Pendahuluan: Perjanjian yang Mengubah Sejarah
Keluaran pasal 24 adalah salah satu babak paling monumental dalam narasi Perjanjian Lama, sebuah titik krusial yang mengukuhkan hubungan antara Allah yang Mahatinggi dengan umat Israel yang baru saja dimerdekakan dari perbudakan Mesir. Pasal ini bukan sekadar catatan historis; ia adalah fondasi teologis yang menjelaskan bagaimana Allah memilih untuk berinteraksi dengan manusia, bagaimana kekudusan-Nya dinyatakan, dan bagaimana perjanjian menjadi jembatan antara Pencipta dan ciptaan. Dalam renungan keluaran 24 ini, kita akan menyelami kedalaman makna dari setiap peristiwa yang dicatat, mulai dari undangan ilahi hingga perjamuan yang sakral, dan dari pengukuhan perjanjian darah hingga penantian Musa di puncak gunung. Kita akan melihat bagaimana pasal ini tidak hanya berbicara tentang masa lalu Israel, tetapi juga menggema dalam pengalaman iman kita hari ini, menunjuk kepada perjanjian yang lebih besar yang digenapi dalam Kristus.
Signifikansi pasal ini terletak pada penetapan sebuah perjanjian yang formal dan mengikat. Setelah pembebasan yang dramatis dan berbagai mukjizat di padang gurun, Allah tidak hanya ingin menjadi "penyelamat" Israel, tetapi juga "Allah" mereka dalam sebuah hubungan yang diatur oleh hukum dan janji. Keluaran 24 menguraikan proses di mana umat Israel secara kolektif menyetujui syarat-syarat perjanjian ini, menandai lahirnya mereka sebagai bangsa kudus yang secara eksplisit terikat pada Yahweh. Ini adalah momen ketika identitas Israel sebagai "umat pilihan" diteguhkan bukan hanya oleh tindakan Allah, tetapi juga oleh respons dan komitmen mereka sendiri. Kita akan melihat bahwa di balik setiap ritual dan perintah, tersembunyi pesan-pesan abadi tentang kekudusan, mediasi, ketaatan, dan kehadiran ilahi yang merindukan persekutuan dengan manusia.
Memahami Keluaran 24 adalah memahami akar dari banyak konsep teologis penting dalam Alkitab. Dari gagasan tentang darah sebagai lambang penebusan, peran mediator antara Allah dan manusia, hingga pengalaman pribadi melihat atau merasakan kehadiran ilahi. Setiap elemen dalam pasal ini, mulai dari kurban persembahan hingga awan kemuliaan, berfungsi sebagai pengajaran yang kaya akan simbolisme dan makna profetis. Melalui renungan ini, kita akan diajak untuk merefleksikan kembali dasar-dasar iman kita, memahami nilai dari perjanjian kita dengan Allah, dan mengapresiasi keagungan serta anugerah-Nya yang tak terbatas.
Persiapkan hati dan pikiran Anda saat kita menjelajahi Keluaran 24, membiarkan Firman Tuhan berbicara dan membentuk pengertian kita tentang siapa Allah dan siapa kita di hadapan-Nya. Renungan ini diharapkan dapat memperdalam pemahaman kita tentang hubungan perjanjian, kekudusan Allah, peran mediasi, dan pentingnya ketaatan yang tulus. Mari kita mulai perjalanan ini dengan hati yang terbuka dan semangat yang rindu akan kebenaran.
Keluaran 24:1-2: Panggilan yang Eksklusif Menuju Hadirat Ilahi
Ayat-ayat pembuka pasal ini segera menarik perhatian kita pada sebuah undangan yang istimewa, namun juga penuh batasan:
"Kemudian firman-Nya kepada Musa: "Naiklah menghadap TUHAN, engkau serta Harun, Nadab dan Abihu dan tujuh puluh orang tua-tua Israel dan sujud menyembah dari jauh. Hanya Musa sendirilah yang boleh mendekat kepada TUHAN, tetapi mereka itu tidak boleh mendekat, dan bangsa itu tidak boleh ikut naik bersamamu."" (Keluaran 24:1-2)
Dalam bagian ini, kita melihat adanya tingkatan akses kepada kekudusan Allah. Pertama, ada panggilan kepada Musa, Harun, Nadab, Abihu (anak-anak Harun), dan tujuh puluh orang tua-tua Israel. Ini adalah kelompok elite, yang dipilih dari antara jutaan umat Israel. Panggilan ini sendiri merupakan sebuah kehormatan yang luar biasa, menunjukkan bahwa Allah memilih orang-orang tertentu untuk mendekat dan menyaksikan kemuliaan-Nya. Tujuh puluh tua-tua ini kemungkinan besar adalah perwakilan dari setiap suku Israel, menegaskan bahwa perjanjian yang akan dibuat adalah untuk seluruh bangsa. Kehadiran mereka menunjukkan persetujuan dan partisipasi seluruh komunitas dalam acara sakral ini.
Namun, di dalam kelompok yang sudah istimewa ini, ada lagi tingkatan yang lebih tinggi: hanya Musa sendirilah yang diizinkan mendekat sepenuhnya kepada TUHAN. Ini menunjukkan peran unik Musa sebagai mediator utama, satu-satunya yang mampu berinteraksi secara langsung dengan Allah di tingkat yang paling intim. Peran mediasi Musa tidak tergantikan; ia adalah jembatan yang menghubungkan Allah yang kudus dengan umat-Nya yang terbatas. Batasan ini bukan karena Allah pelit dengan kehadiran-Nya, melainkan karena kekudusan-Nya yang begitu agung sehingga tidak dapat didekati oleh sembarang orang, bahkan oleh pemimpin-pemimpin terpilih sekalipun. Ini mengajarkan kita tentang pemahaman yang mendalam mengenai kedaulatan Allah dan perbedaan mutlak antara Allah dan manusia yang berdosa.
Instruksi "sujud menyembah dari jauh" bagi kelompok Harun dan para tua-tua menekankan rasa hormat dan kekaguman yang diperlukan di hadapan Allah. Mereka diizinkan melihat kemuliaan-Nya, tetapi dari kejauhan, sebagai tanda kesadaran akan batasan kemanusiaan mereka. Sementara itu, "bangsa itu tidak boleh ikut naik bersamamu" memperluas batasan ini kepada seluruh umat. Ini menunjukkan bahwa meskipun perjanjian dibuat dengan seluruh bangsa, interaksi langsung dengan kekudusan Allah adalah hak istimewa yang sangat dibatasi. Batasan ini juga berfungsi untuk melindungi umat; hadirat Allah yang tanpa batas dapat berakibat fatal bagi mereka yang tidak siap atau tidak dikuduskan.
