ini, kita dapat menemukan banyak "Kasdim" – kekuatan-kekuatan penindas, sistem yang tidak adil, atau bahkan bencana global – yang membuat kita bertanya, "Di mana Tuhan?" dan "Mengapa ini terjadi?"
Di era informasi ini, kita dibombardir dengan berita tentang ketidakadilan, kekerasan, dan penderitaan dari seluruh penjuru bumi. Konflik bersenjata yang tampaknya tak berujung, ketimpangan ekonomi yang merajalela, korupsi yang mengakar di berbagai tingkat pemerintahan, eksploitasi manusia dan lingkungan, hingga tragedi kemanusiaan yang memilukan – semua ini bisa membuat kita merasa seperti Habakuk, memohon kepada Allah, "Berapa lama lagi, Tuhan?" Kita melihat "orang fasik mengurung orang benar" dalam berbagai bentuk, dari penindasan politik hingga ketidakadilan sosial. Hukum seringkali terasa "kehilangan kekuatannya," dan keadilan "muncul terbalik" bagi mereka yang tidak berdaya.
Dalam konteks pribadi, kita juga dapat mengalami "Kasdim" kita sendiri. Mungkin itu adalah penyakit kronis yang tidak kunjung sembuh, kehilangan orang yang dicintai secara tidak adil, kegagalan dalam karier meskipun sudah bekerja keras, atau bahkan menghadapi fitnah dan pengkhianatan dari orang terdekat. Dalam momen-momen seperti ini, kita merasa seolah-olah doa kita tidak didengar, dan Allah berdiam diri di tengah penderitaan kita. Kita mungkin bertanya mengapa Allah yang Mahakasih dan Mahakuasa membiarkan hal-hal buruk terjadi pada kita atau orang-orang yang kita kasihi.
Renungan Habakuk 1 menawarkan beberapa panduan penting:
- Validasi atas Perasaan Kita: Habakuk mengajarkan kita bahwa tidak salah untuk merasakan keputusasaan, kemarahan, atau kebingungan. Perasaan-perasaan ini, ketika dibawa kepada Allah dengan jujur, bukanlah tanda kurangnya iman, melainkan bagian dari perjalanan iman yang otentik. Kita diizinkan untuk menanyai Allah, untuk meratap, dan untuk mencari jawaban di tengah kesulitan. Ini adalah kebebasan yang diberikan oleh relasi perjanjian yang akrab dengan Allah.
- Kedaulatan Allah yang Tak Terbatas: Allah dapat dan akan bertindak. Kita mungkin tidak memahami cara-Nya, atau waktu-Nya, tetapi kita harus percaya bahwa Dia memiliki kendali penuh atas sejarah dan keadaan kita. Bahkan di tengah kekacauan, Dia sedang menggenapi tujuan-Nya. Pengetahuan ini memberi kita pijakan yang kokoh ketika segala sesuatu di sekitar kita terasa tidak stabil. Kedaulatan-Nya berarti bahwa tidak ada yang terjadi di luar kendali atau izin-Nya, dan pada akhirnya, semua akan bekerja untuk kebaikan mereka yang mengasihi Dia (Roma 8:28).
- Penghakiman yang Adil Akan Datang: Janji penghakiman Allah adalah penghiburan bagi mereka yang menderita di bawah ketidakadilan. Meskipun kita mungkin tidak melihat keadilan ditegakkan di dunia ini, kita dapat percaya bahwa Allah pada akhirnya akan menghukum semua kejahatan, termasuk kesombongan dan kekejaman "Kasdim." Ini memberi kita harapan untuk keadilan akhir dan mendorong kita untuk tidak membalas dendam, melainkan menyerahkan pembalasan kepada Allah (Roma 12:19).
- Panggilan untuk Menunggu dalam Iman: Habakuk tidak menerima semua jawaban di pasal 1, tetapi ia memutuskan untuk menunggu di menara penjagaannya. Demikian juga kita. Ketika jawaban tidak segera datang, atau ketika jawaban Allah membingungkan, kita dipanggil untuk menunggu dengan sabar, terus percaya pada karakter-Nya, dan membuka diri terhadap wahyu-Nya di masa depan. Menunggu di hadapan Allah adalah tindakan iman yang aktif, bukan pasif. Ini adalah saat kita belajar untuk mempercayai waktu-Nya dan kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas.
