Kitab Ayub adalah salah satu karya sastra terbesar dalam Alkitab, sebuah mahakarya yang menjelajahi kedalaman penderitaan manusia, keadilan ilahi, dan misteri keberadaan Allah. Di tengah pergulatan Ayub yang hebat, muncullah tiga sahabatnya—Elifas, Bildad, dan Zofar—yang datang untuk menghibur, namun pada akhirnya justru menjadi para penuduh. Setiap sahabat membawa perspektif teologisnya sendiri, yang meskipun berasal dari niat baik, seringkali gagal memahami kompleksitas penderitaan Ayub dan justru menambah bebannya.
Pasal 11 dari Kitab Ayub memperkenalkan kita pada argumen ketiga sahabat, yaitu Zofar, orang Naama. Zofar adalah sahabat termuda dan yang paling blak-blakan. Ia tidak seperti Elifas yang lebih diplomatis dengan argumen-argumen berdasarkan pengalaman dan penglihatan, atau Bildad yang mengandalkan tradisi dan otoritas leluhur. Zofar langsung menyerang Ayub dengan tuduhan bahwa Ayub terlalu banyak bicara dan mengklaim dirinya tidak bersalah. Zofar memiliki pandangan yang sangat hitam-putih tentang keadilan ilahi: orang baik diberkati, orang jahat dihukum. Karena Ayub menderita, bagi Zofar, pastilah Ayub telah berbuat dosa besar yang belum diakui.
Renungan mendalam atas Ayub 11 bukan hanya tentang memahami argumen Zofar, tetapi juga tentang merenungkan implikasi dari pandangannya terhadap penderitaan, keadilan, dan hikmat ilahi. Pasal ini menantang kita untuk mempertanyakan asumsi-asumsi kita sendiri tentang cara kerja Tuhan di dunia.
Sebelum kita menyelami detail pasal 11, penting untuk mengingat kembali situasi Ayub. Ia adalah seorang yang saleh, kaya, dan dihormati, yang tiba-tiba kehilangan segalanya—harta benda, anak-anak, dan kesehatannya—tanpa alasan yang jelas. Ia tidak tahu tentang "taruhan" antara Allah dan Iblis di surga. Yang ia tahu hanyalah penderitaan yang luar biasa dan rasa sakit yang mendalam. Ia bergumul dengan Allah, memohon penjelasan, dan bersikeras atas ketidakbersalahannya di hadapan sahabat-sahabatnya.
Sahabat-sahabat Ayub, termasuk Zofar, datang dengan paradigma teologis yang umum pada masa itu: "karma" atau "retribusi" ilahi. Jika seseorang menderita, itu pasti karena dosa. Jika seseorang diberkati, itu karena kesalehan. Dalam kerangka pemikiran ini, penderitaan Ayub yang ekstrem hanya bisa dijelaskan oleh dosa yang ekstrem pula, meskipun Ayub sendiri bersikeras bahwa ia tidak menyadarinya.
Zofar merasa terganggu oleh pembelaan diri Ayub. Bagi Zofar, Ayub bukan hanya menderita, tetapi juga menghujat Allah dengan mengklaim dirinya tidak bersalah. Zofar percaya bahwa ia harus membela kehormatan Allah dari apa yang ia anggap sebagai kesombongan Ayub. Ia merasa bahwa Ayub membutuhkan "tamparan" keras dari kebenaran untuk membuka matanya dan mengaku dosanya.
Zofar dikenal sebagai sahabat yang paling keras dan kurang berempati. Kata-katanya tajam, langsung, dan tidak ragu-ragu menuduh. Ia adalah representasi dari keyakinan yang dogmatis dan tidak fleksibel, yang menolak untuk mempertimbangkan kemungkinan adanya misteri atau kompleksitas di luar pemahaman manusia. Zofar percaya bahwa ia memiliki jawaban definitif atas penderitaan Ayub, dan jawaban itu selalu mengarah pada satu kesimpulan: Ayub bersalah.
