Dalam samudra luas kitab suci, terdapat sebuah permata yang bersinar terang, menawarkan perspektif abadi tentang eksistensi fana kita. Mazmur 90, yang diyakini sebagai doa Musa, adalah refleksi yang mendalam tentang kekekalan Allah di tengah kerapuhan hidup manusia. Di antara ayat-ayatnya yang kuat, satu ayat khususnya menonjol sebagai seruan yang mendesak dan relevan bagi setiap generasi: Mazmur 90:12, "Ajarlah kami menghitung hari-hari kami, agar kami beroleh hati yang bijaksana."
Ayat ini bukanlah sekadar himbauan untuk manajemen waktu yang efisien, melainkan sebuah doa kerendahan hati yang mengundang Tuhan untuk mengubah cara pandang kita terhadap waktu. Ini adalah permintaan untuk memahami keterbatasan kita, untuk menghadapi realitas mortalitas, dan melalui pemahaman itu, untuk menemukan hikmat yang sejati. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi setiap aspek dari ayat yang luar biasa ini, menggali konteksnya, maknanya yang mendalam, dan bagaimana ia dapat diterapkan dalam kehidupan kita yang serba cepat dan seringkali tanpa arah.
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman Mazmur 90:12, kita harus terlebih dahulu menengok konteks di mana Mazmur ini ditulis. Dikatakan sebagai "Doa Musa, abdi Allah," Mazmur ini diyakini berasal dari periode yang penuh cobaan dan pengujian dalam sejarah Israel: masa pengembaraan di padang gurun. Empat puluh tahun Musa memimpin bangsa Israel yang tegar tengkuk melalui gurun pasir, menyaksikan satu generasi binasa di hadapannya karena ketidaktaatan dan ketidakpercayaan mereka. Ini bukanlah doa yang ditulis dari menara gading, melainkan dari hati seorang pemimpin yang telah melihat secara langsung penderitaan, kematian, dan murka Allah.
Mazmur 90 dimulai dengan pengakuan akan kekekalan dan kedaulatan Allah. "Tuhan, Engkaulah tempat perteduhan kami turun-temurun. Sebelum gunung-gunung dilahirkan, dan bumi dan dunia Engkau bentuk, bahkan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya Engkaulah Allah" (Mazmur 90:1-2). Ayat-ayat ini menegaskan bahwa Allah adalah keberadaan yang tanpa awal dan tanpa akhir, sumber segala sesuatu, tempat perlindungan yang tak tergoyahkan melintasi generasi. Dia melampaui waktu dan ruang, Dia adalah keabadian itu sendiri.
Kontras yang tajam segera disajikan: keberadaan manusia. Dari kekekalan Allah, Musa beralih ke kerapuhan dan kefanaan manusia. "Engkau mengembalikan manusia kepada debu, dan berkata: Kembalilah, hai anak-anak manusia!" (Mazmur 90:3). Gambaran ini tidak hanya berbicara tentang kematian fisik, tetapi juga tentang asal-usul kita dari debu tanah (Kejadian 2:7) dan kembalinya kita ke sana. Manusia digambarkan sebagai makhluk yang rentan, terbatas, dan sementara di hadapan Allah yang kekal.
Kehidupan manusia, dibandingkan dengan waktu Allah, digambarkan sebagai sesuatu yang sangat singkat. "Sebab di mata-Mu seribu tahun sama seperti hari kemarin, apabila berlalu, atau seperti giliran jaga di waktu malam" (Mazmur 90:4). Bagi Allah, ribuan tahun berlalu seperti satu hari, bahkan seperti beberapa jam malam hari. Ini menempatkan keberadaan kita dalam skala kosmik yang begitu kecil, menekankan betapa singkatnya waktu yang kita miliki di bumi ini. Generasi demi generasi datang dan pergi, seperti mimpi yang singkat atau rumput yang tumbuh di pagi hari dan layu di sore hari (Mazmur 90:5-6).
Kefanaan ini, dalam konteks Mazmur 90, bukanlah sekadar takdir biologis, tetapi seringkali merupakan konsekuensi dari dosa dan murka Allah. "Sungguh, kami habis lenyap karena murka-Mu, dan karena kehangatan amarah-Mu kami terkejut. Engkau menaruh kesalahan-kesalahan kami di hadapan-Mu, dan dosa-dosa kami yang tersembunyi dalam cahaya wajah-Mu" (Mazmur 90:7-8). Dosa manusia membawa dampak yang menghancurkan, memendekkan hidup, dan membawa penderitaan. Pengembaraan di padang gurun adalah bukti nyata dari murka ini, di mana dosa dan ketidaktaatan menyebabkan kematian massal, dan hanya dua orang dari generasi awal yang diizinkan masuk ke Tanah Perjanjian.
