Renungan Mendalam: Ketaatan dan Tanggung Jawab Warga Kristen dalam Roma 13:1-7

Surat Paulus kepada Jemaat di Roma adalah salah satu mahakarya teologis terbesar dalam Perjanjian Baru. Di dalamnya, Rasul Paulus dengan brilian menguraikan doktrin keselamatan melalui anugerah Allah dalam Yesus Kristus, kebenaran Allah, dan implikasi praktis dari kehidupan yang diubahkan oleh Injil. Saat kita bergerak dari pembahasan doktrin yang mendalam di pasal-pasal awal ke aplikasi praktis kehidupan Kristen, kita menemukan pasal 13 yang menyajikan sebuah bagian yang sering kali menjadi perdebatan dan interpretasi yang beragam: kewajiban orang percaya terhadap pemerintah atau otoritas yang berkuasa. Ayat 1 hingga 7 dari Roma pasal 13 ini menantang kita untuk merenungkan kembali posisi kita sebagai warga negara Kerajaan Allah yang juga adalah warga negara di dunia ini, dengan segala tanggung jawab dan implikasinya.

Pertanyaan tentang bagaimana seharusnya seorang Kristen berinteraksi dengan struktur kekuasaan duniawi bukanlah hal baru. Sepanjang sejarah, orang percaya telah menghadapi dilema ini, terutama ketika pemerintah bertindak tidak adil, represif, atau bahkan bertentangan langsung dengan ajaran Kristus. Namun, melalui bimbingan Roh Kudus, Paulus memberikan prinsip-prinsip fundamental yang tetap relevan hingga saat ini, mengajak kita untuk melihat otoritas pemerintah bukan hanya sebagai fenomena sosiologis atau politis, melainkan sebagai bagian dari rencana ilahi yang lebih besar. Mari kita selami setiap ayat dalam perikop yang penuh makna ini untuk menggali hikmat dan penerapannya bagi kehidupan kita sebagai pengikut Kristus di tengah masyarakat.

Simbol Ketaatan dan Keadilan Ilahi Ketaatan & Keadilan di Bawah Tuhan
Ilustrasi simbolis yang menggambarkan ketaatan kepada otoritas yang ditetapkan Allah dan prinsip keadilan dalam masyarakat.

Konteks Surat Roma dan Latar Belakang Sejarah

Untuk memahami sepenuhnya pesan dalam Roma 13:1-7, penting untuk melihatnya dalam konteks seluruh surat Roma dan situasi historis pada saat Paulus menulisnya. Surat ini ditulis sekitar tahun 57-58 M dari Korintus, ditujukan kepada jemaat di Roma, yang terdiri dari orang Yahudi dan non-Yahudi (Gentile). Jemaat ini berada di pusat Kekaisaran Romawi, sebuah kekuasaan yang terkenal dengan kekuatannya, sistem hukumnya, namun juga penindasan dan penyembahan berhala.

Jemaat Kristen di Roma

Jemaat di Roma mungkin telah mengalami ketegangan internal antara anggota Yahudi dan Gentile, serta tantangan eksternal dari masyarakat Romawi yang pagan. Ada kemungkinan bahwa orang Kristen, yang setia kepada "raja lain" (Yesus), mungkin dianggap subversif atau tidak setia kepada Kaisar. Ingatlah bahwa Kaisar seringkali dipuja sebagai dewa, dan penolakan orang Kristen untuk berpartisipasi dalam kultus Kaisar bisa menyebabkan konflik serius. Dalam konteks ini, nasihat Paulus tentang ketaatan kepada pemerintah sangatlah relevan dan penting untuk kelangsungan hidup jemaat.

Relasi Kekristenan dan Negara

Secara umum, orang Yahudi di Kekaisaran Romawi memiliki hak istimewa tertentu dan diizinkan untuk tidak menyembah Kaisar, karena agama mereka adalah agama kuno dan diakui. Namun, Kekristenan, yang awalnya muncul dari Yudaisme, mulai dipandang sebagai sekte baru yang seringkali disalahpahami. Tuduhan terhadap orang Kristen bervariasi, mulai dari ateisme (karena mereka tidak menyembah dewa-dewi Romawi) hingga kanibalisme (salah paham terhadap perjamuan kudus). Oleh karena itu, Paulus perlu menasihati jemaat agar hidup sedemikian rupa sehingga tidak memberikan alasan bagi otoritas Romawi untuk menindas mereka, kecuali memang karena iman mereka.

