Penantian Harapan yang Mengubah: Refleksi Mendalam atas Kisah Yusuf
Masa Adven adalah periode penantian, refleksi, dan harapan. Ini adalah waktu di mana kita diajak untuk mempersiapkan hati kita menyambut kedatangan Kristus, bukan hanya dalam perayaan Natal yang historis, tetapi juga dalam kedatangan-Nya kembali yang mulia dan kehadiran-Nya yang berkelanjutan dalam hidup kita. Dalam tradisi liturgi, Injil-Injil yang dibacakan selama masa Adven seringkali menyoroti tokoh-tokoh kunci dalam kisah kelahiran Yesus, yang melalui iman dan ketaatan mereka, menjadi instrumen rencana ilahi. Salah satu tokoh yang seringkali mendapatkan perhatian khusus menjelang akhir Adven adalah Yusuf, tunangan Maria.
Kisah Yusuf adalah kisah yang kaya akan pelajaran tentang iman dalam ketidakpastian, ketaatan di tengah kebingungan, dan keadilan yang dibalut dengan belas kasihan. Ia adalah figur yang seringkali disebut sebagai "orang benar" namun menghadapi situasi yang paling tidak adil dalam hidupnya. Kisahnya tidak hanya relevan untuk memahami konteks kelahiran Yesus, tetapi juga untuk setiap kita yang pernah menghadapi dilema moral, keputusan sulit, atau penantian yang penuh tanda tanya dalam hidup.
Bacaan Injil: Matius 1:18-24
1:18 Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut: Pada waktu Maria, ibu-Nya, bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka hidup sebagai suami isteri.
1:19 Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam.
1:20 Tetapi ketika ia mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan tampak kepadanya dalam mimpi dan berkata: "Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus.
1:21 Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamai Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka."
1:22 Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi:
1:23 "Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamai Dia Imanuel" -- yang berarti: Allah menyertai kita.
1:24 Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu. Ia mengambil Maria sebagai isterinya,
1:25 tetapi tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki dan Yusuf menamai Dia Yesus.
Konteks Historis dan Budaya: Dunia Yusuf dan Maria
Untuk memahami sepenuhnya dilema Yusuf, penting untuk menempatkan diri kita dalam konteks budaya dan hukum Yudea abad pertama. Pertunangan pada zaman itu jauh lebih mengikat daripada pertunangan modern. Itu adalah perjanjian hukum yang sah, hampir setara dengan pernikahan itu sendiri, hanya saja belum diresmikan dengan upacara pernikahan dan dimulainya hidup bersama. Pembatalan pertunangan hanya bisa dilakukan melalui prosedur perceraian yang sah.
1. Makna Pertunangan Yahudi
Pertunangan (disebut kiddushin) pada masa itu adalah tahap pertama dari pernikahan, yang bisa berlangsung selama satu tahun. Selama periode ini, pasangan dianggap secara hukum sudah menikah, meskipun belum hidup bersama. Ini menjelaskan mengapa Matius menyebut Yusuf sebagai "suaminya" (ayat 19) meskipun mereka belum hidup bersama. Melanggar pertunangan ini sama dengan melakukan perceraian.
2. Skandal Kehamilan Maria
Ketika Maria ditemukan hamil "sebelum mereka hidup sebagai suami isteri," ini merupakan skandal besar. Dalam masyarakat Yahudi yang sangat menjunjung tinggi hukum dan moralitas, kehamilan sebelum pernikahan dianggap sebagai perzinahan, yang menurut Taurat (Ulangan 22:20-21) bisa dihukum mati melalui rajam. Meskipun pada abad pertama hukuman mati ini jarang diterapkan, seorang wanita yang hamil di luar nikah akan menghadapi aib sosial yang luar biasa dan pengucilan dari komunitasnya.
3. Dilema Yusuf sebagai "Orang yang Tulus Hati"
Ayat 19 Matius secara eksplisit menyatakan bahwa Yusuf adalah "seorang yang tulus hati" (dikaios dalam bahasa Yunani, yang berarti "adil" atau "benar"). Apa artinya ini dalam konteks dilemanya? Seorang yang tulus hati berarti ia adalah seseorang yang berusaha hidup sesuai dengan hukum Allah, yaitu Taurat. Menurut hukum Taurat, ia tidak bisa menikah dengan Maria yang diduga melakukan perzinahan.