Refleksi bagi kita hari ini adalah tentang bagaimana kita mendekati Allah. Meskipun dalam Perjanjian Baru kita memiliki akses langsung kepada Bapa melalui Yesus Kristus, Sang Mediator Agung yang sempurna, prinsip kekudusan Allah tetap relevan. Kita diajak untuk mendekat dengan keberanian, tetapi juga dengan rasa hormat dan kesadaran akan siapa Dia. Pengorbanan Kristus telah merobohkan tembok pemisah, tetapi tidak mengurangi keagungan Allah. Renungan keluaran 24 mengingatkan kita akan kehormatan besar yang kita miliki sebagai anak-anak Allah untuk datang ke takhta anugerah-Nya, sebuah akses yang jauh melampaui apa yang dinikmati oleh Harun dan para tua-tua di Sinai.
Kisah ini juga menyoroti pentingnya kepemimpinan rohani yang ditunjuk oleh Allah. Musa tidak memilih dirinya sendiri; ia dipanggil dan diberi otoritas khusus untuk memimpin umat-Nya. Kepemimpinan ini melibatkan tanggung jawab besar untuk membawa Firman Allah kepada umat dan memfasilitasi hubungan mereka dengan Tuhan. Dalam konteks modern, hal ini mengajarkan kita untuk menghargai dan mendukung mereka yang Allah tempatkan dalam posisi kepemimpinan rohani, sambil juga mendorong setiap individu untuk mencari kedekatan pribadi dengan Allah melalui doa dan Firman-Nya.
Keluaran 24:3-8: Pengukuhan Perjanjian Darah
Bagian ini menceritakan inti dari penetapan perjanjian antara Allah dan Israel, sebuah ritual yang kaya akan simbolisme dan konsekuensi rohani:
"Lalu datanglah Musa memberitahukan kepada bangsa itu segala firman TUHAN dan segala peraturan itu, maka seluruh bangsa itu menjawab serentak: "Segala firman yang telah diucapkan TUHAN itu, akan kami lakukan!" Lalu Musa menuliskan segala firman TUHAN itu. Kemudian bangunlah ia pagi-pagi, didirikannyalah mezbah di kaki gunung itu dengan dua belas tugu sesuai dengan kedua belas suku Israel. Disuruhnyalah orang-orang muda dari bangsa Israel, maka mereka mempersembahkan korban bakaran dan menyembelih lembu-lembu jantan sebagai korban keselamatan kepada TUHAN. Sesudah itu Musa mengambil sebagian dari darah itu, lalu ditaruhnya ke dalam pasu-pasu, sebagian lagi dari darah itu disiramkannya pada mezbah. Diambilnyalah kitab perjanjian itu, lalu dibacakannya kepada bangsa itu dan mereka berkata: "Segala firman TUHAN akan kami lakukan dan kami dengarkan." Lalu Musa mengambil darah itu dan menyiramkannya pada bangsa itu serta berkata: "Inilah darah perjanjian yang diadakan TUHAN dengan kamu berdasarkan segala firman ini."" (Keluaran 24:3-8)
3.1. Ketaatan Umat: "Kami akan Melakukannya!"
Musa turun dari gunung dan menyampaikan semua firman dan peraturan yang telah Allah berikan. Respons bangsa Israel sangat jelas dan bulat: "Segala firman yang telah diucapkan TUHAN itu, akan kami lakukan!" (Ayat 3). Pernyataan ini bukan sekadar janji lisan, melainkan sebuah sumpah kudus. Ini menunjukkan kesediaan mereka untuk masuk ke dalam perjanjian dengan Allah secara sadar dan sukarela. Ada optimisme dan antusiasme yang membara dalam jawaban ini, sebuah kesadaran bahwa hidup di bawah perlindungan dan bimbingan Allah adalah pilihan terbaik. Namun, sejarah Israel selanjutnya akan menunjukkan betapa sulitnya menjaga janji ini dengan setia, menyoroti kerapuhan hati manusia dan kebutuhan akan anugerah ilahi yang terus-menerus. Janji ini menjadi dasar moral dan spiritual bagi seluruh eksistensi Israel sebagai sebuah bangsa.
3.2. Penulisan dan Mezbah: Membangun Fondasi Perjanjian
Musa kemudian menuliskan segala firman TUHAN. Tindakan ini sangat penting karena mengubah firman lisan menjadi dokumen tertulis yang permanen, menjadi "Kitab Perjanjian" yang bisa dipegang, dibaca, dan diwariskan (Ayat 4). Ini menekankan otoritas dan ketetapan firman Allah. Selanjutnya, Musa membangun mezbah di kaki gunung dan dua belas tugu, melambangkan kedua belas suku Israel. Mezbah adalah pusat ibadah dan pengorbanan, sedangkan dua belas tugu berfungsi sebagai saksi bisu dari perjanjian ini, secara fisik mewakili seluruh umat Israel di hadapan Allah. Setiap suku diwakili, menunjukkan bahwa perjanjian ini adalah untuk seluruh kolektivitas, bukan hanya untuk individu atau kelompok tertentu. Struktur ini menjadi penanda fisik dari ikatan suci yang baru saja dibentuk, sebuah peringatan visual yang konstan akan komitmen mereka.
3.3. Korban Bakaran dan Keselamatan: Darah Perjanjian
Orang-orang muda Israel ditunjuk untuk mempersembahkan korban bakaran dan korban keselamatan. Korban bakaran (olah) adalah persembahan yang seluruhnya dibakar sebagai tanda penyerahan total dan pengampunan dosa, sementara korban keselamatan (shelem) adalah persembahan yang sebagiannya dimakan oleh para imam dan umat, melambangkan persekutuan dan kedamaian dengan Allah. Persembahan korban ini adalah esensi dari ritual pengukuhan perjanjian. Ini menegaskan bahwa perjanjian hanya bisa diadakan melalui penumpahan darah—prinsip yang akan terus berulang dalam seluruh sejarah keselamatan Alkitab. Darah hewan yang dikorbankan berfungsi sebagai mediasi, menutupi dosa dan mempersiapkan jalan bagi hubungan yang diperbarui antara Allah dan manusia. Ritual ini juga menggarisbawahi pentingnya partisipasi aktif umat dalam pengukuhan perjanjian mereka dengan Allah.
Musa mengambil sebagian darah dan menaruhnya dalam pasu-pasu, dan sebagian lainnya disiramkan pada mezbah. Tindakan ini memisahkan darah menjadi dua bagian yang setara, satu untuk Allah (disiramkan pada mezbah sebagai persembahan kepada-Nya) dan satu untuk umat (disiramkan kepada mereka). Ini secara visual menggambarkan konsep perjanjian sebagai ikatan dua pihak. Sebelum menyiramkan darah pada umat, Musa membacakan "Kitab Perjanjian" kepada mereka, dan sekali lagi mereka menegaskan, "Segala firman TUHAN akan kami lakukan dan kami dengarkan." (Ayat 7). Respons kedua ini menunjukkan kesadaran yang lebih dalam dan persetujuan yang terinformasi setelah mendengar secara spesifik syarat-syarat perjanjian. Ini bukan lagi janji samar, tetapi sebuah sumpah atas hukum yang spesifik. Mereka bersedia terikat pada setiap kata dalam perjanjian tersebut, mengikatkan diri mereka pada ketaatan total.
