Khotbah Yohanes 5:1-18: Kuasa Yesus atas Sakit, Hukum, dan Kehidupan
Injil Yohanes, dengan gayanya yang unik dan teologis, seringkali mengajak kita untuk merenungkan siapa Yesus itu sebenarnya. Bukan sekadar penyembuh, bukan hanya nabi, tetapi Tuhan yang inkarnasi, Firman yang menjadi daging. Dalam pasal 5, kita disajikan sebuah narasi yang padat, penuh dengan keajaiban, konflik, dan pernyataan-pernyataan radikal tentang identitas dan otoritas Yesus Kristus. Mari kita selami lebih dalam Yohanes 5:1-18, sebuah perikop yang sarat makna, yang berbicara tentang kuasa Ilahi yang menembus batas-batas kemanusiaan, mengatasi penderitaan fisik, dan menantang dogma-dogma keagamaan yang kaku.
Latar Belakang dan Konteks Yohanes 5:1-18
Kitab Injil Yohanes seringkali dijuluki sebagai "Injil yang spiritual" atau "Injil keilahian," karena penekanannya pada sifat ketuhanan Yesus. Berbeda dengan Injil Sinoptik (Matius, Markus, Lukas) yang lebih berfokus pada narasi kronologis dan perbuatan-perbuatan Yesus, Yohanes lebih banyak menyoroti perkataan-perkataan Yesus yang mendalam dan tanda-tanda (mukjizat) yang mengungkapkan identitas-Nya sebagai Anak Allah. Tujuan utama Injil ini, seperti yang dinyatakan di Yohanes 20:31, adalah agar kita percaya bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah, dan karena percaya, kita memperoleh hidup dalam nama-Nya.
Pasal 5 ini terletak setelah peristiwa Yesus di Kana dan Yerusalem, di mana Dia telah menyatakan kemuliaan-Nya. Yohanes 5:1 membuka dengan frasa "Sesudah itu ada hari raya orang Yahudi...". Meskipun Injil Yohanes tidak menyebutkan hari raya apa secara spesifik, beberapa penafsir mengusulkan itu mungkin Paskah, Pentakosta, atau Hari Raya Pondok Daun. Namun, identifikasi hari raya ini tidak sepenting fakta bahwa itu adalah sebuah hari raya. Hari raya adalah waktu bagi orang Yahudi dari berbagai wilayah untuk berkumpul di Yerusalem, yang berarti akan ada banyak saksi mata untuk mukjizat yang akan terjadi.
Kolam Bethesda: Tempat Penderitaan dan Harapan Palsu
Yohanes 5:2-4 menyebutkan: "Di Yerusalem dekat Pintu Gerbang Domba ada sebuah kolam, yang dalam bahasa Ibrani disebut Betesda; ada lima serambi di situ. Dan di serambi-serambi itu berbaring sejumlah besar orang sakit: orang-orang buta, orang-orang timpang dan orang-orang lumpuh, yang menanti-nantikan goncangan air kolam itu. Sebab sewaktu-waktu turun seorang malaikat Tuhan ke kolam itu dan menggoncangkan air itu; barangsiapa yang terdahulu masuk ke dalamnya sesudah goncangan air itu, menjadi sembuh, apa pun juga penyakitnya."
Kolam Bethesda (artinya "Rumah Belas Kasih" atau "Rumah Anugerah") adalah sebuah tempat yang ironis. Dengan nama yang begitu indah, seharusnya tempat itu penuh dengan anugerah, namun kenyataannya dipenuhi dengan keputusasaan. Lima serambi mengindikasikan struktur bangunan yang besar, mungkin dibangun untuk menampung banyak orang. Ini adalah sebuah pusat penderitaan, di mana berbagai macam penyakit berkumpul. Gambaran ini sangat kuat: orang-orang buta, timpang, dan lumpuh, semuanya memiliki harapan yang sama—kesembuhan melalui goncangan air.