Pandangan Zofar, meskipun keras, juga mengandung elemen kebenaran yang parsial. Ia berbicara tentang keagungan Allah, hikmat-Nya yang tak terselami, dan keadilan-Nya. Namun, ia menerapkan kebenaran ini dengan cara yang salah terhadap situasi Ayub, mengasumsikan bahwa ia dapat sepenuhnya memahami dan menafsirkan kehendak ilahi. Inilah akar masalah dalam argumen semua sahabat Ayub, dan Zofar adalah contoh paling ekstrem dari kesalahan ini.
Zofar memulai pidatonya dengan retorika yang penuh kemarahan dan tuduhan, mencela Ayub atas perkataan yang menurutnya tidak pantas.
11:1 Zofar, orang Naama itu, menyahut:
11:2 "Apakah tidak perlu dijawab ocehan yang banyak itu,
atau apakah orang yang cerewet itu harus dibenarkan?
11:3 Apakah ocehanmu akan membungkam orang-orang,
sehingga engkau dapat mengejek tanpa ada yang membuat engkau malu?
11:4 Engkau berkata: Ajaranku murni, dan aku bersih di mata-Mu.
11:5 Ah, sekiranya Allah mau berbicara dan membuka mulut-Nya terhadap engkau,
11:6 dan menyatakan kepadamu rahasia hikmat,
bahwa hikmat itu berlipat ganda dari apa yang kelihatan;
ketahuilah, bahwa Allah menuntut dari padamu kurang daripada kesalahanmu yang sesungguhnya."
Zofar memulai dengan menuduh Ayub sebagai seorang "cerewet" atau "banyak bicara" yang ocehannya tidak pantas untuk dibiarkan tanpa jawaban. Ia merasa bahwa Ayub menggunakan kata-kata untuk membungkam para sahabatnya dan mengklaim kebenaran tanpa dasar. Ungkapan "ocehan yang banyak itu" dan "orang yang cerewet itu" menunjukkan betapa Zofar meremehkan penderitaan Ayub dan menganggap perkataan Ayub sebagai omong kosong belaka.
Di mata Zofar, pembelaan diri Ayub adalah penghinaan terhadap Allah dan juga terhadap mereka, para sahabat yang datang dengan maksud "menghibur". Zofar tidak melihat ada nilai dalam ratapan Ayub, melainkan hanya kesombongan. Ini adalah indikasi awal dari kurangnya empati Zofar; ia tidak mampu melihat di balik kata-kata pahit Ayub untuk merasakan kedalaman luka dan kebingungan yang dialami Ayub.
Tuduhan bahwa Ayub "mengejek tanpa ada yang membuat engkau malu" mengungkapkan keyakinan Zofar bahwa Ayub tidak memiliki rasa malu atau penyesalan atas dosa-dosanya yang tak terucap. Bagi Zofar, Ayub bersalah, dan Ayub harusnya tahu itu, bahkan jika ia tidak mengakuinya. Sikap seperti ini adalah cerminan dari pola pikir yang seringkali terjadi dalam lingkaran keagamaan, di mana seseorang yang sedang menderita justru dianggap kurang beriman atau memiliki dosa tersembunyi, sehingga penderitaannya dianggap sebagai hukuman yang layak.
Zofar mengutip, atau setidaknya menyimpulkan, perkataan Ayub: "Engkau berkata: Ajaranku murni, dan aku bersih di mata-Mu." Ini adalah inti dari "kesombongan" Ayub di mata Zofar. Ayub memang berulang kali menegaskan ketidakbersalahannya dan menolak untuk mengakui dosa yang tidak ia lakukan. Namun, Zofar menafsirkan penolakan ini sebagai klaim kesempurnaan dan kemurnian mutlak di hadapan Allah.
Dalam konteks teologi Zofar, tidak ada manusia yang "murni" atau "bersih" di mata Allah. Semua orang berdosa. Oleh karena itu, klaim Ayub adalah hujatan dan keangkuhan. Ironisnya, Zofar tidak melihat bahwa Ayub sedang bergumul dengan keadilan Allah, bukan mengklaim dirinya setara dengan Allah. Ayub hanya mencari kebenaran dan penjelasan atas penderitaannya yang tidak sesuai dengan kehidupannya yang saleh.