- Ketaatan pada Hukum: Sebagai orang benar, Yusuf tahu ia tidak bisa melanjutkan pernikahan dengan Maria jika ia telah berzinah.
- Belas Kasihan: Namun, "tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum" menunjukkan sisi belas kasihan Yusuf. Jika ia menuntut perceraian publik, Maria akan menghadapi aib besar, bahkan mungkin risiko yang lebih buruk. Dengan menceraikannya secara diam-diam, Yusuf bermaksud melindungi Maria dari konsekuensi terburuk dari hukum yang ketat. Ini adalah tindakan keadilan yang dibalut dengan kasih dan pengorbanan diri, memilih jalan yang paling tidak menyakitkan bagi Maria dan dirinya sendiri, meskipun itu berarti menanggung beban kesedihan dan kebingungan secara pribadi.
Dilema Yusuf adalah pertarungan antara keadilan hukum dan kasih. Ia tidak ingin melanggar hukum, tetapi ia juga tidak ingin menghancurkan hidup Maria. Tindakan yang dipilihnya—menceraikannya secara diam-diam—mengungkapkan karakter mulianya yang luar biasa.
Intervensi Ilahi: Pesan dalam Mimpi
Dalam kebimbangan dan renungan Yusuf, Tuhan tidak membiarkannya sendirian. Allah campur tangan melalui malaikat-Nya dalam mimpi. Mimpi seringkali menjadi media komunikasi ilahi dalam Kitab Suci, terutama untuk menyampaikan pesan penting yang membutuhkan ketaatan dan keyakinan. Pesan malaikat kepada Yusuf adalah inti dari wahyu ilahi yang mengubah segalanya:
- "Yusuf, anak Daud": Ini adalah sapaan penting yang menegaskan garis keturunan kerajaan Yusuf. Sebagai keturunan Daud, ia adalah bagian dari janji Mesianik. Sapaan ini mengingatkan Yusuf akan posisinya dalam sejarah keselamatan dan rencana Allah.
- "Janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus": Ini adalah pengungkapan misteri terbesar dalam sejarah manusia—bahwa Yesus dikandung oleh Roh Kudus, bukan melalui hubungan manusia. Ini membebaskan Maria dari tuduhan perzinahan dan Yusuf dari dilema moralnya. Lebih dari itu, ini mengukuhkan keunikan dan keilahian pribadi yang akan dilahirkan.
- "Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamai Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka": Malaikat memberikan instruksi spesifik tentang nama Anak itu: Yesus (Yehoshua dalam bahasa Ibrani, yang berarti "YHWH menyelamatkan" atau "Tuhan adalah keselamatan"). Nama ini bukan sekadar identitas, tetapi juga misi dan tujuan-Nya: menyelamatkan umat-Nya dari dosa. Ini adalah inti Injil, kabar baik tentang penebusan.
Pesan ini tidak hanya mengakhiri penderitaan batin Yusuf, tetapi juga mengungkap rencana keselamatan Allah yang telah lama dinubuatkan. Yusuf diundang untuk menjadi bagian integral dari rencana ini, bukan sebagai ayah biologis, tetapi sebagai ayah adopsi yang sah, pelindung, dan penjaga Anak Allah.
Nubuat yang Tergenapi: Imanuel, Allah Menyertai Kita
Matius dengan sengaja menghubungkan peristiwa ini dengan nubuat Perjanjian Lama. Ia mengutip dari Yesaya 7:14: "Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamai Dia Imanuel" -- yang berarti: Allah menyertai kita.
- Penerapan Nubuat: Bagi pembaca Yahudi yang akrab dengan Kitab Suci mereka, kutipan ini adalah kunci untuk memahami bahwa kelahiran Yesus bukan peristiwa acak, melainkan puncak dari janji-janji ilahi yang telah diberikan berabad-abad sebelumnya. Matius secara konsisten menunjukkan bagaimana Yesus memenuhi nubuat-nubuat Perjanjian Lama, menegaskan identitas-Nya sebagai Mesias yang dijanjikan.