Musa melanjutkan dengan menggambarkan panjangnya umur manusia: "Masa hidup kami tujuh puluh tahun, dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaan karena itu adalah kesukaran dan penderitaan; sebab semuanya berlalu dengan cepat, dan kami melayang lenyap" (Mazmur 90:10). Ini adalah sebuah refleksi yang realistis tentang batasan hidup. Bahkan jika mencapai usia lanjut, hidup tetap penuh dengan kesukaran dan penderitaan, dan pada akhirnya, semua itu akan berlalu seperti hembusan angin. Kalimat ini mungkin merupakan salah satu gambaran yang paling menyedihkan dalam Kitab Suci mengenai usia lanjut, tetapi juga merupakan peringatan yang jujur tentang realitas.
Dalam gambaran yang begitu suram tentang kefanaan manusia dan murka ilahi, Mazmur 90:11 mengajukan pertanyaan retoris: "Siapakah yang mengenal kekuatan murka-Mu, dan takut kepada amarah-Mu, menurut yang seharusnya kepada-Mu?" Pertanyaan ini mempersiapkan panggung untuk doa di ayat 12. Ini bukan hanya tentang mengetahui bahwa Allah murka, tetapi tentang memahami kedalaman dan kekuatan murka-Nya, sehingga kita bisa memiliki rasa takut dan hormat yang sesuai.
Setelah pengakuan yang jujur tentang kekekalan Allah dan kefanaan manusia, Musa, dengan rendah hati dan mendesak, memanjatkan doa sentral kita:
Mazmur 90:12 (TB): "Ajarlah kami menghitung hari-hari kami, agar kami beroleh hati yang bijaksana."
Frasa ini lebih dari sekadar nasihat praktis; ini adalah inti dari permohonan Musa. Mari kita bedah setiap bagiannya.
Kata "Ajarlah kami" menunjukkan sebuah kesadaran akan ketidakmampuan diri sendiri. Musa, seorang pemimpin besar yang dekat dengan Allah, tidak mengklaim dirinya mampu memahami atau mengelola waktunya sendiri dengan bijak. Ia mengakui bahwa ini adalah sesuatu yang hanya bisa diajarkan oleh Allah. Ini adalah doa kerendahan hati yang esensial.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan "menghitung hari-hari kami"? Ini bukanlah ajakan untuk obsesif mencatat setiap hari yang berlalu atau hidup dalam ketakutan akan kematian. Sebaliknya, ini adalah metafora yang kaya akan makna spiritual.
Tujuan akhir dari menghitung hari-hari kita bukanlah keputusasaan atau kecemasan, melainkan pencapaian sesuatu yang jauh lebih berharga: "hati yang bijaksana." Namun, apa sebenarnya hati yang bijaksana dalam konteks alkitabiah?
Hikmat dalam Alkitab jauh melampaui kecerdasan intelektual atau akumulasi pengetahuan. Ini adalah kemampuan untuk melihat dunia dari perspektif Allah, untuk membuat pilihan yang benar dalam setiap situasi, dan untuk hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Hikmat ini berakar pada:
Kesadaran akan kefanaan hidup adalah katalisator yang ampuh untuk pertumbuhan hikmat. Ini melakukannya dalam beberapa cara:
Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang penuh dengan gangguan dan tuntutan, bagaimana kita dapat secara praktis "menghitung hari-hari kita" dan beroleh hati yang bijaksana?
Mulailah setiap hari dengan doa, memohon kepada Tuhan untuk mengajar Anda melihat hari itu dari perspektif-Nya. Akhiri hari dengan refleksi: Bagaimana saya menggunakan hari ini? Apakah saya bertumbuh dalam kasih dan hikmat? Di mana saya bisa lebih baik? Renungan Musa adalah doa yang relevan untuk setiap pagi. Biarkan itu menjadi doa Anda saat Anda memulai hari.
Audit prioritas hidup Anda. Apakah hal-hal yang paling Anda kejar akan memiliki nilai di kekekalan? Yesus bertanya, "Apakah gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya?" (Markus 8:36). Prioritaskan hubungan dengan Tuhan, keluarga, melayani sesama, dan panggilan ilahi Anda di atas pengejaran kekayaan atau status duniawi yang fana.
Kesadaran akan kefanaan tidak seharusnya membawa ketakutan, melainkan kebebasan. Jika hidup kita ada di tangan Allah yang kekal dan penuh kasih, kita bisa melepaskan kecemasan akan masa depan yang tidak pasti. Hidup dalam kekinian, mempercayai pemeliharaan-Nya, dan membiarkan Dia memimpin setiap langkah.