Zofar gagal memahami bahwa Ayub tidak menyatakan dirinya sempurna, melainkan bahwa ia tidak bersalah atas dosa-dosa besar yang dapat menjelaskan tingkat penderitaannya. Ia tidak mengklaim kesetaraan dengan Allah, melainkan memohon agar Allah menyatakan alasan mengapa Ia memperlakukannya seperti orang fasik.
Zofar mengungkapkan keinginannya agar Allah sendiri turun tangan dan berbicara kepada Ayub, membuka "mulut-Nya terhadap engkau." Apa yang Zofar harapkan dari intervensi ilahi ini? Ia percaya bahwa Allah akan "menyatakan kepadamu rahasia hikmat, bahwa hikmat itu berlipat ganda dari apa yang kelihatan." Ini adalah poin krusial dalam argumen Zofar.
Di satu sisi, Zofar dengan tepat menyatakan bahwa ada "rahasia hikmat" pada Allah yang "berlipat ganda dari apa yang kelihatan." Ada kedalaman dalam rencana dan cara kerja Allah yang melebihi pemahaman manusia. Ini adalah kebenaran universal yang Alkitab ajarkan berulang kali. Namun, Zofar mengaplikasikan kebenaran ini dengan cara yang merusak: ia percaya bahwa jika Allah berbicara, Ia akan mengungkapkan betapa lebih besarnya dosa Ayub daripada yang Ayub akui, dan bahwa penderitaan Ayub sebenarnya "kurang daripada kesalahanmu yang sesungguhnya."
Pernyataan ini sangat kejam dan tanpa belas kasihan. Zofar tidak hanya menuduh Ayub berdosa, tetapi juga mengimplikasikan bahwa Allah bahkan telah berbaik hati kepada Ayub dengan tidak menghukumnya lebih berat. Ini menunjukkan betapa jauh Zofar dari pemahaman akan kasih karunia dan belas kasihan Allah, serta betapa ia terjebak dalam teologi retribusi yang sempit.
Kata-kata Zofar di sini mencerminkan kesombongan intelektual dan spiritual. Ia merasa tahu apa yang akan dikatakan Allah jika Allah berbicara, dan ia yakin bahwa itu akan membenarkan pandangannya dan membuktikan Ayub bersalah. Ia tidak menyisakan ruang sedikit pun untuk misteri penderitaan orang saleh.
Setelah menyerang Ayub, Zofar beralih untuk menggambarkan keagungan Allah yang tak terbatas, menggunakan retorika yang penuh kekaguman, namun tetap dengan maksud untuk merendahkan Ayub.
11:7 "Dapatkah engkau menyelami rahasia Allah,
atau menyelidiki batas-batas kekuasaan Yang Mahakuasa?
11:8 Itu lebih tinggi dari langit – apa yang dapat kaulakukan?
Itu lebih dalam dari Syeol – apa yang dapat kauketahui?
11:9 Ukurannya lebih panjang dari bumi dan lebih lebar dari laut.
11:10 Jika Ia lewat dan menangkap serta memanggil ke pengadilan,
siapakah yang dapat mencegah Dia?
11:11 Karena Ia mengenal orang-orang penipu,
dan melihat kejahatan, tanpa perlu menyelidikinya.
11:12 Tetapi orang dungu menjadi berakal budi,
jika anak keledai liar lahir sebagai manusia."
Dalam ayat-ayat ini, Zofar mengucapkan kebenaran yang agung tentang Allah. Ia menanyakan secara retoris: "Dapatkah engkau menyelami rahasia Allah, atau menyelidiki batas-batas kekuasaan Yang Mahakuasa?" Jawabannya tentu saja, "Tidak!" Zofar menggunakan perbandingan dengan alam semesta: hikmat Allah "lebih tinggi dari langit" dan "lebih dalam dari Syeol" (dunia orang mati). "Ukurannya lebih panjang dari bumi dan lebih lebar dari laut." Ini adalah gambaran yang sangat puitis dan akurat tentang Allah yang Mahabesar, Mahatahu, dan Mahakuasa. Ia menekankan transendensi dan kemahabesaran Allah yang melampaui segala pemahaman manusia.
