Setiap hari, Kitab Suci menawarkan kepada kita jendela menuju hikmat ilahi, sebuah kesempatan untuk merenungkan kebenaran-kebenaran abadi yang relevan dengan perjalanan hidup kita. Untuk tanggal 22 September, Gereja mengundang kita untuk merenungkan dua perikop yang, pada pandangan pertama, mungkin tampak sangat berbeda, namun pada intinya saling melengkapi dalam membahas pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang makna, identitas, dan pencarian kebenaran. Kita akan mendalami bacaan pertama dari Kitab Pengkhotbah (Qohelet) dan Injil Lukas, mencari benang merah yang menghubungkan keduanya dan bagaimana pesan-pesan ini dapat membentuk iman serta tindakan kita hari ini.
Pengkhotbah, sebuah buku kebijaksanaan yang seringkali menantang pemahaman kita tentang tujuan hidup, menyajikan renungan tentang kesia-siaan segala sesuatu di bawah matahari. Di sisi lain, Injil Lukas menghadirkan kita pada sosok Herodes yang penuh kebingungan dan rasa ingin tahu tentang identitas Yesus. Kedua narasi ini, meskipun dari latar belakang dan zaman yang berbeda, sama-sama menyoroti pergulatan manusia dalam menghadapi ketidakpastian, mencari makna di tengah siklus kehidupan yang berulang, dan mencoba memahami keberadaan Yang Ilahi. Mari kita selami lebih dalam, membuka hati kita terhadap ajaran yang tak lekang oleh waktu ini.
Bacaan Injil: Lukas 9:7-9 – Kebingungan Herodes dan Identitas Yesus
Bacaan Injil hari ini membawa kita ke dalam hati penguasa wilayah Galilea, Herodes Antipas, yang sedang diliputi oleh kebingungan dan rasa ingin tahu yang mendalam. Ia telah mendengar tentang berbagai mukjizat dan ajaran Yesus, dan berbagai spekulasi mulai beredar di kalangan rakyatnya. Perikop singkat ini, meskipun hanya terdiri dari tiga ayat, menyimpan lapisan makna yang kaya tentang identitas Yesus, sifat rasa ingin tahu manusia, dan bayang-bayang masa lalu yang menghantui.
Lukas 9:7-9
7 Herodes, tetrark itu, mendengar segala yang terjadi. Ia bingung, sebab ada orang yang mengatakan, bahwa Yohanes telah bangkit dari antara orang mati.
8 Ada pula yang mengatakan, bahwa Elia telah muncul kembali, dan ada pula yang mengatakan, bahwa seorang dari nabi-nabi dahulu telah bangkit.
9 Tetapi Herodes berkata: "Yohanes telah kupenggal kepalanya. Siapakah gerangan orang ini, yang kabarnya melakukan hal-hal demikian?" Lalu ia berusaha supaya dapat bertemu dengan Yesus.
Konteks Historis dan Sosok Herodes Antipas
Untuk memahami kebingungan Herodes, kita perlu menempatkannya dalam konteks sejarah. Herodes Antipas adalah putra Herodes Agung, yang memerintah Yudea saat Yesus lahir. Setelah kematian ayahnya, Herodes Antipas menjadi tetrark (penguasa empat bagian) atas Galilea dan Perea. Ia adalah seorang penguasa yang licik, ambisius, dan seringkali tidak stabil secara emosional, terkenal karena kehidupannya yang tidak bermoral, termasuk pernikahannya dengan Herodias, istri saudaranya, Filipus. Pernikahan inilah yang dikecam keras oleh Yohanes Pembaptis, yang pada akhirnya berujung pada pemenggalan kepala Yohanes.
Kisah pemenggalan Yohanes Pembaptis adalah latar belakang penting untuk memahami Herodes dalam perikop ini. Lukas 9:7-9 datang setelah Yesus mengutus kedua belas murid-Nya untuk memberitakan Injil dan menyembuhkan orang sakit. Berita tentang mukjizat dan ajaran Yesus menyebar luas, menciptakan keramaian dan spekulasi di antara orang banyak. Herodes, sebagai penguasa, tentu saja akan mendengar desas-desus ini. Bagi seorang pemimpin yang peduli dengan stabilitas politik dan legitimasi kekuasaannya, munculnya seorang tokoh karismatik seperti Yesus yang menarik perhatian massa adalah hal yang patut diperhatikan, bahkan mengkhawatirkan.
