Khotbah di Bukit adalah salah satu bagian paling sentral dan revolusioner dalam ajaran Yesus Kristus, sebagaimana dicatat dalam Injil Matius pasal 5 hingga 7. Lebih dari sekadar serangkaian instruksi moral, khotbah ini merupakan manifestasi agung dari etika Kerajaan Allah, sebuah cetak biru untuk kehidupan yang transformatif, yang berakar pada kasih, kebenaran, dan keadilan ilahi. Disampaikan kepada murid-murid-Nya dan khalayak ramai di lereng bukit di Galilea, ajaran ini menantang norma-norma sosial dan religius pada zamannya, serta terus menawarkan wawasan yang mendalam dan relevan bagi kehidupan manusia hingga saat ini.
Dalam khotbah ini, Yesus tidak hanya menegaskan kembali hukum Taurat Perjanjian Lama, tetapi Ia juga memperdalam maknanya, menyoroti esensi rohaniah di balik setiap perintah. Ia menuntut lebih dari sekadar kepatuhan eksternal; Ia menyerukan perubahan hati yang radikal, yang mencerminkan karakter Allah sendiri. Dari konsep kebahagiaan yang paradoks (Ucapan Bahagia) hingga perintah untuk mengasihi musuh, dari peringatan tentang kemunafikan dalam ibadah hingga ajaran tentang mencari Kerajaan Allah terlebih dahulu, setiap perkataan Yesus dalam khotbah ini adalah permata hikmat yang mengundang kita untuk merenung, bertobat, dan hidup sesuai dengan kehendak-Nya yang kudus.
Artikel ini akan mengkaji secara mendalam setiap segmen penting dari Khotbah di Bukit, mengeksplorasi konteks historis dan teologisnya, serta menggali implikasi praktisnya bagi kehidupan orang percaya di era modern. Kita akan melihat bagaimana ajaran Yesus ini membentuk identitas pengikut-Nya sebagai 'garam dan terang dunia', bagaimana Ia menantang pemahaman konvensional tentang kebenaran dan keadilan, serta bagaimana Ia mengarahkan kita menuju relasi yang otentik dengan Allah dan sesama.
Ilustrasi Yesus sedang mengajar di sebuah bukit kepada orang banyak.
I. Konteks dan Pendahuluan
Khotbah di Bukit adalah momen klimaks dalam pelayanan awal Yesus di Galilea. Setelah memanggil murid-murid-Nya dan memulai pelayanan penyembuhan serta pengajaran-Nya, Yesus membawa mereka dan kerumunan besar orang-orang ke sebuah bukit. Lokasi ini sendiri sarat makna: di zaman Perjanjian Lama, gunung seringkali menjadi tempat perjumpaan ilahi, di mana Allah menyampaikan hukum-Nya (misalnya, Gunung Sinai kepada Musa). Dengan memilih bukit sebagai mimbar-Nya, Yesus secara implisit menempatkan diri-Nya sebagai seorang pengajar yang memiliki otoritas ilahi, bahkan lebih besar daripada Musa.
Tujuan utama Khotbah ini adalah untuk menjelaskan hakikat Kerajaan Allah kepada para pengikut-Nya. Ini bukan tentang kekuasaan politik atau kejayaan militer seperti yang banyak diharapkan pada masa itu, melainkan tentang pemerintahan Allah dalam hati manusia, yang memanifestasikan diri melalui kebenaran, keadilan, dan kasih. Yesus datang bukan untuk menghancurkan hukum Taurat atau ajaran para nabi, melainkan untuk menggenapinya dan memperlihatkan kedalaman maknanya yang sebenarnya.
Audiens Yesus sangat beragam: ada murid-murid inti yang haus akan pemahaman yang lebih dalam, orang banyak yang tertarik oleh mukjizat dan pengajaran-Nya, serta mungkin juga beberapa orang Farisi dan ahli Taurat yang datang untuk mengamati dan mengkritik. Kepada audiens yang beragam ini, Yesus menyampaikan sebuah etika yang radikal, yang menuntut komitmen total dan transformasi internal, bukan hanya kepatuhan lahiriah. Ajaran ini adalah fondasi bagi kehidupan Kristen yang sejati, panggilan untuk menjadi 'warga negara' Kerajaan Allah yang hidup di dunia ini.
II. Ucapan Bahagia (Matius 5:3-12)
Khotbah di Bukit dibuka dengan delapan (atau sembilan, tergantung interpretasi) pernyataan yang dikenal sebagai Ucapan Bahagia atau 'Beatitudes'. Ini adalah pernyataan paradoks tentang siapa yang diberkati oleh Allah. Berbeda dengan pandangan dunia yang menganggap kekayaan, kekuasaan, dan popularitas sebagai sumber kebahagiaan, Yesus membalikkan semua itu. Ia menyatakan bahwa kebahagiaan sejati ditemukan dalam kerendahan hati, penderitaan karena kebenaran, dan belas kasihan.
A. Miskin di Hadapan Allah (Matius 5:3)
"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga."
Kata "miskin" di sini tidak semata-mata merujuk pada kemiskinan materi, meskipun itu bisa menjadi bagian darinya. Lebih tepatnya, ini mengacu pada kemiskinan rohani, yaitu kesadaran akan ketidakberdayaan diri sendiri di hadapan Allah, pengakuan akan ketergantungan total pada rahmat-Nya, dan kerelaan untuk tidak mengandalkan kekuatan atau kekayaan diri sendiri. Orang yang miskin di hadapan Allah adalah mereka yang mengetahui bahwa mereka tidak memiliki apa-apa yang dapat mereka tawarkan kepada Allah dan hanya dapat menerima Kerajaan-Nya sebagai hadiah. Kebahagiaan mereka terletak pada kepemilikan Kerajaan Surga, bukan di masa depan saja, tetapi juga mulai sekarang, melalui relasi mereka dengan Allah.
B. Berdukacita (Matius 5:4)
"Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur."
Dukacita di sini bukan sembarang kesedihan, melainkan kesedihan yang kudus: dukacita karena dosa-dosa sendiri dan dosa-dosa dunia, dukacita atas ketidakadilan, dan dukacita atas penderitaan orang lain. Ini adalah kesedihan yang mengarah pada pertobatan dan empati. Yesus menjanjikan penghiburan bagi mereka yang berdukacita, yaitu penghiburan ilahi yang datang dari Roh Kudus, yang membawa kedamaian, pengharapan, dan pemulihan, bahkan di tengah kesedihan. Ini adalah janji bahwa Allah tidak akan meninggalkan mereka yang tulus berduka dalam kebenaran.
C. Lemah Lembut (Matius 5:5)
"Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi."
Lemah lembut sering disalahartikan sebagai kelemahan atau kepasifan. Namun, dalam Alkitab, kelemahlembutan (Yunani: praus) adalah kekuatan yang terkendali. Ini adalah sikap rendah hati, tidak sombong, dan tidak memaksakan kehendak diri sendiri, bahkan ketika memiliki kekuatan untuk melakukannya. Ini adalah kelemahlembutan yang ditunjukkan oleh Yesus sendiri. Janji untuk memiliki bumi menunjukkan bahwa orang yang lemah lembut, melalui kesabaran dan ketaatan kepada Allah, akan mewarisi berkat-berkat Allah di bumi ini dan di kehidupan yang akan datang. Ini kontras dengan mereka yang berusaha menaklukkan dunia dengan kekerasan dan kesombongan.