Ayat 4, yang menjelaskan tentang malaikat yang menggoncangkan air dan menyembuhkan orang pertama yang masuk, seringkali menjadi subjek perdebatan tekstual. Banyak naskah kuno yang paling awal dan paling dapat diandalkan tidak memiliki ayat ini. Oleh karena itu, sebagian besar terjemahan Alkitab modern menyertakannya dalam tanda kurung atau dengan catatan kaki yang menjelaskan keraguan otentisitasnya. Meskipun demikian, keberadaan kepercayaan rakyat semacam ini, apakah itu mitos atau pengalaman yang diyakini, menggambarkan atmosfer harapan yang menyedihkan dan kompetitif di kolam itu. Orang-orang miskin dan sakit, yang tidak punya pilihan lain, menumpukkan harapan mereka pada kepercayaan bahwa hanya satu orang yang bisa sembuh setiap kali air bergoncang. Ini adalah harapan yang didasarkan pada keberuntungan, kecepatan, dan kemampuan diri, bukan pada belas kasihan Allah.
Perjumpaan Yesus dengan Orang yang Sakit (Yohanes 5:5-9a)
Penderitaan Tiga Puluh Delapan Tahun
Yohanes 5:5-6 menyatakan: "Di situ ada seorang yang sudah tiga puluh delapan tahun lamanya menderita sakit. Ketika Yesus melihat orang itu berbaring di situ dan mengetahui, bahwa ia telah lama dalam keadaan itu, berkatalah Ia kepadanya: ‘Maukah engkau sembuh?’"
Angka tiga puluh delapan tahun bukanlah angka yang sembarangan. Ini adalah sebuah durasi penderitaan yang luar biasa panjang, lebih dari sebagian besar usia harapan hidup pada masa itu. Ini menunjukkan ketidakberdayaan total. Orang ini telah menghabiskan hampir empat dekade hidupnya dalam kondisi yang menyedihkan, mungkin tanpa harapan untuk sembuh. Hidupnya adalah siklus penderitaan, ketergantungan, dan keputusasaan yang tidak pernah berakhir. Ia mungkin telah melihat ribuan orang datang dan pergi dari kolam itu, beberapa mungkin beruntung dan sembuh, tetapi ia tetap terperangkap dalam penyakitnya.
Yesus, yang seringkali digambarkan memiliki pengetahuan supranatural (Yohanes 2:25, 4:18), "mengetahui, bahwa ia telah lama dalam keadaan itu." Ini bukan sekadar pengamatan, melainkan sebuah pengetahuan Ilahi akan kondisi dan sejarah penderitaan orang tersebut. Yesus tidak hanya melihat tubuh yang sakit, tetapi juga jiwa yang lelah dan hati yang hancur.
Pertanyaan yang Mengejutkan: "Maukah Engkau Sembuh?"
Pertanyaan Yesus terdengar aneh, bahkan provokatif: "Maukah engkau sembuh?" Bagi orang yang telah menderita selama 38 tahun, apakah ada pertanyaan yang lebih konyol? Tentu saja ia ingin sembuh! Namun, pertanyaan ini jauh lebih dalam daripada yang terlihat. Ini bukan hanya pertanyaan tentang keinginan fisik, tetapi mungkin juga pertanyaan tentang kesiapan rohani dan mental. Seseorang yang telah terbiasa dengan penderitaannya mungkin telah membangun identitas di sekitarnya. Penderitaan bisa menjadi alasan, alasan untuk ketergantungan, alasan untuk tidak bertanggung jawab. Kesembuhan berarti perubahan radikal, keluar dari zona nyaman penderitaan, dan menghadapi tantangan hidup yang baru.
Pertanyaan ini juga dapat menjadi uji iman. Yesus tidak bertanya, "Apakah kamu percaya aku bisa menyembuhkanmu?" atau "Apakah kamu sudah mencoba segala cara?" Tetapi, "Maukah engkau sembuh?" Ini menempatkan tanggung jawab atas keinginan itu pada diri orang sakit tersebut. Terkadang, kita begitu terbiasa dengan kondisi kita, bahkan dengan "sakit" rohani kita, sehingga kita enggan untuk benar-benar berubah.