Alur Teologis Surat Roma

Roma 13 tidak bisa dipisahkan dari pasal-pasal sebelumnya. Dimulai dengan kehancuran manusia dalam dosa (Rm 1-3), kebenaran melalui iman dalam Kristus (Rm 3-5), hidup baru dalam Roh (Rm 6-8), dan misteri rencana Allah bagi Israel (Rm 9-11). Pasal 12 memulai bagian praktis surat ini, mengajak orang percaya untuk mempersembahkan tubuh mereka sebagai persembahan yang hidup, memperbarui akal budi mereka, dan hidup dalam kasih. Nasihat untuk tunduk kepada pemerintah di Roma 13 adalah kelanjutan logis dari panggilan untuk hidup secara radikal sesuai dengan Injil, yang mencakup hubungan yang benar dengan sesama manusia, termasuk mereka yang memegang kekuasaan.

Analisis Ayat Demi Ayat Roma 13:1-7

Roma 13:1 - "Setiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah."

Ayat pembuka ini adalah fondasi dari seluruh perikop. Paulus dengan tegas menyatakan bahwa setiap individu, termasuk orang percaya, harus "takluk" atau "tunduk" (Yunani: hypotassō) kepada otoritas yang lebih tinggi. Kata hypotassō berarti menempatkan diri di bawah, mengorganisir diri di bawah, atau mematuhi. Ini bukan sekadar kepatuhan pasif, tetapi penempatan diri yang disengaja dalam hierarki yang ada.

Asal Usul Otoritas Ilahi

Kunci dari argumen Paulus adalah klaim bahwa "tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah." Pernyataan ini sangat kuat dan seringkali menjadi batu sandungan. Apakah ini berarti setiap penguasa, bahkan yang tiran sekalipun, telah ditetapkan oleh Allah? Penafsiran yang paling umum adalah bahwa Allah memang mendirikan prinsip otoritas dan pemerintahan itu sendiri. Allah adalah Allah keteraturan, bukan kekacauan. Pemerintah, pada dasarnya, adalah alat yang Allah gunakan untuk menjaga keteraturan dalam masyarakat manusia yang jatuh. Ini tidak selalu berarti bahwa Allah secara pribadi "memilih" setiap pemimpin individual, tetapi bahwa struktur pemerintahan itu sendiri adalah hasil dari penetapan ilahi.

Bahkan ketika seorang pemimpin bertindak jahat, mereka masih berada dalam parameter otoritas yang telah Allah izinkan ada. Sejarah Alkitab penuh dengan contoh-contoh bagaimana Allah menggunakan pemimpin-pemimpin sekuler, bahkan yang pagan seperti Raja Koresy dari Persia (Yesaya 45:1), untuk melaksanakan kehendak-Nya. Oleh karena itu, ketaatan kepada pemerintah adalah ketaatan kepada prinsip yang Allah tetapkan, yaitu keberadaan otoritas yang menjaga hukum dan ketertiban. Ini bukan ketaatan buta kepada setiap perintah, tetapi pengakuan terhadap asal usul dan tujuan dasar lembaga tersebut.

Pengajaran ini menegaskan bahwa kekristenan bukanlah agama yang anarkis atau subversif terhadap tatanan sosial yang sah. Sebaliknya, kekristenan menyerukan tanggung jawab sipil yang tinggi, yang berakar pada pandangan teologis tentang otoritas.

Roma 13:2 - "Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah; dan siapa yang melawan ketetapan itu, akan mendatangkan hukuman atas dirinya."

Ayat ini berfungsi sebagai peringatan serius dan konsekuensi logis dari ayat 1. Jika pemerintah ditetapkan oleh Allah, maka melawan pemerintah berarti melawan "ketetapan Allah" (Yunani: diatagē, yaitu perintah atau pengaturan ilahi). Penolakan terhadap otoritas yang sah akan membawa "hukuman" (Yunani: krima, yaitu penghakiman atau putusan hukum) atas individu tersebut.