Akhirnya, Musa menyiramkan darah yang tersisa pada bangsa itu, sambil menyatakan, "Inilah darah perjanjian yang diadakan TUHAN dengan kamu berdasarkan segala firman ini." (Ayat 8). Tindakan penyiraman darah ini adalah momen klimaks. Dalam budaya kuno, darah sering digunakan dalam upacara perjanjian untuk menyegel ikatan. Darah melambangkan kehidupan; dengan menyiramkan darah pada kedua belah pihak (mezbah untuk Allah, dan umat), perjanjian itu dihidupkan. Darah menjadi simbol sakral dari komitmen yang mengikat, konsekuensi dari pelanggaran, dan perlindungan yang ditawarkan di dalamnya. Darah ini menguduskan umat, menetapkan mereka sebagai milik Allah, dan menegaskan tanggung jawab mereka untuk hidup sesuai dengan ketetapan-Nya. Ritual ini mengukir perjanjian itu dalam memori kolektif umat dan di hadapan Allah sendiri. Ini adalah pengingat keras bahwa hubungan mereka dengan Tuhan didasarkan pada prinsip darah dan kurban, sebuah prinsip yang akan terus bergema hingga kedatangan Kristus.
3.4. Makna Teologis Darah Perjanjian
Konsep "darah perjanjian" ini sangat sentral dalam teologi alkitabiah. Darah di sini bukan sekadar cairan, melainkan lambang kehidupan yang diberikan sebagai tebusan. Dalam Perjanjian Lama, darah adalah alat penebusan dosa dan pengudusan. Tanpa penumpahan darah, tidak ada pengampunan (Ibrani 9:22). Perjanjian Sinai ini, yang diikat dengan darah, adalah sebuah prototipe. Itu adalah perjanjian pertama yang Allah buat dengan bangsa yang utuh, yang menetapkan mereka sebagai bangsa yang khusus. Namun, perjanjian ini juga mengungkapkan keterbatasan. Darah hewan hanya bisa menutupi dosa sementara; itu tidak bisa membersihkan hati sepenuhnya. Oleh karena itu, diperlukan darah yang lebih sempurna.
3.5. Menunjuk kepada Perjanjian Baru dalam Kristus
Renungan Keluaran 24 mengarahkan pandangan kita kepada Perjanjian Baru dalam Yesus Kristus. Ketika Yesus pada Perjamuan Malam terakhir mengambil cawan anggur dan berkata, "Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu" (Lukas 22:20), Dia secara langsung merujuk kembali kepada peristiwa di Sinai ini. Darah Yesus adalah darah perjanjian yang lebih mulia dan sempurna, yang bukan lagi dari lembu jantan atau kambing jantan, tetapi dari Anak Domba Allah sendiri. Darah-Nya tidak hanya menutupi dosa, tetapi menghapuskannya. Perjanjian dalam darah Kristus adalah perjanjian yang kekal, yang dituliskan bukan pada loh batu atau kitab, melainkan pada hati (Yeremia 31:33, Ibrani 8:10). Akses yang dulu terbatas melalui Musa, kini terbuka lebar bagi setiap orang percaya melalui Kristus. Kita tidak lagi mendekat dari jauh, tetapi diundang untuk masuk ke Ruang Mahakudus dengan keberanian (Ibrani 10:19-22). Ini adalah transisi dari perjanjian hukum yang menuntut ketaatan sempurna yang tidak dapat diberikan manusia, kepada perjanjian anugerah yang memampukan ketaatan melalui Roh Kudus.
Darah perjanjian di Sinai menegaskan bahwa untuk mendekat kepada Allah yang kudus, harus ada korban dan mediasi. Darah tersebut menjadi pengingat yang konstan akan keseriusan hubungan dengan Allah dan konsekuensi dari dosa. Namun, keindahan Injil adalah bahwa Kristus telah menjadi korban yang sempurna, sekali untuk selamanya, sehingga kita tidak perlu lagi mengandalkan darah hewan. Kita kini hidup di bawah perjanjian yang lebih baik, dengan mediator yang lebih agung, dan dengan akses yang tak terbatas. Pemahaman ini memperkaya renungan keluaran 24 kita dan memberikan perspektif baru tentang karya keselamatan Kristus.
Pentingnya bagian ini juga terletak pada penekanan akan **ketaatan**. Dua kali umat Israel bersumpah untuk melakukan dan mendengarkan firman TUHAN. Ini menunjukkan bahwa perjanjian selalu memiliki dua sisi: janji Allah dan tuntutan-Nya, serta respons manusia yang berupa ketaatan. Meskipun perjanjian baru didasarkan pada anugerah, anugerah itu tidak membatalkan panggilan untuk ketaatan, melainkan memberdayakannya. Renungan Keluaran 24 ini adalah pengingat kuat bahwa iman sejati tidak terlepas dari perbuatan, sebuah komitmen untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah yang telah menyatakan diri-Nya.
Kita diajak untuk merenungkan, seberapa serius kita mengambil perjanjian kita dengan Allah? Apakah kita seperti bangsa Israel yang dengan cepat berjanji namun kemudian gagal dalam ketaatan? Atau apakah kita sungguh-sungguh memahami anugerah dalam Kristus yang memampukan kita untuk hidup dalam ketaatan yang sejati, bukan karena paksaan hukum, melainkan karena kasih yang mendalam dan respons terhadap kasih-Nya yang telah mengalir dalam darah perjanjian yang baru?
Keluaran 24:9-11: Perjamuan Ilahi di Hadapan Allah
Ini adalah salah satu bagian yang paling menakjubkan dan misterius dalam seluruh Kitab Keluaran, menggambarkan sebuah pengalaman yang tidak tertandingi:
"Kemudian naiklah Musa dengan Harun, Nadab dan Abihu dan tujuh puluh orang tua-tua Israel. Maka mereka melihat Allah Israel; di bawah kaki-Nya ada sesuatu yang menyerupai lantai dari batu nilam dan seperti langit yang jernih. Lalu Ia tidak mengulurkan tangan-Nya kepada para bangsawan Israel itu; mereka memandang Allah, lalu makan dan minum." (Keluaran 24:9-11)
4.1. Penglihatan akan Allah: Sebuah Keistimewaan yang Luar Biasa
Kelompok terpilih—Musa, Harun, Nadab, Abihu, dan tujuh puluh tua-tua—mendaki gunung lebih tinggi lagi, sesuai dengan undangan Allah. Di sana, mereka diberikan kehormatan yang luar biasa: "Maka mereka melihat Allah Israel." Ini adalah momen theophany (penampakan Allah) yang jarang terjadi dan sangat mendalam. Meskipun Alkitab sering menegaskan bahwa tidak seorang pun dapat melihat Allah dan tetap hidup (Keluaran 33:20), konteks ini menunjukkan bahwa mereka melihat manifestasi tertentu dari kehadiran Allah, mungkin bukan wujud-Nya secara langsung, tetapi sebuah representasi visual yang kuat dari kemuliaan-Nya. Deskripsi yang diberikan sangat metaforis: "di bawah kaki-Nya ada sesuatu yang menyerupai lantai dari batu nilam dan seperti langit yang jernih." Ini menggambarkan kemuliaan, kemurnian, dan keindahan tak terlukiskan dari hadirat Allah, seolah-olah mereka melihat takhta surgawi-Nya. Batu nilam dengan warna biru langitnya yang intens melambangkan keilahian dan kemurnian yang tak terbatas, mengkontraskan dengan duniawi dan dosa.