Kebingungan dan Spekulasi Rakyat
Ayat 7 menyatakan bahwa Herodes "bingung." Kata Yunani yang digunakan di sini adalah `aporeo`, yang berarti "tidak tahu jalan," "tidak punya sumber daya," atau "merasa sangat gelisah karena ketidakpastian." Kebingungan Herodes bukan hanya karena ketidaktahuan, tetapi juga karena rasa takut dan kemungkinan rasa bersalah yang menghantuinya. Ia mendengar berbagai teori tentang identitas Yesus:
- Yohanes Pembaptis telah bangkit dari antara orang mati: Ini adalah spekulasi yang paling mengerikan bagi Herodes. Mengingat ia sendiri yang memerintahkan eksekusi Yohanes, gagasan tentang Yohanes yang bangkit kembali tentu akan memicu ketakutan akan pembalasan ilahi atau mungkin kembalinya seseorang yang ia yakini telah ia lenyapkan. Kebangkitan Yohanes akan menjadi bukti hukuman atas perbuatannya. Ini bukan hanya ketakutan politik, tetapi juga ketakutan moral dan spiritual. Herodes mungkin hidup dalam bayang-bayang kesalahannya, dan kemunculan Yesus seperti hantu masa lalu yang menuntut pertanggungjawaban.
- Elia telah muncul kembali: Elia adalah salah satu nabi terbesar dalam sejarah Israel, yang diyakini tidak mati tetapi diangkat ke surga. Nubuat Maleakhi 4:5 menyatakan bahwa Elia akan datang lagi sebelum kedatangan hari Tuhan yang besar dan dahsyat. Dengan demikian, kedatangan Elia akan menandai dimulainya era mesianik. Spekulasi ini menunjukkan bahwa rakyat melihat Yesus sebagai seorang tokoh kenabian yang memiliki otoritas dan kekuasaan luar biasa, setara dengan Elia.
- Seorang dari nabi-nabi dahulu telah bangkit: Ini adalah kategori yang lebih umum, mencakup kemungkinan bahwa Yesus adalah Yeremia, Yesaya, atau nabi besar lainnya yang bangkit kembali. Seperti Elia, ini juga menempatkan Yesus dalam tradisi kenabian yang kuat, menunjukkan bahwa ia adalah pembawa pesan Allah yang memiliki kekuatan supranatural.
Spekulasi-spekulasi ini mencerminkan harapan dan ekspektasi mesianik yang kuat pada zaman itu. Orang-orang mencari tanda-tanda dari Allah, dan aktivitas Yesus sangat cocok dengan gambaran seorang utusan ilahi. Namun, Herodes tidak tertarik pada kebenaran mesianik atau kenabian; ketertarikannya lebih bersifat pribadi dan politis.
Rasa Bersalah dan Keinginan untuk Bertemu Yesus
Ayat 9 adalah inti dari kebingungan Herodes. Ia berkata, "Yohanes telah kupenggal kepalanya. Siapakah gerangan orang ini, yang kabarnya melakukan hal-hal demikian?" Pernyataan ini menunjukkan bahwa meskipun Herodes mencoba untuk menutup-nutupi kejahatannya, bayangan Yohanes terus menghantuinya. Ia tahu apa yang telah ia lakukan, dan ia tidak dapat melepaskan diri dari konsekuensinya, setidaknya dalam pikirannya sendiri. Pertanyaannya, "Siapakah gerangan orang ini?" bukan pertanyaan filosofis murni, tetapi pertanyaan yang dilatarbelakangi oleh ketakutan dan mungkin sedikit harapan bahwa Yesus bukan Yohanes yang bangkit, tetapi juga tidak sepenuhnya menolaknya.
Kemudian dikatakan, "Lalu ia berusaha supaya dapat bertemu dengan Yesus." Keinginan Herodes untuk bertemu Yesus tidak muncul dari kerinduan akan kebenaran atau pertobatan. Lukas tidak menyajikan Herodes sebagai seseorang yang mencari keselamatan. Sebaliknya, keinginan ini kemungkinan besar didorong oleh:
- Rasa ingin tahu yang picik: Ia ingin melihat siapa "orang ini" yang begitu populer, yang membuat ia bertanya-tanya.
- Ketakutan: Ia mungkin ingin memastikan bahwa Yesus bukanlah Yohanes yang bangkit, atau setidaknya memahami ancaman apa yang mungkin ditimbulkan oleh Yesus terhadap kekuasaannya.
- Hiburan: Dalam Injil Lukas yang lain (Lukas 23:8), dicatat bahwa Herodes "sudah lama ingin melihat Yesus, karena ia sering mendengar tentang Dia, lagipula ia berharap dapat menyaksikan suatu mujizat yang dilakukan oleh-Nya." Ini menunjukkan bahwa ia melihat Yesus sebagai seorang penghibur, seseorang yang mungkin bisa menampilkan "pertunjukan" baginya.
Herodes, dengan segala kekuasaan dan kemewahannya, tidak dapat menemukan kedamaian batin. Ia terus dibayangi oleh dosa masa lalunya dan rasa bersalah atas kematian Yohanes Pembaptis. Kebingungan Herodes berfungsi sebagai kontras yang tajam terhadap identitas Yesus yang sebenarnya, yaitu Mesias, Anak Allah, yang datang bukan untuk menghibur para penguasa, tetapi untuk menebus dosa dunia.