Konsekuensi Pemberontakan

Hukuman ini dapat memiliki dua dimensi: yang pertama adalah hukuman dari pemerintah itu sendiri (penjara, denda, bahkan kematian), dan yang kedua, bisa jadi hukuman dari Allah sendiri karena telah menentang tatanan yang Dia izinkan. Ini menekankan pentingnya bagi orang Kristen untuk menjadi warga negara yang teladan, tidak menimbulkan masalah yang tidak perlu. Paulus tidak berbicara tentang situasi di mana pemerintah memerintahkan kita untuk melanggar hukum Allah (kita akan membahas ini nanti), tetapi tentang penolakan terhadap struktur otoritas yang menjaga keteraturan umum.

Nasihat ini sangat relevan bagi jemaat di Roma yang hidup di bawah pemerintahan yang kuat dan kadang-kadang brutal. Paulus ingin mereka memahami bahwa sikap memberontak atau anarkis tidak hanya membahayakan diri mereka sendiri tetapi juga merusak kesaksian Injil. Orang Kristen harus dikenal sebagai pembawa damai dan penurut hukum, sejauh mungkin.

Pesan ini juga mengingatkan kita pada perintah Kristus untuk "berikan kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar, dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah" (Matius 22:21). Ada ranah ketaatan yang berbeda, tetapi ketaatan kepada pemerintah yang sah adalah bagian dari kewajiban kita di bumi.

Roma 13:3 - "Sebab jika seorang berbuat baik, ia tidak usah takut kepada pemerintah, melainkan jika ia berbuat jahat. Maukah kamu tidak takut terhadap pemerintah? Perbuatlah apa yang baik, maka kamu akan beroleh pujian daripadanya."

Ayat ini menjelaskan fungsi dasar pemerintah: untuk mendukung kebaikan dan menghukum kejahatan. Pemerintah yang berfungsi dengan baik tidak akan menjadi ancaman bagi warga negara yang taat hukum. Sebaliknya, ia akan menjadi ancaman bagi mereka yang melakukan kejahatan.

Tujuan Pemerintah: Penjaga Keadilan

Paulus berargumen bahwa pemerintah, idealnya, adalah agen kebaikan. Jika seseorang melakukan hal yang "baik," mereka tidak perlu takut. Namun, jika mereka melakukan hal yang "jahat," ketakutan itu beralasan karena pemerintah memiliki kuasa untuk menghukum. Ini menunjukkan pandangan optimis Paulus tentang peran pemerintah – sebagai penjaga ketertiban moral. Meskipun kita tahu dari pengalaman sejarah bahwa pemerintah seringkali menyimpang dari peran ideal ini, Paulus di sini menetapkan standar ilahi untuk apa seharusnya pemerintah itu.

Implikasinya bagi orang Kristen adalah jelas: hiduplah dengan cara yang memuliakan Allah, dan dengan demikian, Anda akan cenderung menghindari konflik dengan pemerintah. Kehidupan yang saleh seharusnya secara alami selaras dengan hukum sipil yang baik. Ketika orang Kristen hidup dengan jujur, adil, dan bertanggung jawab, mereka tidak hanya menghindari hukuman tetapi bahkan dapat "memperoleh pujian" dari pemerintah, seperti yang Yesus katakan dalam Matius 5:16: "Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga."

Roma 13:4 - "Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma ia menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat."

Ayat ini memperkuat dan memperdalam pemahaman kita tentang peran pemerintah, menyebutnya "hamba Allah" (Yunani: diakonos Theou). Kata diakonos adalah kata yang sama yang digunakan untuk "pelayan" atau "diakon" dalam gereja. Ini menunjukkan bahwa pemerintah, dalam kapasitasnya, melayani tujuan ilahi.

Pemerintah sebagai Hamba Allah dan Pembawa Pedang

Pemerintah adalah alat di tangan Allah "untuk kebaikanmu." Ini adalah tujuan utama yang diamanatkan Allah kepada pemerintah. Namun, ada sisi lain: jika seseorang berbuat jahat, mereka harus takut, karena pemerintah "tidak percuma ia menyandang pedang." "Pedang" di sini secara metaforis mewakili hak pemerintah untuk menggunakan kekerasan, termasuk hukuman mati, untuk menjaga ketertiban dan menegakkan keadilan. Ini adalah pengakuan akan legitimasi penggunaan kekuatan oleh negara.