Jawaban yang Penuh Alasan dan Belas Kasihan Yesus
Yohanes 5:7 mencatat jawaban orang itu: "Jawab orang sakit itu kepada-Nya: ‘Tuan, tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu apabila airnya digoncangkan; dan sementara aku menuju ke kolam itu, orang lain sudah turun mendahului aku.’"
Jawaban orang ini bukan "Ya, aku mau!" tetapi sebuah daftar alasan mengapa ia tidak bisa sembuh. Ia menyalahkan ketiadaan penolong dan persaingan. Ia terperangkap dalam sistem yang ada, yang mengharuskan kecepatan dan bantuan orang lain, dan ia tidak memiliki keduanya. Dalam jawaban ini, kita melihat cerminan banyak orang yang terjebak dalam keputusasaan, melihat hambatan sebagai takdir yang tidak dapat diubah, dan melupakan bahwa ada kuasa yang lebih besar dari keadaan mereka.
Meskipun orang itu tidak langsung menjawab "Ya" dan justru memberikan alasan, Yesus tidak menuntut pertobatan atau pengakuan iman yang rumit. Dia menunjukkan belas kasihan murni. Dia tidak masuk ke dalam perdebatan tentang mengapa ia tidak bisa masuk kolam. Dia langsung pada intinya.
Perintah dan Kesembuhan Ajaib
Yohanes 5:8-9a: "Kata Yesus kepadanya: ‘Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah.’ Dan pada saat itu juga sembuhlah orang itu lalu ia mengangkat tilamnya dan berjalan."
Ini adalah momen klimaks penyembuhan. Perintah Yesus sangat langsung dan berkuasa: "Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah." Tidak ada sentuhan, tidak ada ramuan, tidak ada ritual. Hanya Firman. Ini adalah demonstrasi otoritas Ilahi yang mutlak. Yesus tidak hanya menyembuhkan penyakit, tetapi juga memulihkan martabat. Orang yang telah berbaring di tikar selama 38 tahun kini diperintahkan untuk mengangkat tikarnya sendiri. Tikar yang tadinya adalah simbol ketidakberdayaannya kini menjadi bukti kesembuhannya.
Frasa "pada saat itu juga sembuhlah orang itu" menegaskan keajaiban yang instan dan total. Tidak ada proses penyembuhan bertahap, tidak ada terapi. Kuasa Allah bekerja seketika. Orang itu tidak hanya berdiri, tetapi ia juga mengangkat tilamnya, menunjukkan kekuatan yang penuh dan kesembuhan yang sempurna, tidak ada sisa-sisa kelemahan dari penyakit lamanya.
Konflik Sabat dan Otoritas Yesus (Yohanes 5:9b-18)
Setelah kegembiraan penyembuhan, narasi segera beralih ke konflik. Ini adalah pola yang sering terjadi dalam Injil: mukjizat Yesus yang luar biasa seringkali memicu pertentangan dengan para pemimpin agama yang berpegang teguh pada tradisi dan hukum.
Pelanggaran Sabat di Mata Para Pemimpin Agama
Yohanes 5:9b-10: "Hari itu adalah hari Sabat. Karena itu orang-orang Yahudi berkata kepada orang yang baru sembuh itu: ‘Hari ini hari Sabat dan tidak boleh engkau memikul tilammu.’"
Bagi Yesus dan orang yang baru sembuh, ini adalah hari keajaiban dan pemulihan. Bagi orang-orang Yahudi (yang dalam konteks Injil Yohanes sering merujuk pada para pemimpin agama atau kelompok yang menentang Yesus), ini adalah pelanggaran hukum. Hukum Sabat dalam Taurat memang melarang pekerjaan pada hari itu (Keluaran 20:8-11; Ulangan 5:12-15; Yeremia 17:21-22). Namun, seiring waktu, para rabi dan ahli Taurat telah mengembangkan serangkaian aturan dan tradisi yang sangat rinci tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan pada hari Sabat.