- Makna Imanuel: Nama "Imanuel" ("Allah menyertai kita") adalah salah satu janji paling menghibur dan mendalam dalam seluruh Alkitab. Ini bukan hanya tentang kehadiran Allah secara umum, tetapi tentang kehadiran-Nya yang nyata dan pribadi dalam Yesus Kristus. Dalam Inkarnasi, Allah mengambil rupa manusia, secara harfiah "menyertai kita" dalam wujud fisik, mengalami penderitaan, sukacita, dan realitas keberadaan manusia. Ini adalah jaminan bahwa kita tidak pernah sendirian, bahwa Allah memahami perjuangan kita karena Dia sendiri telah melaluinya.
Bagi Yusuf, memahami bahwa peristiwa aneh ini adalah penggenapan nubuat yang sakral pasti membawa kedamaian dan keyakinan yang mendalam. Ia tidak lagi menghadapi skandal, melainkan sebuah misteri ilahi yang agung.
Respon Ketaatan Yusuf: Sebuah Teladan Iman
Ayat 24-25 Matius menunjukkan respon Yusuf yang luar biasa: "Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu. Ia mengambil Maria sebagai isterinya, tetapi tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki dan Yusuf menamai Dia Yesus."
- Ketaatan Segera: Yusuf tidak menunda-nunda, tidak berdebat, tidak meragukan. Ia segera melakukan apa yang diperintahkan. Ini adalah tanda iman yang mendalam dan kepercayaan mutlak kepada Allah, bahkan ketika perintah itu bertentangan dengan logika manusia atau norma sosial. Ia mengesampingkan reputasinya sendiri dan kenyamanan pribadinya demi rencana ilahi.
- Perlindungan dan Pengorbanan: Dengan mengambil Maria sebagai istrinya, Yusuf memberikan perlindungan hukum dan sosial kepadanya dan kepada Anak yang akan lahir. Ia menerima peran sebagai ayah sah Yesus, meskipun bukan ayah biologis. Ini adalah tindakan pengorbanan yang besar, menerima tanggung jawab untuk melindungi dan memelihara Keluarga Kudus, menghadapi kemungkinan ejekan atau kesalahpahaman dari orang-orang sekitarnya.
- Kesucian Pernikahan: Ungkapan "tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki" menegaskan keperawanan Maria sebelum dan selama mengandung Yesus, sambil juga mengindikasikan bahwa setelah kelahiran Yesus, Yusuf dan Maria hidup dalam pernikahan yang normal. Ini menunjukkan penghormatan Yusuf terhadap kekudusan misteri Inkarnasi dan kesucian Maria sebagai Bunda Allah, bahkan dalam hubungan intim mereka sebagai suami-istri.
- Penamaan Yesus: Dengan menamai Anak itu "Yesus" sesuai instruksi malaikat, Yusuf sekali lagi menunjukkan ketaatannya dan perannya dalam mengesahkan identitas Mesias.
Ketaatan Yusuf bukan hanya pasif, tetapi aktif. Ia bertindak dengan tegas, menghadapi konsekuensi sosial, dan memikul tanggung jawab besar. Ia adalah teladan iman yang jarang berbicara, tetapi tindakannya berbicara lebih keras daripada kata-kata.
Refleksi Teologis: Peran Yusuf dalam Sejarah Keselamatan
Meskipun Alkitab tidak banyak mencatat perkataan Yusuf, tindakannya berbicara banyak tentang karakternya dan perannya yang krusial dalam rencana keselamatan Allah.
1. Yusuf, Pelindung dan Penjaga
Yusuf sering disebut sebagai "pelindung Gereja universal." Perannya dalam melindungi Maria dan Yesus dari bahaya (misalnya, melarikan diri ke Mesir dari Herodes) menunjukkan dedikasinya sebagai penjaga. Ia adalah wali yang dipercayakan untuk menjaga harta yang paling berharga di surga dan di bumi. Di sinilah letak teladannya bagi setiap kepala keluarga, bagi setiap pemimpin, bagi setiap orang yang dipanggil untuk melindungi yang lemah dan tak berdaya.
2. Teladan Ketaatan dalam Diam
Berbeda dengan Maria yang menyanyikan Magnificat atau Zakharia yang berbicara lagi setelah kelahirannya, Yusuf tetap diam dalam Injil. Namun, ketaatannya yang diam dan tanpa pamrih adalah sebuah khotbah tersendiri. Ini mengajarkan kita bahwa iman sejati seringkali tidak membutuhkan kata-kata besar, tetapi tindakan-tindakan kecil yang konsisten dalam ketaatan kepada kehendak Allah. Dalam keheningan, Yusuf mendengar suara Tuhan dan meresponsnya dengan segenap hati.
