Jalan Salib Setiap Hari: Renungan Lukas 9:22-27
Lukas 9:22-27 adalah salah satu perikop yang paling menantang sekaligus paling mendalam dalam Injil. Di dalamnya, Yesus Kristus tidak hanya menubuatkan penderitaan, kematian, dan kebangkitan-Nya sendiri, tetapi juga dengan tegas memanggil setiap orang yang ingin menjadi pengikut-Nya untuk mengambil jalan yang sama: jalan penyangkalan diri, pemikulan salib setiap hari, dan kehilangan nyawa demi menemukan kehidupan yang sejati. Perikop ini adalah inti dari panggilan Yesus untuk menjadi seorang murid, sebuah panggilan yang tidak pernah usang dan selalu relevan bagi setiap generasi.
Mari kita selami lebih dalam setiap ayat dalam perikop yang sarat makna ini, menggali implikasinya bagi kehidupan kita sebagai orang percaya di dunia modern.
1. Prediksi Penderitaan dan Kemenangan: Fondasi Iman Kita (Lukas 9:22)
Lukas 9:22: "Kata Yesus: 'Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.'"
Ayat ini berfungsi sebagai pembuka sekaligus fondasi dari seluruh perikop. Yesus, dengan ketegasan ilahi, menyatakan takdir-Nya yang akan segera terjadi. Ini adalah kali pertama dalam Injil Lukas di mana Yesus secara eksplisit menubuatkan penderitaan dan kematian-Nya, serta kebangkitan-Nya. Penggunaan istilah "Anak Manusia" adalah gelar Mesianik favorit Yesus untuk diri-Nya, yang menekankan kemanusiaan-Nya sekaligus otoritas dan keilahian-Nya (Daniel 7:13-14).
Kata kunci di sini adalah "harus" (Yunani: dei). Ini bukan sekadar kemungkinan atau kebetulan, melainkan suatu keharusan ilahi, bagian integral dari rencana keselamatan Allah. Penderitaan dan kematian Yesus bukanlah kegagalan, melainkan puncak dari tujuan-Nya di bumi, yang telah dinubuatkan oleh para nabi berabad-abad sebelumnya (misalnya, Yesaya 53). Penolakan oleh para pemimpin agama — tua-tua, imam-imam kepala, dan ahli-ahli Taurat — adalah bagian dari penderitaan yang harus Ia alami, menunjukkan konflik antara terang dan kegelapan, kebenaran dan tradisi buta.
Namun, nubuat ini tidak berhenti pada kematian. Puncak kemenangan digarisbawahi dengan frasa "dibangkitkan pada hari ketiga." Kebangkitan adalah proklamasi kemenangan atas dosa dan maut, dan merupakan jaminan dari janji-janji Allah. Tanpa kebangkitan, iman Kristen akan sia-sia (1 Korintus 15:17). Ini adalah fondasi yang kokoh di atas mana semua panggilan radikal untuk menjadi murid dibangun.
Refleksi: Bagaimana pemahaman kita tentang penderitaan dan kemenangan Kristus membentuk cara kita memandang penderitaan dalam hidup kita sendiri? Apakah kita melihat penderitaan sebagai bagian dari rencana ilahi yang lebih besar atau hanya sebagai nasib buruk?
Konteks historis dari pernyataan ini sangat penting. Murid-murid Yesus, seperti kebanyakan orang Yahudi pada waktu itu, memiliki ekspektasi bahwa Mesias akan menjadi seorang raja politik yang perkasa, yang akan membebaskan Israel dari penjajahan Romawi dan mendirikan kerajaan duniawi yang mulia. Oleh karena itu, nubuat tentang penderitaan, penolakan, dan kematian pastilah sangat mengejutkan dan membingungkan bagi mereka. Mereka tidak siap untuk menerima konsep Mesias yang menderita. Dalam Markus 8:31-33 dan Matius 16:21-23, kita bahkan melihat Petrus menegur Yesus, menunjukkan betapa sulitnya mereka menerima kenyataan ini. Namun, Yesus menolak godaan Petrus, menegaskan bahwa jalan penderitaan adalah kehendak Allah.
Implikasi bagi kita adalah bahwa iman kita berakar pada realitas yang seringkali berlawanan dengan ekspektasi duniawi. Rencana Allah mungkin tidak selalu sejalan dengan keinginan atau pemahaman kita yang terbatas. Menerima bahwa Yesus "harus" menderita dan mati berarti menerima bahwa ada tujuan yang lebih tinggi di balik setiap kesulitan, bahkan dalam penderitaan yang paling mendalam. Kebangkitan-Nya menjamin bahwa tidak ada penderitaan yang sia-sia, dan setiap kematian "demi Kristus" akan berujung pada kehidupan yang abadi.
Penderitaan Kristus juga menunjukkan kedalaman kasih Allah kepada umat manusia. Dia tidak hanya memerintahkan kita untuk mengikuti-Nya dalam penderitaan, tetapi Dia sendiri yang berjalan di jalan itu terlebih dahulu. Dia adalah teladan utama dari penyerahan diri total kepada kehendak Bapa. Pemahaman ini menguatkan kita ketika kita menghadapi tantangan atau kesulitan dalam hidup kita sendiri. Kita tahu bahwa kita tidak sendirian, dan bahwa penderitaan kita, jika diserahkan kepada-Nya, dapat memiliki makna dan tujuan yang lebih besar dalam rencana ilahi.
Oleh karena itu, ayat pertama ini bukan sekadar informasi sejarah, melainkan sebuah deklarasi teologis yang mendalam yang menjadi fondasi bagi semua yang akan Yesus ajarkan selanjutnya tentang kemuridan. Ia mengajarkan bahwa kemuridan sejati melibatkan partisipasi dalam nasib Mesias, baik dalam penderitaan maupun dalam kemuliaan-Nya. Ini adalah panggilan untuk melihat melampaui penderitaan sesaat menuju janji kebangkitan dan kemenangan yang kekal.
2. Panggilan Radikal untuk Mengikut Kristus: Menyangkal Diri dan Memikul Salib (Lukas 9:23)
Lukas 9:23: "Kata-Nya kepada mereka semua: 'Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.'"