- Dari Pertanyaan Menuju Pujian: Meskipun pasal 1 penuh dengan pertanyaan, kita tahu bahwa kitab Habakuk berakhir dengan nyanyian pujian yang agung (Habakuk 3:17-19). Ini menunjukkan perjalanan iman dari keraguan yang jujur menuju keyakinan yang mendalam. Pergumulan tidak menghancurkan iman Habakuk; justru memperkuatnya. Ia belajar untuk mempercayai Allah bukan karena ia memahami segala sesuatu, tetapi karena ia tahu siapa Allah itu. Ini adalah pelajaran yang kuat bagi kita: bahkan di tengah ketidakpastian terbesar, iman dapat bertumbuh menjadi pujian yang tak tergoyahkan.
Kesimpulan: Dari Ratapan Menuju Penantian Penuh Harap
Pasal 1 Kitab Habakuk adalah sebuah cermin yang merefleksikan pergumulan universal manusia dengan ketidakadilan, penderitaan, dan misteri cara kerja Allah. Nabi Habakuk tidak takut untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang paling berat kepada Tuhan, menanyakan mengapa kejahatan merajalela di antara umat-Nya sendiri, dan mengapa Tuhan, yang Mahasuci, tampaknya berdiam diri. Lebih lanjut, ia bingung ketika jawaban Tuhan adalah membangkitkan bangsa Kasdim yang jauh lebih brutal sebagai alat penghakiman. Ini menimbulkan pertanyaan yang lebih mendalam tentang kesucian dan keadilan Allah.
Namun, di balik semua pertanyaan dan ratapan ini, ada benang merah iman yang kuat. Habakuk tidak pernah meragukan keberadaan Allah, kesucian-Nya, atau kedaulatan-Nya. Ia hanya mencari pemahaman yang lebih dalam, sebuah resolusi atas konflik antara pengetahuan teologisnya dan realitas pahit di sekitarnya. Pergumulannya adalah pergumulan iman yang matang, yang tidak menghindari kesulitan, melainkan menghadapinya secara langsung di hadapan Pencipta.
Pelajaran terbesar dari Habakuk 1 mungkin bukanlah jawaban instan, melainkan izin untuk bertanya, dan panggilan untuk menunggu. Habakuk mengajarkan kita bahwa Allah mengundang kita untuk membawa beban dan pertanyaan kita kepada-Nya. Dia tidak menjanjikan bahwa setiap jawaban akan mudah dimengerti, atau bahwa jalan-Nya akan selalu sesuai dengan harapan kita. Namun, Dia menjanjikan kehadiran-Nya dan pada akhirnya, wahyu akan kebenaran dan keadilan-Nya.
Pasal ini mempersiapkan kita untuk salah satu pernyataan iman yang paling agung dalam Alkitab, yang akan kita temukan di pasal-pasal berikutnya: "orang benar akan hidup oleh imannya" (Habakuk 2:4). Ini adalah jawaban utama bagi semua pertanyaan Habakuk – bukan pemahaman intelektual yang lengkap tentang setiap detail rencana Allah, melainkan kepercayaan yang teguh pada karakter-Nya di tengah ketidakpastian.
Jadi, ketika kita merasa terbebani oleh ketidakadilan di dunia, atau oleh penderitaan pribadi kita, marilah kita mengikuti teladan Habakuk. Mari kita berdoa dengan jujur, berani mengungkapkan keraguan dan kekecewaan kita kepada Allah. Mari kita berpegang teguh pada pengetahuan kita tentang kesucian dan kedaulatan-Nya. Dan marilah kita menunggu dengan iman, percaya bahwa Allah yang memulai pekerjaan baik di dalam kita akan menyelesaikannya, dan bahwa Dia, pada waktu-Nya yang sempurna, akan menyatakan keadilan dan kasih-Nya yang tak terbatas. Perjalanan dari Habakuk 1 menuju pujian di Habakuk 3 adalah perjalanan yang kita semua diundang untuk alami: dari ratapan yang jujur menuju penantian penuh harap dan iman yang tak tergoyahkan.