Penting untuk dicatat bahwa mereka melihat Allah, tetapi "Ia tidak mengulurkan tangan-Nya kepada para bangsawan Israel itu." Ini berarti Allah tidak membinasakan mereka, meskipun mereka berada dalam kedekatan yang berbahaya dengan kekudusan-Nya. Ini adalah tindakan anugerah yang luar biasa. Normalnya, pertemuan langsung dengan kekudusan Allah akan mengakibatkan kematian bagi manusia berdosa. Namun, melalui perjanjian yang baru saja dikukuhkan dengan darah, dan melalui mediasi Musa, mereka diizinkan untuk hidup dan bahkan berinteraksi dalam hadirat-Nya.
4.2. Perjamuan Ilahi: Persekutuan yang Luar Biasa
Bagian yang paling mencengangkan adalah kalimat terakhir: "mereka memandang Allah, lalu makan dan minum." Ini bukan sekadar penglihatan pasif, melainkan sebuah persekutuan yang aktif, sebuah "perjamuan ilahi." Dalam budaya kuno, makan bersama adalah tanda persahabatan, persekutuan, dan perjanjian yang diperkuat. Bahwa para pemimpin Israel dapat makan dan minum di hadapan Allah sendiri adalah demonstrasi tertinggi dari keakraban yang Allah inginkan dengan umat-Nya. Ini adalah ekspresi anugerah yang mendalam, bahwa Allah yang kudus mau bersekutu sedemikian rupa dengan manusia yang berdosa, setelah perjanjian dikukuhkan.
Perjamuan ini bisa diinterpretasikan dalam beberapa cara:
- Penegasan Perjanjian: Ini adalah cara Allah untuk secara pribadi menegaskan dan merayakan perjanjian yang baru saja dibuat. Ini adalah jamuan pengukuhan, tanda bahwa Allah telah menerima perjanjian tersebut dan sekarang masuk ke dalam hubungan yang lebih intim dengan umat-Nya.
- Tanda Perdamaian: Setelah pengorbanan darah, perjamuan ini melambangkan perdamaian antara Allah dan Israel. Tidak ada lagi permusuhan; sekarang ada persekutuan. Ini menunjukkan bahwa melalui korban, dosa telah ditutupi, dan hubungan telah dipulihkan.
- Gambaran Kerajaan Surga: Banyak penafsir melihat perjamuan ini sebagai gambaran awal atau bayangan dari perjamuan surgawi yang akan datang, seperti perjamuan kawin Anak Domba dalam Wahyu, di mana umat percaya akan makan dan minum bersama Kristus di dalam Kerajaan-Nya. Ini adalah sekilas pandang dari persekutuan penuh yang Allah janjikan bagi umat-Nya di kekekalan.
- Penguatan Iman dan Otoritas: Bagi Musa dan para pemimpin, pengalaman ini pasti menguatkan iman mereka dan menegaskan otoritas mereka di mata umat. Setelah melihat Allah dan bersekutu dengan-Nya, siapa yang akan meragukan kepemimpinan mereka?
4.3. Implikasi bagi Iman Kita: Perjamuan Ekaristi dan Persekutuan dengan Kristus
Renungan Keluaran 24, khususnya bagian ini, memiliki resonansi yang kuat dengan pengalaman iman kita sebagai orang Kristen. Perjamuan Ekaristi (Perjamuan Kudus) adalah respons dan partisipasi kita dalam perjanjian baru yang dibuat dalam darah Kristus. Ketika kita makan roti dan minum anggur, kita mengingat pengorbanan Yesus dan merayakan persekutuan kita dengan-Nya dan satu sama lain. Kita tidak lagi hanya 'melihat' representasi Allah dari jauh, tetapi kita diundang untuk 'makan dan minum' secara rohani dengan Dia yang telah menjadi daging dan tinggal di antara kita.
Perjamuan di Sinai ini adalah bayangan dari apa yang kini kita nikmati. Jika para bangsawan Israel diberi anugerah untuk melihat kaki Allah dan makan di hadirat-Nya, betapa lebih besar lagi anugerah yang kita miliki untuk mengenal Allah secara pribadi melalui Roh Kudus yang tinggal di dalam kita, dan untuk mengambil bagian dalam perjamuan yang mengantisipasi persekutuan abadi dengan Kristus! Peristiwa ini menunjukkan kerinduan Allah untuk bersekutu dengan manusia, sebuah kerinduan yang akhirnya digenapi sepenuhnya dalam Yesus.
Kita diajak untuk merenungkan kedalaman anugerah ini. Bagaimana kita mendekati meja perjamuan Tuhan? Apakah dengan hati yang sama takjubnya seperti para tua-tua yang melihat kaki Allah? Apakah kita memahami bahwa setiap kali kita berpartisipasi dalam Ekaristi, kita sedang diingatkan akan perjanjian yang mulia, darah yang dicurahkan, dan persekutuan yang intim yang Allah tawarkan kepada kita? Ini adalah undangan untuk hidup dalam kekaguman dan syukur, menyadari bahwa kita, yang tidak layak, telah diundang ke meja Raja.
Selain itu, perjamuan ini juga mengajarkan kita tentang keamanan dalam hadirat Allah bagi mereka yang di dalam perjanjian. Meskipun hadirat-Nya adalah api yang menghanguskan bagi yang tidak kudus, bagi mereka yang telah dikuduskan melalui darah perjanjian, hadirat-Nya adalah tempat persekutuan, keamanan, dan kedamaian. Ini memberi kita keyakinan untuk datang dengan berani ke takhta anugerah-Nya, bukan dengan ketakutan, melainkan dengan iman, mengetahui bahwa Kristus telah membuat kita dapat diterima di hadapan Bapa.