D. Lapar dan Haus akan Kebenaran (Matius 5:6)
"Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan."
Ini adalah kerinduan yang mendalam dan intens, seperti rasa lapar dan haus fisik, tetapi ditujukan pada kebenaran Allah, yaitu keadilan, kesalehan, dan karakter yang benar di hadapan-Nya. Orang yang memiliki kerinduan ini tidak puas dengan kebenaran yang dangkal atau standar moral yang rendah. Mereka mencari kebenaran dalam segala aspek kehidupan mereka dan ingin hidup sesuai dengan kehendak Allah. Yesus menjanjikan bahwa kerinduan ini akan dipuaskan, yang berarti mereka akan menerima kebenaran dan mengalami keadilan Allah dalam hidup mereka.
E. Murah Hati (Matius 5:7)
"Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan."
Kemurahan hati (Yunani: eleemon) berarti berbelas kasihan, berempati, dan memiliki kepedulian yang aktif terhadap penderitaan orang lain. Ini adalah kualitas yang mencerminkan karakter Allah sendiri. Orang yang murah hati adalah mereka yang tidak hanya merasa kasihan, tetapi juga bertindak untuk menolong dan meringankan beban sesama. Janjinya adalah mereka akan beroleh kemurahan dari Allah, artinya mereka akan mengalami belas kasihan dan pengampunan Allah, baik di dunia ini maupun di akhirat. Ini menekankan prinsip 'apa yang kau tabur, itu yang kau tuai' dalam konteks kasih dan belas kasihan.
F. Suci Hatinya (Matius 5:8)
"Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah."
Hati yang suci berarti hati yang murni dalam motivasi, tanpa motif tersembunyi atau keinginan yang jahat. Ini adalah integritas rohani, hati yang tidak terbagi dan sepenuhnya berkomitmen kepada Allah. Kebersihan hati adalah hasil dari pekerjaan Roh Kudus yang membersihkan dari dosa dan memurnikan tujuan. Janji untuk "melihat Allah" adalah puncak dari pengalaman rohani, mengacu pada persekutuan yang intim dengan Allah di dunia ini (melalui iman dan pengenalan akan kehendak-Nya) dan visi yang sempurna tentang Allah di kehidupan yang akan datang. Ini adalah tujuan akhir dari iman.
G. Pembawa Damai (Matius 5:9)
"Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah."
Pembawa damai (Yunani: eirenopoios) bukan hanya mereka yang mencintai kedamaian, tetapi mereka yang secara aktif bekerja untuk menciptakan kedamaian, baik antara individu maupun kelompok, serta antara manusia dan Allah. Mereka adalah jembatan yang menghubungkan, perantara yang mendamaikan. Kedamaian sejati, menurut Alkitab, datang dari Allah. Oleh karena itu, mereka yang membawa damai mencerminkan karakter Allah Bapa, yang adalah Pencipta kedamaian dan telah mendamaikan dunia dengan diri-Nya melalui Kristus. Disebut "anak-anak Allah" adalah kehormatan tertinggi, menandakan bahwa mereka memiliki sifat dan misi yang sama dengan Bapa.
H. Dianiaya karena Kebenaran (Matius 5:10-12)
"Berbahagialah orang yang dianiaya karena kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di surga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu."
Ucapan Bahagia ini merupakan puncak dari daftar, mengakui bahwa mengikuti jalan kebenaran seringkali akan berujung pada penderitaan. Mengikuti Yesus berarti menjadi berbeda dari dunia, dan perbedaan ini dapat memicu penolakan, ejekan, dan penganiayaan. Kebahagiaan di sini bukan dalam penderitaan itu sendiri, melainkan dalam kesadaran bahwa penderitaan itu adalah karena kesetiaan kepada Kristus dan kebenaran-Nya. Ini adalah tanda identifikasi dengan para nabi di masa lalu yang juga menderita karena kesetiaan mereka kepada Allah. Upah besar di surga menjamin bahwa penderitaan di dunia ini tidak sia-sia, melainkan memiliki makna dan nilai kekal.
Secara keseluruhan, Ucapan Bahagia menantang pandangan konvensional tentang kebahagiaan dan keberhasilan. Yesus menawarkan sebuah kebahagiaan yang bukan berasal dari pencapaian duniawi, melainkan dari karakter rohani yang dibentuk oleh anugerah Allah dan hidup dalam ketaatan kepada-Nya. Ini adalah fondasi bagi seluruh etika yang akan Yesus ajarkan selanjutnya.
III. Garam dan Terang Dunia (Matius 5:13-16)
Setelah meletakkan fondasi karakter pengikut-Nya melalui Ucapan Bahagia, Yesus beralih ke peran dan tanggung jawab mereka di dunia. Ia menggunakan dua metafora yang sangat kuat dan mudah dipahami: garam dan terang.
A. Garam Dunia (Matius 5:13)
"Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang."
Di zaman Yesus, garam memiliki beberapa fungsi krusial:
- Pengawet: Garam digunakan untuk mencegah pembusukan makanan, terutama daging, di zaman tanpa lemari es.
- Pemberi Rasa: Garam menambah rasa pada makanan, mengubah sesuatu yang hambar menjadi lezat.
- Penyembuh: Garam juga digunakan untuk tujuan medis, sebagai disinfektan.
Ketika Yesus menyatakan bahwa pengikut-Nya adalah "garam dunia," Ia mengacu pada fungsi-fungsi ini. Orang Kristen dipanggil untuk melestarikan masyarakat dari kerusakan moral dan rohani. Mereka harus bertindak sebagai pengaruh yang mencegah kebusukan dosa dan ketidakadilan. Mereka juga harus "memberi rasa" pada dunia, membawa sukacita, kasih, dan kebenaran yang membuat hidup menjadi bermakna dan memuaskan.
Peringatan "Jika garam itu menjadi tawar" sangat penting. Garam yang kehilangan keasinannya tidak lagi berguna. Ini berarti bahwa jika orang Kristen kehilangan kekhasan karakter mereka, jika mereka berasimilasi sepenuhnya dengan nilai-nilai duniawi dan kehilangan pengaruh transformatif mereka, maka mereka tidak lagi memenuhi tujuan mereka. Mereka menjadi tidak efektif dalam misi mereka dan tidak berguna bagi Kerajaan Allah.
B. Terang Dunia (Matius 5:14-16)
"Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah tempayan, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga."
Sebagai "terang dunia," orang Kristen memiliki tanggung jawab untuk menerangi kegelapan. Di dunia yang seringkali dipenuhi dengan kebingungan moral, kebohongan, dan ketidakadilan, pengikut Kristus dipanggil untuk menjadi pembawa kebenaran, kejelasan, dan pengharapan.
- Penunjuk Jalan: Terang memandu dalam kegelapan. Orang Kristen harus menunjukkan jalan menuju Allah melalui kehidupan mereka yang benar.
- Penyingkap: Terang menyingkapkan apa yang tersembunyi. Kehidupan orang percaya harus menyingkapkan dosa dan ketidakbenaran, serta menyoroti kebenaran Allah.