Setelah menyatakan takdir-Nya sendiri, Yesus kemudian mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan dan menuntut kepada para pengikut-Nya. Ini adalah panggilan yang universal ("kepada mereka semua") dan bersifat sukarela ("setiap orang yang mau mengikut Aku"). Namun, keinginan saja tidak cukup; ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi murid sejati:
2.1. Menyangkal Diri
"Menyangkal dirinya" (Yunani: aparneomai heauton) adalah tindakan radikal menolak kehendak diri sendiri, keinginan egois, dan ambisi pribadi. Ini bukan sekadar menyangkal dosa atau kelemahan, tetapi menyangkal seluruh pusat keberadaan kita yang cenderung berpusat pada diri sendiri. Ini berarti mengakui bahwa kita bukan lagi penguasa hidup kita sendiri, melainkan Yesus Kristus.
Penyangkalan diri ini berlawanan dengan nilai-nilai dunia modern yang sangat menekankan individualisme, self-fulfillment, dan penegasan diri. Dunia mengatakan, "Ikuti hatimu," "prioritaskan dirimu sendiri," "raih potensimu yang tertinggi." Yesus berkata, "Sangkallah dirimu." Ini adalah revolusi dalam nilai-nilai. Menyangkal diri berarti menyerahkan hak untuk menentukan hidup kita sendiri, melepaskan kontrol, dan menempatkan kehendak Tuhan di atas segalanya, bahkan di atas keinginan dan kenyamanan pribadi kita.
Praktisnya, menyangkal diri dapat berarti:
- Mengesampingkan kebanggaan pribadi untuk meminta maaf atau melayani orang lain.
- Menolak godaan untuk mengejar kekayaan atau status jika itu bertentangan dengan prinsip-prinsip kerajaan Allah.
- Memilih untuk memaafkan daripada membalas dendam.
- Menyerahkan rencana kita sendiri demi rencana Tuhan yang mungkin tidak kita pahami.
- Mengendalikan nafsu, amarah, atau pikiran yang tidak kudus.
2.2. Memikul Salibnya Setiap Hari
Pada zaman Yesus, salib adalah simbol kematian yang paling brutal dan memalukan. Memikul salib berarti menuju kematian, dieksekusi sebagai penjahat. Ketika Yesus mengatakan "memikul salibnya," Ia tidak berbicara tentang beban hidup secara umum (masalah keuangan, penyakit, hubungan sulit), meskipun itu bisa menjadi bagian dari beban hidup seorang Kristen. Ia berbicara tentang kesiapan untuk menderita, menanggung rasa malu, dan bahkan menghadapi kematian fisik atau sosial demi mengikut Dia.
Kata "setiap hari" (Yunani: kath' hemeran) sangat penting. Ini menunjukkan bahwa pemikulan salib bukanlah peristiwa sesekali, melainkan sebuah komitmen yang konstan dan berkelanjutan. Setiap hari kita dihadapkan pada pilihan: mengikuti keinginan daging atau mengikuti Roh; mencari kenyamanan dunia atau mencari Kerajaan Allah; hidup untuk diri sendiri atau hidup untuk Kristus. Memikul salib setiap hari berarti secara sadar memilih jalan Kristus meskipun itu membawa kesulitan, penolakan, atau pengorbanan.
Apa arti memikul salib di zaman modern yang tanpa salib fisik?
- Mengambil sikap yang tidak populer demi kebenaran Alkitabiah di tengah masyarakat yang toleran terhadap dosa.
- Menanggung ejekan atau pengucilan karena iman kita di tempat kerja, sekolah, atau lingkaran sosial.
- Mengorbankan waktu, uang, atau bakat kita untuk melayani sesama atau pekerjaan misi, padahal kita bisa menggunakannya untuk kesenangan pribadi.
- Menanggung penderitaan yang datang dari ketaatan kepada Tuhan, seperti menolak korupsi atau ketidakadilan.
- Bersabar dalam menghadapi kesulitan yang diizinkan Tuhan, memandangnya sebagai alat pembentukan karakter.
2.3. Mengikut Aku
Bagian terakhir dari panggilan ini adalah "mengikut Aku." Setelah menyangkal diri dan memikul salib, tujuannya adalah untuk mengikuti Yesus. Ini bukan sekadar keyakinan intelektual, melainkan tindakan nyata mengikuti teladan-Nya, menuruti perintah-Nya, dan meneladani cara hidup-Nya. Mengikuti Yesus berarti menjadikan Dia Tuhan dan Guru, Sumber segala hikmat dan kebenaran, dan satu-satunya jalan menuju Bapa.
Mengikut Yesus berarti berjalan dalam ketaatan yang radikal, meneladani kasih-Nya, kesabaran-Nya, kerendahan hati-Nya, dan pengorbanan-Nya. Ini adalah hubungan yang dinamis, bukan statis. Seorang murid adalah seseorang yang terus belajar dari Gurunya, yang terus berubah menjadi serupa dengan Dia, dan yang dengan setia menjalankan misi-Nya.
Refleksi: Seberapa jauh kita telah menyangkal diri dan memikul salib kita setiap hari? Apakah ada aspek dalam hidup kita yang masih kita genggam erat dan enggan serahkan kepada Kristus?
Ketiga syarat ini saling terkait erat. Seseorang tidak bisa benar-benar mengikuti Kristus tanpa menyangkal diri, karena ego akan selalu menghalangi ketaatan. Dan seseorang tidak akan memikul salibnya setiap hari tanpa penyerahan diri yang terus-menerus melalui penyangkalan diri. Ini adalah siklus pertumbuhan rohani dan pengabdian yang mendalam kepada Kristus. Yesus tidak menjanjikan kemudahan, popularitas, atau kenyamanan bagi pengikut-Nya, melainkan sebuah jalan yang sempit dan berliku, yang pada akhirnya akan menuju kehidupan yang sejati dan kekal.
Panggilan ini juga membedakan antara "penggemar" dan "murid." Banyak orang mungkin mengagumi Yesus atau setuju dengan ajaran-Nya, tetapi hanya sedikit yang bersedia membayar harga kemuridan sejati. Panggilan ini adalah undangan untuk komitmen total, sebuah investasi penuh dari seluruh keberadaan kita kepada Pribadi dan misi Kristus. Ini berarti menempatkan Kristus sebagai pusat, prioritas, dan tujuan utama dari semua yang kita lakukan, katakan, dan pikirkan. Tanpa komitmen ini, hubungan kita dengan Kristus mungkin hanya sebatas pengakuan bibir, bukan transformasi hati dan hidup.