Membawa beban (seperti tilam) adalah salah satu tindakan yang dianggap melanggar Sabat menurut tradisi lisan Yahudi (misalnya, dalam Traktat Shabbat di Misyah). Ironisnya, mereka lebih peduli pada aturan tentang memikul tikar daripada kesembuhan ajaib seorang pria yang telah menderita selama 38 tahun. Prioritas mereka sepenuhnya terbalik.
Siapakah yang Memerintahkan Ini? (Yohanes 5:11-13)
Yohanes 5:11-13: "Akan tetapi ia menjawab mereka: ‘Orang yang menyembuhkan aku, Dialah yang mengatakan kepadaku: Angkatlah tilammu dan berjalanlah.’ Mereka bertanya kepadanya: ‘Siapakah orang itu yang mengatakan kepadamu: Angkatlah tilammu dan berjalanlah?’ Tetapi orang yang baru sembuh itu tidak tahu siapa Dia, sebab Yesus telah menghilang karena di tempat itu ada banyak orang."
Orang yang baru sembuh itu dengan jujur menjelaskan bahwa ia hanya mengikuti perintah dari Orang yang telah memberinya kesembuhan. Baginya, otoritas Penyembuhnya lebih tinggi daripada otoritas hukum Sabat yang kaku. Para pemimpin Yahudi tidak menanyakan, "Siapa yang menyembuhkanmu?" melainkan, "Siapakah orang itu yang mengatakan kepadamu: Angkatlah tilammu dan berjalanlah?" Fokus mereka bukan pada mukjizat atau belas kasihan, tetapi pada pelanggaran peraturan. Mereka mencari biang keladi, bukan sumber berkat.
Ketidaktahuan orang yang disembuhkan tentang identitas Yesus pada saat itu menunjukkan bahwa Yesus tidak mencari ketenaran instan atau pengakuan publik. Dia melakukan mukjizat karena belas kasihan dan untuk menyatakan kemuliaan Bapa.
Peringatan dan Pengungkapan Diri Yesus (Yohanes 5:14)
Yohanes 5:14: "Kemudian Yesus bertemu dengan dia dalam Bait Allah lalu berkata kepadanya: ‘Engkau telah sembuh; jangan berbuat dosa lagi, supaya jangan terjadi yang lebih buruk padamu.’"
Perjumpaan kedua ini sangat signifikan. Yesus mencari orang itu lagi, kali ini di Bait Allah, tempat di mana ia seharusnya bersyukur kepada Allah. Pesan Yesus: "Engkau telah sembuh; jangan berbuat dosa lagi, supaya jangan terjadi yang lebih buruk padamu." Pesan ini sering disalahpahami sebagai indikasi bahwa semua penyakit adalah akibat langsung dari dosa. Meskipun ada beberapa kasus di mana dosa dapat berkontribusi pada penyakit (seperti gaya hidup tidak sehat), Alkitab secara keseluruhan mengajarkan bahwa tidak semua penyakit atau penderitaan adalah hukuman langsung untuk dosa individu (lihat Yohanes 9:1-3; Ayub). Namun, dalam kasus khusus ini, Yesus menghubungkan kesembuhan fisik dengan kebutuhan akan kesembuhan rohani dan perubahan moral.
"Yang lebih buruk" bisa berarti kembalinya penyakit, atau penderitaan rohani yang lebih mendalam, yaitu hukuman kekal. Yesus tidak hanya peduli pada kondisi fisik, tetapi juga pada keselamatan jiwa. Kesembuhan fisik adalah tanda, penunjuk jalan menuju kesembuhan rohani yang lebih besar yang hanya bisa ditemukan dalam Kristus.
Orang yang Disembuhkan Memberi Tahu Orang Yahudi (Yohanes 5:15-16)
Yohanes 5:15-16: "Orang itu pergi lalu mengatakan kepada orang-orang Yahudi, bahwa Yesuslah yang telah menyembuhkan dia. Dan karena itu orang-orang Yahudi mulai menganiaya Yesus, karena Ia melakukan hal-hal itu pada hari Sabat."