Ayat-ayat ini adalah pengingat yang penting bahwa Allah bukanlah entitas yang dapat kita masukkan ke dalam kotak-kotak logika kita sendiri. Ada misteri ilahi yang tak terjangkau oleh akal budi manusia. Zofar dengan tepat menyuarakan kebenaran ini. Masalahnya bukan pada kebenaran yang ia sampaikan, melainkan pada cara ia menggunakannya sebagai senjata untuk menyerang Ayub.
Bagi Zofar, karena Ayub tidak dapat menyelami kedalaman hikmat Allah, maka Ayub seharusnya tidak mempertanyakan perlakuan Allah terhadap dirinya. Karena Ayub tidak dapat memahami semua rencana Allah, maka Ayub harus diam dan menerima takdirnya sebagai hukuman yang layak. Inilah titik lemah argumen Zofar: ia menggunakan kebenaran tentang keagungan Allah untuk membungkam orang yang menderita, daripada menggunakannya untuk menumbuhkan kerendahan hati dan empati.
Zofar melanjutkan dengan menegaskan kedaulatan mutlak Allah: "Jika Ia lewat dan menangkap serta memanggil ke pengadilan, siapakah yang dapat mencegah Dia?" Tidak ada yang bisa menantang Allah atau menghalangi kehendak-Nya. Ini adalah kebenaran yang fundamental tentang kedaulatan ilahi. Allah adalah Hakim tertinggi, dan keputusan-Nya tidak dapat dipertanyakan oleh manusia.
Kemudian, ia menekankan pengetahuan Allah yang tak terbatas: "Karena Ia mengenal orang-orang penipu, dan melihat kejahatan, tanpa perlu menyelidikinya." Allah tidak perlu menyelidiki atau mencari tahu; Ia sudah tahu segala sesuatu, termasuk dosa-dosa tersembunyi. Implikasinya jelas bagi Ayub: Allah tahu dosa-dosa Ayub, bahkan jika Ayub menyangkalnya atau tidak menyadarinya. Dan karena Allah Maha Adil, hukuman Ayub pasti sesuai dengan dosa-dosanya yang diketahui Allah.
Di sini, Zofar kembali menggunakan kebenaran yang agung—pengetahuan Allah yang sempurna—untuk membenarkan teologinya tentang retribusi. Ia menggunakannya untuk menekan Ayub agar mengakui dosa-dosa yang mungkin tidak ia lakukan, atau setidaknya tidak ia sadari. Ia tidak mempertimbangkan bahwa Allah mungkin memiliki alasan lain untuk mengizinkan penderitaan, alasan yang tidak terkait langsung dengan dosa pribadi yang belum diakui.
Ayat 12 adalah sindiran yang sangat tajam dan merendahkan: "Tetapi orang dungu menjadi berakal budi, jika anak keledai liar lahir sebagai manusia." Ungkapan ini pada dasarnya berarti bahwa adalah hal yang mustahil bagi "orang dungu" (yang dalam konteks ini adalah Ayub, di mata Zofar) untuk menjadi bijaksana, sama mustahilnya dengan seekor anak keledai liar yang lahir sebagai manusia dan menjadi berakal budi.
Keledai liar dikenal karena keras kepala dan tidak dapat diajar. Zofar menyamakan Ayub dengan keledai liar yang dungu, yang tidak akan pernah bisa memahami hikmat Allah, dan yang pada dasarnya bodoh. Ini adalah puncak dari penghinaan Zofar, sebuah cara untuk mengatakan bahwa Ayub itu bodoh, keras kepala, dan tidak mungkin memahami kebenaran teologis yang Zofar dan sahabat-sahabatnya genggam.
Sindiran ini menunjukkan betapa Zofar sama sekali tidak memiliki belas kasihan. Ia tidak hanya menuduh Ayub berdosa, tetapi juga merendahkan kecerdasan dan kemampuan Ayub untuk memahami kebenaran. Ini adalah contoh klasik dari bagaimana seseorang dapat menggunakan retorika keagamaan yang benar (tentang keagungan Allah) untuk tujuan yang salah (merendahkan dan menghakimi sesama).