Di era di mana "branding" pribadi dan "personal legacy" begitu diutamakan, panggilan Yesus untuk "menyangkal diri" adalah antitesis yang radikal. Ini menuntut kita untuk melepaskan segala upaya untuk membangun kerajaan kita sendiri dan sebaliknya, mengabdikan diri pada pembangunan Kerajaan Allah. Ini juga menuntut kita untuk menghadapi ketidaknyamanan, ketidakpopuleran, bahkan penderitaan, dengan kesadaran bahwa ini adalah bagian inheren dari mengikuti Dia yang telah terlebih dahulu menanggung segalanya bagi kita.
3. Paradoks Kehidupan dan Kematian: Kehilangan untuk Mendapatkan (Lukas 9:24)
Lukas 9:24: "Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya."
Ayat ini menyajikan sebuah paradoks yang mendalam, inti dari etika Kerajaan Allah: prinsip kehilangan untuk mendapatkan. Ini adalah kebenaran yang revolusioner, yang bertolak belakang dengan intuisi manusia dan logika duniawi.
3.1. Kehilangan Nyawa untuk Menyelamatkan
Ketika Yesus berbicara tentang "nyawa" (Yunani: psyche), Ia tidak hanya merujuk pada kehidupan fisik, tetapi juga pada diri, ego, identitas, ambisi, keinginan, dan segala sesuatu yang kita anggap sebagai 'hidup' kita. "Barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya" adalah tentang orang yang hidup semata-mata untuk dirinya sendiri, menjaga kepentingan pribadi di atas segalanya, mengejar kepuasan duniawi, kenyamanan, keamanan, dan pengakuan dari sesama.
Orang seperti itu, yang berpegang teguh pada kendali atas hidupnya sendiri dan menolak menyerahkannya kepada Kristus, pada akhirnya akan "kehilangan nyawanya." Kehilangan di sini bukan hanya kematian fisik, tetapi kehilangan yang jauh lebih parah: kehilangan hubungan sejati dengan Allah, kehilangan tujuan hidup yang kekal, dan akhirnya, kehilangan keselamatan abadi. Hidup yang berpusat pada diri sendiri, meskipun terlihat sukses di mata dunia, pada akhirnya akan berakhir dengan kehampaan dan kehancuran spiritual.
Banyak orang menghabiskan hidupnya untuk mengumpulkan harta, mengejar kekuasaan, atau mencari kesenangan yang bersifat sementara. Mereka 'menyelamatkan' hidup mereka dari kesulitan, pengorbanan, atau tantangan iman. Mereka memilih jalan yang mudah, yang paling nyaman, yang paling menguntungkan bagi diri mereka. Namun, di hadapan kekekalan, semua yang mereka 'selamatkan' akan terbukti tidak berarti dan fana.
3.2. Menyelamatkan Nyawa dengan Kehilangan
Sebaliknya, "barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya." Frasa kunci di sini adalah "karena Aku." Ini bukan panggilan untuk penderitaan tanpa tujuan, atau asketisme ekstrem demi asketisme itu sendiri. Ini adalah kehilangan diri yang dilakukan atas dasar kasih dan ketaatan kepada Yesus Kristus.
Kehilangan nyawa "karena Aku" berarti:
- Menyerahkan ambisi pribadi untuk melayani tujuan Kerajaan Allah.
- Mengorbankan kenyamanan dan keamanan diri untuk memberitakan Injil.
- Menghadapi penolakan atau penganiayaan demi kesaksian akan kebenaran.
- Memberikan waktu, tenaga, dan sumber daya kita kepada orang lain, meskipun itu berarti kita sendiri harus kekurangan.
- Meninggalkan dosa-dosa yang disukai dan menjalani hidup kudus, meskipun itu berarti menanggung biaya sosial.
Injil Yohanes 12:25 menggemakan prinsip yang sama dengan metafora biji gandum: "Sesungguhnya, sesungguhnya Aku berkata kepadamu, jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah." Kematian biji gandum adalah prasyarat bagi kehidupan dan kelimpahan. Demikian pula, kematian ego dan keinginan diri adalah prasyarat bagi kehidupan rohani yang produktif dan bermakna.
Refleksi: Apa yang paling kita takuti untuk "kehilangan" dalam hidup kita, yang mungkin menghalangi kita untuk sepenuhnya menyerahkan diri kepada Kristus? Bagaimana kita bisa mulai mempraktikkan "kehilangan nyawa" dalam hal-hal kecil setiap hari?
Prinsip ini menantang fondasi dari banyak budaya modern yang memuja konsep "self-preservation" dan "self-actualization" di atas segalanya. Yesus mengajarkan bahwa keselamatan dan pemenuhan sejati tidak ditemukan dalam akumulasi, tetapi dalam penyerahan; bukan dalam pengamanan, tetapi dalam pengorbanan. Ini adalah undangan untuk hidup dengan perspektif kekal, di mana nilai-nilai duniawi dipertimbangkan ulang dalam terang janji-janji Allah.
Bagi seorang murid, "kehilangan nyawa karena Aku" bukan berarti menyingkirkan identitas pribadi kita atau menjadi robot tanpa perasaan. Sebaliknya, itu berarti menempatkan identitas kita di dalam Kristus, membiarkan kehendak-Nya membentuk keinginan kita, dan menemukan tujuan kita dalam rencana-Nya. Dalam proses ini, kita tidak kehilangan diri kita yang sebenarnya, melainkan menemukan diri kita yang sejati, diri yang diciptakan menurut gambar Allah dan yang dimaksudkan untuk hidup dalam persekutuan dengan-Nya. Ini adalah proses penemuan diri yang paling otentik.
Ini juga berarti menerima bahwa ada harga yang harus dibayar untuk kemuridan. Harga ini bisa berupa penolakan, ejekan, kesulitan finansial, kehilangan status sosial, atau bahkan penderitaan fisik. Namun, Yesus menjamin bahwa harga yang kita bayar di dunia ini tidak sebanding dengan kemuliaan dan kehidupan yang kekal yang akan kita terima. Ini adalah investasi terbaik yang bisa kita lakukan, dengan imbalan yang jauh melampaui segala yang dapat ditawarkan dunia.
4. Peringatan Akan Kesia-siaan Duniawi: Dunia vs. Jiwa (Lukas 9:25)
Lukas 9:25: "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?"