Lebih jauh, pemerintah disebut "hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat." Ini adalah pernyataan yang mengejutkan. Allah yang maha kasih juga adalah Allah yang adil, yang murka-Nya dinyatakan terhadap segala kefasikan dan kelaliman manusia (Roma 1:18). Dalam masyarakat yang ideal, pemerintah menjadi agen ilahi untuk mewujudkan keadilan ini di bumi, menahan kejahatan agar masyarakat dapat hidup dalam kedamaian. Ini adalah prinsip yang mendasari sistem hukum dan peradilan, di mana hukuman untuk kejahatan dilihat sebagai manifestasi dari keadilan ilahi melalui tangan manusia.

Ini tidak berarti bahwa setiap tindakan pemerintah adalah kehendak sempurna Allah, tetapi bahwa fungsi dasar penegakan hukum dan keadilan adalah mandat ilahi. Orang Kristen harus menghargai peran ini, bahkan jika kadang-kadang pelaksanaannya tidak sempurna.

Roma 13:5 - "Sebab itu perlu untuk takluk, bukan saja oleh karena hukuman, tetapi juga oleh karena hati nurani."

Paulus menjelaskan dua alasan utama mengapa orang percaya harus tunduk kepada pemerintah: yang pertama adalah pragmatis ("oleh karena hukuman"), dan yang kedua adalah etis-spiritual ("oleh karena hati nurani").

Ketaatan karena Hukuman dan Hati Nurani

Alasan "oleh karena hukuman" berarti kita tunduk untuk menghindari konsekuensi negatif yang dapat ditimbulkan oleh pemerintah jika kita melanggar hukum. Ini adalah motivasi yang realistis dan praktis. Namun, Paulus tidak berhenti di situ. Ia mengangkat ketaatan kita ke tingkat yang lebih tinggi: "oleh karena hati nurani." Ini berarti ketaatan kita tidak hanya didorong oleh rasa takut akan hukuman eksternal, tetapi oleh keyakinan internal bahwa tindakan tersebut benar di hadapan Allah.

Hati nurani yang telah dibersihkan dan diubahkan oleh Injil akan menuntun kita untuk melakukan apa yang benar, bahkan ketika tidak ada ancaman hukuman. Ketaatan yang sejati bagi orang Kristen berasal dari prinsip internal, dari kesadaran bahwa dengan tunduk kepada otoritas yang ditetapkan Allah, kita pada dasarnya sedang menghormati Allah sendiri. Ini adalah ketaatan yang didorong oleh kasih kepada Allah dan sesama, bukan hanya oleh paksaan.

Konsep hati nurani ini sangat penting karena menunjukkan bahwa ketaatan Kristen bukanlah ketaatan buta. Ini adalah ketaatan yang penuh kesadaran dan pertimbangan, yang timbul dari prinsip moral dan spiritual yang mendalam.

Roma 13:6 - "Itulah juga sebabnya maka kamu membayar pajak. Karena mereka adalah pelayan-pelayan Allah yang mengurus hal itu."

Ayat ini memberikan contoh konkret dari ketaatan kepada pemerintah: membayar pajak. Bagi orang-orang di Roma pada waktu itu, pajak adalah bagian yang signifikan dari kehidupan mereka, dan seringkali merupakan sumber ketidakpuasan dan bahkan pemberontakan.

Pajak sebagai Kewajiban Ilahi

Paulus dengan jelas menyatakan bahwa pembayaran pajak adalah bagian dari tanggung jawab Kristen. Alasannya lagi-lagi teologis: "Karena mereka adalah pelayan-pelayan Allah yang mengurus hal itu." Para pemungut pajak dan pejabat pemerintah yang mengelola keuangan publik dipandang sebagai "pelayan-pelayan Allah" (Yunani: leitourgoi Theou), yang secara harfiah berarti "pelayan publik Allah" atau "mereka yang melaksanakan pelayanan publik bagi Allah." Ini menggarisbawahi gagasan bahwa pekerjaan mereka, meskipun sekuler, memiliki dimensi ilahi.