Setelah menuduh dan menghina, Zofar kemudian menawarkan jalan keluar kepada Ayub, sebuah formula yang jelas untuk pemulihan, yang didasarkan pada pertobatan dan penyingkiran dosa.
11:13 "Jikalau engkau menyediakan hatimu dan menadahkan tanganmu kepada-Nya,
11:14 jikalau kejahatan yang ada padamu kaubuang jauh-jauh,
dan tidak membiarkan kelaliman tinggal di kemahmu,
11:15 maka engkaupun dapat mengangkat mukamu tanpa noda,
dan engkau akan tetap teguh dan tidak takut.
11:16 Engkau akan melupakan kesusahanmu,
seperti air yang mengalir, hanya akan kaingat.
11:17 Umurmu akan lebih cemerlang dari pada siang hari,
kegelapan akan menjadi terang seperti pagi.
11:18 Engkau akan merasa aman, sebab ada harapan,
dan engkau akan dilindungi, lalu dapat berbaring tenteram.
11:19 Engkau akan berbaring dan tidak ada yang mengganggu;
banyak orang akan datang menyembah engkau.
11:20 Tetapi mata orang fasik akan pudar,
bagi mereka tidak ada tempat perlindungan,
dan harapan mereka adalah putus asa."
Zofar menguraikan dua syarat utama untuk pemulihan Ayub: pertama, "jikalau engkau menyediakan hatimu dan menadahkan tanganmu kepada-Nya," dan kedua, "jikalau kejahatan yang ada padamu kaubuang jauh-jauh, dan tidak membiarkan kelaliman tinggal di kemahmu."
Frasa "menyediakan hatimu dan menadahkan tanganmu kepada-Nya" merujuk pada sikap pertobatan yang tulus dan doa yang sungguh-sungguh. Ini adalah ekspresi kerendahan hati dan penyerahan diri kepada Allah. Dalam konteks budaya Timur Tengah kuno, menadahkan tangan seringkali merupakan isyarat doa dan permohonan. Zofar ingin Ayub merendahkan diri dan memohon pengampunan Allah.
Syarat kedua, "membuang kejahatan" dan "tidak membiarkan kelaliman tinggal di kemah," adalah seruan untuk pertobatan praktis—meninggalkan dosa-dosa dan membersihkan hidup dari segala bentuk ketidakadilan. Ini menunjukkan bahwa Zofar percaya bahwa ada dosa-dosa spesifik yang tersembunyi dalam kehidupan Ayub atau di dalam rumah tangganya yang menjadi penyebab penderitaannya. Baginya, pemulihan Ayub sepenuhnya tergantung pada pengakuan dan penolakan dosa-dosa ini.
Dari sudut pandang teologis umum, ini adalah nasihat yang baik. Pertobatan dari dosa memang merupakan jalan menuju pemulihan hubungan dengan Allah dan kebahagiaan sejati. Namun, masalahnya adalah Zofar menerapkan prinsip ini secara membabi buta kepada Ayub, tanpa mempertimbangkan kemungkinan bahwa penderitaan Ayub tidak disebabkan oleh dosa yang tidak diakui.
Jika Ayub memenuhi syarat-syarat pertobatan ini, Zofar menjanjikan serangkaian berkat yang indah. Ini adalah gambaran ideal tentang kehidupan yang diberkati, mirip dengan janji-janji dalam Kitab Ulangan atau Amsal.
Ayub akan dapat "mengangkat mukamu tanpa noda, dan engkau akan tetap teguh dan tidak takut." Ini adalah gambaran dari kebebasan dari rasa malu, rasa bersalah, dan ketakutan. Ayub akan mendapatkan kembali kehormatan dan martabatnya. Kemudian, "engkau akan melupakan kesusahanmu, seperti air yang mengalir, hanya akan kaingat." Penderitaan masa lalu akan menjadi kenangan samar, tidak lagi membebani dirinya.