Refleksi dan Aplikasi dari Injil Lukas 9:7-9
Perikop ini memberikan kita beberapa pelajaran penting:
- Dampak Dosa: Kisah Herodes mengingatkan kita bahwa dosa memiliki konsekuensi jangka panjang, bahkan bagi para pelaku. Rasa bersalah dapat menghantui seseorang dan mengganggu kedamaian batin. Kekuasaan duniawi tidak dapat menghapus catatan kesalahan masa lalu.
- Identitas Yesus: Dunia pada zaman Yesus mencoba mengategorikan Dia sesuai dengan pemahaman mereka: Yohanes, Elia, nabi. Namun, Yesus melampaui semua kategori ini. Dia adalah Kristus, Mesias yang telah dijanjikan. Pertanyaan "Siapakah Yesus bagiku?" adalah pertanyaan sentral dalam iman Kristen. Apakah kita melihat Dia hanya sebagai tokoh sejarah, seorang guru moral, atau Juruselamat pribadi kita?
- Sifat Rasa Ingin Tahu: Rasa ingin tahu Herodes bersifat dangkal, terdorong oleh ketakutan dan keinginan untuk hiburan, bukan oleh kerinduan akan kebenaran. Ini menantang kita untuk memeriksa motivasi kita dalam mencari Tuhan. Apakah kita mencari-Nya karena ingin mendapatkan keuntungan, menghindari masalah, atau semata-mata karena ingin tahu, ataukah kita mencari-Nya dengan hati yang tulus, ingin mengenal-Nya secara pribadi dan mengikuti kehendak-Nya?
- Pertemuan dengan Yesus: Herodes berusaha bertemu dengan Yesus, tetapi pertemuan mereka akhirnya tidak menghasilkan pertobatan atau perubahan hati baginya. Kita juga diundang untuk bertemu Yesus setiap hari melalui doa, perenungan Firman, dan sakramen. Namun, seperti Herodes, kita harus memastikan bahwa pertemuan kita adalah pertemuan yang transformatif, bukan hanya sekadar melihat atau mendengar.
Perikop ini adalah cerminan atas kondisi hati manusia, yang seringkali bergumul dengan kebingungan, rasa bersalah, dan pertanyaan tentang identitas sejati. Ini mempersiapkan kita untuk memahami bahwa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tidak dapat ditemukan dalam kekuatan duniawi atau spekulasi manusia, melainkan dalam terang kebenaran ilahi yang diwahyukan dalam diri Yesus Kristus.
Bacaan Pertama: Pengkhotbah 1:2-11 – Kesia-siaan Segala Sesuatu
Dari kebingungan seorang penguasa di abad pertama, kita kini beralih ke renungan seorang bijak di Israel kuno, yang dikenal sebagai Qohelet atau Pengkhotbah. Kitab Pengkhotbah adalah salah satu dari buku-buku kebijaksanaan dalam Alkitab, dan seringkali dianggap sebagai salah satu yang paling provokatif dan menantang. Perikop awal ini, Pengkhotbah 1:2-11, segera melemparkan kita ke dalam tema sentral kitab ini: kesia-siaan (hevel) segala sesuatu di bawah matahari.
Pengkhotbah 1:2-11
2 "Kesia-siaan belaka," kata Pengkhotbah, "kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia."
3 Apakah gunanya seorang berlelah-lelah dalam segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari?
4 Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada untuk selama-lamanya.
5 Matahari terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit lagi.
6 Angin bertiup ke selatan, lalu berputar ke utara, terus-menerus ia berputar, dan kembali menurut putarannya.
7 Segala sungai mengalir ke laut, tetapi laut tidak juga penuh; ke tempat mana sungai mengalir, ke situ juga ia mengalir selalu.
8 Segala sesuatu melelahkan, sehingga orang tidak dapat mengatakannya; mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas mendengar.
9 Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah terjadi akan terjadi lagi; tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.
10 Adakah sesuatu yang dapat dikatakan: "Lihatlah, ini baru!"? Sesungguhnya itu sudah ada pada zaman dahulu kala, sebelum kita ada.
11 Tidak ada ingatan akan hal-hal yang dahulu, dan juga akan hal-hal yang kemudian terjadi tidak akan ada ingatan pada orang-orang yang hidup sesudah itu.
Memahami "Kesia-siaan" (Hevel)
Ayat 2 memperkenalkan tesis sentral dari seluruh kitab: "Kesia-siaan belaka, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia." Kata Ibrani yang diterjemahkan sebagai "kesia-siaan" adalah `hevel`. Terjemahan ini, meskipun umum, mungkin tidak sepenuhnya menangkap nuansa maknanya. `Hevel` secara harfiah berarti "nafas," "uap," atau "kabut." Ini adalah sesuatu yang cepat berlalu, tidak substansial, tidak dapat dipahami sepenuhnya, dan pada akhirnya, tidak memuaskan.