Metafora kota di atas gunung dan pelita di atas kaki dian menekankan visibilitas. Kehidupan Kristen tidak dimaksudkan untuk disembunyikan atau dirahasiakan. Sebaliknya, harus bersinar terang dan terbuka, agar orang lain dapat melihatnya. Perbuatan baik orang Kristen—bukan hanya perkataan mereka—adalah cahaya yang dimaksud. Ini termasuk tindakan kasih, keadilan, integritas, dan pengampunan yang membedakan mereka dari dunia.
Tujuan utama dari terang ini bukan untuk memuliakan diri sendiri, melainkan untuk "memuliakan Bapamu yang di surga." Melalui kehidupan yang bersinar terang, orang lain akan melihat karakter Allah yang kudus dan penuh kasih, dan ini akan menarik mereka untuk mengenal dan menyembah-Nya. Ini adalah panggilan untuk hidup yang otentik dan berdampak, di mana iman diwujudkan dalam tindakan yang nyata dan terlihat.
Kedua metafora ini, garam dan terang, saling melengkapi. Garam bekerja secara internal, mempengaruhi dari dalam ke luar, sementara terang bekerja secara eksternal, menerangi lingkungan sekitar. Bersama-sama, mereka menggambarkan panggilan transformatif bagi orang percaya: untuk menjadi agen perubahan yang memengaruhi dunia baik melalui karakter mereka yang saleh (garam) maupun melalui tindakan mereka yang terlihat (terang), semuanya demi kemuliaan Allah.
IV. Yesus Menggenapi Hukum Taurat (Matius 5:17-20)
Dalam bagian ini, Yesus mengatasi kesalahpahaman umum tentang tujuan kedatangan-Nya. Banyak orang Yahudi pada masa itu mungkin berpikir bahwa Yesus datang untuk menghapuskan Hukum Taurat dan ajaran para nabi, terutama mengingat ajaran-Nya yang revolusioner. Namun, Yesus dengan tegas menyatakan sebaliknya.
"Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga. Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga."
Pernyataan Yesus "Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya" adalah kunci. Kata "menggenapi" (Yunani: pleroo) memiliki makna ganda:
- Memenuhi: Yesus adalah puncak dari seluruh janji dan nubuat Perjanjian Lama. Ia adalah Mesias yang dinanti-nantikan, yang di dalamnya semua hukum dan nubuatan menemukan pemenuhannya. Misalnya, korban-korban Perjanjian Lama menunjuk pada pengorbanan-Nya di salib, dan berbagai peraturan menunjuk pada karakter kebenaran yang Ia contohkan dan ajarkan.
- Memberikan Makna Penuh: Yesus tidak hanya memenuhi hukum secara harfiah, tetapi Ia juga mengungkap kedalaman dan makna spiritual sejati di balik setiap perintah. Ia menunjukkan bahwa kepatuhan sejati melampaui tindakan lahiriah dan mencakup motivasi dan kondisi hati. Ini adalah inti dari "Tafsir Ulang Hukum" yang akan Ia sampaikan selanjutnya.
Yesus menegaskan kekekalan Hukum Taurat, bahkan sampai "satu iota atau satu titikpun." Ini bukan berarti setiap detail hukum ritual Perjanjian Lama harus ditaati secara harfiah oleh orang Kristen, melainkan bahwa prinsip-prinsip moral dan kebenaran yang terkandung di dalamnya bersifat kekal dan memiliki relevansi sampai tujuan Allah sepenuhnya tercapai.
Peringatan terhadap "meniadakan salah satu perintah" adalah seruan untuk menghargai setiap aspek dari kehendak Allah. Yesus mengkritik mereka yang meremehkan bahkan perintah yang "paling kecil" dan mengajarkannya demikian kepada orang lain. Sebaliknya, mereka yang melakukan dan mengajarkan perintah-perintah Allah akan menerima kehormatan dalam Kerajaan Surga.
Ayat 20 merupakan tantangan langsung bagi pendengar-Nya: "Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga." Orang Farisi dan ahli Taurat dikenal sebagai penjaga dan penafsir Hukum Taurat yang sangat ketat. Mereka menonjol dalam ketaatan lahiriah dan ritual keagamaan. Namun, Yesus menunjukkan bahwa kebenaran mereka seringkali dangkal, berfokus pada penampilan luar daripada transformasi hati. Yesus menuntut sebuah kebenaran yang melampaui standar mereka, sebuah kebenaran yang berasal dari hati yang murni dan tulus di hadapan Allah, bukan sekadar kepatuhan pada aturan. Ini adalah jembatan menuju bagian selanjutnya dari khotbah, di mana Yesus memberikan tafsir ulang yang radikal terhadap hukum.
V. Tafsir Ulang Hukum (Matius 5:21-48) - Antitesis
Bagian ini sering disebut sebagai "Antitesis" karena Yesus berulang kali menggunakan format "Kamu telah mendengar... tetapi Aku berkata kepadamu..." untuk memperdalam makna hukum-hukum Perjanjian Lama. Yesus tidak meniadakan hukum, tetapi Ia menyingkapkan bahwa hukum itu menuntut lebih dari sekadar kepatuhan lahiriah—ia menuntut kesucian hati.
A. Kemarahan dan Pembunuhan (Matius 5:21-26)
"Kamu telah mendengar firman yang diucapkan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya, harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Efata, harus dihukum oleh Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil, harus dihukum dalam neraka jahanam."
Yesus memperluas makna perintah "Jangan membunuh" jauh melampaui tindakan fisik pembunuhan. Ia menunjukkan bahwa kebencian dan kemarahan yang tidak terkendali di dalam hati adalah akar dari tindakan pembunuhan. Memanggil seseorang dengan kata-kata merendahkan ("Efata" atau "Jahil" yang berarti bodoh atau dungu) sama bahayanya di mata Allah. Ini adalah ajaran revolusioner karena menuntut pertanggungjawaban atas kondisi hati dan perkataan, bukan hanya tindakan. Yesus menyerukan rekonsiliasi yang cepat, bahkan sebelum beribadah, karena hubungan yang rusak dengan sesama dapat menghambat hubungan kita dengan Allah.
Implikasinya: Allah peduli bukan hanya pada akibat, tetapi juga pada niat. Sebuah hati yang penuh kemarahan atau kebencian adalah sama-sama melanggar hukum kasih seperti tindakan pembunuhan itu sendiri. Hal ini mengajarkan kita tentang pentingnya mengelola emosi dan perkataan kita, serta memprioritaskan perdamaian dalam relasi.
B. Perzinahan dan Nafsu (Matius 5:27-30)
"Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan dengan menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya."
Seperti halnya dengan pembunuhan, Yesus memperluas perintah "Jangan berzinah" dari tindakan fisik menjadi keinginan di dalam hati. Nafsu yang tidak terkendali, bahkan jika tidak pernah mengarah pada tindakan fisik, dianggap sebagai perzinahan di mata Allah. Ini adalah standar yang sangat tinggi, menuntut kemurnian pikiran dan hati. Metafora tentang "mencungkil mata" dan "memotong tangan" adalah hiperbola yang kuat, menekankan betapa seriusnya dosa ini dan pentingnya untuk melakukan apa pun demi menghindari dosa yang berakar pada nafsu, bahkan jika itu berarti mengorbankan sesuatu yang berharga.
