Dalam perjalanan kehidupan, kita seringkali dihadapkan pada berbagai tantangan, penderitaan, dan momen-momen yang menguji iman. Namun, di tengah semua itu, selalu ada anugerah ilahi yang menopang, memulihkan, dan memberikan harapan. Salah satu kisah paling mendalam dalam Injil yang merefleksikan kebenaran ini ditemukan dalam Injil Lukas, tepatnya di pasal 17, ayat 11 hingga 19. Kisah sepuluh orang kusta yang disembuhkan oleh Yesus, namun hanya satu yang kembali untuk menyatakan syukur, adalah narasi yang kaya makna. Lebih dari sekadar kesembuhan fisik, kisah ini berbicara tentang kedalaman iman, esensi ketaatan, dan keutamaan hati yang bersyukur—prinsip-prinsip yang secara inheren terkait dengan konsep "Air Hidup" yang Yesus tawarkan kepada dunia.
Mari kita selami kisah ini, mengupas setiap detailnya, dan menarik pelajaran rohani yang relevan bagi kehidupan kita di era modern ini. Kita akan mengeksplorasi bagaimana Air Hidup yang mengalir dari Kristus bukan hanya menyembuhkan penyakit tubuh, tetapi juga membersihkan jiwa, menyegarkan roh, dan memampukan kita untuk hidup dalam kelimpahan syukur yang sejati.
Lukas 17:11 membuka kisah ini dengan gambaran Yesus yang sedang dalam perjalanan menuju Yerusalem. Perjalanan ini bukan sekadar perpindahan fisik; ini adalah perjalanan eskatologis menuju penggenapan misi-Nya—puncak penderitaan, kematian, dan kebangkitan. Rute yang diambil Yesus pun memiliki makna mendalam: "Ketika Yesus berada dalam perjalanan ke Yerusalem, Ia melintasi perbatasan Samaria dan Galilea." (Lukas 17:11).
Melewati perbatasan Samaria dan Galilea adalah tindakan yang signifikan. Samaria dan Yudea (wilayah Yerusalem) memiliki sejarah permusuhan dan ketegangan etnis serta agama yang panjang. Orang Yahudi menganggap orang Samaria sebagai "separuh Yahudi" yang tercemar, hasil perkawinan campur dan penyimpangan ibadah. Mereka menghindari kontak dengan orang Samaria sebisa mungkin. Dengan sengaja melintasi perbatasan ini, Yesus tidak hanya menunjukkan otoritas ilahi-Nya yang melampaui batas-batas manusia, tetapi juga misi-Nya yang universal—untuk semua bangsa, termasuk mereka yang terpinggirkan dan dianggap tidak layak oleh masyarakat pada umumnya. Ini adalah refleksi awal dari prinsip "Air Hidup" yang tidak mengenal diskriminasi, mengalir kepada siapa saja yang mau menerima.
Di zaman Yesus, kusta (umumnya diyakini sebagai berbagai kondisi kulit kronis, tidak hanya Morbus Hansen) adalah penyakit yang mengerikan. Lebih dari sekadar penderitaan fisik, kusta membawa serta beban sosial dan keagamaan yang sangat berat. Menurut hukum Taurat (Imamat 13-14), orang kusta dianggap najis. Mereka harus tinggal terpisah dari masyarakat, mengenakan pakaian robek, rambut terurai, dan setiap kali mendekati seseorang harus berseru, "Najis! Najis!" untuk memperingatkan orang lain. Mereka adalah orang-orang yang hidup dalam pengucilan total, terputus dari keluarga, teman, dan bahkan ibadah di bait Allah.
Sepuluh orang kusta yang disebutkan dalam kisah ini adalah simbol dari penderitaan manusia yang paling ekstrem. Mereka adalah "orang-orang mati yang berjalan" secara sosial dan spiritual. Kondisi mereka tidak hanya menyengsarakan secara fisik, tetapi juga secara emosional dan spiritual. Mereka mewakili gambaran keputusasaan, kehilangan harapan, dan keinginan yang mendalam akan pemulihan—bukan hanya dari penyakit fisik, tetapi dari pengucilan sosial yang mematikan jiwa mereka. Dalam konteks ini, seruan mereka kepada Yesus adalah seruan dari dasar jurang keputusasaan.