Ketika Qohelet mengatakan "segala sesuatu adalah `hevel`," ia tidak bermaksud bahwa hidup itu tanpa makna sama sekali, atau bahwa segala sesuatu itu jahat. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa segala sesuatu yang kita kejar dan alami "di bawah matahari" (yaitu, dari sudut pandang manusia yang terbatas, tanpa mempertimbangkan perspektif ilahi atau keabadian) pada akhirnya tidak dapat memberikan kepuasan yang abadi, tidak dapat dicengkeram, dan seringkali berakhir dengan kekecewaan. Ini adalah renungan tentang transiensi, ketidakpastian, dan batas-batas pengalaman manusia.
Siklus Kehidupan dan Alam yang Tak Berhenti
Qohelet kemudian mengilustrasikan "hevel" ini dengan mengamati siklus alam dan kehidupan manusia yang tampaknya tak berkesudahan dan berulang:
- Manusia vs. Bumi (Ayat 3-4): "Apakah gunanya seorang berlelah-lelah dalam segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari? Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada untuk selama-lamanya." Qohelet menyoroti kontras antara upaya manusia yang melelahkan dan seringkali sia-sia dengan ketetapan bumi yang tak tergoyahkan. Generasi datang dan pergi, upaya mereka, warisan mereka, semuanya akhirnya lenyap, sementara bumi, sebagai latar belakang, tetap konstan. Pekerjaan manusia, dari perspektif ini, tampaknya tidak meninggalkan jejak abadi yang signifikan.
- Siklus Matahari (Ayat 5): "Matahari terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit lagi." Ini adalah gambaran tentang rutinitas yang tak terhindarkan dan tak berujung. Setiap hari sama, matahari melakukan perjalanan yang sama, tanpa pernah mencapai tujuan baru atau menciptakan sesuatu yang revolusioner.
- Siklus Angin (Ayat 6): "Angin bertiup ke selatan, lalu berputar ke utara, terus-menerus ia berputar, dan kembali menurut putarannya." Angin, sebuah simbol kebebasan dan perubahan, ternyata juga terikat pada siklus yang sama, tanpa pernah benar-benar pergi atau membawa sesuatu yang baru secara permanen.
- Siklus Sungai (Ayat 7): "Segala sungai mengalir ke laut, tetapi laut tidak juga penuh; ke tempat mana sungai mengalir, ke situ juga ia mengalir selalu." Sungai terus-menerus mengalirkan air ke laut, namun laut tidak pernah meluap atau terisi penuh. Air laut menguap, membentuk awan, hujan, dan kembali menjadi sungai. Ini adalah metafora sempurna untuk upaya manusia yang tiada henti namun tampaknya tidak pernah mencapai kepenuhan atau penyelesaian yang abadi.
Pengamatan Qohelet tentang alam ini bukan sekadar deskripsi, tetapi argumen. Ia menggunakan keindahan dan keteraturan alam untuk menunjukkan bahwa bahkan hal-hal yang paling mendasar pun, dari sudut pandang "di bawah matahari," terperangkap dalam pengulangan yang tak berarti. Tidak ada kemajuan sejati, hanya putaran yang tak ada habisnya.
Keletihan, Ketidakpuasan, dan Ketiadaan yang Baru
Setelah mengamati alam, Qohelet beralih ke pengalaman manusia:
- Keletihan dan Ketidakpuasan Indra (Ayat 8): "Segala sesuatu melelahkan, sehingga orang tidak dapat mengatakannya; mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas mendengar." Pengkhotbah menyatakan bahwa upaya untuk memahami atau mengalami segala sesuatu di dunia ini adalah usaha yang melelahkan dan pada akhirnya tidak memuaskan. Kita terus melihat, terus mendengar, tetapi indra kita tidak pernah mencapai kepuasan yang abadi. Selalu ada keinginan untuk lebih, untuk sesuatu yang baru, namun pada akhirnya kita merasa lelah dan kosong.
- Tidak Ada yang Baru di Bawah Matahari (Ayat 9-10): "Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah terjadi akan terjadi lagi; tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Adakah sesuatu yang dapat dikatakan: 'Lihatlah, ini baru!'? Sesungguhnya itu sudah ada pada zaman dahulu kala, sebelum kita ada." Ini adalah salah satu pernyataan Pengkhotbah yang paling terkenal dan sering dikutip. Ia menolak gagasan tentang inovasi atau keunikan sejati. Dari perspektif "di bawah matahari," sejarah hanyalah pengulangan tema dan pola yang sama. Manusia mungkin menciptakan teknologi baru atau seni baru, tetapi Qohelet akan berargumen bahwa motivasi dasar, emosi, dan pergumulan manusia tetap sama.
- Ketiadaan Ingatan (Ayat 11): "Tidak ada ingatan akan hal-hal yang dahulu, dan juga akan hal-hal yang kemudian terjadi tidak akan ada ingatan pada orang-orang yang hidup sesudah itu." Jika tidak ada yang baru, maka tidak ada pula yang pantas diingat untuk selamanya. Bahkan jika ada hal-hal besar yang terjadi, ingatan akan hal itu akan memudar seiring berjalannya waktu. Generasi baru tidak akan mengingat generasi sebelumnya, dan mereka sendiri pun akan dilupakan. Ini adalah pukulan telak bagi siapa saja yang berharap dapat meninggalkan warisan abadi atau mencapai keabadian melalui ketenaran atau prestasi.