Janji berkat berlanjut: "Umurmu akan lebih cemerlang dari pada siang hari, kegelapan akan menjadi terang seperti pagi." Ini adalah gambaran kebahagiaan, kemakmuran, dan kedamaian. Hidup Ayub akan penuh dengan sukacita dan harapan. "Engkau akan merasa aman, sebab ada harapan, dan engkau akan dilindungi, lalu dapat berbaring tenteram. Engkau akan berbaring dan tidak ada yang mengganggu; banyak orang akan datang menyembah engkau." Ini adalah gambaran kembalinya keamanan, reputasi, dan kemakmuran. "Menyembah engkau" di sini mungkin berarti datang untuk menghormati atau mencari nasihat dari Ayub, seperti yang ia alami sebelum penderitaannya.
Janji-janji ini sangat menarik dan menggoda, menawarkan Ayub jalan keluar dari semua penderitaannya. Namun, bagi Ayub, tawaran ini kosong karena ia tidak dapat mengakui dosa yang tidak ia lakukan. Ia tidak dapat memenuhi syarat yang menurut Zofar adalah prasyarat untuk berkat-berkat ini. Ini menyoroti konflik mendalam dalam Kitab Ayub: apakah penderitaan selalu merupakan konsekuensi langsung dari dosa pribadi? Zofar mengatakan "ya," tetapi seluruh narasi Ayub menantang pandangan sempit ini.
Zofar mengakhiri pidatonya dengan kontras yang tajam antara orang benar yang bertobat dan orang fasik: "Tetapi mata orang fasik akan pudar, bagi mereka tidak ada tempat perlindungan, dan harapan mereka adalah putus asa."
Pernyataan ini adalah peringatan terselubung bagi Ayub. Jika Ayub tidak bertobat, ia akan mengalami nasib yang sama dengan orang fasik. "Mata yang pudar" dapat melambangkan kehancuran, keputusasaan, dan ketidakmampuan untuk melihat masa depan. Orang fasik tidak memiliki perlindungan dari Allah; mereka akan kehilangan semua harapan. "Harapan mereka adalah putus asa" (atau "menghembuskan napas terakhir" dalam beberapa terjemahan) berarti bahwa satu-satunya harapan mereka adalah kematian, atau harapan mereka akan musnah sama sekali.
Zofar menggunakan ancaman ini untuk menekan Ayub agar bertobat. Ia percaya bahwa ia sedang memberikan Ayub pilihan yang jelas: bertobat dan diberkati, atau tetap pada "kesalahan"nya dan binasa. Namun, ini adalah ancaman yang didasarkan pada asumsi yang salah tentang Ayub. Ayub tidak fasik; ia adalah orang benar yang sedang diuji.
Pidato Zofar dalam Ayub 11 adalah cerminan dari sebuah teologi retribusi yang kuat namun bermasalah. Meskipun ia mengucapkan kebenaran-kebenaran agung tentang Allah, ia mengaplikasikannya dengan cara yang keras, tanpa empati, dan pada akhirnya salah terhadap Ayub.
Zofar dengan tepat menekankan bahwa hikmat Allah itu tak terselami, melampaui pemahaman manusia. Ini adalah tema sentral dalam Kitab Ayub dan seluruh Alkitab (lihat Yesaya 55:8-9; Roma 11:33-36). Namun, Zofar menggunakan kebenaran ini untuk menyiratkan bahwa Ayub tidak berhak mempertanyakan mengapa ia menderita. Ia menggunakannya untuk menekan Ayub agar menerima penderitaannya sebagai hukuman yang layak, bahkan jika Ayub tidak tahu apa dosanya.
Pelajarannya bagi kita adalah bahwa pengakuan akan hikmat Allah yang tak terbatas seharusnya menuntun kita pada kerendahan hati, bukan kesombongan. Itu seharusnya membuat kita lebih berhati-hati dalam menghakimi penderitaan orang lain, bukan lebih berani menuduh. Kita tidak bisa menyingkirkan semua misteri Tuhan hanya karena kita mengakui kebesaran-Nya.
Zofar, seperti sahabat-sahabat lainnya, mengklaim memiliki pengetahuan lengkap tentang cara kerja Allah dalam menghadapi dosa dan penderitaan. Namun, ironisnya, ia adalah salah satu contoh terbaik dari keterbatasan pengetahuan manusia. Ia tidak tahu apa yang terjadi di balik layar antara Allah dan Iblis. Ia tidak tahu bahwa Allah sendiri yang memuji Ayub sebagai orang yang saleh dan jujur.