"Ketika Ia memasuki suatu desa, datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia. Mereka tinggal berdiri agak jauh dan berteriak: 'Yesus, Guru, kasihanilah kami!'" (Lukas 17:12-13).
Jarak yang mereka jaga adalah sesuai dengan tuntutan hukum Taurat, menjaga agar tidak menajiskan orang lain. Namun, terlepas dari jarak fisik itu, suara mereka mampu menembus batasan tersebut. "Yesus, Guru, kasihanilah kami!" adalah seruan yang penuh iman dan keputusasaan. Kata "Guru" (Epistata) menunjukkan pengakuan akan otoritas dan kemampuan Yesus. Permintaan "kasihanilah kami" bukan hanya tentang penyembuhan fisik; itu adalah permohonan untuk diakui, untuk kembali menjadi bagian dari masyarakat, untuk mendapatkan kembali kehormatan dan kehidupan mereka.
Seruan ini adalah gambaran universal dari manusia yang membutuhkan belas kasihan ilahi. Setiap dari kita, dalam cara kita masing-masing, adalah "orang kusta" di hadapan Allah—tercemar oleh dosa, terpisah dari kekudusan-Nya. Dan seperti sepuluh orang ini, kita pun harus datang kepada Yesus dengan kerendahan hati dan seruan yang tulus untuk belas kasihan-Nya. Ini adalah langkah pertama untuk "minum" dari Air Hidup: pengakuan akan kebutuhan dan ketergantungan kita pada Sang Sumber.
"Ketika Ia melihat mereka, Ia berkata kepada mereka: 'Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam!'" (Lukas 17:14a).
Perintah ini sangatlah penting. Yesus tidak langsung menyembuhkan mereka di tempat. Dia tidak mengucapkan kata-kata penyembuhan secara eksplisit pada saat itu. Sebaliknya, Dia memberikan instruksi yang membutuhkan tindakan iman dan ketaatan dari pihak orang-orang kusta tersebut. Mengapa imam? Karena menurut hukum Taurat (Imamat 14:2-3), hanya imam yang berhak menyatakan seseorang bersih dari kusta dan mengizinkannya kembali ke masyarakat. Jadi, perintah Yesus adalah perintah untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang yang sudah sembuh.
Namun, pada saat Yesus memberi perintah ini, mereka belum sembuh. Inilah esensi dari ketaatan yang menguji iman. Mereka harus mengambil langkah iman, percaya bahwa jika mereka taat kepada perkataan Yesus, kesembuhan akan terjadi. Mereka harus bergerak dalam iman, bertindak seolah-olah kesembuhan sudah menjadi kenyataan. Ini adalah pelajaran fundamental bagi kita: seringkali, berkat Tuhan tersembunyi di balik tindakan ketaatan yang sederhana, bahkan ketika kita belum melihat hasilnya. Air Hidup seringkali mengalir ketika kita melangkah dalam iman, bahkan di tengah ketidakpastian.
"Dan sementara mereka di jalan, mereka menjadi tahir." (Lukas 17:14b).
Keajaiban itu terjadi, bukan di hadapan Yesus, bukan saat mereka pertama kali berseru, melainkan saat mereka sedang dalam perjalanan menuju imam. Ini menunjukkan bahwa iman mereka tidaklah pasif. Iman mereka diwujudkan dalam tindakan ketaatan. Mereka memilih untuk percaya pada perkataan Yesus dan memulai perjalanan yang panjang dan mungkin menyakitkan, menuju pemulihan yang belum mereka lihat. Dan hasilnya, mereka menjadi tahir—sembuh total.
Kesembuhan mereka adalah bukti nyata dari kuasa Yesus yang tak terbatas dan pentingnya ketaatan dalam perjalanan iman. Air Hidup yang Yesus tawarkan seringkali bekerja melalui proses, melalui langkah-langkah iman yang kita ambil. Kita mungkin tidak selalu merasakan "kesembuhan instan," tetapi saat kita taat dan terus melangkah dalam arah yang Tuhan tunjukkan, pemulihan dan transformasi akan terwujud. Ini mengajarkan kita bahwa seringkali, keajaiban tidak terjadi di zona nyaman, tetapi di tengah-tengah tindakan aktif kita dalam menanggapi panggilan ilahi.
"Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia sudah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah orang Samaria." (Lukas 17:15-16).