3. Keadilan dan Belas Kasihan
Kisah Yusuf menantang kita untuk merefleksikan definisi kita tentang "keadilan." Keadilan Yusuf bukanlah keadilan yang kaku dan menghukum, tetapi keadilan yang dibalut dengan belas kasihan dan kerahiman. Ia mencari cara untuk bertindak benar di hadapan hukum tanpa menghancurkan kehidupan seseorang. Ini adalah jenis keadilan yang Kristus sendiri akan ajarkan dan hidupi: mengutamakan kasih dan pengampunan daripada hukum yang letterlek.
4. Kerendahan Hati di Hadapan Misteri Ilahi
Yusuf menerima misteri yang tidak dapat dijelaskan secara rasional—kehamilan Maria oleh Roh Kudus—dengan kerendahan hati. Ia tidak berusaha memahami sepenuhnya, tetapi ia percaya. Dalam dunia yang menuntut penjelasan logis untuk segalanya, Yusuf mengingatkan kita bahwa ada misteri-misteri ilahi yang hanya dapat dijangkau melalui iman dan penyerahan diri.
Penerapan Praktis untuk Kehidupan Modern
Kisah Yusuf, meskipun terjadi ribuan tahun yang lalu, menawarkan pelajaran yang sangat relevan bagi kita di era modern ini.
1. Menghadapi Ketidakpastian dengan Iman
Kita semua menghadapi momen-momen ketidakpastian dalam hidup—diagnosis penyakit, kehilangan pekerjaan, masalah hubungan, keputusan besar yang tidak memiliki jawaban jelas. Seperti Yusuf, kita seringkali tidak mengerti "mengapa" atau "bagaimana" situasi tertentu terjadi. Kisah Yusuf mengajak kita untuk menunda penilaian, mencari bimbingan ilahi (melalui doa, Kitab Suci, komunitas iman), dan mempercayai bahwa Allah memiliki rencana yang lebih besar, bahkan ketika kita hanya melihat fragmennya.
2. Ketaatan dalam Tindakan Nyata
Iman bukanlah sekadar keyakinan intelektual, tetapi juga tindakan. Ketaatan Yusuf adalah ketaatan yang aktif, yang melibatkan perubahan rencana hidupnya, pengorbanan reputasinya, dan penerimaan tanggung jawab besar. Bagi kita, ketaatan ini bisa berarti:
- Mengikuti panggilan hati nurani yang terinspirasi Roh Kudus.
- Membuat pilihan yang sulit demi kebaikan orang lain, meskipun itu berarti merugikan diri sendiri.
- Berani mengambil risiko iman, melangkah keluar dari zona nyaman kita.
- Melakukan kebaikan kecil sehari-hari yang seringkali tidak terlihat atau diakui.
3. Belas Kasihan di Atas Penghakiman
Dalam masyarakat yang cenderung cepat menghakimi dan menuduh, Yusuf adalah teladan belas kasihan. Ia memilih untuk melindungi Maria dari aib publik, meskipun ia memiliki hak untuk mengeksposnya. Kita dipanggil untuk meniru belas kasihan ini dalam interaksi kita sehari-hari:
- Memberikan manfaat keraguan kepada orang lain.
- Menghindari gosip dan fitnah.
- Berusaha memahami latar belakang dan penderitaan orang lain sebelum menghakimi.
- Mencari cara untuk memulihkan dan mendukung, bukan menghukum dan mengucilkan.
4. Mendengarkan Suara Tuhan dalam Keheningan
Yusuf mendengar suara Tuhan dalam mimpi, dalam keheningan malam dan renungan hatinya. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, kita seringkali kesulitan menemukan waktu dan ruang untuk mendengarkan Tuhan. Kisah Yusuf adalah pengingat akan pentingnya:
- Doa hening dan meditasi.
- Membaca dan merenungkan Kitab Suci secara teratur.
- Memperhatikan "isyarat" atau "dorongan" yang mungkin datang dari Roh Kudus dalam hati kita.
- Memberi ruang bagi Allah untuk berbicara di tengah kesibukan kita.