Pembayaran pajak memungkinkan pemerintah untuk menjalankan fungsinya: menjaga ketertiban, menyediakan infrastruktur, dan melindungi warga negara. Dengan membayar pajak, orang Kristen mendukung pelayanan yang Allah telah tetapkan untuk kebaikan masyarakat. Yesus sendiri memberikan contoh ini ketika Dia menyuruh Petrus untuk membayar pajak bait Allah (Matius 17:24-27) dan ketika Dia berkata, "Berikan kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar" (Matius 22:21), yang secara langsung mengacu pada pajak.

Implikasinya jelas: penghindaran pajak atau kecurangan dalam pembayaran pajak oleh orang Kristen adalah pelanggaran terhadap perintah Alkitab ini, karena itu berarti tidak mendukung "pelayan-pelayan Allah" dalam menjalankan tugas mereka.

Roma 13:7 - "Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat."

Ayat terakhir dalam perikop ini merangkum prinsip ketaatan sipil dengan memberikan daftar spesifik tentang apa yang harus "dibayar" atau "diberikan" kepada otoritas.

Kewajiban Menyeluruh: Pajak, Cukai, Takut, dan Hormat

Paulus memulai dengan dua bentuk pembayaran finansial: "pajak" (Yunani: phoros, pajak tanah atau pajak kepala) dan "cukai" (Yunani: telos, bea atau pungutan atas barang dagangan). Ini mengulangi dan memperluas poin dari ayat sebelumnya, menekankan kewajiban finansial kita sebagai warga negara.

Kemudian, ia beralih ke dua bentuk penghargaan non-finansial: "rasa takut" (Yunani: phobos) dan "hormat" (Yunani: timē). "Rasa takut" di sini tidak berarti ketakutan yang melumpuhkan, tetapi rasa hormat yang mendalam dan kagum terhadap otoritas yang dipegang oleh pemerintah, sebuah pengakuan akan kekuasaan mereka untuk menghukum. Ini adalah rasa takut akan konsekuensi melanggar hukum, dan rasa hormat yang mendalam terhadap institusi itu sendiri.

Sementara itu, "hormat" adalah pengakuan atas kehormatan dan martabat yang melekat pada posisi otoritas, terlepas dari karakter pribadi individu yang memegang jabatan tersebut. Ini adalah sikap respek yang layak diberikan kepada mereka yang memikul tanggung jawab kepemimpinan. Ini berarti berbicara dan berperilaku terhadap pejabat pemerintah dengan cara yang menunjukkan pengakuan akan posisi mereka, bahkan jika kita mungkin tidak setuju dengan kebijakan atau keputusan mereka.

Pesan dari ayat ini adalah bahwa orang Kristen harus menjadi warga negara teladan yang memenuhi semua kewajiban mereka, baik finansial maupun sosial, terhadap otoritas sipil. Ini mencerminkan etika Kerajaan Allah yang memanggil kita untuk hidup secara bertanggung jawab dan bermartabat di dunia ini.

Implikasi Teologis dan Penerapan Modern

Perikop Roma 13:1-7 telah menjadi dasar bagi banyak diskusi teologis dan etika politik Kristen. Implikasinya meluas ke berbagai aspek kehidupan kita sebagai orang percaya di dunia modern.

Otoritas Ilahi di Balik Otoritas Manusia

Salah satu implikasi paling mendasar adalah bahwa semua otoritas manusia, pada akhirnya, berasal dari Allah. Ini tidak berarti bahwa Allah menyetujui setiap tindakan tiranis atau korup yang dilakukan oleh pemerintah. Sebaliknya, ini menegaskan bahwa prinsip otoritas itu sendiri ditetapkan oleh Allah untuk kebaikan manusia. Pemerintah, bahkan yang tidak mengakui Allah, dapat tanpa sadar memenuhi tujuan Allah dalam menjaga ketertiban, menahan kejahatan, dan memberikan stabilitas.

Ini memanggil orang Kristen untuk memiliki perspektif yang lebih tinggi terhadap pemerintah. Daripada melihat pemerintah hanya sebagai entitas sekuler atau bahkan antagonistik, kita harus melihatnya sebagai institusi yang Allah izinkan keberadaannya. Pandangan ini seharusnya mendorong kita untuk berdoa bagi para pemimpin (1 Timotius 2:1-2) dan mencari cara untuk menjadi agen kebaikan dalam masyarakat.