Dari sepuluh orang yang disembuhkan, hanya satu yang kembali. Dan responsnya sungguh luar biasa: ia memuliakan Allah dengan suara nyaring, tersungkur di kaki Yesus, dan mengucap syukur kepada-Nya. Ini adalah gambaran sempurna dari hati yang telah disentuh oleh anugerah dan mengenal sumbernya. Ia tidak hanya bersukacita atas kesembuhannya, tetapi juga menyadari siapa yang memberikannya. Ia tidak menunda-nunda, tidak menganggap enteng berkat yang diterima, tetapi segera kembali untuk memberikan pujian dan rasa terima kasih yang mendalam.
Tindakan ini adalah indikator dari hati yang telah benar-benar menerima "Air Hidup." Air Hidup tidak hanya menyembuhkan, tetapi juga memicu respons syukur yang mendalam. Syukur sejati bukanlah kewajiban, melainkan luapan hati yang menyadari betapa besarnya anugerah yang telah diterima. Ini adalah fondasi dari hubungan yang intim dengan Allah, di mana berkat tidak hanya dinikmati, tetapi juga dihargai dan direspons dengan kekaguman.
Fakta bahwa orang yang kembali ini adalah seorang Samaria menambah lapisan makna yang signifikan. Seperti yang telah kita bahas, orang Samaria adalah kaum yang terpinggirkan dan dibenci oleh orang Yahudi. Namun, justru dia yang menunjukkan respons yang paling tepat dan penuh iman. Yesus sendiri menyoroti hal ini:
"Bukankah kesepuluh orang itu sudah tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain orang asing ini?"
Lukas 17:17-18
Pertanyaan Yesus adalah pertanyaan retoris yang menusuk hati. Ini menyoroti betapa seringnya kita, yang mungkin merasa lebih "layak" atau lebih "dekat" dengan Tuhan, justru gagal dalam hal syukur. Orang Samaria ini, yang secara sosial adalah "orang asing," secara spiritual adalah yang paling memahami arti anugerah dan bagaimana meresponsnya. Ini adalah cerminan dari hati Allah yang melampaui batas-batas suku, ras, status sosial, atau latar belakang agama. Air Hidup mengalir bagi semua orang, dan seringkali, mereka yang paling tidak diharapkanlah yang paling siap untuk menerimanya dan meresponsnya dengan segenap hati.
Kisah ini menghancurkan prasangka dan menantang kita untuk melihat melampaui label dan stereotip. Anugerah Tuhan tidak eksklusif; itu adalah untuk semua, dan respons syukur yang tulus adalah satu-satunya kriteria yang benar-benar penting di mata-Nya.
"Lalu Ia berkata kepadanya: 'Bangunlah, pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!'" (Lukas 17:19).
Ini adalah puncak dari kisah ini. Sembilan orang lainnya juga sembuh secara fisik, tetapi mereka tidak menerima pernyataan "imanmu telah menyelamatkan engkau." Pernyataan ini menunjukkan bahwa orang Samaria ini menerima lebih dari sekadar kesembuhan tubuh. Dia menerima penyelamatan sejati—penyelamatan rohani, pemulihan hubungan dengan Allah, dan keutuhan jiwa. Kesembuhan fisiknya hanyalah pintu gerbang menuju anugerah yang lebih besar.
Iman orang Samaria ini, yang dimanifestasikan melalui ketaatan dan luapan syukur yang mendalam, membawanya kepada pengalaman keselamatan yang holistik. Ini adalah definisi "minum dari Air Hidup" secara utuh. Bukan hanya menyingkirkan penyakit, tetapi juga mendapatkan kehidupan baru yang berlimpah, damai sejahtera, dan keintiman dengan Sumber Kehidupan. Keselamatan ini adalah buah dari iman yang hidup, yang merespons anugerah dengan ketaatan dan hati yang bersyukur.
Kisah ini mengingatkan kita bahwa banyak orang bisa menerima berkat Tuhan secara lahiriah, tetapi hanya mereka yang meresponsnya dengan iman dan syukur yang tulus yang akan mengalami kedalaman penyelamatan yang sesungguhnya. Mereka yang minum dari Air Hidup dan mengabaikan Sang Pemberi, mungkin mendapatkan kesegaran sesaat, tetapi hanya mereka yang kembali kepada Sumber yang akan mengalami kelegaan dan kehidupan kekal.