Ayat ini adalah kelanjutan logis dari paradoks sebelumnya, dan berfungsi sebagai peringatan keras terhadap prioritas yang salah. Yesus mengajukan pertanyaan retoris yang kuat untuk menyoroti kesia-siaan mengejar kesuksesan duniawi dengan mengorbankan hal-hal yang abadi.
4.1. Memperoleh Seluruh Dunia
"Memperoleh seluruh dunia" adalah metafora untuk mencapai puncak kesuksesan, kekayaan, kekuasaan, popularitas, dan kehormatan yang dapat ditawarkan oleh dunia ini. Bayangkan seseorang yang memiliki segalanya: harta yang melimpah, posisi yang tinggi, pengakuan global, dan segala macam kesenangan. Ini adalah impian banyak orang, tujuan yang dikejar dengan gigih oleh mayoritas masyarakat.
Namun, Yesus secara radikal menantang nilai dari pencapaian tersebut. Ia tidak mengatakan bahwa kekayaan itu sendiri jahat, atau kekuasaan itu salah, tetapi Ia mempertanyakan tujuan akhir dari pengejaran ini. Apakah ada hal yang lebih berharga daripada semua itu?
4.2. Membinasakan atau Merugikan Diri Sendiri
Bagian kedua dari pertanyaan ini adalah "tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?" Frasa "dirinya sendiri" kembali merujuk pada psyche, yaitu jiwa, kehidupan, atau keberadaan seseorang yang paling dalam. "Membinasakan atau merugikan" (Yunani: zemioo) berarti menderita kerugian besar, kehilangan, atau kehancuran. Ini adalah kerugian yang jauh melampaui kehilangan materi atau status.
Seseorang mungkin berhasil di segala bidang kehidupan duniawi, mengumpulkan kekayaan dan ketenaran yang tak terbayangkan. Namun, jika dalam proses itu ia mengorbankan integritasnya, hubungannya dengan Tuhan, nilai-nilai moralnya, atau bahkan jiwanya, maka semua pencapaian itu menjadi tidak ada artinya. Keberhasilan duniawi yang dicapai dengan mengorbankan jiwa adalah sebuah transaksi yang merugikan secara kekal.
Kerugian ini dapat bermanifestasi dalam berbagai cara:
- Kerugian spiritual: Kehilangan persekutuan dengan Allah, hidup dalam dosa, atau menolak Injil.
- Kerugian moral: Kompromi nilai-nilai, terlibat dalam ketidakjujuran atau eksploitasi demi keuntungan.
- Kerugian emosional/psikologis: Hidup dalam kehampaan, stres kronis, kecemasan, atau depresi meskipun memiliki segalanya.
- Kerugian kekal: Kehilangan keselamatan dan surga, menghadapi hukuman kekal.
Matius 16:26 dan Markus 8:36-37 juga mencatat pertanyaan Yesus ini, dengan sedikit variasi, menekankan bahwa "apa yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?" Menyoroti bahwa tidak ada harga yang bisa dibayar untuk menebus jiwa yang hilang. Ini menempatkan nilai jiwa di atas segala sesuatu yang dapat ditawarkan oleh dunia.
Refleksi: Dalam hidup kita, apa yang seringkali kita prioritaskan di atas "jiwa" atau hubungan kita dengan Tuhan? Bagaimana kita dapat secara sadar menyeimbangkan ambisi duniawi dengan panggilan rohani?
Peringatan ini sangat relevan di zaman kita, di mana budaya konsumerisme dan materialisme begitu kuat. Kita terus-menerus dibombardir dengan pesan-pesan yang mengatakan bahwa kebahagiaan dan pemenuhan ditemukan dalam kepemilikan, status, dan pengalaman-pengalaman duniawi. Yesus dengan tegas mengatakan bahwa ini adalah ilusi yang berbahaya. Pengejaran tanpa henti terhadap "seluruh dunia" seringkali membuat orang mengabaikan aspek-aspek yang paling penting dan abadi dari keberadaan mereka. Mereka mengejar bayangan dan kehilangan substansi.
Sejarah penuh dengan contoh-contoh orang-orang yang "memperoleh seluruh dunia" namun berakhir dengan tragis, baik dalam kehampaan pribadi maupun kehancuran moral. Para kaisar, tiran, dan taipan yang menguasai kekayaan dan kekuasaan luar biasa, seringkali menemukan bahwa semua itu tidak dapat membeli kedamaian batin, kasih sejati, atau makna yang abadi. Yesus mengingatkan kita bahwa pada akhirnya, semua yang duniawi akan lenyap, tetapi jiwa kita akan kekal. Oleh karena itu, investasi terbaik yang dapat kita lakukan adalah investasi dalam jiwa kita, dalam hubungan kita dengan Allah, dan dalam nilai-nilai Kerajaan-Nya.
Pertanyaan ini mendorong kita untuk merenungkan prioritas hidup kita. Apakah kita sedang membangun istana di pasir yang akan hancur oleh gelombang waktu, atau apakah kita sedang membangun rumah rohani di atas batu yang kokoh, yaitu Kristus? Ini bukan ajakan untuk meninggalkan dunia, tetapi untuk mengubah cara kita berinteraksi dengan dunia dan menempatkan nilai-nilai yang benar pada tempatnya. Kita dapat hidup di dunia, tetapi kita tidak boleh menjadi milik dunia.
5. Konsekuensi Penyangkalan Kristus: Malu di Hadapan Kemuliaan (Lukas 9:26)
Lukas 9:26: "Sebab barangsiapa malu karena Aku dan karena perkataan-Ku, Anak Manusia juga akan malu karena orang itu, apabila Ia datang dalam kemuliaan-Nya dan dalam kemuliaan Bapa dan malaikat-malaikat kudus-Nya."
Ayat ini adalah peringatan serius tentang konsekuensi dari penyangkalan atau penolakan terhadap Yesus dan ajaran-Nya. Ini membawa kita ke masa depan, yaitu kedatangan Yesus yang kedua kali, dan menekankan pentingnya kesaksian yang berani di masa kini.