Orang yang disembuhkan itu, mungkin dengan niat baik atau mungkin karena takut, mengungkapkan identitas Yesus kepada para pemimpin Yahudi. Ini memperburuk situasi. Sekarang, bukan hanya tindakan memikul tilam yang menjadi masalah, tetapi identitas Yesus sebagai pelaku "pelanggaran" Sabat. Penganiayaan dimulai. Kata "menganiaya" di sini (Yunani: ediōkon) menyiratkan pengejaran, serangan verbal, atau bahkan upaya untuk menyakiti. Ini menunjukkan betapa seriusnya mereka menganggap pelanggaran Sabat.
Lagi-lagi, fokus mereka bukan pada mukjizat, belas kasihan, atau kesembuhan orang yang menderita, melainkan pada penjagaan ketat hukum dan tradisi mereka. Ini adalah contoh tragis dari legalisme yang mengorbankan kemanusiaan dan spiritualitas sejati. Mereka menuduh Yesus "melakukan hal-hal itu pada hari Sabat," menunjukkan bahwa mereka melihat penyembuhan itu sendiri sebagai "pekerjaan" yang dilarang.
Klaim Keilahian Yesus: Bapa Bekerja, Aku pun Bekerja (Yohanes 5:17-18)
Bagian ini adalah puncak teologis dari perikop ini, di mana Yesus memberikan pembelaan yang paling menakjubkan dan radikal atas tindakan-Nya.
Pembelaan Yesus: "Bapa-Ku Bekerja, Aku pun Bekerja"
Yohanes 5:17: "Tetapi Ia menjawab mereka: ‘Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja.’"
Ini adalah salah satu klaim keilahian Yesus yang paling terang-terangan dalam Injil. Para pemimpin Yahudi percaya bahwa setelah enam hari penciptaan, Allah beristirahat pada hari ketujuh. Namun, mereka juga mengakui bahwa Allah terus bekerja dalam hal memelihara alam semesta, menghakimi, dan menyelamatkan. Allah tidak "beristirahat" dari tugas-tugas vital ini. Yesus di sini menyelaraskan pekerjaan-Nya sendiri dengan pekerjaan Bapa. Dia mengatakan, "Bapa-Ku terus bekerja memelihara alam semesta, dan dalam pekerjaan-Nya itu tidak ada istirahat Sabat, karena pekerjaan Bapa adalah pekerjaan yang mulia dan penuh belas kasihan. Dan Aku, sebagai Anak, juga terlibat dalam pekerjaan yang sama ini, bahkan pada hari Sabat."
Pernyataan ini bukan hanya pembelaan atas tindakan-Nya pada hari Sabat, tetapi juga pernyataan tegas tentang identitas-Nya. Yesus tidak hanya menyatakan diri sebagai seorang nabi atau guru, tetapi sebagai pribadi yang memiliki hubungan unik dan setara dengan Allah Bapa. Ia memiliki otoritas yang sama, bahkan otoritas untuk mendefinisikan kembali atau menafsirkan hukum Sabat, karena Dia adalah Tuhan Sabat.
Reaksi Orang Yahudi: Paham akan Klaim Keilahian
Yohanes 5:18: "Karena perkataan itu orang-orang Yahudi makin berusaha membunuh-Nya, bukan saja karena Ia melanggar hari Sabat, tetapi juga karena Ia mengatakan bahwa Allah adalah Bapa-Nya sendiri dan dengan demikian menyamakan diri-Nya dengan Allah."
Ayat ini adalah kunci untuk memahami seluruh konflik. Para pemimpin Yahudi dengan tepat memahami implikasi dari perkataan Yesus. Mereka tidak salah paham. Mereka tidak berpikir Yesus hanya menyatakan diri sebagai anak Allah dalam arti umum (seperti setiap manusia adalah ciptaan Allah). Tidak, mereka tahu bahwa ketika Yesus menyebut Allah sebagai "Bapa-Ku" (Yunani: ton patera idion, "Bapa-Nya sendiri" atau "Bapa-Ku pribadi"), Ia sedang mengklaim hubungan yang unik dan eksklusif, yang menyiratkan kesetaraan esensial dengan Allah. Ini adalah klaim yang menantang monoteisme Yahudi secara langsung, kecuali jika Yesus adalah Allah sendiri.