Konsep "Air Hidup" adalah metafora yang kaya dalam Alkitab, seringkali merujuk pada Roh Kudus, Sabda Allah, atau kehidupan kekal yang diberikan oleh Yesus Kristus. Ini adalah sumber kehidupan rohani, pemurnian, dan penyegaran yang tak terbatas. Yesus sendiri berulang kali menyebut diri-Nya sebagai sumber Air Hidup:
Air Hidup adalah janji Allah akan pemulihan total, pembersihan dari dosa, dan pengisian dengan keberadaan ilahi yang terus-menerus. Ini adalah lawan dari kekeringan spiritual, kehausan jiwa, dan kematian rohani.
Orang kusta, dalam konteks Alkitab, seringkali menjadi gambaran dari dosa. Dosa mengisolasi kita dari Allah dan sesama, merusak kemurnian kita, dan menyebabkan penderitaan spiritual. Seperti kusta yang mengeringkan dan merusak daging, dosa mengeringkan jiwa dan merusak hubungan kita dengan Sang Pencipta.
Seruan sepuluh orang kusta untuk belas kasihan adalah seruan dari jiwa yang haus akan pembersihan dan pemulihan. Mereka mungkin hanya memikirkan kesembuhan fisik, tetapi di balik itu ada kehausan yang lebih dalam—kehausan untuk diakui, diterima, dan dihidupkan kembali. Yesus, sebagai sumber Air Hidup, datang untuk menjawab kehausan ini. Dia tidak hanya menyembuhkan penyakit tubuh mereka, tetapi Dia juga membuka jalan bagi pembersihan jiwa dari "kusta" dosa, yang pada akhirnya dialami sepenuhnya oleh orang Samaria yang bersyukur.
Perintah Yesus, "Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam!", adalah langkah pertama dalam menerima Air Hidup. Ketaatan pada perintah ilahi seringkali menjadi saluran pertama bagi anugerah Tuhan. Air Hidup tidak secara otomatis membanjiri kita tanpa respons dari pihak kita. Justru, saat kita melangkah dalam ketaatan—bahkan dalam ketidakpastian—kita membuka diri terhadap aliran anugerah-Nya.
Kesembuhan mereka "saat mereka di jalan" adalah bukti bahwa Air Hidup mulai mengalir begitu mereka mulai bergerak dalam ketaatan. Ini bukan ketaatan buta, melainkan ketaatan yang lahir dari iman pada perkataan Yesus. Ini mengajarkan kita bahwa Air Hidup adalah anugerah, tetapi anugerah itu seringkali membutuhkan respons yang aktif dari pihak kita. Kita tidak hanya menunggu Air Hidup datang, tetapi kita pergi ke tempat di mana ia telah dijanjikan akan mengalir, melalui ketaatan kita.
Sembilan orang yang tidak kembali, meskipun disembuhkan, menunjukkan bahwa mereka menikmati "Air Hidup" dalam bentuk kesembuhan fisik, tetapi tidak sepenuhnya merangkul Sumbernya. Mereka mengambil apa yang mereka inginkan, tanpa menyadari atau menghargai siapa yang memberi.
Sebaliknya, orang Samaria yang kembali dengan syukur menunjukkan bahwa ia tidak hanya meminum Air Hidup, tetapi juga dihidupkan olehnya. Syukur adalah cerminan dari hati yang telah dipenuhi dan disegarkan oleh Air Hidup. Ketika Air Hidup mengalir dalam diri kita, ia tidak hanya memenuhi kekosongan, tetapi juga meluap menjadi pujian dan rasa terima kasih kepada Allah. Syukur adalah bukti bahwa kita tidak hanya menerima berkat, tetapi juga memahami bahwa berkat itu datang dari Sumber Kehidupan yang tak terbatas.
Tanpa syukur, Air Hidup dapat terasa seperti air yang diminum dan segera terlupakan, meninggalkan kita kering lagi secara spiritual. Dengan syukur, setiap tetes Air Hidup menjadi pengingat konstan akan kasih dan anugerah Allah, memperdalam hubungan kita dengan-Nya dan memicu aliran Air Hidup yang lebih besar lagi.
Pernyataan Yesus, "imanmu telah menyelamatkan engkau," kepada orang Samaria menyoroti dimensi holistik dari Air Hidup. Ini bukan hanya tentang penyembuhan fisik, tetapi tentang pemulihan total—jiwa, raga, dan roh. Air Hidup yang Yesus tawarkan melampaui kebutuhan temporal kita; ia menyembuhkan luka-luka terdalam jiwa, memulihkan hubungan yang rusak, dan memberikan kehidupan kekal.