Keseluruhan bagian ini adalah gambaran yang suram tentang realitas manusia yang terbatas. Qohelet menantang kita untuk menghadapi fakta bahwa, dari sudut pandang manusiawi saja, kehidupan adalah siklus tanpa akhir dari upaya yang melelahkan, yang tidak pernah mencapai kepuasan abadi atau meninggalkan jejak permanen. Ini adalah pandangan yang pesimistis, namun jujur, yang mengundang kita untuk bertanya: jika memang demikian, lalu apa gunanya hidup?
Refleksi dan Aplikasi dari Pengkhotbah 1:2-11
Meskipun nadanya pesimistis, Pengkhotbah tidak bermaksud membuat kita putus asa, melainkan mengarahkan kita pada sesuatu yang lebih tinggi. Pelajaran yang dapat kita ambil meliputi:
- Mengakui Keterbatasan Duniawi: Pengkhotbah memaksa kita untuk menyadari bahwa kebahagiaan sejati, makna yang abadi, dan kepuasan yang mendalam tidak dapat ditemukan dalam pengejaran materi, kekuasaan, kesenangan, atau bahkan kebijaksanaan manusia saja. Semua ini adalah `hevel` jika itu menjadi tujuan akhir kita.
- Menilai Kembali Prioritas: Dalam masyarakat modern yang seringkali terobsesi dengan pencapaian, konsumsi, dan hal-hal baru, pesan Pengkhotbah sangat relevan. Apakah kita terus-menerus mengejar "sesuatu yang baru" yang pada akhirnya tidak memberikan kepuasan? Apakah kita lelah dengan siklus tanpa akhir dari keinginan dan pemenuhan yang sementara?
- Mencari Makna "Di Atas Matahari": Meskipun Qohelet berfokus pada "di bawah matahari," kitab ini pada akhirnya mengarahkan pembaca untuk mencari makna dan kepuasan dalam hubungan dengan Allah, Sang Pencipta. Hanya Dia yang dapat memberikan makna abadi yang melampaui siklus sia-sia duniawi. Ini adalah ajakan untuk melihat melampaui yang terlihat dan temporal.
- Rendah Hati: Kesadaran bahwa segala sesuatu adalah `hevel` dapat menumbuhkan kerendahan hati. Prestasi kita, kekayaan kita, bahkan reputasi kita, pada akhirnya akan memudar. Hanya apa yang kita lakukan untuk kemuliaan Tuhan dan sesama yang memiliki nilai kekal.
Perikop ini adalah sebuah pengingat yang tajam akan kerapuhan eksistensi manusia dan kebutuhan kita akan sesuatu yang melampaui dunia yang fana ini.
Benang Merah: Pencarian Makna dan Identitas dalam Dua Bacaan
Setelah merenungkan secara terpisah, kini saatnya kita mencari benang merah yang menghubungkan bacaan Injil dan bacaan pertama ini. Pada pandangan pertama, kisah Herodes dan renungan Qohelet tampak sangat berbeda. Yang satu berpusat pada reaksi seorang penguasa terhadap sosok Yesus yang misterius, sementara yang lain adalah meditasi filosofis tentang sifat eksistensi. Namun, jika kita melihat lebih dalam, kita akan menemukan bahwa keduanya berbicara tentang tema-tema universal yang saling terkait: pencarian makna, identitas sejati, dan keterbatasan manusia dalam memahami realitas.
1. Perguman dengan Ketidakpastian dan Kebingungan
Baik Herodes maupun Qohelet sama-sama bergumul dengan ketidakpastian. Herodes bingung (aporeo) tentang identitas Yesus. Ia mendengar berbagai spekulasi dan tidak tahu bagaimana harus menempatkan sosok ini. Kebingungannya diperparah oleh bayang-bayang dosa masa lalunya, yaitu pembunuhan Yohanes Pembaptis. Ia terjebak dalam lingkaran ketakutan dan rasa bersalah yang membuatnya tidak mampu melihat Yesus dengan jelas.
Qohelet, di sisi lain, bergumul dengan kebingungan eksistensial. Ia mengamati dunia "di bawah matahari" dan menemukan bahwa segala sesuatu adalah `hevel` – kabut, kesia-siaan, sesuatu yang tidak dapat dicengkeram. Ia tidak dapat menemukan makna yang abadi atau kepuasan yang sejati dalam siklus kehidupan yang terus berulang, dalam segala upaya manusia, atau bahkan dalam kebijaksanaan. Ia melihat dunia yang tampaknya tanpa tujuan yang jelas, terus berputar tanpa akhir. Ini adalah bentuk kebingungan yang lebih filosofis, namun sama-sama mendalam.