5. Merangkul Peran Kita dalam Rencana Ilahi
Yusuf mungkin tidak pernah membayangkan dirinya akan menjadi bagian dari kisah terbesar sepanjang masa. Ia hanyalah seorang tukang kayu biasa. Namun, Allah memilihnya untuk peran yang sangat penting. Ini mengajarkan kita bahwa setiap kita, tidak peduli seberapa biasa atau tidak pentingnya kita merasa, memiliki peran unik dan berharga dalam rencana keselamatan Allah. Tugas kita adalah terbuka terhadap panggilan itu dan meresponsnya dengan ketaatan.
Yusuf dan Spiritualitas Adven
Dalam masa Adven, Yusuf adalah model yang sempurna untuk semangat penantian yang aktif. Penantian Adven bukanlah penantian yang pasif, duduk diam dan tidak melakukan apa-apa. Sebaliknya, itu adalah penantian yang penuh harapan, yang melibatkan persiapan hati, pertobatan, dan ketaatan. Yusuf menantikan kelahiran Yesus bukan dengan kebingungan atau kemarahan, tetapi dengan iman, meskipun ia tidak memahami segalanya pada awalnya.
Ia menantikan penggenapan janji Allah, dan ia bersedia menjadi instrumen dari janji tersebut, bahkan jika itu berarti mengesampingkan pemahaman dan rencana pribadinya. Spiritualitas Adven yang Yusuf ajarkan kepada kita adalah:
- Penantian yang Berlandaskan Iman: Kepercayaan bahwa Allah setia pada janji-Nya, bahkan ketika keadaan tampak tidak mungkin.
- Persiapan yang Berlandaskan Ketaatan: Kesediaan untuk melakukan apa pun yang Allah minta, bahkan jika itu sulit atau tidak populer.
- Harapan yang Berlandaskan Kasih: Keyakinan bahwa Allah adalah kasih, dan rencana-Nya selalu untuk kebaikan kita dan keselamatan dunia.
Melalui kisah Yusuf, kita diajak untuk melihat masa Adven bukan hanya sebagai waktu untuk mengingat kedatangan Yesus di masa lalu, tetapi juga untuk mempersiapkan kedatangan-Nya di masa kini dan masa depan dalam hidup kita. Ini adalah panggilan untuk membuka hati kita lebih lebar lagi bagi "Imanuel," Allah yang menyertai kita.
Relasi dengan Perjanjian Lama dan Seluruh Kisah Keselamatan
Matius secara sengaja menempatkan kisah Yusuf dalam konteks narasi yang lebih luas tentang sejarah keselamatan, terutama melalui silsilah Yesus dan penggenapan nubuat. Silsilah di awal Injil Matius (Matius 1:1-17) dengan jelas menetapkan Yesus sebagai keturunan Daud dan Abraham, memenuhi janji-janji perjanjian Allah. Yusuf, sebagai "anak Daud," adalah jembatan yang menghubungkan Yesus dengan garis keturunan kerajaan ini, bahkan jika ia bukan ayah biologisnya.
Penggenapan nubuat Yesaya 7:14 adalah contoh sempurna bagaimana Perjanjian Lama menunjuk kepada Kristus. Ini bukan satu-satunya nubuat yang digenapi dalam kelahiran Yesus, tetapi merupakan salah satu yang paling sentral. Konsep "Imanuel" (Allah menyertai kita) adalah inti dari seluruh narasi alkitabiah, dimulai dari Allah yang berjalan di Taman Eden, melalui kehadiran-Nya dalam kemah suci dan Bait Allah, hingga puncak Inkarnasi. Yesus adalah puncak dari semua cara Allah telah berusaha untuk "menyertai" umat-Nya.
Dengan demikian, kisah Yusuf bukan hanya tentang seorang pria dan dilemanya, tetapi juga tentang cara Allah bekerja dalam sejarah, menggunakan individu-individu biasa untuk tujuan ilahi yang luar biasa, dan secara bertahap mengungkapkan rencana-Nya untuk menebus umat manusia dari dosa mereka melalui Anak-Nya, Yesus Kristus.
Makna Nama "Yesus" dan "Imanuel"
Dua nama yang diberikan dalam bacaan ini, Yesus dan Imanuel, adalah inti teologis dari keseluruhan kisah kelahiran. Masing-masing nama mengungkapkan aspek fundamental dari identitas dan misi Kristus.