Sembilan orang mungkin telah mendapatkan "Air" yang menyembuhkan tubuh mereka, tetapi hanya orang Samaria yang mendapatkan "Air Hidup" yang menyelamatkan jiwanya. Ini adalah perbedaan krusial antara sekadar menerima berkat Tuhan dan mengalami Tuhan itu sendiri. Air Hidup sejati mengubah kita dari dalam ke luar, memampukan kita untuk hidup dalam tujuan ilahi dan merespons dengan kasih dan syukur yang tak henti-hentinya.
Dalam dunia modern, kita mungkin tidak lagi menghadapi kusta secara harfiah, tetapi kita semua memiliki "kusta" dalam bentuk dosa, kelemahan, kebiasaan buruk, luka emosional, atau pola pikir yang merusak. Kekeringan spiritual, kecemasan, keputusasaan, dan perasaan terasing adalah bentuk-bentuk kusta modern yang memisahkan kita dari Allah dan sesama. Seperti sepuluh orang kusta, langkah pertama untuk menerima Air Hidup adalah dengan mengakui bahwa kita membutuhkan penyembuhan dan belas kasihan Yesus. Kita harus berseru kepada-Nya dengan kerendahan hati dan kejujuran.
Apakah "kusta" yang mengisolasi Anda saat ini? Apakah itu kecanduan, kepahitan, rasa takut, kesombongan, atau apatis rohani? Yesus adalah sumber Air Hidup yang mampu membersihkan setiap noda dan menyembuhkan setiap luka, apa pun bentuknya. Pengakuan adalah pintu menuju pemulihan.
Seperti sepuluh orang kusta yang harus pergi kepada imam, kita juga dipanggil untuk ketaatan yang aktif. Ketaatan bukan hanya sekadar mengikuti aturan, melainkan respons iman yang percaya pada perkataan dan arahan Tuhan, bahkan ketika jalan di depan belum sepenuhnya jelas. Tuhan mungkin meminta kita untuk:
Seringkali, Air Hidup mulai mengalir deras saat kita mengambil langkah ketaatan yang pertama. Jangan menunggu sampai Anda merasa siap atau melihat hasilnya secara instan. Percayalah bahwa dalam ketaatan, Tuhan akan bekerja dan menyediakan apa yang kita butuhkan.
Kisah sepuluh orang kusta adalah peringatan keras tentang bahaya kelalaian dalam hal syukur. Berkat Tuhan seringkali dianggap remeh, dan hati manusia cenderung mudah melupakan Sumbernya. Namun, syukur bukanlah pilihan, melainkan keutamaan inti kehidupan Kristen yang telah dijamah Air Hidup. Memupuk hati yang bersyukur adalah kunci untuk mengalami kelimpahan Air Hidup secara terus-menerus. Berikut adalah beberapa cara praktis:
Ketika kita bersyukur, kita tidak hanya mengakui kebaikan Tuhan, tetapi kita juga membuka hati kita untuk menerima lebih banyak lagi. Syukur adalah resonansi dari Air Hidup dalam jiwa kita, yang memancarkan terang dan kehidupan.
Orang Samaria yang bersyukur mengingatkan kita bahwa kasih dan anugerah Allah tidak terbatas pada kelompok tertentu. Kita seringkali tergoda untuk membangun tembok-tembok pemisah—berdasarkan ras, status sosial, pendidikan, atau afiliasi agama. Namun, Air Hidup mengalir untuk semua. Sebagai pengikut Kristus, kita dipanggil untuk meruntuhkan tembok-tembok ini dan melihat setiap orang sebagaimana Kristus melihat mereka: jiwa-jiwa yang haus akan Air Hidup.
Apakah ada "orang asing" dalam hidup kita, mereka yang kita abaikan atau hakimi? Apakah ada kelompok orang yang kita anggap tidak layak untuk menerima anugerah Tuhan? Kisah ini menantang kita untuk memperluas lingkaran kasih dan pelayanan kita, mencerminkan hati Yesus yang inklusif.