Ketaatan yang Bertanggung Jawab dan Tidak Absolut

Meskipun Paulus menyerukan ketaatan, penting untuk dicatat bahwa ketaatan ini bukanlah absolut. Para teolog dan ahli Alkitab secara luas sepakat bahwa ada batasan untuk ketaatan sipil Kristen. Batas utama adalah ketika perintah pemerintah secara langsung bertentangan dengan perintah Allah. Kisah-kisah seperti Daniel yang menolak untuk menyembah patung raja (Daniel 3, 6), dan Petrus yang menyatakan, "Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia" (Kisah Para Rasul 5:29), memberikan contoh yang jelas.

Oleh karena itu, ketaatan yang diajarkan dalam Roma 13 adalah ketaatan yang bertanggung jawab, yang selalu diatur oleh ketaatan tertinggi kita kepada Allah. Jika pemerintah memerintahkan kita untuk berdosa, kita harus menolak, tetapi penolakan itu harus dilakukan dengan hormat, tanpa pemberontakan anarkis, dan bersedia menanggung konsekuensinya, seperti yang dilakukan para rasul.

Peran Gereja dalam Masyarakat

Roma 13 juga membantu mendefinisikan peran gereja dalam masyarakat. Gereja dipanggil untuk menjadi "garam dan terang dunia" (Matius 5:13-16), bukan untuk menggulingkan pemerintah, tetapi untuk menginspirasi transformasi moral dan spiritual yang memengaruhi seluruh masyarakat. Dengan hidup saleh, adil, dan bertanggung jawab, orang Kristen menjadi contoh bagaimana warga negara seharusnya bertindak.

Gereja juga memiliki peran kenabian, yang berarti bersuara ketika pemerintah menyimpang dari peran ilahinya dan melakukan ketidakadilan. Ini bukan untuk menggantikan pemerintah, tetapi untuk mengingatkannya akan tanggung jawabnya kepada keadilan ilahi. Ini adalah keseimbangan yang halus antara ketaatan dan kritik konstruktif, yang selalu didorong oleh kasih dan keinginan untuk kebaikan.

Mengatasi Kesalahpahaman

Beberapa kesalahpahaman umum tentang Roma 13 meliputi: pandangan bahwa setiap tindakan pemerintah selalu benar dan harus didukung; atau sebaliknya, pandangan bahwa karena pemerintah dapat korup, maka tidak ada kewajiban untuk tunduk sama sekali. Paulus menghindari kedua ekstrem ini. Dia menegaskan otoritas ilahi dari lembaga pemerintah sambil juga menyerukan ketaatan yang didasarkan pada hati nurani yang selaras dengan kehendak Allah. Pemahaman yang seimbang ini sangat penting untuk penerapan yang benar dalam kehidupan modern yang kompleks.

Misalnya, dalam masyarakat demokratis, ketaatan dapat berarti berpartisipasi dalam proses politik—memilih, mengadvokasi kebijakan yang adil, dan bahkan berunjuk rasa damai—sebagai cara untuk memengaruhi pemerintah agar lebih sesuai dengan tujuan ilahinya. Ini bukan pemberontakan, melainkan partisipasi yang bertanggung jawab dalam sistem yang ada.

Tantangan dan Keseimbangan dalam Menerapkan Roma 13

Menerapkan Roma 13:1-7 di dunia modern menghadirkan sejumlah tantangan yang signifikan. Dunia kita jauh lebih kompleks daripada Kekaisaran Romawi abad pertama, dengan berbagai sistem pemerintahan, isu-isu global, dan realitas sosial yang beragam.

Ketika Pemerintah Melenceng dari Tujuan Ilahi

Tantangan terbesar muncul ketika pemerintah jelas-jelas menyimpang dari tujuan yang Allah tetapkan—ketika ia menjadi korup, menindas, tidak adil, atau bahkan tiran. Apakah orang Kristen masih harus tunduk dalam situasi seperti ini? Sebagaimana dibahas sebelumnya, para teolog umumnya sepakat bahwa ada batasan. Ketaatan kepada Allah selalu lebih utama daripada ketaatan kepada manusia. Namun, bagaimana dan kapan batasan ini diwujudkan merupakan persoalan yang membutuhkan hikmat, doa, dan discernment yang serius.