5.1. Malu Karena Aku dan Perkataan-Ku
"Malu karena Aku dan karena perkataan-Ku" berarti merasa malu untuk mengidentifikasi diri dengan Yesus atau dengan ajaran-ajaran-Nya. Pada zaman Yesus, mengikuti Dia adalah hal yang tidak populer dan seringkali berbahaya. Yesus sendiri adalah seorang yang ditolak, dihina, dan akhirnya disalibkan. Mengikuti-Nya berarti mengidentifikasi diri dengan seorang "penjahat" di mata otoritas dan masyarakat.
Di zaman modern, "malu karena Aku" mungkin tidak berarti menghadapi penyaliban fisik, tetapi bisa bermanifestasi dalam berbagai cara:
- Menolak untuk berbicara tentang iman kita di hadapan teman atau rekan kerja yang tidak percaya.
- Menyembunyikan praktik keagamaan kita demi diterima secara sosial.
- Kompromi dengan standar moral dunia agar tidak dianggap "kuno" atau "fanatik."
- Takut untuk mengambil sikap yang benar di isu-isu moral atau etika yang kontroversial.
- Menolak untuk mengikuti perintah Yesus yang menuntut pengorbanan atau ketidaknyamanan.
5.2. Anak Manusia Akan Malu Karena Orang Itu
Bagian kedua dari ayat ini adalah konsekuensi yang mengerikan: "Anak Manusia juga akan malu karena orang itu." Ini merujuk pada hari penghakiman terakhir, ketika Yesus akan datang kembali bukan sebagai hamba yang menderita, tetapi sebagai Raja yang mulia dan Hakim yang adil. Pada hari itu, mereka yang malu mengakui-Nya di dunia ini, akan ditolak dan tidak diakui oleh-Nya.
Kedatangan-Nya digambarkan dengan kemuliaan yang tak tertandingi: "dalam kemuliaan-Nya dan dalam kemuliaan Bapa dan malaikat-malaikat kudus-Nya." Ini adalah gambaran tentang otoritas dan keagungan ilahi yang penuh. Di hadapan kemuliaan seperti itu, setiap kompromi, setiap ketakutan, dan setiap penolakan akan terlihat remeh dan menyedihkan. Penolakan dari Kristus pada hari itu adalah kerugian yang paling parah dan kekal.
Matius 10:32-33 mengatakan, "Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di surga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di surga." Ayat ini menggarisbawahi pentingnya kesaksian yang berani dan kesetiaan yang tak tergoyahkan.
Refleksi: Dalam area mana dalam hidup kita, kita mungkin tergoda untuk "malu" mengakui Yesus atau perkataan-Nya? Bagaimana kita bisa membangun keberanian untuk menjadi saksi-Nya yang berani?
Ayat ini berfungsi sebagai panggilan untuk keberanian. Yesus tahu bahwa mengikuti Dia akan melibatkan risiko dan pengorbanan. Dia tidak menjanjikan jalan yang mudah, tetapi Dia menjanjikan imbalan yang kekal bagi mereka yang setia. Imbalan ini adalah pengakuan dan penerimaan dari Raja alam semesta pada hari kedatangan-Nya yang penuh kemuliaan.
Keseimbangan antara keinginan untuk diterima oleh manusia dan panggilan untuk menyenangkan Tuhan adalah pergumulan yang konstan bagi setiap orang percaya. Yesus mendorong kita untuk memandang jauh ke depan, melampaui penilaian sesaat dari manusia, menuju penilaian kekal dari Allah. Rasa malu dan penolakan yang mungkin kita hadapi di dunia ini tidak sebanding dengan kemuliaan dan penerimaan yang akan kita alami jika kita dengan berani mengakui Kristus.
Ini juga mengajarkan kita tentang integritas. Kemuridan sejati menuntut konsistensi antara iman yang kita klaim dan cara hidup yang kita jalani. Kita tidak bisa menjadi pengikut rahasia atau murid yang hanya mengaku di balik pintu tertutup. Iman kita harus terlihat, didengar, dan dirasakan oleh dunia, bahkan jika itu berarti berdiri sendirian atau menanggung konsekuensi yang tidak menyenangkan. Keberanian kita untuk berdiri teguh adalah bukti cinta dan kesetiaan kita kepada Kristus, yang pada gilirannya akan dibalas dengan pengakuan-Nya yang mulia pada hari terakhir.
Ayat ini juga menantang kita untuk bertanya pada diri sendiri: apa sebenarnya yang paling kita takuti? Apakah itu kehilangan dukungan sosial atau kehilangan kasih dan penerimaan dari Tuhan? Ketakutan akan pandangan manusia seringkali lebih kuat daripada ketakutan akan Tuhan, dan Yesus menyingkapkan bahaya dari prioritas yang salah ini. Dia memanggil kita untuk menempatkan kekaguman kita kepada-Nya di atas segala ketakutan akan manusia.
6. Janji Kedatangan Kerajaan Allah: Harapan di Tengah Penderitaan (Lukas 9:27)
Lukas 9:27: "Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya di antara orang yang hadir di sini ada yang tidak akan mati sebelum mereka melihat Kerajaan Allah."
Ayat terakhir dalam perikop ini seringkali menjadi salah satu yang paling diperdebatkan dan menantang untuk ditafsirkan. Setelah berbicara tentang penderitaan, penyangkalan diri, kematian, dan penghakiman di masa depan, Yesus tiba-tiba memberikan janji yang misterius dan penuh harapan tentang kedatangan Kerajaan Allah.
Pernyataan ini seolah memberikan kontras yang tajam dengan panggilan yang berat sebelumnya. Ini adalah janji bahwa ada hadiah, ada tujuan, ada kepastian di balik semua pengorbanan. Namun, pertanyaannya adalah: apa yang dimaksud dengan "melihat Kerajaan Allah" ini, dan kapan itu terjadi?
6.1. Interpretasi Berbeda
Ada beberapa penafsiran utama tentang apa yang dimaksud Yesus dengan "melihat Kerajaan Allah" yang akan terjadi sebelum beberapa pendengar-Nya mati:
- Transfigurasi: Ini adalah interpretasi yang paling umum dan kuat, terutama dalam konteks Injil sinoptik. Peristiwa Transfigurasi Yesus diceritakan segera setelah perikop ini (Lukas 9:28-36), di mana Petrus, Yohanes, dan Yakobus melihat Yesus dalam kemuliaan ilahi-Nya bersama Musa dan Elia. Ini adalah sebuah "kilasan" Kerajaan Allah yang akan datang, sebuah manifestasi kemuliaan ilahi Kristus. Ini memberikan para murid gambaran sekilas tentang Yesus sebagai Raja yang mulia, yang mereka perlukan untuk memahami nubuat penderitaan dan panggilan kemuridan. Transfigurasi adalah bukti nyata bahwa meskipun Yesus harus menderita, Ia adalah Raja yang akan datang dalam kemuliaan.