Implikasinya: Ajaran ini menantang kita untuk mengendalikan pikiran dan fantasi kita. Dosa tidak hanya terjadi dalam tindakan, tetapi juga dalam benak. Yesus menyerukan pemurnian internal, menyoroti bahwa godaan seringkali dimulai dari pikiran dan hati.
C. Perceraian (Matius 5:31-32)
"Telah difirmankan juga: Siapa menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang mengawini perempuan yang diceraikan, ia berzinah juga."
Pada zaman Musa, perceraian diizinkan (Ulangan 24:1-4) untuk melindungi wanita dalam masyarakat patriarkal. Namun, Yesus menunjukkan bahwa Musa mengizinkannya karena "kekerasan hati" mereka, bukan karena itu adalah kehendak awal Allah. Yesus menegaskan kembali standar ilahi untuk pernikahan, yaitu persatuan seumur hidup antara satu pria dan satu wanita. Ia membatasi satu-satunya alasan yang diizinkan untuk perceraian adalah "zinah" (porneia, yang bisa berarti perzinahan atau ketidaksetiaan seksual secara umum). Di luar itu, perceraian dianggap melanggar ikatan kudus dan dapat mengarah pada perzinahan bagi pihak yang bercerai atau pihak yang menikahi wanita yang diceraikan tanpa alasan yang sah.
Implikasinya: Yesus mengangkat kembali martabat dan kekudusan institusi pernikahan. Ia menekankan keseriusan janji pernikahan dan menantang pandangan yang meremehkan ikatan ini. Tujuannya adalah untuk melindungi kekudusan pernikahan dan mencegah perceraian yang sembrono.
D. Sumpah (Matius 5:33-37)
"Kamu telah mendengar pula firman yang diucapkan kepada nenek moyang kita: Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di hadapan Tuhan. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah, maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan kaki-Nya, maupun demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar; jangan pula bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa memutihkan atau menghitamkan sehelai rambut pun. Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat."
Hukum Taurat melarang sumpah palsu dan menuntut orang untuk menepati sumpah yang dibuat dalam nama Tuhan. Namun, di zaman Yesus, praktik bersumpah telah diselewengkan. Orang-orang menciptakan berbagai jenis sumpah dengan tingkat "keterikatan" yang berbeda, sehingga mereka bisa menghindari sumpah tertentu yang dianggap kurang mengikat. Yesus mengutuk praktik ini dan mengajarkan bahwa orang seharusnya tidak perlu bersumpah sama sekali. Kata-kata mereka harus dapat dipercaya dengan sendirinya.
Implikasinya: Ajaran ini menekankan pentingnya integritas total dalam perkataan. Yesus ingin agar setiap "ya" kita berarti ya, dan setiap "tidak" berarti tidak, tanpa perlu tambahan sumpah atau janji. Ini mencerminkan karakter kejujuran dan keandalan yang seharusnya ada pada setiap pengikut Kristus, sehingga kesaksian kita selalu dapat diandalkan tanpa keraguan.
E. Pembalasan (Matius 5:38-42)
"Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang mau berperkara dengan engkau dan mengambil bajumu, berikanlah juga jubahmu. Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu."
Prinsip "mata ganti mata, gigi ganti gigi" (lex talionis) dalam Perjanjian Lama bertujuan untuk membatasi pembalasan yang berlebihan dan untuk memastikan keadilan yang setara, bukan untuk mendorong balas dendam pribadi. Namun, Yesus sekali lagi menaikkan standar. Ia menyerukan sebuah etika non-pembalasan dan kasih yang proaktif terhadap mereka yang berbuat jahat.
- Menampar pipi kanan: Ini adalah penghinaan yang disengaja, biasanya dengan punggung tangan. Yesus mengajarkan untuk tidak membalas penghinaan, bahkan menawarkan lebih banyak lagi.
- Mengambil baju/jubah: Ini menggambarkan perampasan harta benda. Yesus mengajarkan untuk menyerahkannya daripada melawan atau menuntut.
- Berjalan dua mil: Prajurit Romawi memiliki hak untuk memaksa warga sipil membawa barang mereka sejauh satu mil. Yesus mengajarkan untuk melampaui tuntutan paksaan dengan kerelaan.
Ajaran ini tidak berarti pasif terhadap kejahatan atau mengabaikan keadilan, tetapi menantang para pengikut-Nya untuk merespons kejahatan dengan cara yang dapat mematahkan siklus kekerasan dan memungkinkan transformasi. Ini adalah kasih yang rela berkorban, yang bertujuan untuk kebaikan musuh, bukan untuk kehancurannya. Memberi kepada yang meminta dan meminjamkan kepada yang mau meminjam adalah ekspresi konkret dari kasih ini.
Implikasinya: Ini adalah salah satu ajaran Yesus yang paling radikal, menuntut kita untuk mencerminkan karakter Allah yang sabar dan murah hati, bahkan terhadap musuh-Nya. Ini adalah panggilan untuk menolak balas dendam pribadi dan memilih jalan kasih yang transformatif.
F. Mengasihi Musuh (Matius 5:43-48)
"Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna."
Perintah "bencilah musuhmu" sebenarnya bukan bagian dari Hukum Taurat, tetapi merupakan tafsir populer yang berkembang di kalangan Yahudi. Yesus secara langsung menantang pandangan ini. Ia memerintahkan untuk mengasihi musuh dan berdoa bagi mereka yang menganiaya kita. Kasih yang dimaksud di sini (Yunani: agape) adalah kasih tanpa syarat, kasih pilihan, yang mencari kebaikan orang lain terlepas dari apakah mereka layak atau tidak. Ini adalah kasih yang meniru kasih Allah Bapa.
Alasan untuk mengasihi musuh adalah untuk menjadi "anak-anak Bapamu yang di surga." Allah Bapa menerbitkan matahari dan menurunkan hujan bagi semua orang, baik yang jahat maupun yang baik, yang benar maupun yang tidak benar. Kasih Allah tidak diskriminatif. Jika kita hanya mengasihi mereka yang mengasihi kita, atau hanya menyapa teman-teman kita, kita tidak berbeda dengan orang-orang yang tidak mengenal Allah. Yesus menyerukan standar yang lebih tinggi, sebuah kasih yang melampaui batasan alami manusia.
Puncak dari bagian ini adalah perintah: "Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna." Kata "sempurna" (Yunani: teleios) berarti dewasa, lengkap, atau matang, bukan tanpa dosa. Dalam konteks ini, ini berarti untuk menjadi sempurna dalam kasih, mencerminkan kasih Allah yang tanpa batas dan tanpa pilih kasih. Ini adalah panggilan untuk kematangan rohani yang menghasilkan kasih yang komprehensif, bahkan terhadap mereka yang sulit dikasihi.
Implikasinya: Ini adalah puncak dari etika Kerajaan Allah. Kasih kepada musuh adalah penanda paling jelas dari seorang pengikut Kristus. Ini adalah kasih yang menantang naluri manusia untuk membalas dendam dan memilih untuk memberikan kasih yang transformatif, mengikuti teladan Allah sendiri.
VI. Ajaran Mengenai Ketaatan (Matius 6:1-18)
Setelah membahas karakter dan tanggung jawab pengikut-Nya, Yesus beralih ke praktik-praktik keagamaan—memberi sedekah, berdoa, dan berpuasa. Ia memperingatkan terhadap kemunafikan dan menekankan pentingnya motivasi hati yang murni dalam setiap tindakan ibadah.