Hikmat adalah hasil dari disiplin dan pertumbuhan yang berkelanjutan. Ini membutuhkan latihan spiritual seperti membaca dan merenungkan firman Tuhan, berdoa tanpa henti, berpuasa, berkumpul dengan sesama orang percaya, dan mempraktikkan kasih.
Meskipun kita menghitung hari-hari kita yang fana, kita tidak hidup hanya untuk hari ini. Kita hidup dengan harapan akan kekekalan. Setiap tindakan, setiap kata, dan setiap keputusan yang kita buat memiliki dampak kekal. Ini memberi makna dan urgensi pada kehidupan kita.
Perjalanan untuk mendapatkan hati yang bijaksana bukanlah tanpa tantangan. Dunia di sekitar kita terus-menerus menarik kita ke arah hal-hal fana, gangguan, dan kesenangan sementara. Namun, di tengah semua itu, ada penghiburan besar dalam Mazmur 90 ini.
Setelah Musa memohon agar Allah mengajar mereka menghitung hari-hari, ia melanjutkan dengan seruan akan belas kasihan dan pemulihan: "Kembalilah, ya TUHAN, berapa lama lagi? Sayangilah hamba-hamba-Mu! Kenyangkanlah kami di waktu pagi dengan kasih setia-Mu, supaya kami bersorak-sorai dan bersukacita sepanjang masa hidup kami" (Mazmur 90:13-14). Ini adalah pengingat bahwa bahkan dalam kesadaran akan kefanaan dan murka ilahi, kita tidak ditinggalkan tanpa harapan. Kasih setia Allah adalah sumber penghiburan dan sukacita kita.
Permohonan ini mencapai puncaknya dengan doa untuk melihat pekerjaan dan kemuliaan Allah di antara mereka: "Biarlah perbuatan-Mu nyata kepada hamba-hamba-Mu, dan kemuliaan-Mu kepada anak-anak mereka. Kiranya kemurahan TUHAN, Allah kami, atas kami, dan teguhkanlah perbuatan tangan kami, ya, perbuatan tangan kami, teguhkanlah itu!" (Mazmur 90:16-17). Ini adalah keinginan untuk hidup yang bermakna, di mana pekerjaan kita diberkati dan diteguhkan oleh Tuhan, dan generasi mendatang dapat menyaksikan kemuliaan-Nya.
Jadi, meskipun Mazmur 90 dimulai dengan nada yang suram tentang kefanaan manusia, ia berakhir dengan nada pengharapan dan permohonan akan anugerah ilahi. Kesadaran akan keterbatasan waktu kita tidak dimaksudkan untuk menenggelamkan kita dalam keputusasaan, melainkan untuk mendorong kita mendekat kepada Allah, sumber kehidupan, hikmat, dan sukacita yang abadi.
Mazmur 90:12 adalah doa yang abadi, relevan bagi setiap individu di setiap zaman. Di dunia yang semakin cepat dan penuh dengan informasi berlebihan, di mana kita sering merasa kehabisan waktu namun menyia-nyiakannya dengan hal-hal yang tidak penting, seruan Musa ini adalah panggilan yang kuat untuk berhenti, merenung, dan memohon hikmat dari atas.
Mengajarkan kita untuk "menghitung hari-hari kami" berarti melatih hati kita untuk menyadari kerapuhan hidup, untuk menghargai setiap momen sebagai anugerah ilahi, dan untuk menata prioritas kita sesuai dengan nilai-nilai kekal. Ini adalah proses yang menyakitkan namun membebaskan, yang pada akhirnya akan membawa kita pada "hati yang bijaksana." Hati yang bijaksana adalah hati yang takut akan Tuhan, yang memahami kehendak-Nya, dan yang hidup secara sengaja, bertujuan, dan penuh kasih.
Marilah kita, seperti Musa, memanjatkan doa ini dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan. Biarkan Dia mengajar kita bagaimana melihat waktu kita, tidak hanya sebagai deretan angka yang lewat, tetapi sebagai peluang berharga yang diberikan-Nya untuk bertumbuh dalam karakter Kristus, melayani Kerajaan-Nya, dan pada akhirnya, membawa kemuliaan bagi nama-Nya. Dengan demikian, kita akan menemukan bahwa hidup yang fana ini, ketika dijalani dengan hikmat ilahi, dapat menghasilkan buah yang abadi dan sukacita yang tak berkesudahan.
Biarlah setiap hari yang kita jalani menjadi bukti dari hati yang bijaksana, yang telah diajar oleh Tuhan untuk menghargai setiap detik dalam terang kekekalan-Nya. Amin.