Pelajaran terpenting dari kisah ini adalah perbedaan antara menikmati berkat-berkat Tuhan dan mengenal serta menghargai Sang Pemberi Berkat itu sendiri. Sembilan orang menikmati berkat (kesembuhan), tetapi mereka tidak kembali kepada Pemberinya. Orang Samaria tidak hanya menikmati berkat, tetapi ia kembali kepada Sumbernya, dan karena itu, ia menerima penyelamatan yang jauh lebih dalam.
Kita seringkali seperti sembilan orang kusta: senang dengan pekerjaan baru, kesehatan yang baik, hubungan yang membaik, atau masalah yang terselesaikan. Kita menikmati "air" penyembuhan, tetapi kita lupa kembali kepada "Air Hidup" itu sendiri, yaitu Yesus Kristus. Prioritas kita haruslah selalu kepada Sang Pemberi, bukan hanya kepada pemberian-Nya. Ketika kita menempatkan Yesus sebagai pusat, semua berkat lainnya akan mengalir dalam konteks yang benar.
Kisah sepuluh orang kusta dalam Lukas 17:11-19 adalah sebuah mosaik spiritual yang indah, mengungkapkan kebenaran-kebenaran abadi tentang sifat Allah, hati manusia, dan esensi iman sejati. Yesus, sebagai sumber "Air Hidup" yang tak pernah kering, senantiasa menawarkan pembersihan, pemulihan, dan kehidupan kekal kepada siapa pun yang mau datang kepada-Nya.
Kita telah melihat bagaimana konteks perjalanan Yesus melintasi Samaria dan Galilea menunjukkan misi-Nya yang inklusif, merangkul mereka yang terpinggirkan. Kita telah menyaksikan kedalaman penderitaan orang kusta, yang adalah cerminan dari "kusta" dosa yang memisahkan kita dari kekudusan Allah. Seruan mereka, "Yesus, Guru, kasihanilah kami!", adalah pengingat bahwa langkah pertama menuju pemulihan selalu dimulai dengan pengakuan kerentanan dan kebutuhan kita akan belas kasihan ilahi.
Perintah Yesus untuk pergi kepada imam-imam, bahkan sebelum mereka disembuhkan, mengajarkan kita tentang pentingnya ketaatan yang menguji iman. Air Hidup seringkali mulai mengalir saat kita mengambil langkah-langkah iman dalam menanggapi firman-Nya, bahkan ketika kita belum melihat hasilnya. Kesembuhan yang terjadi di tengah perjalanan adalah kesaksian akan kesetiaan Allah yang memberkati tindakan ketaatan kita.
Namun, puncak dari kisah ini terletak pada respons yang berbeda dari sepuluh orang yang disembuhkan. Sembilan orang, setelah menerima berkat, melanjutkan perjalanan mereka tanpa kembali kepada Sang Pemberi. Mereka menikmati "air" kesembuhan, tetapi gagal mengenali atau menghargai "Air Hidup" yang telah menyelamatkan mereka. Di sisi lain, satu orang Samaria, seorang "orang asing," kembali dengan hati yang meluap-luap dalam syukur dan pujian. Tindakannya melampaui rasa terima kasih belaka; itu adalah deklarasi iman yang mendalam, yang diakui oleh Yesus dengan pernyataan transformatif: "Imanmu telah menyelamatkan engkau!"
Ini adalah perbedaan fundamental antara menerima berkat fisik semata dan mengalami penyelamatan holistik—penyembuhan jiwa, raga, dan roh—yang ditawarkan oleh Air Hidup. Syukur bukanlah sekadar etiket yang baik; itu adalah indikator dari hati yang telah sepenuhnya memahami kedalaman anugerah Allah dan mengakui Yesus sebagai Sumber segala kehidupan.
Sebagai pengikut Kristus di dunia yang serba cepat dan seringkali kering secara spiritual, renungan ini memanggil kita untuk:
Biarlah kisah sepuluh orang kusta ini menjadi pengingat yang kuat bagi kita semua. Setiap hari, kita menerima berkat-berkat yang tak terhitung jumlahnya dari tangan Tuhan. Apakah kita akan menjadi seperti sembilan orang yang menerima dan melupakan, atau seperti satu orang Samaria yang kembali, tersungkur dalam syukur, dan menerima penyelamatan yang sejati dan abadi dari Air Hidup yang tak pernah kering? Pilihan ada di tangan kita.
Marilah kita hidup dari Air Hidup, sehingga hidup kita melimpah dengan syukur, memuliakan Allah dalam setiap aspek keberadaan kita.