Keluaran 24:12-18: Musa di Puncak Sinai – Penantian dan Kemuliaan
Bagian terakhir dari Keluaran 24 ini berfokus pada Musa dan penantiannya yang epik di hadapan Allah:
"TUHAN berfirman kepada Musa: "Naiklah menghadap Aku, ke atas gunung, dan tinggallah di sana, maka Aku akan memberikan kepadamu loh-loh batu, yakni Taurat dan perintah, yang telah Kutuliskan untuk diajarkan kepada mereka." Lalu bangunlah Musa dengan Yosua, abdinya itu, maka Musa mendaki gunung Allah. Tetapi kepada para tua-tua itu ia berkata: "Tinggallah di sini menunggu kami, sampai kami kembali kepadamu; bukankah Harun dan Hur ada bersama-sama dengan kamu? Siapa yang ada perkaranya datanglah kepada mereka." Maka Musa mendaki gunung dan awan menutupi gunung itu. Kemuliaan TUHAN diam di atas gunung Sinai, dan awan itu menutupinya enam hari lamanya; pada hari ketujuh dipanggil-Nyalah Musa dari tengah-tengah awan itu. Tampaklah kemuliaan TUHAN itu kepada orang Israel seperti api yang menghanguskan di puncak gunung. Musa masuk ke tengah-tengah awan itu, lalu naik ke atas gunung dan tinggallah ia di atas gunung itu empat puluh hari empat puluh malam lamanya." (Keluaran 24:12-18)
5.1. Undangan untuk Menerima Hukum
Allah memanggil Musa kembali ke puncak gunung untuk sebuah tujuan yang sangat spesifik: menerima loh-loh batu yang berisikan Taurat (Hukum) dan perintah-perintah yang telah ditulis oleh tangan Allah sendiri. Ini adalah momen krusial dalam pembentukan Israel sebagai bangsa teokratis. Hukum ini bukan sekadar seperangkat aturan, tetapi adalah ekspresi karakter Allah yang kudus dan panduan untuk hidup dalam hubungan perjanjian dengan-Nya. Kehadiran Yosua, sebagai abdi Musa, menunjukkan persiapan untuk suksesi kepemimpinan dan pentingnya seorang penolong dalam tugas ilahi.
Musa memberikan instruksi kepada para tua-tua untuk menunggu mereka dan menunjuk Harun dan Hur sebagai pemimpin sementara untuk menyelesaikan perselisihan atau perkara yang mungkin timbul di antara umat. Ini menunjukkan pentingnya tata kelola dan kepemimpinan yang berkesinambungan bahkan saat pemimpin utama tidak ada. Ini juga menyoroti peran kepemimpinan yang melayani, bahkan dalam absennya Musa.
5.2. Awan Kemuliaan dan Penantian Enam Hari
Saat Musa mendaki, awan tebal menutupi gunung. Awan ini bukanlah awan biasa, melainkan manifestasi fisik dari kemuliaan TUHAN (Shekinah). Kemuliaan ini "diam" di atas Gunung Sinai, menunjukkan kehadiran Allah yang stabil dan berdaulat. Yang menarik adalah awan itu menutupi gunung selama enam hari. Ini mungkin merupakan periode pengudusan atau persiapan bagi Musa sebelum ia secara resmi dipanggil masuk ke dalam hadirat Allah yang lebih intens. Angka enam juga bisa merujuk pada hari-hari penciptaan, menyiratkan bahwa di Sinai, Allah sedang menciptakan sebuah bangsa baru.
Pada hari ketujuh, Allah memanggil Musa dari tengah-tengah awan itu. Hari ketujuh ini memiliki resonansi Sabbath, hari istirahat dan persekutuan dengan Allah. Ini menegaskan bahwa waktu Allah adalah sempurna dan ada pola ilahi bahkan dalam penampakan diri-Nya. Penantian enam hari ini juga mengajarkan kita tentang kesabaran dalam menunggu Tuhan dan persiapan yang diperlukan sebelum kita dapat sepenuhnya masuk ke dalam kehendak atau tugas yang diberikan-Nya.
5.3. Api yang Menghanguskan: Kemuliaan Allah yang Menakutkan dan Mempesona
Bagi orang Israel yang menunggu di kaki gunung, "Tampaklah kemuliaan TUHAN itu seperti api yang menghanguskan di puncak gunung." Ini adalah pemandangan yang menakjubkan sekaligus menakutkan. Api sering kali melambangkan kekudusan Allah, penghakiman-Nya, dan kehadiran-Nya yang membakar. Kemuliaan-Nya begitu agung dan dahsyat sehingga manusia tidak dapat mendekatinya tanpa perantara. Pemandangan ini berfungsi sebagai pengingat konstan akan transendensi Allah dan perbedaan-Nya yang radikal dari manusia. Itu juga menanamkan rasa takut akan Tuhan, bukan rasa takut yang melumpuhkan, tetapi rasa hormat yang mendalam yang mendorong ketaatan.
Meskipun menakutkan, kemuliaan ini juga menarik. Ini adalah bukti visual yang tak terbantahkan akan kehadiran Allah di tengah-tengah mereka, memperkuat iman dan identitas mereka sebagai umat pilihan-Nya. Api yang menghanguskan ini adalah representasi nyata dari kebenaran bahwa Allah kita adalah "api yang menghanguskan" (Ibrani 12:29), yang kudus dan menuntut kekudusan dari umat-Nya.
5.4. Empat Puluh Hari Empat Puluh Malam: Penantian dan Transformasi
Musa kemudian masuk ke tengah-tengah awan dan tinggal di atas gunung selama empat puluh hari empat puluh malam. Angka empat puluh sering muncul dalam Alkitab sebagai periode pengujian, persiapan, atau transformasi (misalnya, banjir Nuh, pengembaraan Israel di padang gurun, puasa Yesus di padang gurun). Selama periode ini, Musa tidak makan atau minum (Keluaran 34:28), yang menunjukkan sifat supernatural dari pengalaman tersebut. Ini adalah waktu persekutuan yang intensif dengan Allah, di mana Musa tidak hanya menerima Taurat tetapi juga diubah oleh hadirat Allah itu sendiri.
Ini adalah puncak dari pengalaman Musa sebagai mediator. Ia menghabiskan waktu yang signifikan di hadirat Allah, menerima langsung instruksi ilahi yang akan membentuk kehidupan seluruh bangsa. Penantian ini mengajarkan kita tentang pentingnya waktu yang dihabiskan dalam doa dan perenungan Firman Tuhan. Transformasi sejati sering kali membutuhkan waktu yang dipersembahkan secara khusus untuk bersekutu dengan Allah, menjauh dari gangguan duniawi.
5.5. Relevansi bagi Kita: Hadirat Tuhan dan Pengudusan
Renungan Keluaran 24, khususnya bagian ini, menyoroti beberapa kebenaran penting bagi kita saat ini:
- Pentingnya Firman Tuhan: Allah mengundang Musa untuk menerima Firman-Nya yang tertulis. Firman ini adalah fondasi hubungan perjanjian dan panduan untuk hidup kudus. Kita juga dipanggil untuk menyelami Firman Tuhan dengan serius, menyadari bahwa itu adalah suara Allah bagi kita.