Ini mengingatkan kita bahwa kita seringkali beroperasi dengan informasi yang tidak lengkap. Kita melihat sebagian kecil dari gambaran besar. Ketika kita melihat orang lain menderita, kita sering tergoda untuk mencari "penyebab" atau "penjelasan" yang mudah. Kitab Ayub mengajarkan kita untuk menolak godaan ini dan menerima bahwa ada dimensi penderitaan yang melampaui pemahaman kita.
Zofar beroperasi di bawah asumsi bahwa penderitaan selalu merupakan konsekuensi langsung dari dosa pribadi. Meskipun ada korelasi antara dosa dan konsekuensinya dalam Alkitab (prinsip retribusi), Kitab Ayub secara radikal menantang pandangan bahwa ini adalah satu-satunya atau bahkan penjelasan utama untuk semua penderitaan. Penderitaan Ayub adalah "penderitaan orang benar," yang bukan hasil dari dosa pribadi yang belum diakui, melainkan ujian iman dan bagian dari rencana ilahi yang lebih besar.
Zofar dan sahabat-sahabatnya mewakili pandangan yang sangat umum yang masih ada sampai sekarang: kecenderungan untuk menghakimi penderitaan orang lain sebagai hukuman ilahi. Ini adalah pandangan yang berbahaya karena dapat menyebabkan kurangnya empati, menyalahkan korban, dan merusak hubungan. Renungan Ayub 11 harus memimpin kita untuk lebih berhati-hati dalam menafsirkan penderitaan, mengakui bahwa Allah dapat memiliki berbagai alasan untuk mengizinkannya, di luar sekadar retribusi langsung.
Tawaran pemulihan Zofar kepada Ayub terdengar sangat indah dan menjanjikan, namun ia adalah tawaran yang didasarkan pada premis yang salah. Karena Ayub tidak bersalah atas dosa-dosa yang dituduhkan kepadanya, ia tidak bisa "bertobat" dari dosa-dosa tersebut. Ini membuat tawaran harapan Zofar menjadi sebuah ironi yang kejam, menambah penderitaan Ayub karena ia tidak dapat memenuhi syarat yang tidak relevan dengan keadaannya.
Ini adalah pelajaran penting bagi kita: harapan sejati tidak dapat dibangun di atas asumsi yang salah atau penghakiman yang tidak adil. Kita harus menawarkan belas kasihan dan pengertian, bukan tuntutan pertobatan yang tidak relevan, kepada mereka yang menderita.
Zofar, seperti Elifas dan Bildad, mewakili "hikmat duniawi" yang, meskipun terdengar logis dan religius, gagal memahami realitas yang lebih kompleks. Mereka terjebak dalam teologi yang terlalu sederhana dan mekanis. Di sisi lain, Ayub, meskipun dalam penderitaan dan kebingungan, menunjukkan integritas yang lebih besar dalam bergumul dengan Allah secara jujur.
Ayub tidak menyangkal kebesaran Allah. Sebaliknya, ia mengakui itu. Namun, ia juga berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit kepada Allah, memohon kejelasan dan keadilan. Ia tidak puas dengan jawaban-jawaban klise atau dogma yang kaku. Kitab Ayub mengajarkan kita bahwa kerentanan dan kejujuran di hadapan Allah lebih dihargai daripada kepatuhan buta pada dogma-dogma yang salah, bahkan jika dogma tersebut memiliki elemen kebenaran.
Pada akhirnya, Kitab Ayub tidak menawarkan penjelasan mudah untuk penderitaan. Sebaliknya, ia memanggil kita untuk percaya pada kedaulatan dan hikmat Allah yang tak terbatas, bahkan ketika kita tidak memahami alasan-alasan-Nya. Ia juga menantang kita untuk berempati dengan mereka yang menderita dan menahan diri dari menghakimi mereka dengan cepat.