A. Memberi Sedekah (Matius 6:1-4)
"Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di surga. Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan secara tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."
Yesus mengkritik praktik memberi sedekah (atau kebaikan lain) untuk mendapatkan pujian manusia. Orang Farisi sering melakukan tindakan kebaikan mereka secara demonstratif, meniup terompet secara harfiah atau metaforis untuk menarik perhatian. Yesus menyatakan bahwa pujian manusia adalah satu-satunya "upah" yang akan mereka terima. Sebaliknya, Ia mengajarkan untuk memberi secara diam-diam, bahkan sampai "jangan diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu." Ini adalah hiperbola untuk menekankan kerahasiaan dan motivasi yang murni. Upah sejati datang dari Bapa yang melihat apa yang tersembunyi, bukan dari pujian manusia.
Implikasinya: Ketaatan Kristen yang sejati berakar pada motivasi hati. Tujuan memberi adalah untuk menolong sesama dan memuliakan Allah, bukan untuk meningkatkan citra diri.
B. Berdoa (Matius 6:5-15)
"Apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri di rumah-rumah ibadat dan di tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu. Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan. Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu meminta kepada-Nya."
Seperti halnya memberi sedekah, Yesus mengecam doa yang dilakukan untuk pamer. Ia mengajarkan untuk berdoa secara pribadi, di tempat yang tersembunyi, agar fokusnya adalah pada Allah, bukan pada audiens manusia. Ia juga memperingatkan terhadap doa "bertele-tele" yang khas dari agama-agama pagan yang percaya bahwa mereka harus membujuk dewa-dewanya dengan banyak kata. Yesus menekankan bahwa Bapa sudah mengetahui kebutuhan kita sebelum kita meminta.
Doa Bapa Kami (Matius 6:9-13)
Sebagai ganti doa yang munafik dan bertele-tele, Yesus memberikan teladan doa yang dikenal sebagai Doa Bapa Kami. Ini bukan mantra yang harus diulang tanpa pikiran, melainkan sebuah kerangka doa yang mengajarkan prioritas dan sikap yang benar dalam berdoa.
- "Bapa kami yang di surga, dikuduskanlah nama-Mu," (Matius 6:9): Dimulai dengan pengakuan akan kedaulatan dan kekudusan Allah. Prioritas pertama adalah kemuliaan Allah, bukan keinginan kita sendiri.
- "datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga," (Matius 6:10): Doa untuk manifestasi penuh Kerajaan Allah dan ketaatan universal terhadap kehendak-Nya. Ini adalah doa untuk transformasi dunia dan hidup kita agar selaras dengan kehendak ilahi.
- "Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya," (Matius 6:11): Doa untuk kebutuhan fisik dasar. Ini mengajarkan ketergantungan pada Allah untuk rezeki sehari-hari, bukan untuk kemewahan yang berlebihan.
- "dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami," (Matius 6:12): Doa untuk pengampunan dosa, dengan syarat kita juga bersedia mengampuni orang lain. Pengampunan ilahi terikat pada pengampunan kita kepada sesama.
- "dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. [Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kekuasaan dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.]" (Matius 6:13): Doa untuk perlindungan dari pencobaan dan kejahatan. Ini adalah pengakuan akan kelemahan manusia dan kebutuhan akan perlindungan ilahi. Doksologi di akhir sering ditambahkan dalam tradisi gereja.
Setelah Doa Bapa Kami, Yesus menekankan kembali pentingnya pengampunan: "Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu." (Matius 6:14-15). Ini adalah peringatan serius bahwa sikap kita terhadap orang lain secara langsung memengaruhi hubungan kita dengan Allah.
Implikasinya: Doa yang otentik adalah dialog yang tulus dengan Allah, bukan pertunjukan untuk orang lain. Ia berpusat pada Allah dan kehendak-Nya, dan itu melibatkan sikap hati yang mengampuni.
C. Berpuasa (Matius 6:16-18)
"Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah rambutmu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."
Yesus kembali mengkritik kemunafikan dalam praktik berpuasa. Orang munafik sengaja terlihat murung dan tidak terawat untuk menarik perhatian dan pujian atas "kesalehan" mereka. Yesus mengajarkan untuk berpuasa secara pribadi, tanpa menarik perhatian. Bahkan, Ia menganjurkan untuk menjaga penampilan normal ("minyakilah rambutmu dan cucilah mukamu") agar puasa itu hanya diketahui oleh Allah Bapa. Seperti halnya memberi sedekah dan berdoa, upah sejati datang dari Allah, bukan dari pengakuan manusia.
Implikasinya: Puasa, seperti bentuk ibadah lainnya, harus menjadi tindakan pribadi antara individu dengan Allah, dengan motivasi untuk mencari-Nya dan merendahkan diri di hadapan-Nya, bukan untuk pamer atau mencari pujian. Fokusnya adalah pada disiplin rohani dan bukan pada penampilan luar.
VII. Harta di Surga dan Bumi (Matius 6:19-24)
Dalam bagian ini, Yesus berbicara tentang prioritas dan kesetiaan, khususnya terkait dengan materi dan harta benda.
"Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusaknya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di surga; di surga ngengat dan karat tidak merusaknya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada."
Yesus tidak melarang memiliki harta, tetapi Ia melarang mengumpulkan harta di bumi sebagai tujuan hidup. Harta duniawi bersifat sementara dan rentan terhadap kerusakan (ngengat, karat) dan kehilangan (pencuri). Sebaliknya, Ia mendorong untuk mengumpulkan harta di surga, yang bersifat kekal dan aman dari segala bentuk kehancuran. Harta di surga mengacu pada perbuatan baik, kasih, kebenaran, dan investasi dalam Kerajaan Allah. Intinya adalah bahwa "di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." Apa yang kita nilai dan kejar akan menentukan arah hati dan hidup kita.
"Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu."
Ayat ini menggunakan metafora mata sebagai "pelita tubuh," yang mengacu pada pandangan atau fokus hidup seseorang. "Mata yang baik" (Yunani: haplous, sederhana atau murah hati) berarti fokus yang murni dan tidak terbagi pada Allah dan kehendak-Nya. "Mata yang jahat" (Yunani: poneros, jahat atau serakah) berarti fokus yang salah, terdistorsi oleh keserakahan atau prioritas duniawi. Jika pandangan kita salah, seluruh hidup kita akan menjadi gelap dan kacau. Ini menekankan pentingnya memiliki perspektif yang benar tentang harta benda dan prioritas hidup.
"Tidak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan Mamon."
Pernyataan ini adalah penegasan yang jelas bahwa tidak mungkin melayani dua penguasa yang bertentangan. "Mamon" bukan hanya merujuk pada uang, tetapi pada personifikasi kekayaan atau keserakahan sebagai dewa. Yesus menunjukkan bahwa kesetiaan kita harus tidak terbagi. Jika kita mencoba melayani Allah dan mengejar kekayaan secara bersamaan, kita pada akhirnya akan membenci yang satu dan mengasihi yang lain. Ini adalah panggilan untuk membuat pilihan yang jelas: siapa yang menjadi Tuhan dalam hidup kita. Prioritas kita akan menentukan siapa yang kita layani.