- Hadirat Allah yang Menguduskan: Awan kemuliaan dan api yang menghanguskan mengingatkan kita bahwa Allah itu kudus dan kehadiran-Nya menuntut kekudusan. Meskipun kita kini dapat mendekat melalui Kristus, kita harus selalu melakukannya dengan hati yang hormat dan berserah. Hadirat-Nya adalah tempat di mana kita diubah, bukan tempat kita bisa bermain-main.
- Penantian dalam Doa: Pengalaman Musa selama empat puluh hari mengajarkan kita tentang nilai penantian dalam doa dan persekutuan yang intensif dengan Allah. Terkadang, Allah memanggil kita ke "gunung" kita sendiri, periode di mana kita perlu mengisolasi diri untuk menerima arahan dan pengudusan dari-Nya.
- Transformasi Melalui Hadirat-Nya: Musa keluar dari hadirat Allah dengan wajah yang bercahaya (Keluaran 34), menunjukkan bahwa bersekutu dengan Allah memiliki efek transformatif. Demikian pula, saat kita menghabiskan waktu di hadirat Allah melalui Firman dan Roh-Nya, kita diubahkan dari kemuliaan kepada kemuliaan, menyerupai Kristus (2 Korintus 3:18).
Ayat-ayat ini mengakhiri babak penting dalam Kitab Keluaran. Pasal 24 adalah jembatan antara peristiwa-peristiwa dramatis pembebasan dan penetapan hukum yang akan datang. Ini adalah dasar di mana seluruh sistem ibadah dan kehidupan Israel akan dibangun. Melalui renungan keluaran 24 ini, kita melihat Allah yang aktif, yang berinisiatif untuk bersekutu dengan umat-Nya, yang kudus namun penuh kasih, dan yang rindu untuk membimbing mereka melalui Firman-Nya.
Tema-tema Penting dalam Keluaran 24 dan Implikasinya
Melampaui analisis ayat per ayat, Keluaran 24 merajut beberapa tema teologis yang kaya dan saling terkait. Memahami tema-tema ini akan memperdalam renungan Keluaran 24 kita secara signifikan.
6.1. Perjanjian: Fondasi Hubungan dengan Allah
Inti dari Keluaran 24 adalah penetapan perjanjian. Perjanjian ini bukanlah sekadar kesepakatan bisnis, melainkan sebuah ikatan suci yang mengikat dua pihak — Allah dan Israel — dalam sebuah hubungan yang diatur oleh janji dan hukum. Ini adalah perjanjian mosaik atau Sinaitik, yang berbeda dari perjanjian Abrahamik (yang tidak bersyarat) karena perjanjian Sinaitik bersifat bersyarat: berkat dan kutuk bergantung pada ketaatan Israel.
Allah menyatakan diri-Nya sebagai inisiator perjanjian. Dia adalah yang menetapkan syarat-syarat, yang memanggil umat, dan yang mengukuhkan ikatan. Hal ini menunjukkan kedaulatan-Nya yang mutlak. Namun, yang luar biasa adalah Allah memilih untuk mengikat diri-Nya pada umat manusia. Dia tidak hanya memerintah dari jauh, tetapi Dia ingin memiliki umat yang khusus, yang disebut dengan nama-Nya.
Bagi Israel, perjanjian ini memberi mereka identitas dan tujuan. Mereka bukan lagi sekadar sekelompok budak yang baru merdeka, tetapi "kerajaan imam dan bangsa yang kudus" (Keluaran 19:6). Perjanjian ini juga memberikan mereka sebuah konstitusi ilahi, hukum yang akan membedakan mereka dari bangsa-bangsa lain dan memimpin mereka dalam kekudusan. Hukum Taurat, yang akan diberikan Musa setelah pasal ini, adalah ekspresi konkret dari perjanjian ini.
Relevansi bagi Kita: Kita hidup di bawah Perjanjian Baru, yang jauh lebih baik dan kekal, yang didirikan atas janji-janji yang lebih mulia (Ibrani 8:6). Jika perjanjian lama dikukuhkan dengan darah hewan, perjanjian baru dikukuhkan dengan darah Kristus yang tak bercacat. Perjanjian ini tidak bergantung pada ketaatan kita yang sempurna (yang mustahil), melainkan pada karya penebusan Kristus. Namun, prinsipnya tetap sama: Allah rindu untuk bersekutu dengan kita, dan Dia telah menyediakan jalan. Ketaatan kita sekarang muncul dari kasih dan syukur atas anugerah yang telah diterima, bukan sebagai syarat untuk mendapatkan kasih-Nya.
Renungan Keluaran 24 mengingatkan kita betapa seriusnya Allah dalam membangun hubungan perjanjian, dan betapa berharganya janji-janji-Nya. Ia menantang kita untuk bertanya: Apakah kita menghargai perjanjian yang telah Allah buat dengan kita melalui Kristus? Apakah kita hidup sesuai dengan panggilan dan identitas baru yang diberikan oleh perjanjian itu?
6.2. Mediasi: Peran Krusial Seorang Perantara
Keluaran 24 dengan jelas menyoroti peran Musa sebagai mediator. Dia adalah satu-satunya yang bisa sepenuhnya mendekat kepada Allah, yang berbicara langsung dengan Allah, dan yang membawa firman Allah kepada umat. Tanpa Musa, umat tidak akan bisa mendekati hadirat Allah yang kudus tanpa binasa. Dia adalah jembatan yang diperlukan antara langit dan bumi, antara yang kudus dan yang berdosa.
Peran mediasi ini sangat berat dan berbahaya. Musa harus berani menghadapi Allah yang maha dahsyat, dan ia harus setia menyampaikan firman-Nya kepada umat yang seringkali tegar tengkuk. Kepadanya dipercayakan loh-loh perjanjian dan instruksi yang akan membentuk sebuah bangsa.
Relevansi bagi Kita: Musa adalah bayangan atau tipologi dari Mediator Agung kita, Yesus Kristus. Yesus bukan hanya seorang perantara, tetapi Dia sendiri adalah Allah yang menjadi manusia. Dia adalah Jembatan yang sempurna, satu-satunya jalan kepada Bapa (Yohanes 14:6). Jika Musa harus memisahkan umat dari hadirat Allah yang membakar, Yesus telah merobohkan tembok pemisah (Efesus 2:14), memungkinkan kita untuk datang langsung kepada Allah dengan keberanian. Darah-Nya adalah darah perjanjian yang sempurna, yang membuat kita dapat diterima sepenuhnya di hadapan Bapa. Dia adalah imam dan korban, raja dan nabi, semuanya dalam satu pribadi.