1. Yesus (Yehoshua): Allah Menyelamatkan
Nama "Yesus" bukan sekadar nama pribadi, melainkan sebuah pernyataan misi. Seperti yang dikatakan malaikat, "karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka." Di sini, Matius langsung mengarahkan pembacanya pada esensi misi Kristus: penebusan dosa. Ini bukan tentang keselamatan dari musuh politik atau kesulitan material, tetapi dari akar masalah umat manusia—dosa.
- Keselamatan Universal: "Umat-Nya" dalam konteks ini awalnya merujuk pada Israel, tetapi dalam Injil, secara progresif dipahami untuk mencakup semua orang yang percaya kepada-Nya, tanpa memandang latar belakang etnis.
- Fokus pada Dosa: Penekanan pada "dosa mereka" menggarisbawahi realitas fundamental yang dihadapi manusia: keterasingan dari Allah karena dosa. Yesus datang untuk menjembatani jurang ini, untuk membayar harga dosa, dan untuk menawarkan jalan rekonsiliasi.
- Kuasa Nama: Nama Yesus menjadi pusat iman Kristen, nama di atas segala nama, yang melalui-Nya keselamatan ditawarkan kepada dunia.
2. Imanuel: Allah Menyertai Kita
Nama "Imanuel" melengkapi "Yesus" dengan cara yang sempurna. Jika Yesus adalah tentang apa yang dilakukan Allah (menyelamatkan), Imanuel adalah tentang siapa Allah dalam hubungan-Nya dengan kita (menyertai).
- Kehadiran Allah yang Nyata: Ini menegaskan bahwa dalam Yesus, Allah tidak hanya bertindak dari jauh, tetapi secara aktif hadir, dalam bentuk manusia, di tengah-tengah umat-Nya. Ini adalah puncak janji-janji Perjanjian Lama tentang kehadiran Allah yang kudus di antara umat-Nya (misalnya, Kemah Suci, Bait Allah).
- Jaminan dan Penghiburan: "Allah menyertai kita" adalah sumber penghiburan yang tak terbatas, terutama dalam menghadapi kesulitan, kesendirian, atau ketakutan. Yusuf sendiri mengalami keberadaan "Imanuel" dalam mimpinya, di mana Allah campur tangan untuk menghilangkan ketakutannya dan membimbingnya.
- Landasan Injil: Bersama-sama, Yesus dan Imanuel membentuk inti Injil: Allah telah datang di tengah-tengah kita, dan Dia telah datang untuk menyelamatkan kita. Ini adalah kabar baik yang mendefinisikan iman Kristen.
Kedua nama ini, yang diungkapkan kepada Yusuf, adalah fondasi untuk memahami identitas dan misi Kristus, dan menjadi cahaya bagi kita dalam perjalanan iman kita.
Kesimpulan: Cahaya Harapan di Tengah Penantian
Kisah Yusuf dalam Injil Matius adalah sebuah permata dalam narasi Adven, sebuah kisah tentang iman, ketaatan, dan penyerahan diri kepada rencana ilahi. Di tengah kebingungan dan dilema, Yusuf menunjukkan keadilan yang dibalut belas kasihan, dan yang terpenting, ketaatan yang tulus pada suara Tuhan.
Melalui responsnya, Yusuf menjadi instrumen kunci dalam menggenapi nubuat dan melindungi Keluarga Kudus, mempersiapkan jalan bagi kelahiran Sang Juruselamat, Yesus, yang adalah Imanuel—Allah yang menyertai kita. Kisahnya mengajarkan kita bahwa penantian yang penuh harapan tidak selalu bebas dari tantangan atau ketidakpastian. Seringkali, justru di dalam kegelapan ketidakpahamanlah, cahaya iman dan bimbingan ilahi bersinar paling terang.
Marilah kita, dalam semangat Adven ini, meneladani Yusuf. Semoga kita berani menghadapi ketidakpastian dengan iman, mendengarkan bisikan Tuhan dalam keheningan hati kita, dan dengan rendah hati menaati panggilan-Nya, mengetahui bahwa dalam setiap langkah, Allah Imanuel menyertai kita, menyelamatkan kita, dan membimbing kita menuju terang harapan yang abadi.