Bagi mereka, klaim ini adalah penghujatan, dan hukuman untuk penghujatan adalah mati. Jadi, dari titik ini, keinginan mereka untuk membunuh Yesus bukan lagi hanya karena pelanggaran Sabat, tetapi karena klaim keilahian-Nya. Ini adalah awal dari konflik yang akan memuncak pada penyaliban-Nya.
Analisis Teologis dan Aplikasi Kontemporer
Kisah di Kolam Bethesda ini adalah mikrokosmos dari seluruh Injil dan misi Kristus. Mari kita telaah beberapa poin teologis penting dan penerapannya dalam kehidupan kita hari ini.
1. Otoritas Yesus atas Hukum dan Tradisi
Konflik Sabat menunjukkan bahwa Yesus tidak terikat oleh interpretasi legalistik hukum Taurat yang telah dikembangkan oleh para pemimpin Yahudi. Yesus datang bukan untuk menghancurkan hukum, melainkan untuk menggenapinya (Matius 5:17). Dalam kasus ini, Dia menggenapinya dengan menunjukkan bahwa belas kasihan dan kehidupan lebih utama daripada aturan buatan manusia. Sabat diciptakan untuk kebaikan manusia, bukan manusia untuk Sabat.
Ini menantang kita untuk memeriksa apakah kita sebagai gereja atau individu terlalu terikat pada tradisi dan aturan yang kita buat sendiri, sehingga mengorbankan belas kasihan, kasih, atau bahkan kebenaran Injil. Apakah kita lebih peduli pada "bagaimana sesuatu harus dilakukan" daripada "mengapa itu dilakukan" atau "siapa yang kita layani"? Yesus menunjukkan bahwa hukum Allah yang sejati adalah tentang kasih kepada Allah dan sesama, bukan kepatuhan buta terhadap ritual.
2. Identitas Yesus sebagai Anak Allah yang Setara dengan Bapa
Pernyataan "Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja" adalah salah satu pernyataan Kristologi yang paling kuat. Ini menegaskan bahwa Yesus adalah Allah yang sejati. Dia berbagi esensi, otoritas, dan bahkan pekerjaan yang sama dengan Bapa. Ini adalah dasar dari doktrin Tritunggal dan inti iman Kristen. Yesus bukan sekadar utusan, melainkan Allah yang berinkarnasi.
Mengakui keilahian Yesus berarti mengakui otoritas-Nya yang mutlak atas segala aspek kehidupan kita. Jika Dia adalah Allah, maka Firman-Nya adalah kebenaran, perintah-Nya adalah mutlak, dan keselamatan yang ditawarkan-Nya adalah sempurna. Ini memanggil kita pada penyembahan dan penyerahan total.
3. Kesembuhan Fisik sebagai Tanda Kesembuhan Rohani
Penyembuhan di Bethesda bukan hanya tentang memulihkan tubuh yang sakit. Pesan Yesus kepada orang yang disembuhkan, "jangan berbuat dosa lagi," menghubungkan kesembuhan fisik dengan kebutuhan akan kesembuhan rohani dan perubahan hidup. Penderitaan 38 tahun tersebut dapat menjadi metafora untuk perbudakan dosa yang seringkali berlangsung seumur hidup.
Yesus menawarkan kebebasan dari ikatan dosa yang lebih parah daripada penyakit fisik apa pun. Mukjizat-mukjizat-Nya adalah tanda-tanda yang menunjuk pada kuasa-Nya untuk menyembuhkan dosa dan memberikan hidup kekal. Apakah kita mengizinkan Yesus menyembuhkan kita tidak hanya secara fisik (jika itu kehendak-Nya), tetapi yang lebih penting, dari dosa dan dampak-dampaknya dalam hidup kita?
4. Harapan di Tengah Keputusasaan
Orang di Bethesda telah hidup dalam keputusasaan selama 38 tahun, terikat pada sistem yang tidak adil (hanya satu orang yang sembuh) dan tanpa penolong. Yesus datang ke dalam situasi itu dan menawarkan harapan yang melampaui keadaan. Dia tidak bertanya, "Apakah kamu punya siapa pun untuk menolongmu?" tetapi "Maukah engkau sembuh?"