Renungan Keluaran 24 memperkuat apresiasi kita terhadap Kristus sebagai satu-satunya mediator antara Allah dan manusia (1 Timotius 2:5). Kita tidak lagi membutuhkan perantara manusia untuk mengakses Allah; Kristus telah melakukannya sekali untuk selamanya. Ini adalah kebebasan yang luar biasa dan tanggung jawab untuk mendekat kepada Allah secara pribadi melalui Dia.
6.3. Kekudusan Allah dan Respons Manusia
Seluruh pasal ini adalah deklarasi tentang kekudusan Allah. Dari batasan akses ke gunung, api yang menghanguskan, hingga deskripsi takhta yang seperti nilam, semuanya berbicara tentang keagungan dan kemurnian Allah yang tak terhingga. Kekudusan-Nya adalah alasan mengapa manusia tidak bisa sembarangan mendekat dan mengapa mediasi diperlukan.
Respons umat Israel adalah "kami akan melakukan dan kami akan mendengarkan." Ini adalah respons yang diinginkan Allah: ketaatan yang lahir dari pemahaman akan kekudusan-Nya dan keinginan untuk hidup di bawah kehendak-Nya. Namun, pasal ini juga mengisyaratkan kerapuhan ketaatan manusia. Sejarah selanjutnya akan menunjukkan bahwa umat Israel sering kali gagal memenuhi janji ini, bahkan sebelum Musa turun dari gunung, mereka sudah membuat anak lembu emas. Ini menunjukkan jurang antara kekudusan Allah dan ketidaksempurnaan manusia.
Relevansi bagi Kita: Allah kita tetap adalah Allah yang kudus. Meskipun kita diselamatkan oleh anugerah, bukan karena perbuatan, anugerah itu memampukan kita untuk mengejar kekudusan. Roh Kudus yang tinggal di dalam kita memberikan kekuatan untuk hidup sesuai dengan Firman Tuhan. Kita dipanggil untuk menjadi kudus, sama seperti Dia kudus (1 Petrus 1:15-16). Renungan Keluaran 24 menantang kita untuk merenungkan, seberapa serius kita mengambil panggilan untuk kekudusan dalam hidup kita sehari-hari? Apakah hidup kita mencerminkan hormat dan ketaatan kepada Allah yang Mahakudus?
6.4. Simbolisme Darah dan Perjamuan
Darah adalah simbol yang paling kuat dalam Keluaran 24. Darah hewan yang disiramkan pada mezbah dan umat adalah lambang kehidupan yang dipersembahkan untuk menguduskan perjanjian dan menutupi dosa. Tanpa darah, tidak ada perjanjian. Ini adalah prinsip yang berulang dalam seluruh Alkitab. Perjamuan di hadapan Allah juga merupakan simbol yang kuat dari persekutuan dan perdamaian, yang hanya mungkin terjadi setelah darah perjanjian dicurahkan.
Relevansi bagi Kita: Simbolisme ini sepenuhnya digenapi dalam Yesus Kristus. Darah-Nya adalah "darah perjanjian baru" (Matius 26:28), yang dicurahkan bukan hanya untuk menutupi dosa, tetapi untuk menghapuskannya sekali untuk selamanya. Perjamuan Kudus yang kita rayakan adalah ingatan dan partisipasi dalam perjamuan yang lebih besar ini, yang mengukuhkan perjanjian baru. Ini adalah pengingat akan pengorbanan Yesus yang sempurna dan persekutuan yang tak ternilai yang kita miliki dengan Dia.
Renungan Keluaran 24 mengundang kita untuk merayakan Perjamuan Kudus dengan hati yang penuh syukur dan pemahaman yang mendalam tentang makna darah dan persekutuan yang ditawarkannya. Ini adalah momen untuk mengingat harga keselamatan kita dan kekuatan perjanjian yang mengikat kita dengan Allah melalui Kristus.
6.5. Penantian dan Transformasi
Empat puluh hari dan empat puluh malam Musa di gunung adalah periode penantian, pengujian, dan transformasi. Ini adalah waktu persekutuan yang intens dengan Allah, yang menghasilkan bukan hanya penerimaan hukum, tetapi juga perubahan pada diri Musa sendiri. Penantian ini adalah bagian integral dari proses pertumbuhan rohani.
Relevansi bagi Kita: Dalam kehidupan iman, ada saat-saat di mana Allah memanggil kita untuk menantikan-Nya. Ini mungkin periode doa yang intens, perenungan Firman, atau bahkan masa-masa sulit yang menguji iman kita. Seperti Musa, kita diajak untuk tetap setia dalam penantian itu, percaya bahwa Allah sedang bekerja dalam dan melalui kita. Hasil dari penantian yang setia di hadirat-Nya adalah transformasi, pembaharuan, dan pemahaman yang lebih dalam tentang kehendak-Nya. Kita diubahkan ketika kita menghabiskan waktu di hadirat-Nya.
Renungan Keluaran 24 menginspirasi kita untuk mencari waktu-waktu khusus untuk menyendiri dengan Tuhan, untuk mendengarkan suara-Nya, dan untuk membiarkan hadirat-Nya mengubah kita dari dalam ke luar. Ini adalah perjalanan yang berkelanjutan, sebuah proses sepanjang hidup untuk menjadi lebih serupa dengan Kristus.
Aplikasi bagi Kehidupan Iman Masa Kini
Renungan Keluaran 24 bukan sekadar pelajaran sejarah. Prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya memiliki aplikasi yang mendalam dan transformatif bagi kehidupan iman kita hari ini.
- Hargai Perjanjian Anda dengan Tuhan: Sama seperti Israel dengan solemn mengukuhkan perjanjian mereka, kita pun telah masuk ke dalam perjanjian baru melalui Kristus. Ini adalah ikatan yang serius, yang didasarkan pada kasih dan pengorbanan. Apakah kita menghargai ikatan ini? Apakah kita hidup sebagai orang-orang yang telah ditebus dan diangkat menjadi anak-anak Allah? Ini berarti hidup dalam ketaatan yang tulus, bukan karena paksaan, tetapi sebagai respons terhadap kasih karunia yang tak terhingga. Perjanjian ini juga berarti kita bukan lagi milik kita sendiri, melainkan milik Dia yang telah membayar harga yang mahal untuk kita.
- Mendekatlah kepada Allah Melalui Kristus: Keluaran 24 menunjukkan betapa sulitnya mendekat kepada Allah yang kudus tanpa mediator. Kini, kita memiliki Yesus Kristus, Sang Mediator sempurna. Dia adalah jalan, kebenaran, dan hidup. Marilah kita menggunakan akses berharga ini yang telah Dia sediakan. Jangan ragu untuk datang ke takhta anugerah-Nya dalam doa, dengan penuh keberanian namun juga dengan rasa hormat yang dalam. Sadari bahwa melalui Kristus, kita memiliki akses yang lebih intim daripada yang pernah dialami Musa, Harun, dan para tua-tua di Sinai. Kebebasan ini harus mendorong kita untuk lebih sering dan lebih sungguh-sungguh mencari hadirat-Nya.