Keduanya menunjukkan keterbatasan akal dan pengalaman manusia dalam menemukan jawaban definitif atas pertanyaan-pertanyaan terbesar dalam hidup. Herodes gagal memahami Yesus dari perspektif politik atau rasional semata, sementara Qohelet gagal menemukan makna abadi dari perspektif duniawi.
2. Pencarian Identitas dan Tujuan
Herodes sedang mencari tahu siapa Yesus. Apakah Dia Yohanes yang bangkit? Elia? Seorang nabi? Pertanyaan tentang identitas Yesus adalah pertanyaan krusial yang menentukan bagaimana seseorang harus bereaksi terhadap-Nya. Bagi Herodes, pemahaman akan identitas Yesus berkaitan erat dengan keselamatan dirinya sendiri (dari rasa bersalah) dan kekuasaannya (dari ancaman). Ironisnya, karena motivasinya yang egois dan ketakutannya, ia tidak dapat melihat identitas sejati Yesus sebagai Mesias, Anak Allah.
Sementara itu, Qohelet juga melakukan pencarian identitas, bukan identitas seseorang, melainkan identitas dari "makna hidup." Ia mencari tujuan, nilai, dan esensi di balik segala aktivitas manusia. Ia bertanya, "Apakah gunanya seorang berlelah-lelah dalam segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari?" (Pengkhotbah 1:3). Ia berjuang untuk menemukan identitas "kebaikan" atau "manfaat" yang abadi dalam kehidupan. Seperti Herodes, ia menemukan bahwa pencarian dari perspektif terbatas "di bawah matahari" akhirnya menemui jalan buntu dan menghasilkan kesimpulan bahwa "segala sesuatu adalah sia-sia."
Kedua perikop ini menyoroti universalitas pertanyaan manusia: "Siapa ini?" dan "Untuk apa ini?" Baik itu tentang identitas seorang individu ilahi atau makna dari seluruh keberadaan, manusia selalu mencari kejelasan dan tujuan.
3. Realitas yang Melampaui Pemahaman Manusia
Inti dari kedua bacaan ini adalah bahwa ada realitas yang melampaui pemahaman dan kontrol manusia. Herodes, meskipun seorang penguasa, tidak dapat memahami Yesus. Ia melihat-Nya melalui lensa ketakutan, rasa bersalah, dan spekulasi populer. Identitas Yesus sebagai Anak Allah, Juru Selamat, adalah realitas ilahi yang tidak dapat dicerna oleh akal politik Herodes yang picik.
Demikian pula, Qohelet, dengan segala kebijaksanaannya, menyimpulkan bahwa kehidupan "di bawah matahari" adalah `hevel` karena ia tidak dapat menemukan jawaban dalam batas-batas pengalaman manusia. Ia mengamati siklus alam dan kerja keras manusia, tetapi tidak dapat menemukan titik akhir yang memuaskan atau makna yang abadi. Jawaban atas "hevel" terletak "di atas matahari" – yaitu, dalam perspektif Allah, dalam rencana ilahi, dalam kekekalan yang tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh manusia.
Kedua perikop ini secara implisit mengajak kita untuk melihat melampaui apa yang dangkal, melampaui apa yang sekadar "terlihat," dan melampaui batas-batas rasio manusia. Ada misteri ilahi yang hanya dapat diungkapkan melalui iman dan wahyu.
4. Kebutuhan akan Perspektif Ilahi
Baik Herodes maupun Qohelet sama-sama membutuhkan perspektif ilahi untuk menyelesaikan kebingungan dan pencarian mereka. Herodes, jika ia sungguh-sungguh mencari, akan menemukan bahwa Yesus adalah jawaban atas dosa-dosanya, bukan sekadar hantu atau ancaman. Hanya dengan pengenalan yang benar akan Yesus, ia bisa menemukan pengampunan dan kedamaian sejati.
Qohelet, melalui seluruh kitabnya, pada akhirnya akan sampai pada kesimpulan bahwa satu-satunya "kebaikan" sejati adalah takut akan Allah dan menaati perintah-Nya (Pengkhotbah 12:13). Hanya dalam konteks hubungan dengan Allah, siklus kehidupan yang `hevel` ini mendapatkan makna yang lebih besar, tujuan yang abadi, dan harapan yang melampaui kefanaan.
Jadi, benang merahnya adalah panggilan untuk melampaui batasan pandangan duniawi dan egois. Kita dipanggil untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan terbesar hidup bukan dalam diri kita sendiri atau dalam apa yang fana, melainkan dalam Allah yang kekal, dan secara khusus, dalam identitas dan misi Yesus Kristus.
Refleksi Lebih Lanjut dan Aplikasi Praktis
Kedua bacaan ini, meskipun kuno, memiliki resonansi yang kuat dalam kehidupan modern kita. Kita hidup di dunia yang seringkali bingung tentang identitas, dan di mana banyak orang merasa bahwa hidup adalah pengejaran "hevel" yang tak ada habisnya. Bagaimana kita bisa menerapkan pelajaran ini?