Dalam kehidupan kita, kita mungkin merasa lumpuh oleh dosa, kebiasaan buruk, trauma, atau situasi yang tampaknya tidak memiliki jalan keluar. Kita mungkin merasa tidak ada "malaikat" yang datang menggoncangkan "kolam" untuk kita. Namun, Yesus adalah sumber harapan sejati. Dia tidak membutuhkan kita untuk memenuhi syarat tertentu atau memiliki "penolong" lain. Dia hanya menawarkan kuasa-Nya yang memulihkan. Pertanyaannya kepada kita sama: "Maukah engkau sembuh? Maukah engkau dibebaskan?"
5. Prioritas Kerajaan Allah: Belas Kasihan dan Keadilan
Peristiwa ini menyoroti perbedaan tajam antara hukum yang kaku (legalisme) dan belas kasihan yang membebaskan (kasih karunia). Para pemimpin agama terpaku pada detail hukum Sabat, mengabaikan penderitaan manusia. Yesus, di sisi lain, menunjukkan bahwa belas kasihan dan pemulihan manusia adalah inti dari kehendak Allah. Ini adalah pelajaran penting bagi kita sebagai orang percaya dan gereja: prioritas kita harus selalu selaras dengan hati Allah yang penuh belas kasihan dan keadilan.
Bagaimana kita menanggapi penderitaan di sekitar kita? Apakah kita memprioritaskan aturan dan prosedur, ataukah kita bergerak dengan belas kasihan untuk membawa pemulihan dan harapan, bahkan jika itu menantang status quo?
6. Respons Terhadap Yesus: Iman atau Penolakan
Kisah ini juga menyajikan dua respons yang kontras terhadap Yesus: orang yang disembuhkan menerima perintah Yesus dan mengalami pemulihan, meskipun ia kemudian melaporkan Yesus kepada orang Yahudi; sementara para pemimpin Yahudi menolak Yesus dan menganiaya Dia karena klaim-klaim-Nya. Mereka melihat mukjizat tetapi menolak implikasinya. Mereka lebih mencintai hukum mereka sendiri daripada kebenaran Allah yang nyata dalam Yesus.
Ini adalah pilihan yang sama yang dihadapi setiap orang: Apakah kita akan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat yang memiliki otoritas mutlak, yang datang untuk menyembuhkan dan membebaskan, ataukah kita akan menolak-Nya karena Dia menantang pandangan kita, tradisi kita, atau kenyamanan kita?
7. Pekerjaan Tuhan yang Berkelanjutan
Pernyataan Yesus, "Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja," memiliki implikasi yang luas. Ini bukan hanya tentang Sabat, tetapi tentang sifat aktif dan berkelanjutan dari pekerjaan Allah di dunia. Allah tidak pasif atau acuh tak acuh. Dia terus bekerja dalam sejarah, dalam hidup kita, dalam pemeliharaan ciptaan, dalam anugerah, dan dalam penyelamatan. Dan Yesus, sebagai Anak, turut serta dalam pekerjaan ini.
Ini memberi kita penghiburan dan jaminan bahwa Allah masih memegang kendali. Dia aktif. Dia bekerja. Bahkan dalam penderitaan dan kekacauan dunia, tangan-Nya tidak berhenti bergerak. Kita dipanggil untuk menjadi rekan kerja-Nya, untuk bergabung dalam misi-Nya untuk membawa kerajaan-Nya ke bumi.
8. Kebutuhan Akan Penyerahan Diri Total
Pertanyaan Yesus kepada orang sakit, "Maukah engkau sembuh?", menuntut kesediaan. Meskipun orang itu memberikan alasan, ia pada akhirnya patuh pada perintah Yesus. Kepatuhan itu adalah kunci kesembuhannya. Banyak dari kita mungkin ingin "sembuh" dari dosa atau masalah, tetapi kita enggan untuk sepenuhnya menyerahkan diri kepada Yesus. Kita ingin sembuh dengan syarat kita sendiri, atau dengan bantuan kita sendiri.