Melawan otoritas yang melenceng bukanlah panggilan untuk anarki. Sebaliknya, hal itu sering kali membutuhkan bentuk-bentuk perlawanan yang damai, seperti pembangkangan sipil tanpa kekerasan yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Mahatma Gandhi atau Martin Luther King Jr., yang keduanya terinspirasi oleh prinsip-prinsip Kristen. Bentuk perlawanan ini, ketika dilakukan dengan integritas dan kemauan untuk menanggung konsekuensinya, dapat menjadi bentuk ketaatan yang lebih tinggi kepada keadilan ilahi.

Ini bukan tentang menggulingkan pemerintahan secara sewenang-wenang, tetapi tentang menolak untuk berpartisipasi dalam atau mendukung kejahatan yang diperintahkan oleh pemerintah, sementara tetap menunjukkan rasa hormat terhadap institusi itu sendiri sejauh mungkin. Pemisahan yang hati-hati antara institusi dan tindakan individu atau rezim tertentu sangat penting di sini.

Kewajiban Warga Negara dalam Demokrasi

Dalam sistem demokrasi, di mana "rakyat adalah penguasa," konsep ketaatan kepada pemerintah mengambil dimensi tambahan. Warga negara tidak hanya diharapkan untuk tunduk pada hukum tetapi juga untuk berpartisipasi dalam pembentukan hukum tersebut. Oleh karena itu, bagi orang Kristen di negara demokratis, ketaatan juga mencakup tanggung jawab untuk:

  • Memilih secara bertanggung jawab: Memberikan suara berdasarkan hati nurani yang diterangi Alkitab, mendukung kandidat atau kebijakan yang paling selaras dengan nilai-nilai Kerajaan Allah.
  • Berpartisipasi dalam kehidupan sipil: Terlibat dalam forum publik, menyuarakan keprihatinan, dan mengadvokasi keadilan dan kebenaran.
  • Membayar pajak dengan jujur: Seperti yang ditekankan oleh Paulus, ini adalah bagian dari dukungan kita terhadap "pelayan-pelayan Allah."
  • Menjadi teladan: Hidup sebagai warga negara yang jujur, etis, dan bertanggung jawab, mencerminkan karakter Kristus dalam semua interaksi sipil.

Partisipasi ini bukanlah upaya untuk mendominasi politik, tetapi untuk menjadi garam dan terang di tengah masyarakat, memengaruhi sistem agar lebih mencerminkan keadilan dan kasih Allah.

Ketegangan antara Ketaatan dan Keadilan

Salah satu ketegangan yang paling menantang dalam Roma 13 adalah bagaimana menyeimbangkan ketaatan kepada pemerintah dengan panggilan untuk mengejar keadilan. Paulus menulis dalam konteks di mana pemerintah Romawi, meskipun menyediakan tatanan, juga adalah penindas yang kejam bagi banyak orang dan mempraktikkan perbudakan. Bagaimana mungkin Allah menetapkan pemerintah yang melakukan hal-hal semacam itu?

Jawabannya terletak pada pemahaman bahwa Allah menetapkan institusi pemerintah sebagai prinsip, bukan bahwa setiap pemerintah sempurna atau setiap tindakannya adalah kehendak Allah. Peran pemerintah adalah untuk membatasi kejahatan dan mendorong kebaikan. Ketika pemerintah gagal dalam peran ini, orang percaya memiliki tanggung jawab moral untuk bersuara dan, jika perlu, menolak untuk bekerja sama dengan ketidakadilan, sambil tetap mempertahankan sikap yang menghormati otoritas institusi, sebisa mungkin. Ini adalah panggilan untuk hikmat dan keberanian, yang menuntut orang Kristen untuk berdoa dan mencari pimpinan Roh Kudus dalam setiap situasi unik.

Contohnya, menolak untuk mendukung undang-undang yang diskriminatif atau yang secara terang-terangan melanggar martabat manusia yang diciptakan menurut gambar Allah, adalah bentuk ketaatan yang lebih tinggi kepada Tuhan, meskipun hal itu mungkin bertentangan dengan pemerintah yang berkuasa. Namun, hal itu harus dilakukan dengan hati yang merendah dan tanpa semangat pemberontakan yang merusak.