Implikasinya: Ajaran ini menantang kita untuk mengevaluasi kembali hubungan kita dengan harta benda dan uang. Apakah kita adalah tuan atas kekayaan kita, atau kekayaanlah yang mengendalikan kita? Panggilan adalah untuk melepaskan diri dari daya tarik mamon dan menempatkan Allah sebagai satu-satunya prioritas.
VIII. Kekhawatiran Hidup (Matius 6:25-34)
Yesus melanjutkan dengan mengatasi salah satu tantangan terbesar dalam kehidupan manusia: kekhawatiran. Dalam bagian ini, Ia memberikan alasan yang kuat mengapa para pengikut-Nya tidak perlu khawatir tentang kebutuhan hidup sehari-hari.
"Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?"
Yesus secara langsung memerintahkan untuk tidak khawatir (Yunani: merimnao), yang berarti menjadi cemas atau terbagi pikiran. Kekhawatiran seringkali muncul dari ketidakpastian masa depan dan kurangnya kontrol kita. Yesus mengingatkan bahwa hidup itu sendiri, yang diberikan oleh Allah, lebih berharga daripada makanan dan pakaian. Jika Allah telah memberi kita hidup, bukankah Ia juga akan menyediakan kebutuhan untuk menopang hidup itu?
"Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di surga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta pada jalan hidupnya? Dan mengapa kamu kuatir akan pakaian? Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal, namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu. Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan lebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya?"
Yesus menggunakan dua analogi dari alam: burung-burung di langit dan bunga bakung di ladang.
- Burung-burung: Burung tidak bekerja seperti manusia, namun Allah menyediakan bagi mereka. Ini adalah bukti nyata pemeliharaan ilahi. Jika Allah peduli pada burung, betapa lebih besar lagi perhatian-Nya kepada manusia, ciptaan-Nya yang paling mulia.
- Bunga Bakung: Bunga yang tumbuh di ladang memiliki keindahan yang melampaui pakaian raja Salomo yang paling megah sekalipun, namun umurnya sangat singkat. Jika Allah memberi keindahan seperti itu pada rumput yang fana, betapa lebih lagi Ia akan memelihara kebutuhan pakaian para pengikut-Nya.
Inti dari kedua analogi ini adalah argumen dari yang kurang ke yang lebih: jika Allah memelihara ciptaan yang lebih rendah, apalagi manusia, yang diciptakan menurut gambar-Nya dan adalah anak-anak-Nya. Kekhawatiran juga tidak produktif; tidak ada gunanya dan tidak dapat mengubah apa pun ("menambahkan sehasta pada jalan hidupnya"). Kekhawatiran menunjukkan "kurang percaya" pada kuasa dan kasih Allah.
"Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di surga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu."
Yesus menegaskan bahwa kekhawatiran yang berlebihan adalah ciri khas "bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah" (orang kafir), yang tidak memiliki keyakinan akan Allah yang memelihara. Sebagai anak-anak Allah, kita memiliki Bapa yang tahu persis apa yang kita butuhkan. Kekhawatiran yang terus-menerus meragukan karakter dan pemeliharaan Allah.
"Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu."
Ini adalah ayat kunci yang memberikan solusi untuk kekhawatiran. Daripada mengejar kebutuhan duniawi, Yesus menginstruksikan untuk "mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya." Ini berarti memprioritaskan Allah dan kehendak-Nya dalam segala hal, menjadikan Kerajaan-Nya sebagai tujuan utama hidup. Ketika kita menempatkan Allah di tempat pertama, Ia berjanji bahwa "semuanya itu akan ditambahkan kepadamu," yaitu kebutuhan hidup kita akan dipenuhi.
"Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Cukuplah kejahatan sehari pada sehari."
Yesus menyimpulkan dengan ajakan untuk hidup satu hari pada satu waktu, tidak membiarkan kekhawatiran akan masa depan menguasai hari ini. Setiap hari memiliki tantangan dan kesulitannya sendiri, dan Allah akan memberikan kasih karunia yang cukup untuk setiap hari. Ini adalah panggilan untuk mempercayakan masa depan kepada Allah dan fokus pada ketaatan saat ini.
Implikasinya: Bagian ini adalah ajakan kuat untuk mempercayai Allah sepenuhnya untuk pemeliharaan kita. Kekhawatiran adalah gejala dari kurangnya iman dan prioritas yang salah. Dengan menempatkan Kerajaan Allah di tempat pertama, kita menemukan kebebasan dari beban kekhawatiran.
IX. Jangan Menghakimi (Matius 7:1-5)
Yesus kemudian beralih ke topik penghakiman, memperingatkan para pengikut-Nya tentang bahaya menilai orang lain.
"Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu."
Perintah "Jangan kamu menghakimi" tidak berarti bahwa kita tidak boleh membedakan antara baik dan jahat, atau bahwa kita harus menerima semua perilaku. Sebaliknya, ini melarang penghakiman yang bersifat menghukum, munafik, dan merendahkan. Itu melarang sikap superioritas moral yang mengabaikan dosa-dosa sendiri. Yesus menegaskan prinsip timbal balik: bagaimana kita menghakimi orang lain, demikian pula kita akan dihakimi oleh Allah. Ini adalah peringatan serius terhadap kesombongan dan sikap menghukum.
"Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui? Bagaimanakah mungkin engkau berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu? Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu."
Ini adalah analogi yang lucu dan kuat. "Selumbar" adalah serpihan kecil kayu, sedangkan "balok" adalah balok kayu besar. Yesus menggambarkan kemunafikan seseorang yang sibuk melihat kesalahan kecil orang lain (selumbar) sementara mengabaikan dosa-dosa besar dalam hidupnya sendiri (balok). Ia menyebut orang seperti itu "orang munafik." Solusinya adalah self-examination dan pertobatan pribadi terlebih dahulu ("keluarkanlah dahulu balok dari matamu"). Barulah setelah itu, dengan rendah hati dan pandangan yang jelas, seseorang dapat membantu saudaranya dengan selumbar di matanya.
Implikasinya: Ajaran ini menyerukan kerendahan hati dan kesadaran diri. Kita harus lebih fokus pada dosa-dosa kita sendiri daripada mengkritik orang lain. Ini adalah panggilan untuk mempraktikkan pengampunan dan belas kasihan, seperti yang kita harapkan dari Allah. Kritik harus selalu dimulai dari introspeksi diri dan motivasi yang murni untuk memulihkan, bukan untuk menghukum.
X. Memberi yang Kudus kepada Anjing (Matius 7:6)
"Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu."
Ayat ini mungkin terasa kontras dengan perintah "jangan menghakimi" dan "kasihilah musuhmu", namun ia memberikan keseimbangan yang penting. Ini bukan tentang menghakimi seseorang secara individu, tetapi tentang hikmat dan kebijaksanaan dalam membagikan kebenaran spiritual. "Barang yang kudus" dan "mutiara" mengacu pada ajaran-ajaran Kerajaan Allah yang berharga. "Anjing" dan "babi" di sini adalah metafora untuk orang-orang yang secara konsisten dan sengaja menolak atau merendahkan kebenaran ilahi, yang tidak menghargai apa yang kudus.