- Kebangkitan dan Pentakosta: Penafsiran lain melihat ini sebagai kedatangan Kerajaan Allah dalam kuasa melalui kebangkitan Yesus dari kematian dan pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta. Dengan kebangkitan, Kerajaan Allah secara definitif diresmikan di bumi, dan melalui Roh Kudus, ia mulai bertumbuh dalam hati umat percaya dan melalui pelayanan gereja. Beberapa orang yang mendengar Yesus berbicara pada saat itu memang hidup untuk menyaksikan peristiwa-peristiwa ini.
- Kedatangan Kerajaan dalam Kekuasaan: Beberapa sarjana berpendapat bahwa ini mengacu pada pertumbuhan Kerajaan Allah melalui pemberitaan Injil dan penyebaran gereja. Kerajaan Allah tidak hanya akan datang di masa depan, tetapi juga sudah ada dalam bentuk benih dan sedang berkembang di dunia. Para murid yang hidup akan melihat injil diberitakan dan banyak orang percaya bergabung dengan Kerajaan Allah.
- Kehancuran Yerusalem (tahun 70 M): Interpretasi lain, yang kurang populer, adalah bahwa ini merujuk pada kehancuran Yerusalem dan Bait Allah pada tahun 70 M. Peristiwa ini dilihat sebagai manifestasi penghakiman ilahi dan akhir dari perjanjian lama, yang membuka jalan bagi Kerajaan Allah dalam perjanjian baru.
6.2. Pentingnya Janji Ini
Terlepas dari interpretasi spesifik, tujuan utama dari ayat ini adalah untuk memberikan harapan dan kepastian bagi para murid yang baru saja mendengar panggilan yang begitu berat. Setelah berbicara tentang menyangkal diri, memikul salib, kehilangan nyawa, dan malu, Yesus mengakhiri dengan janji kemuliaan Kerajaan-Nya.
Ini adalah pengingat bahwa penderitaan dan pengorbanan yang diminta dari seorang murid tidak sia-sia. Ada tujuan akhir yang mulia, yaitu Kerajaan Allah yang akan datang dengan kuasa dan kemuliaan. Janji ini menguatkan para murid untuk bertahan dalam panggilan mereka, mengetahui bahwa mereka bukan hanya menderita, tetapi juga menantikan manifestasi Kerajaan yang pasti.
Bagi kita, janji ini berarti bahwa pengorbanan kita di masa kini, betapapun kecil atau besar, adalah investasi dalam sesuatu yang kekal dan pasti. Kita mungkin tidak melihat Kerajaan Allah datang dalam kemuliaan penuh dalam hidup kita di dunia ini, tetapi kita memiliki Roh Kudus sebagai jaminan (Efesus 1:13-14) dan kita menyaksikan pertumbuhan Kerajaan-Nya melalui gereja dan Injil yang diberitakan.
Refleksi: Bagaimana janji tentang Kerajaan Allah yang akan datang memberikan pengharapan dan kekuatan bagi Anda dalam menghadapi tantangan kemuridan hari ini?
Ayat ini berfungsi sebagai jembatan antara panggilan yang sulit dan harapan yang mulia. Ia menegaskan bahwa meskipun jalan kemuridan melibatkan pengorbanan yang radikal, ia tidak berakhir dalam kehampaan atau keputusasaan. Sebaliknya, ia memimpin menuju realitas Kerajaan Allah yang pasti akan datang. Ini adalah Kerajaan yang telah dimulai dalam pribadi Yesus, berlanjut melalui gereja-Nya, dan akan mencapai puncaknya dalam kedatangan-Nya yang kedua kali.
Oleh karena itu, para murid dipanggil untuk hidup dengan perspektif ganda: berani menanggung penderitaan di masa kini, sambil tetap menjaga pandangan mereka tertuju pada harapan yang pasti akan kemuliaan yang akan datang. Janji ini adalah penyeimbang yang penting, yang mencegah panggilan Kristus untuk kemuridan menjadi sekadar tuntutan yang tak tertahankan. Sebaliknya, ia mengubahnya menjadi sebuah undangan untuk berpartisipasi dalam kisah penebusan Allah yang agung, dengan jaminan kemenangan dan kemuliaan pada akhirnya.
Pemahaman bahwa Kerajaan Allah sudah "sekarang dan belum" (already and not yet) adalah kunci. Ia sudah hadir dalam pribadi dan karya Yesus, dalam Roh Kudus dan gereja-Nya, tetapi belum datang dalam kepenuhan kemuliaan-Nya yang final. Kita hidup di antara dua masa ini, dipanggil untuk hidup sebagai warga Kerajaan yang sudah ada, sambil menantikan kedatangan penuh dari Kerajaan itu. Ini memberikan makna dan tujuan bagi setiap aspek penyangkalan diri dan pemikulan salib kita.
Ayat ini menegaskan kedaulatan Allah atas sejarah dan masa depan. Janji-Nya akan terlaksana, dan tidak ada penderitaan pengikut-Nya yang akan sia-sia. Ini adalah harapan yang menguatkan, yang memungkinkan kita untuk menghadapi ketidakpastian dunia ini dengan keyakinan yang teguh pada janji-janji Allah yang tidak pernah gagal.
Menghubungkan Benang Merah: Kohesi Panggilan Kristus
Dari Lukas 9:22-27, kita melihat sebuah benang merah yang kuat dan tak terpisahkan antara takdir Yesus dan takdir para pengikut-Nya. Yesus pertama-tama menyatakan jalan penderitaan-Nya sendiri (ayat 22), yang kemudian Ia jadikan pola bagi jalan para murid-Nya (ayat 23-26). Ini bukan sekadar serangkaian ajaran terpisah, melainkan sebuah kohesi yang mendalam dalam panggilan kemuridan.
Dari Nubuat ke Panggilan: Penderitaan Yesus bukan hanya peristiwa sejarah, tetapi juga dasar teologis dan etis bagi kemuridan. Karena Yesus harus menderita dan mati untuk keselamatan kita, maka kita juga dipanggil untuk berpartisipasi dalam penderitaan-Nya. Salib Yesus adalah prototipe dari salib yang harus kita pikul setiap hari. Kebangkitan-Nya menjamin bahwa pemikulan salib kita tidak berakhir pada kematian, melainkan pada kehidupan.