Kasih sebagai Dasar Ketaatan

Tidak lama setelah Roma 13:1-7, Paulus menulis di Roma 13:8-10: "Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapa pun juga, kecuali saling mengasihi, sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat... Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat." Ini menunjukkan bahwa pada akhirnya, ketaatan kita kepada pemerintah, seperti semua aspek kehidupan Kristen lainnya, harus berakar dalam kasih.

Kasih yang sejati akan mendorong kita untuk mencari kebaikan bagi sesama kita, yang seringkali berarti mendukung pemerintah yang adil dan tertib, dan di saat yang sama, mengkritik atau menentang pemerintah ketika tindakannya merugikan orang lain. Ketaatan bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar: memuliakan Allah dan mengasihi sesama.

Oleh karena itu, ketika kita menghadapi keputusan tentang bagaimana kita harus berinteraksi dengan pemerintah, pertanyaan mendasarnya haruslah: "Bagaimana saya dapat mengasihi Allah dan sesama saya dengan paling baik dalam situasi ini?" Ini akan memandu kita melewati kompleksitas Roma 13 menuju aplikasi yang bermakna dan berpusat pada Kristus.

Refleksi Akhir dan Panggilan untuk Bertindak

Roma 13:1-7 adalah sebuah perikop yang kuat dan transformatif yang menantang pandangan kita tentang otoritas dan tanggung jawab sipil. Paulus tidak hanya memberikan daftar aturan, tetapi sebuah kerangka teologis yang mendalam tentang bagaimana orang Kristen harus berinteraksi dengan dunia yang mereka tinggali. Inti pesannya adalah bahwa ketaatan kepada pemerintah yang sah adalah bagian dari ketaatan kita kepada Allah, karena institusi pemerintah itu sendiri telah ditetapkan oleh-Nya untuk menjaga ketertiban dan keadilan.

Sebagai orang percaya di abad ke-21, kita dipanggil untuk menjadi warga negara yang teladan, membayar pajak, menghormati otoritas, dan hidup dengan integritas yang tinggi. Kita harus menjadi agen damai dan kebaikan, yang melalui kehidupan kita, menunjukkan perbedaan yang dibuat oleh Injil. Namun, kita juga harus ingat bahwa ketaatan kita yang paling utama adalah kepada Allah. Ketika ada konflik antara hukum manusia dan hukum ilahi, kita dipanggil untuk mematuhi Allah, dengan kesiapan untuk menanggung konsekuensi duniawi.

Perikop ini mendorong kita untuk merenungkan:

  • Bagaimana saya melihat pemerintah saya saat ini? Apakah saya melihatnya sebagai institusi yang ditetapkan Allah, meskipun dengan segala kekurangannya?
  • Apakah saya memenuhi kewajiban sipil saya dengan integritas (misalnya, membayar pajak, mematuhi hukum)?
  • Di mana hati nurani saya diuji dalam interaksi saya dengan otoritas? Bagaimana saya menyeimbangkan ketaatan dengan panggilan untuk keadilan?
  • Bagaimana doa saya mencerminkan panggilan Paulus untuk berdoa bagi para pemimpin?

Ketaatan dan tanggung jawab warga negara bukanlah pilihan sampingan bagi orang Kristen; itu adalah bagian integral dari hidup yang diubahkan oleh Kristus. Dengan menempatkan diri kita di bawah otoritas yang ditetapkan Allah, kita tidak hanya berkontribusi pada tatanan masyarakat, tetapi kita juga memberikan kesaksian yang kuat tentang kedaulatan Allah atas segala sesuatu, dan kasih-Nya yang bekerja melalui segala sesuatu, bahkan melalui lembaga-lembaga manusia yang tidak sempurna.

Akhirnya, marilah kita ingat bahwa tujuan akhir dari segala ketaatan kita, baik kepada Allah maupun kepada otoritas manusia yang ditetapkan-Nya, adalah untuk memuliakan nama-Nya dan untuk menjadi saluran kasih-Nya di dunia yang seringkali kacau dan tidak adil. Dengan demikian, kita menunjukkan bahwa Kerajaan Allah tidak hanya ada di surga, tetapi juga beroperasi di bumi melalui anak-anak-Nya yang setia.