Yesus memperingatkan agar tidak membuang ajaran-ajaran berharga kepada mereka yang secara terang-terangan tidak akan menghargainya, yang bahkan mungkin akan mencemoohnya dan kemudian berbalik menyerang pembawa pesan. Ini adalah panggilan untuk mempraktikkan kearifan dalam pelayanan evangelisasi dan pengajaran, untuk membedakan kapan seseorang siap menerima kebenaran dan kapan upaya lebih lanjut hanya akan sia-sia atau bahkan merugikan.
Implikasinya: Kita dipanggil untuk menjadi pembawa pesan yang penuh kasih, tetapi juga untuk menggunakan hikmat dalam menyampaikan pesan. Ada saatnya untuk mundur ketika kebenaran secara konsisten ditolak atau dicemooh, untuk melindungi baik kebenaran itu sendiri maupun pembawa pesannya.
XI. Meminta, Mencari, Mengetuk (Matius 7:7-11)
Setelah menantang pendengar-Nya dengan tuntutan-tuntutan yang tinggi, Yesus memberikan dorongan besar tentang ketersediaan Allah Bapa yang penuh kasih melalui doa.
"Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu akan dibukakan."
Tiga perintah ini ("mintalah," "carilah," "ketoklah") adalah dalam bentuk imperatif berkelanjutan, menunjukkan ketekunan dan kesungguhan dalam doa. Ada janji yang pasti bahwa Allah akan merespons. Ini adalah undangan terbuka kepada setiap orang untuk datang kepada Allah dengan keyakinan, mengetahui bahwa Ia adalah Bapa yang murah hati dan responsif.
"Adakah seorang dari padamu jika anaknya meminta roti, akan memberinya batu? Atau jika ia meminta ikan, akan memberinya ular? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di surga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya."
Yesus menggunakan analogi dari pengalaman manusia tentang orang tua dan anak-anak mereka. Bahkan orang tua yang berdosa dan tidak sempurna ("kamu yang jahat") tahu bagaimana memberi pemberian yang baik kepada anak-anak mereka. Betapa lebih lagi Allah Bapa yang sempurna dan penuh kasih akan memberikan yang terbaik kepada anak-anak-Nya yang meminta kepada-Nya. Ini adalah jaminan tak terbatas akan kebaikan dan ketersediaan Allah untuk memenuhi kebutuhan anak-anak-Nya. Yang "baik" di sini bukan hanya apa yang kita inginkan, tetapi apa yang benar-benar baik bagi kita menurut hikmat Allah.
Implikasinya: Ayat ini adalah penegasan fundamental tentang keyakinan kita dalam doa. Allah bukan hanya mengizinkan kita untuk meminta, tetapi Ia mendorong kita untuk melakukannya dengan keyakinan penuh pada kasih dan kebaikan-Nya. Ini mengakhiri kekhawatiran dan memupuk ketergantungan pada Bapa surgawi.
XII. Aturan Emas (Matius 7:12)
"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."
Ayat ini dikenal sebagai "Aturan Emas" dan sering dianggap sebagai ringkasan praktis dari seluruh Khotbah di Bukit, bahkan seluruh Hukum Taurat dan kitab para nabi. Ini adalah prinsip etika yang sederhana namun mendalam, yang dapat diterapkan dalam setiap interaksi manusia. Alih-alih merespons kejahatan dengan kejahatan atau hanya mengasihi mereka yang mengasihi kita, Aturan Emas menuntut tindakan proaktif berdasarkan empati. Bayangkan bagaimana Anda ingin diperlakukan, dan kemudian lakukan hal yang sama kepada orang lain.
Aturan ini bukan tentang menunggu orang lain berbuat baik kepada kita terlebih dahulu, melainkan tentang mengambil inisiatif untuk menunjukkan kasih dan keadilan. Ini adalah panggilan untuk menempatkan diri kita pada posisi orang lain dan bertindak sesuai dengan standar kasih yang telah Yesus ajarkan sepanjang Khotbah di Bukit. Jika setiap orang hidup dengan prinsip ini, sebagian besar konflik dan ketidakadilan di dunia akan hilang.
Implikasinya: Aturan Emas adalah ujian litmus untuk etika Kristen praktis. Ini adalah ringkasan yang mudah diingat dan dapat diterapkan dari semua tuntutan yang lebih tinggi yang Yesus berikan sebelumnya, menyoroti bahwa inti dari hukum adalah kasih.
XIII. Dua Jalan (Matius 7:13-14)
Yesus kemudian menyajikan pilihan yang jelas dan konsekuensial bagi pendengar-Nya: dua jalan dengan tujuan yang berbeda.
"Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya."
Ada dua jalur kehidupan:
- Jalan Lebar dan Luas: Ini adalah jalan yang mudah, populer, dan sesuai dengan keinginan daging. Ini adalah jalan yang diikuti oleh mayoritas orang di dunia, yang pada akhirnya mengarah pada kebinasaan (yaitu, kehancuran atau pemisahan kekal dari Allah).
- Jalan Sesak dan Sempit: Ini adalah jalan yang sulit, menuntut pengorbanan, disiplin diri, dan ketaatan kepada ajaran Yesus yang radikal. Ini adalah jalan yang dipilih oleh sedikit orang, tetapi jalan ini mengarah pada kehidupan (yaitu, hidup kekal dan persekutuan dengan Allah).
Perintah "masuklah melalui pintu yang sesak itu" adalah panggilan yang mendesak untuk membuat pilihan yang sadar dan berkomitmen. Jalan menuju kehidupan bukanlah jalan yang otomatis atau mudah. Ini membutuhkan usaha yang gigih untuk menolak tarikan dunia dan untuk mengikuti Kristus tanpa kompromi. Yesus ingin pengikut-Nya memahami bahwa ada harga yang harus dibayar untuk menjadi murid-Nya, dan pilihan ini memiliki konsekuensi kekal.
Implikasinya: Bagian ini adalah seruan untuk membuat keputusan yang tegas tentang prioritas hidup. Yesus tidak menawarkan pilihan yang mudah atau populer, tetapi Ia menawarkan jalan menuju kehidupan sejati, meskipun itu berarti menempuh jalur yang menantang dan kurang populer.
XIV. Pohon dan Buahnya (Matius 7:15-20)
Mengingat tantangan untuk mengikuti jalan yang sempit, Yesus memperingatkan para pendengar-Nya tentang bahaya nabi-nabi palsu.
"Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas. Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri? Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik. Setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api. Jadi dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka."
Nabi-nabi palsu seringkali muncul dengan penampilan yang menipu, menyamar sebagai pemimpin rohani yang baik ("menyamar seperti domba"), tetapi motivasi dan niat mereka adalah untuk menyesatkan dan memanfaatkan orang lain ("serigala yang buas"). Cara untuk mengidentifikasi mereka adalah "dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka." Buah di sini mengacu pada hasil dari ajaran dan kehidupan mereka, yaitu karakter, perilaku, dan dampak pelayanan mereka. Kata-kata mereka mungkin manis, tetapi tindakan mereka akan mengungkapkan sifat asli mereka. Seperti pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, dan pohon yang buruk menghasilkan buah yang buruk, demikian pula hidup seorang pemimpin rohani akan mencerminkan kebenaran dari hati dan ajaran mereka.