- Hidup dalam Kekudusan: Kekudusan Allah adalah tema sentral. Dia memanggil umat-Nya untuk menjadi kudus karena Dia kudus. Sebagai pengikut Kristus, kita dipanggil untuk mencerminkan kekudusan-Nya dalam setiap aspek kehidupan kita. Ini melibatkan proses pengudusan yang berkelanjutan melalui Roh Kudus, yaitu menjauhkan diri dari dosa dan semakin menyerupai karakter Kristus. Kekudusan bukan pilihan, melainkan panggilan dasar bagi setiap orang percaya. Ini berarti membuat pilihan-pilihan yang berbeda dari dunia, hidup dengan integritas, dan memuliakan Allah dalam segala yang kita lakukan.
- Pahami Kuasa Darah Kristus: Darah perjanjian di Sinai adalah bayangan dari darah Kristus yang jauh lebih mulia. Darah-Nya adalah dasar pengampunan dosa kita dan pengudusan kita. Ketika kita merayakan Perjamuan Kudus, ingatlah betapa besar harga yang telah dibayar untuk menebus kita. Kekuatan penebusan dalam darah Kristus tidak hanya mengampuni masa lalu kita, tetapi juga memberdayakan kita untuk hidup baru saat ini. Ini memberi kita keberanian untuk menghadapi dosa dan godaan, mengetahui bahwa kita telah dibersihkan dan dibenarkan di hadapan Allah.
- Bersabar dalam Penantian Ilahi: Pengalaman Musa di gunung selama empat puluh hari mengajarkan kita nilai dari penantian di hadapan Tuhan. Terkadang Allah memanggil kita untuk menantikan-Nya dalam doa, perenungan Firman, atau dalam situasi sulit. Penantian ini bukan pasif, melainkan aktif, di mana kita secara sadar menyerahkan diri kepada-Nya, mendengarkan, dan membiarkan-Nya membentuk kita. Dalam penantian ini, kita diubah, iman kita dikuatkan, dan kita menerima arahan serta kekuatan baru untuk melayani-Nya. Jangan menyerah ketika doa-doa tidak langsung dijawab; teruslah mencari wajah-Nya dengan sabar dan iman.
- Hidup dengan Rasa Takjub dan Hormat: Pemandangan kemuliaan Allah yang seperti api yang menghanguskan di Sinai harus mengisi hati kita dengan rasa takjub dan hormat. Meskipun kita tidak melihat-Nya dengan mata jasmani seperti para tua-tua, kita mengalami hadirat-Nya melalui Roh Kudus. Jaga hati kita agar selalu dipenuhi dengan rasa hormat kepada Allah yang Mahakuasa, Yang Maha Kudus, namun juga Yang Maha Kasih. Rasa takjub ini akan menjaga kita dari kesombongan dan mendorong kita untuk hidup dalam ibadah yang tulus.
- Menjadi Saksi Perjanjian: Sama seperti dua belas tugu yang menjadi saksi bisu perjanjian di Sinai, hidup kita harus menjadi saksi hidup dari perjanjian baru dalam Kristus. Dunia perlu melihat apa artinya hidup di bawah pemerintahan Allah yang berdaulat. Ini berarti membagikan Injil, melayani sesama, dan membiarkan terang Kristus terpancar melalui kita, sehingga orang lain juga dapat diundang ke dalam hubungan perjanjian ini.
Kesimpulan: Gema Sinai dalam Hati Kita
Renungan Keluaran 24 telah membawa kita pada sebuah perjalanan mendalam ke kaki Gunung Sinai, ke masa-masa awal pembentukan Israel sebagai bangsa kudus Allah. Kita telah menyaksikan sebuah deklarasi perjanjian yang agung, dikukuhkan dengan darah, dirayakan dalam perjamuan ilahi, dan diperkuat oleh hadirat Allah yang menakjubkan. Pasal ini adalah sebuah mahakarya teologis yang tidak hanya mencatat peristiwa masa lalu, tetapi juga menyajikan kebenaran-kebenaran abadi tentang sifat Allah, sifat perjanjian, dan sifat mediasi.
Dari batasan yang ketat dalam mendekati kekudusan Allah, kita belajar tentang transendensi-Nya yang tak terjangkau oleh manusia berdosa. Dari peran sentral Musa, kita diantar kepada pemahaman yang lebih dalam tentang kebutuhan akan seorang mediator. Dari ritual darah dan perjamuan, kita diingatkan akan harga pengampunan dan sukacita persekutuan. Dan dari penantian yang lama di puncak gunung, kita diajari tentang pentingnya menghabiskan waktu di hadirat Allah untuk transformasi pribadi.
Namun, nilai sejati dari renungan Keluaran 24 terletak pada bagaimana ia menunjuk ke depan, kepada perjanjian yang lebih sempurna yang digenapi dalam Yesus Kristus. Di Sinai, darah hewan mencurahkan perjanjian yang bersyarat; di Kalvari, darah Anak Allah mencurahkan perjanjian baru yang kekal dan tak bersyarat. Di Sinai, hanya segelintir orang yang bisa melihat kemuliaan Allah dari kejauhan; di dalam Kristus, kita semua memiliki akses langsung kepada Bapa melalui Roh Kudus yang tinggal di dalam kita. Di Sinai, perjamuan ilahi adalah sekilas persekutuan; dalam Perjamuan Kudus, kita merayakan kepenuhan persekutuan dengan Kristus yang datang kembali.
Biarlah gema Sinai tidak hanya tinggal sebagai cerita kuno, tetapi menjadi seruan yang membakar dalam hati kita. Seruan untuk hidup dalam ketaatan kepada perjanjian baru, untuk mendekat kepada Allah dengan keberanian yang didasari kerendahan hati, untuk mengejar kekudusan dalam setiap aspek kehidupan, dan untuk menantikan Tuhan dengan penuh kesabaran dan iman. Semoga setiap kita, sebagai umat perjanjian-Nya, dapat terus-menerus merenungkan keagungan dan anugerah Allah yang telah dinyatakan di Gunung Sinai dan digenapi sepenuhnya di dalam Kristus.
Renungan keluaran 24 ini mengundang kita untuk hidup dalam kekaguman, syukur, dan komitmen yang mendalam. Kita telah diundang ke dalam hubungan yang paling mulia, ditebus dengan harga yang paling mahal, dan diubahkan oleh hadirat yang paling agung. Marilah kita hidup setiap hari sebagai saksi-saksi dari kebenaran yang mengubah hidup ini, membawa kemuliaan bagi Allah yang telah memilih kita dan mengikat diri-Nya dalam perjanjian yang kekal.