Dalam teologi Kristen, Ayub 11 berfungsi sebagai pengingat penting tentang beberapa kebenaran dan peringatan:
Kitab Ayub tidak berakhir dengan Zofar atau sahabat-sahabatnya. Ia berakhir dengan Allah yang berbicara. Dan ketika Allah berbicara dari badai, Ia tidak membenarkan argumen Zofar, Elifas, atau Bildad. Sebaliknya, Ia menunjukkan kepada Ayub keagungan dan misteri penciptaan-Nya, pengetahuan-Nya yang tak terbatas, dan kedaulatan-Nya atas segala sesuatu. Allah tidak menjelaskan "mengapa" Ayub menderita dalam konteks taruhan dengan Iblis, tetapi Ia menunjukkan bahwa Ayub hidup dalam sebuah alam semesta yang dipelihara oleh hikmat yang jauh melampaui pemahaman manusia.
Allah menegur sahabat-sahabat Ayub karena mereka tidak berbicara benar tentang Dia (Ayub 42:7). Ini menggarisbawahi kegagalan Zofar dan yang lainnya. Mereka mengklaim berbicara atas nama Allah dan membela keadilan-Nya, tetapi dalam prosesnya, mereka menyajikan gambaran yang tidak lengkap dan kadang-kadang salah tentang karakter Allah, khususnya dalam hubungan-Nya dengan orang yang menderita.
Pada akhirnya, Ayub sendiri merendahkan diri dan bertobat dari perkataannya yang terlalu lancang, bukan dari dosa-dosa yang dituduhkan oleh sahabat-sahabatnya. Ia bertobat karena telah berani menantang Allah dengan pemahaman yang terbatas. Ini adalah pelajaran penting tentang kerendahan hati di hadapan Allah yang Mahabesar.
Renungan Ayub 11, meskipun berasal dari ribuan tahun yang lalu, memiliki relevansi yang kuat untuk kehidupan kita saat ini. Kita hidup di dunia yang seringkali mencari penjelasan instan dan mudah untuk setiap masalah, termasuk penderitaan.
Ayub 11 adalah pasal yang menantang, menghadirkan kita dengan pandangan Zofar yang keras namun merenungkan beberapa kebenaran mendasar tentang Allah. Kita melihat bagaimana kebenaran tentang keagungan dan hikmat Allah dapat disalahgunakan untuk menghakimi dan menuduh, alih-alih untuk menumbuhkan kerendahan hati dan empati.
Renungan atas Ayub 11 mengajak kita untuk introspeksi: apakah kita cenderung menjadi seperti Zofar ketika menghadapi penderitaan orang lain atau bahkan penderitaan kita sendiri? Apakah kita cepat menghakimi, atau apakah kita bersedia merangkul misteri dan menawarkan belas kasihan?
Kisah Ayub secara keseluruhan mengajarkan kita bahwa Allah itu jauh lebih besar dan lebih kompleks daripada yang dapat kita pahami. Penderitaan bisa menjadi misteri yang mendalam, dan respons kita terhadap penderitaan orang lain harus selalu diwarnai oleh kasih dan kerendahan hati. Mari kita belajar untuk tidak menyederhanakan cara kerja Allah, dan sebaliknya, percaya pada-Nya bahkan ketika jalan-Nya tak terselami oleh akal budi kita.
Ayub 11 adalah peringatan keras terhadap bahaya keyakinan dogmatis yang tanpa belas kasihan. Ini adalah ajakan untuk merangkul kebenaran tentang keagungan Allah dengan hati yang rendah hati dan penuh empati, menyadari bahwa di balik setiap penderitaan, ada kisah yang lebih besar yang hanya diketahui oleh Allah Yang Mahabesar. Ketika kita menghadapi penderitaan, baik dalam hidup kita maupun hidup orang lain, kiranya kita tidak bergegas dengan "jawaban" tetapi berlabuh dalam iman yang mendalam kepada Allah yang penuh hikmat dan kasih, yang jalan-Nya seringkali lebih tinggi dari jalan kita, dan pikiran-Nya lebih dari pikiran kita.
Semoga renungan ini memperkaya pemahaman kita dan menuntun kita pada respons yang lebih bijaksana dan penuh kasih dalam menghadapi misteri kehidupan dan iman.