Peringatan keras tentang "setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api" menunjukkan konsekuensi serius bagi mereka yang menyesatkan orang lain. Ini adalah panggilan untuk kebijaksanaan dan discernment dalam menghadapi ajaran dan pemimpin rohani.
Implikasinya: Penting untuk mengevaluasi setiap pengajaran dan pemimpin rohani bukan hanya dari apa yang mereka katakan, tetapi juga dari bagaimana mereka hidup dan apa yang dihasilkan dari pelayanan mereka. Ujian keaslian adalah karakter dan dampak yang konsisten dengan ajaran Kristus.
XV. Rumah di Atas Batu dan Pasir (Matius 7:21-27)
Khotbah di Bukit diakhiri dengan perumpamaan yang kuat tentang dua jenis pembangun, yang menggambarkan pentingnya ketaatan praktis terhadap ajaran Yesus.
"Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!"
Yesus secara mengejutkan menyatakan bahwa hanya mengucapkan "Tuhan, Tuhan!" atau bahkan melakukan perbuatan-perbuatan rohani yang mengesankan (bernubuat, mengusir setan, mukjizat) tidak cukup untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga. Yang terpenting adalah "melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga." Ada bahaya besar dari agama yang bersifat dangkal, yang hanya berfokus pada manifestasi spiritual atau klaim verbal, tetapi gagal dalam ketaatan praktis. Pada Hari Penghakiman, Yesus akan menyatakan bahwa Ia "tidak pernah mengenal" mereka yang hanya mengaku-Nya tetapi tidak hidup dalam ketaatan.
"Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak roboh sebab didirikan di atas batu. Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, maka robohlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya."
Perumpamaan ini menggambarkan dua jenis respons terhadap ajaran Yesus:
- Orang Bijaksana: Mendengar perkataan Yesus DAN melakukannya. Ia seperti pembangun yang mendirikan rumahnya di atas fondasi yang kokoh (batu). Ketika badai kehidupan datang (hujan, banjir, angin melanda), rumah itu tetap teguh. Fondasi yang kuat ini adalah ketaatan yang konsisten.
- Orang Bodoh: Mendengar perkataan Yesus TETAPI tidak melakukannya. Ia seperti pembangun yang mendirikan rumahnya di atas fondasi yang lemah (pasir). Ketika badai datang, rumah itu roboh dan hancur lebur. Kurangnya ketaatan akan berujung pada kehancuran rohani.
Badai melambangkan tantangan, pencobaan, kesulitan, atau bahkan penghakiman ilahi yang pasti akan datang dalam kehidupan setiap orang. Perumpamaan ini menekankan bahwa bukan sekadar mendengar atau memahami ajaran Yesus yang penting, melainkan melakukannya. Ketaatanlah yang membedakan iman yang sejati dari sekadar pengakuan bibir.
Implikasinya: Khotbah di Bukit bukan hanya serangkaian ideal etika, tetapi sebuah panggilan untuk bertindak. Kehidupan yang dibangun di atas ketaatan kepada Yesus akan teguh menghadapi segala tantangan, sementara kehidupan yang mengabaikan ajaran-Nya akan rapuh dan berujung pada kehancuran.
XVI. Reaksi Orang Banyak (Matius 7:28-29)
"Setelah Yesus selesai mengucapkan perkataan ini, takjublah orang banyak itu mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka."
Reaksi langsung dari orang banyak menunjukkan dampak yang luar biasa dari Khotbah di Bukit. Mereka "takjub" (Yunani: ekplesso, terkejut luar biasa) mendengar pengajaran Yesus. Perbedaan utama yang mereka rasakan adalah otoritas-Nya. Ahli-ahli Taurat pada zaman itu mengajar dengan mengutip otoritas rabi-rabi sebelumnya, tetapi Yesus mengajar dengan otoritas-Nya sendiri, "Aku berkata kepadamu." Ia tidak hanya menafsirkan hukum, tetapi Ia berbicara sebagai penggenap dan Pemberi hukum. Ini adalah kesaksian tentang sifat ilahi pengajaran Yesus dan dampaknya yang mendalam pada mereka yang mendengarkan-Nya dengan hati terbuka.
XVII. Kesimpulan dan Relevansi Modern
Khotbah di Bukit bukanlah sekadar koleksi nasihat moral yang bagus; ia adalah inti dari etika Kerajaan Allah, sebuah manifesto yang menuntut perubahan total dalam hati, pikiran, dan tindakan. Yesus tidak menawarkan standar yang mudah, tetapi standar kebenaran ilahi yang mencerminkan karakter Allah Bapa sendiri. Dari Ucapan Bahagia yang membalikkan nilai-nilai duniawi hingga panggilan untuk mengasihi musuh dan mencari Kerajaan Allah terlebih dahulu, setiap ajaran menantang kita untuk hidup dalam cara yang berbeda, cara yang memuliakan Allah dan membawa dampak positif bagi dunia.
Dalam dunia modern yang seringkali serakah, penuh kekhawatiran, dan terpecah belah, Khotbah di Bukit tetap menjadi mercusuar kebenaran. Ia memanggil kita untuk:
- Mengutamakan Hati: Yesus menunjukkan bahwa motivasi hati lebih penting daripada penampilan luar. Iman yang sejati berakar pada transformasi internal, bukan sekadar kepatuhan pada ritual.
- Hidup Kontra-Kultural: Ajaran Yesus seringkali bertentangan langsung dengan nilai-nilai duniawi. Kita dipanggil untuk menjadi "garam dan terang," hidup dengan standar yang lebih tinggi, bahkan jika itu berarti menjadi tidak populer atau menghadapi penganiayaan.
- Memprioritaskan Kerajaan Allah: Kekhawatiran tentang harta dan kebutuhan hidup sirna ketika kita menempatkan Allah dan kehendak-Nya sebagai yang utama. Ketergantungan pada Allah adalah fondasi kedamaian sejati.
- Praktikkan Kasih Radikal: Perintah untuk mengasihi musuh dan tidak membalas dendam adalah inti dari ajaran Yesus. Ini adalah kasih yang transformatif, yang mencari kebaikan orang lain, bahkan mereka yang menyakiti kita.
- Ketaatan yang Utuh: Khotbah ini diakhiri dengan penekanan pada pentingnya melakukan firman Yesus, bukan hanya mendengarnya. Kehidupan yang teguh dibangun di atas fondasi ketaatan yang praktis.
Khotbah di Bukit adalah panggilan untuk hidup yang "lebih benar" dari pada hidup keagamaan yang dangkal, sebuah panggilan untuk menjadi sempurna dalam kasih, seperti Bapa surgawi kita sempurna. Ini adalah ajakan untuk menjalani kehidupan yang memiliki dampak kekal, yang memancarkan terang Kristus kepada dunia yang membutuhkan.
Meskipun standar yang ditetapkan Yesus sangat tinggi, kita tidak sendirian dalam upaya untuk memenuhinya. Roh Kudus diberikan kepada kita untuk memberdayakan kita, untuk mengubah hati kita, dan untuk memampukan kita berjalan di jalan yang sempit itu. Khotbah di Bukit adalah undangan untuk sebuah perjalanan spiritual yang mendalam, sebuah janji akan kehidupan yang bermakna dan penuh berkat, yang puncaknya adalah persekutuan kekal dengan Allah di dalam Kerajaan-Nya.