Yohanes 5:1-18 memanggil kita untuk menyingkirkan alasan-alasan kita, ketidakberdayaan kita, dan harapan-harapan palsu kita, dan sebaliknya, sepenuhnya menyerah pada otoritas dan kasih karunia Yesus. Hanya dengan demikian kita dapat mengalami kesembuhan dan pemulihan yang sejati, baik secara fisik, emosional, maupun rohani.
9. Peringatan Terhadap Legalitas Buta
Kisah ini adalah peringatan keras terhadap bahaya legalisme buta. Para pemimpin Yahudi sangat fokus pada "huruf" hukum sehingga mereka kehilangan "roh" hukum. Mereka mengabaikan penderitaan manusia dan mukjizat ilahi demi menjaga tradisi buatan mereka sendiri. Dalam prosesnya, mereka menolak Allah yang sedang bekerja di tengah-tengah mereka.
Apakah kita, sebagai orang percaya, juga terkadang jatuh ke dalam perangkap yang sama? Apakah kita lebih mementingkan aturan gereja, denominasi, atau tradisi pribadi daripada mengasihi sesama dan menunjukkan belas kasihan? Apakah kita menjadi batu sandungan bagi orang lain karena ketegasan kita dalam hal-hal sekunder, sementara mengabaikan hal-hal primer dari Injil?
10. Janji Hidup Kekal Melalui Kepercayaan
Meskipun tidak secara eksplisit diucapkan dalam perikop ini, seluruh Injil Yohanes menekankan bahwa tujuan utama dari tanda-tanda dan klaim Yesus adalah agar orang percaya dan memperoleh hidup kekal (Yohanes 20:31). Penyembuhan di Bethesda, dan klaim Yesus atas keilahian-Nya, adalah bagian dari narasi keselamatan yang lebih besar. Orang yang disembuhkan mengalami hidup baru secara fisik. Kita, melalui iman kepada Yesus, dapat mengalami hidup baru secara rohani dan kekal.
Hidup ini tidak terbatas pada pemulihan fisik saja, tetapi meluas ke dimensi kekal, sebuah hidup yang dimulai sekarang dan berlanjut selamanya dalam persekutuan dengan Allah.
Kesimpulan
Yohanes 5:1-18 adalah sebuah perikop yang kaya akan teologi dan makna rohani. Ini membawa kita dari sebuah kolam penderitaan dan harapan palsu menuju perjumpaan dengan Tuhan yang berdaulat, yang memiliki kuasa atas penyakit, hukum, dan bahkan waktu. Kita melihat Yesus yang penuh belas kasihan, yang tidak hanya menyembuhkan tubuh, tetapi juga peduli pada jiwa dan kehidupan rohani.
Pada saat yang sama, kita menyaksikan konflik abadi antara kasih karunia Ilahi dan legalisme manusiawi. Yesus dengan tegas menyatakan keilahian-Nya, menantang para pemimpin agama dan memaksa mereka untuk menghadapi pertanyaan paling fundamental: Siapakah Yesus ini?
Bagi kita hari ini, kisah ini adalah panggilan untuk merenungkan: Apakah kita membiarkan Yesus masuk ke dalam "kolam penderitaan" kita dan memberikan kesembuhan sejati? Apakah kita lebih mencintai aturan dan tradisi daripada Allah yang hidup dan penuh kasih? Apakah kita mengakui dan tunduk pada otoritas-Nya yang mutlak sebagai Anak Allah yang setara dengan Bapa?
Kiranya kita, seperti orang yang disembuhkan itu, bangkit dari ketidakberdayaan kita, mengangkat "tilam" dosa dan keterbatasan kita, dan berjalan dalam kehidupan baru yang hanya dapat diberikan oleh Yesus Kristus. Dan kiranya kita menyembah Dia yang bekerja sampai sekarang, dan yang mengundang kita untuk turut serta dalam pekerjaan kasih karunia-Nya yang tak berkesudahan.
Amin.