1. Menghadapi "Hevel" dalam Kehidupan Modern
Dunia modern kita dipenuhi dengan upaya "di bawah matahari" yang Qohelet akan sebut sebagai `hevel`. Kita terus-menerus didorong untuk mengejar kekayaan, status, ketenaran, kesenangan, dan hal-hal baru. Media sosial menciptakan ilusi bahwa selalu ada sesuatu yang lebih baik, lebih menarik, atau lebih bahagia yang harus kita kejar. Namun, seringkali, setelah mencapai "tujuan" tersebut, kita merasa hampa, lelah, dan tidak puas, persis seperti yang digambarkan Qohelet. Lingkaran konsumsi, pencarian validasi, dan siklus informasi yang tak berujung dapat membuat kita merasa seperti sungai yang terus mengalir tanpa pernah mengisi laut.
Aplikasi praktisnya adalah untuk secara sadar mengidentifikasi area-area dalam hidup kita di mana kita mungkin mengejar `hevel`. Apakah kita terlalu banyak berinvestasi dalam hal-hal yang tidak kekal? Apakah kita mencari kebahagiaan dan kepuasan di tempat yang salah? Renungan Qohelet adalah panggilan untuk meninjau kembali prioritas kita dan bertanya: "Apakah ini benar-benar penting? Akankah ini membawa kepuasan yang abadi?" Ini bukan ajakan untuk berhenti berusaha, melainkan untuk mengarahkan usaha kita pada tujuan yang lebih tinggi, yang melampaui siklus duniawi.
2. Mencari Identitas Sejati Yesus dan Diri Sendiri
Seperti Herodes, kita juga dapat dengan mudah salah mengidentifikasi Yesus. Mungkin kita melihat-Nya hanya sebagai figur sejarah, seorang guru etika yang hebat, atau bahkan sumber mukjizat yang dapat memenuhi keinginan kita. Namun, apakah kita benar-benar mencari identitas-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat yang hidup? Apakah kita membiarkan rasa takut atau dosa masa lalu kita menghalangi kita untuk benar-benar mengenal Dia?
Selain identitas Yesus, perikop ini juga menantang kita untuk merefleksikan identitas kita sendiri. Dalam dunia yang terus-menerus mendefinisikan kita berdasarkan pekerjaan, status, penampilan, atau pencapaian kita, kita rentan kehilangan jati diri yang sesungguhnya. Identitas sejati kita, sebagai anak-anak Allah yang dikasihi dan ditebus, adalah sesuatu yang melampaui semua definisi duniawi yang `hevel`. Mengenal Yesus dengan benar akan membantu kita mengenal diri kita sendiri dengan benar pula.
Aplikasi praktisnya adalah meluangkan waktu untuk doa pribadi dan perenungan Firman Tuhan. Ini adalah cara kita "bertemu dengan Yesus" secara mendalam, bukan seperti Herodes yang mencari hiburan atau validasi, melainkan dengan hati yang rindu untuk mengenal dan diikuti. Biarkan Firman-Nya menyingkapkan siapa Dia dan siapa kita di hadapan-Nya.
3. Mengatasi Rasa Bersalah dan Ketakutan
Kisah Herodes adalah pengingat yang kuat tentang bagaimana rasa bersalah yang tidak terselesaikan dapat menghantui kita. Dosa, yang tidak diakui dan tidak ditobati, dapat menciptakan bayang-bayang dalam hidup kita, mengganggu kedamaian batin, dan merusak hubungan kita dengan Tuhan dan sesama. Herodes tidak pernah menemukan kedamaian karena ia tidak menghadapi kejahatannya dengan pertobatan sejati.
Kita semua memiliki "Yohanes Pembaptis" kita sendiri, yaitu dosa-dosa dan kesalahan masa lalu yang mungkin masih menghantui kita. Bacaan ini adalah panggilan untuk membawa rasa bersalah dan ketakutan kita kepada Yesus. Dia datang bukan untuk menghukum, melainkan untuk menyelamatkan dan membebaskan. Hanya dalam pengampunan Kristus kita dapat menemukan kedamaian yang sejati dan terbebas dari siklus rasa bersalah yang tak berujung.
Aplikasi praktisnya adalah mengakui dosa-dosa kita di hadapan Tuhan, mencari sakramen rekonsiliasi jika kita beragama Katolik, dan mempraktikkan pengampunan terhadap diri sendiri dan orang lain. Beban masa lalu dapat diangkat, dan kita bisa berjalan maju dalam terang Kristus.
4. Membangun Harapan yang Abadi
Pengkhotbah, pada akhirnya, bukan tentang keputusasaan, melainkan tentang mengarahkan kita pada harapan yang benar. Dengan menunjukkan bahwa segala sesuatu "di bawah matahari" adalah `hevel`, ia membuka jalan bagi kita untuk mencari sesuatu "di atas matahari" – yaitu, dalam kekekalan dan dalam Allah. Yesus adalah jawaban definitif untuk pencarian Qohelet. Dalam Dia, ada sesuatu yang "baru" di bawah matahari: kebangkitan, hidup yang kekal, dan janji penebusan. Kematian dan kebangkitan Kristus memecahkan siklus `hevel` yang digambarkan Qohelet.