Penyangkalan Diri sebagai Persiapan: Untuk dapat memikul salib, seseorang harus terlebih dahulu menyangkal dirinya. Ego yang berpusat pada diri sendiri tidak akan pernah rela menanggung beban atau pengorbanan. Penyangkalan diri adalah peletakan fondasi agar ketaatan dan pengorbanan dapat terjadi.
Paradoks sebagai Kebenaran: Prinsip kehilangan untuk mendapatkan adalah paradoks inti dari Kerajaan Allah. Dunia mengejar keuntungan dan kepuasan, tetapi Yesus mengajarkan bahwa kehidupan sejati ditemukan dalam penyerahan. Ayat 24 dan 25 saling melengkapi: keinginan untuk menyelamatkan nyawa (ayat 24) seringkali berujung pada mengejar dunia (ayat 25), yang keduanya berujung pada kerugian kekal. Sebaliknya, kehilangan nyawa demi Kristus (ayat 24) berarti menolak menukarkan jiwa dengan dunia (ayat 25), yang membawa kepada kehidupan sejati.
Konsekuensi dari Ketidaksetiaan: Ayat 26 adalah peringatan yang mengikat semua panggilan ini. Jika kita malu dengan Yesus dan perkataan-Nya, itu menunjukkan bahwa kita belum sepenuhnya menyangkal diri atau bersedia memikul salib. Konsekuensinya adalah penolakan oleh Kristus pada hari penghakiman, yang menegaskan kembali betapa seriusnya panggilan kemuridan ini.
Harapan sebagai Penjaga Jiwa: Akhirnya, ayat 27, meskipun misterius, berfungsi sebagai janji dan pengharapan. Ini adalah penegasan bahwa semua penderitaan, penyangkalan, dan pengorbanan memiliki tujuan akhir yang mulia: Kerajaan Allah. Janji ini adalah penyeimbang yang penting, yang mencegah panggilan Kristus menjadi beban yang tidak tertahankan. Sebaliknya, ia adalah sebuah undangan untuk berpartisipasi dalam sebuah narasi besar yang puncaknya adalah kemuliaan ilahi.
Secara keseluruhan, Lukas 9:22-27 adalah sebuah perikop yang integral dan saling berhubungan, yang menyajikan esensi dari kemuridan Kristen. Ini adalah panggilan untuk hidup yang radikal, berpusat pada Kristus, yang berani berbeda dari nilai-nilai duniawi, dan yang digerakkan oleh harapan akan Kerajaan Allah yang akan datang.
Relevansi Kontemporer Panggilan Ini
Panggilan Yesus dalam Lukas 9:22-27, meskipun diucapkan dua milenium lalu, tetap sangat relevan dan bahkan lebih mendesak di dunia modern kita. Masyarakat kontemporer, dengan segala kemajuan dan kompleksitasnya, justru semakin menyoroti pentingnya ajaran-ajaran ini.
1. Tantangan Individualisme dan Narsisme
Zaman kita sering disebut era individualisme ekstrem, di mana penekanan pada "aku" dan "diriku" menjadi sentral. Media sosial mempromosikan narsisme, di mana citra diri dan validasi dari orang lain menjadi mata uang sosial yang berharga. Konsep "self-care" dan "self-love" seringkali disalahartikan menjadi pembenaran untuk egoisme dan mengabaikan kebutuhan orang lain. Dalam konteks ini, panggilan Yesus untuk "menyangkal dirinya" adalah sebuah antitesis yang radikal. Ia menantang kita untuk melepaskan genggaman pada identitas yang dibangun duniawi dan sebaliknya menemukan identitas sejati kita dalam Kristus, menyerahkan ego kita demi tujuan yang lebih tinggi.
2. Konsumerisme dan Materialisme
Peringatan Yesus dalam Lukas 9:25 tentang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan jiwa sangat relevan dalam masyarakat yang digerakkan oleh konsumerisme. Iklan, media, dan budaya popular terus-menerus mengatakan kepada kita bahwa kebahagiaan terletak pada kepemilikan barang, status sosial, dan kesenangan materi. Hidup seringkali diukur dari apa yang kita miliki dan seberapa banyak yang bisa kita konsumsi. Yesus mengingatkan kita bahwa semua itu adalah fana dan tidak dapat memberikan kepuasan yang sejati. Jiwa kita memiliki nilai yang tak terhingga, jauh melampaui seluruh harta dunia ini. Panggilan ini mengajak kita untuk mengevaluasi kembali prioritas hidup kita, menempatkan nilai-nilai kekal di atas keuntungan sementara.
3. Penolakan Terhadap Penderitaan
Masyarakat modern cenderung menghindari penderitaan dengan segala cara. Ada obsesi terhadap kenyamanan, kemudahan, dan penghindaran rasa sakit. Obat-obatan, hiburan, dan pelarian diri seringkali digunakan untuk menutupi atau melarikan diri dari realitas penderitaan. Namun, Yesus dengan tegas menyatakan bahwa penderitaan adalah bagian integral dari jalan kemuridan ("memikul salibnya setiap hari"). Ini bukan penderitaan yang sia-sia, melainkan penderitaan yang bertujuan: untuk membentuk karakter, memurnikan iman, dan membuat kita semakin serupa dengan Kristus. Panggilan ini mengajarkan kita untuk menghadapi penderitaan dengan perspektif iman, melihatnya sebagai sarana untuk pertumbuhan, bukan sebagai musuh yang harus dihindari.
4. Ketakutan akan Ketidakpopuleran dan Kompromi Iman
Di banyak bagian dunia, mengidentifikasi diri sebagai Kristen bisa berarti menghadapi ejekan, diskriminasi, atau bahkan penganiayaan. Di masyarakat Barat yang semakin sekuler, nilai-nilai Kristen sering dianggap ketinggalan zaman atau tidak relevan. Ada tekanan kuat untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma budaya yang bergeser, bahkan jika itu berarti mengorbankan keyakinan inti. Ayat 26, tentang "malu karena Aku dan karena perkataan-Ku," sangat relevan di sini. Yesus memanggil kita untuk keberanian, untuk tidak malu mengakui Dia di depan umum, bahkan ketika itu tidak populer atau membawa konsekuensi sosial. Ini adalah panggilan untuk integritas dan kesaksian yang berani dalam masyarakat yang semakin menekan iman.