Melalui Kristus, usaha kita tidak lagi sia-sia. Setiap tindakan kasih, setiap doa, setiap upaya untuk melayani Tuhan dan sesama, memiliki nilai kekal. Hidup kita, meskipun singkat di bumi ini, adalah bagian dari rencana Allah yang lebih besar, dan memiliki tujuan yang melampaui kubur.
Aplikasi praktisnya adalah untuk hidup dengan perspektif kekal. Setiap keputusan yang kita buat, setiap waktu yang kita habiskan, dapat menjadi investasi dalam Kerajaan Allah yang abadi. Mari kita tidak membiarkan diri kita terjebak dalam siklus konsumsi dan pencarian duniawi yang tiada akhir, tetapi mengarahkan hati kita kepada Kristus, yang adalah sumber segala makna dan harapan.
5. Keutamaan Iman di Atas Spekulasi
Herodes terlibat dalam spekulasi tentang Yesus, tetapi ia tidak pernah sampai pada iman sejati. Pengkhotbah, dengan segala kebijaksanaannya, hanya bisa melihat "kesia-siaan" dari perspektif manusiawi. Kedua bacaan ini menggarisbawahi pentingnya iman. Imanlah yang memungkinkan kita melampaui batasan akal dan melihat realitas ilahi. Imanlah yang memungkinkan kita menerima identitas Yesus sebagai Tuhan dan memahami bahwa hidup kita memiliki makna di dalam Dia, bahkan di tengah-tengah tantangan dan pergumulan.
Aplikasi praktisnya adalah untuk memohon karunia iman yang lebih dalam. Iman bukan hanya kepercayaan pada doktrin, tetapi juga hubungan pribadi dengan Allah yang hidup. Iman memungkinkan kita untuk melihat tangan Tuhan yang bekerja di tengah-tengah siklus `hevel` dunia ini, dan untuk memahami bahwa di balik misteri, ada rencana kasih yang tak terbatas.
Dengan merenungkan kedua perikop ini secara bersamaan, kita diundang untuk sebuah perjalanan iman yang mendalam. Kita diajak untuk jujur tentang kesia-siaan dan keterbatasan duniawi, namun pada saat yang sama, untuk menemukan harapan dan makna yang abadi dalam identitas Yesus Kristus. Ini adalah panggilan untuk hidup dengan tujuan, menghadapi masa lalu kita dengan keberanian, dan menatap masa depan dengan iman yang teguh pada Allah yang mengasihi.
Penutup
Bacaan Injil dari Lukas 9:7-9 dan bacaan pertama dari Pengkhotbah 1:2-11 untuk tanggal 22 September menghadirkan kepada kita sebuah perpaduan yang kuat antara tantangan dan harapan. Herodes, dengan kebingungan dan rasa bersalahnya, mengingatkan kita akan kerapuhan hati manusia yang terkungkung dosa dan kebodohan. Ia menjadi cermin bagi kita untuk bertanya, "Bagaimana kita melihat Yesus? Apakah kita benar-benar mencari Dia atau hanya ingin memuaskan rasa ingin tahu kita yang dangkal?"
Sementara itu, Pengkhotbah, dengan pandangannya yang tajam tentang "kesia-siaan belaka," memaksa kita untuk menghadapi realitas transiensi dan keterbatasan hidup "di bawah matahari." Ia menantang kita untuk mempertanyakan segala upaya kita, segala ambisi kita, dan segala pencarian kita akan kepuasan duniawi. Ia mengajak kita untuk melihat melampaui siklus-siklus yang melelahkan dan pada akhirnya tidak memuaskan.
Namun, di tengah-tengah kedua refleksi yang kadang terasa suram ini, terbentanglah panggilan akan sebuah kebenaran yang lebih tinggi. Baik kebingungan Herodes maupun kesia-siaan Qohelet pada akhirnya menunjuk pada satu titik: kebutuhan kita akan Allah. Hanya di dalam Kristus, yang identitas-Nya melampaui segala spekulasi manusia, dan yang kehadiran-Nya memberikan makna pada segala sesuatu yang tampaknya sia-sia, kita dapat menemukan kedamaian, tujuan, dan harapan yang abadi.
Semoga renungan hari ini menginspirasi kita untuk tidak puas dengan jawaban-jawaban dangkal atau makna-makna sementara. Semoga kita tergerak untuk mencari Yesus dengan hati yang tulus, membiarkan Dia mengungkapkan identitas-Nya yang sejati kepada kita. Dan semoga, di tengah hiruk pikuk dan putaran kehidupan yang seringkali melelahkan ini, kita menemukan ketenangan dan kepastian dalam janji-janji-Nya yang tak berubah. Marilah kita hidup setiap hari dengan kesadaran bahwa hidup kita, dalam Kristus, memiliki nilai dan tujuan yang melampaui segala sesuatu di bawah matahari.