5. Pencarian Makna dan Tujuan
Meskipun kemajuan teknologi dan peningkatan standar hidup, banyak orang di dunia modern masih bergumul dengan kehampaan dan kurangnya makna hidup. Psikolog dan sosiolog mencatat peningkatan tingkat depresi, kecemasan, dan rasa tidak puas. Panggilan Yesus untuk "kehilangan nyawanya karena Aku" menawarkan jawaban radikal untuk pencarian makna ini. Dengan menyerahkan hidup kita kepada Kristus, kita menemukan tujuan yang melampaui diri kita sendiri, tujuan yang kekal dan memuaskan. Ini adalah kehidupan yang ditemukan dalam melayani Allah dan sesama, bukan dalam pengejaran diri yang tak ada habisnya.
6. Penantian Akan Kerajaan Allah
Di tengah semua ketidakpastian dunia – perubahan iklim, konflik global, krisis ekonomi – janji Yesus tentang Kerajaan Allah yang akan datang (ayat 27) menawarkan harapan yang teguh. Ini mengingatkan kita bahwa ada rencana ilahi yang lebih besar yang sedang berjalan, dan bahwa pada akhirnya, keadilan dan kebenaran Allah akan menang. Harapan ini memungkinkan kita untuk hidup dengan keberanian dan ketekunan, mengetahui bahwa pengorbanan kita tidak sia-sia dan bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih abadi.
Dengan demikian, Lukas 9:22-27 bukan hanya perikop kuno dari Alkitab, melainkan sebuah panduan praktis dan profetis untuk hidup sebagai pengikut Kristus di dunia yang kompleks dan seringkali bermusuhan ini. Ia memanggil kita untuk menjadi radikal dalam komitmen kita, berani dalam kesaksian kita, dan penuh pengharapan dalam penantian kita akan Kerajaan Allah.
Kesimpulan: Sebuah Panggilan untuk Kehidupan Sejati
Lukas 9:22-27 adalah salah satu perikop paling esensial dalam pengajaran Yesus tentang kemuridan. Ia menyajikan sebuah gambaran yang jelas dan tidak berkompromi tentang apa artinya menjadi pengikut Kristus sejati. Ini adalah panggilan yang menuntut, namun juga menjanjikan kehidupan yang paling penuh dan bermakna.
Kita telah melihat bagaimana Yesus pertama-tama memprediksi penderitaan, kematian, dan kebangkitan-Nya sendiri (ayat 22) sebagai fondasi dari segala sesuatu. Jalan penderitaan-Nya bukanlah suatu kesalahan, melainkan suatu keharusan ilahi, puncak dari rencana keselamatan Allah. Kebangkitan-Nya adalah janji kemenangan akhir yang menjamin harapan kita.
Di atas fondasi ini, Yesus kemudian mengeluarkan panggilan yang radikal kepada "setiap orang yang mau mengikut Aku" (ayat 23): untuk menyangkal diri, memikul salibnya setiap hari, dan mengikut Dia. Menyangkal diri adalah tindakan penyerahan total dari ego dan keinginan pribadi kepada kehendak Allah. Memikul salib setiap hari berarti kesiapan untuk menanggung penderitaan, penolakan, dan pengorbanan yang datang dari ketaatan kepada Kristus. Mengikut Dia adalah sebuah komitmen aktif untuk meneladani hidup-Nya dan menuruti perintah-Nya.
Kemudian, Yesus mengajukan paradoks yang menantang: "Barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya" (ayat 24). Ini adalah kebenaran yang revolusioner, yang mengajarkan bahwa kehidupan sejati dan kekal ditemukan bukan dalam menggenggam erat hidup kita yang berpusat pada diri sendiri, melainkan dalam menyerahkannya sepenuhnya kepada Kristus.
Peringatan keras muncul dalam ayat 25, di mana Yesus menanyakan, "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?" Ini adalah teguran tajam terhadap materialisme dan pengejaran kesuksesan duniawi yang mengorbankan nilai jiwa yang tak terhingga. Tidak ada kekayaan atau kekuasaan duniawi yang dapat menggantikan kerugian jiwa yang kekal.
Konsekuensi dari ketidaksetiaan juga diuraikan dengan jelas: "Sebab barangsiapa malu karena Aku dan karena perkataan-Ku, Anak Manusia juga akan malu karena orang itu, apabila Ia datang dalam kemuliaan-Nya" (ayat 26). Panggilan ini menuntut keberanian untuk mengakui Kristus di hadapan dunia, bahkan ketika itu berarti menghadapi penolakan atau ejekan. Konsekuensi dari rasa malu di dunia ini adalah penolakan di hadapan kemuliaan Kristus yang akan datang.
Terakhir, Yesus memberikan janji yang misterius namun penuh pengharapan: "Sesungguhnya di antara orang yang hadir di sini ada yang tidak akan mati sebelum mereka melihat Kerajaan Allah" (ayat 27). Janji ini, yang kemungkinan besar terpenuhi dalam Transfigurasi atau peristiwa kebangkitan dan Pentakosta, berfungsi sebagai pengingat bahwa semua penderitaan dan pengorbanan memiliki tujuan yang mulia: manifestasi Kerajaan Allah yang pasti akan datang. Ini memberikan pengharapan dan kekuatan untuk bertahan dalam panggilan kemuridan.
Pada akhirnya, Lukas 9:22-27 adalah sebuah undangan untuk sebuah kehidupan yang diubahkan secara radikal. Ini adalah panggilan untuk keluar dari zona nyaman kita, untuk menantang nilai-nilai duniawi, dan untuk berkomitmen sepenuhnya kepada Yesus Kristus, Sang Raja yang menderita dan yang akan datang kembali dalam kemuliaan. Ini bukan hanya sebuah set aturan, melainkan sebuah jalan hidup, sebuah relasi yang dinamis dengan Juruselamat yang hidup. Marilah kita merespons panggilan ini dengan hati yang terbuka, berani menyangkal diri, memikul salib kita setiap hari, dan dengan setia mengikut Dia, menantikan dengan penuh pengharapan kedatangan penuh Kerajaan Allah.