Mazmur 84: Kerinduan Mendalam akan Hadirat Allah yang Hidup
Pengantar: Sebuah Mazmur Kerinduan yang Menggema
Mazmur 84 adalah salah satu permata spiritual dalam kumpulan Mazmur, sebuah nyanyian yang sarat dengan kerinduan, iman, dan pengharapan yang mendalam akan kehadiran ilahi. Dikenal juga sebagai "Mazmur Bait Allah" atau "Mazmur Lembah Baka," teks suci ini mengalirkan emosi murni dari hati yang merindukan hadirat Tuhan. Penulisnya, bani Korah, adalah keturunan Lewi yang bertugas sebagai penjaga pintu gerbang, penyanyi, dan musisi di Bait Allah. Latar belakang mereka ini memberi nuansa khusus pada mazmur ini, seolah-olah mereka adalah orang-orang yang paling dekat dengan kudusnya Bait Allah, namun juga yang paling memahami nilai dari keberadaan di dalamnya.
Mazmur ini adalah bagian dari "Nyanyian Ziarah" atau "Mazmur Tangga" (Mazmur 120-134), yang sering dinyanyikan oleh para peziarah dalam perjalanan mereka menuju Yerusalem untuk perayaan tahunan. Meskipun secara tradisional tidak termasuk dalam kelompok Nyanyian Ziarah, Mazmur 84 sering dianggap memiliki semangat yang sama, menangkap esensi perjalanan rohani menuju hadirat Allah. Ia berbicara tentang kerinduan universal umat manusia akan tempat perlindungan, kedamaian, dan tujuan yang hanya dapat ditemukan dalam relasi yang intim dengan Sang Pencipta. Ini bukan hanya sekadar lagu tentang sebuah bangunan fisik, melainkan tentang hadirat Allah yang bersemayam di dalamnya dan bagaimana hadirat itu mengubah kehidupan setiap orang yang mencarinya dengan tulus.
Dalam Mazmur 84, kita tidak hanya menemukan ungkapan kerinduan, tetapi juga keyakinan yang teguh akan karakter Allah yang baik dan setia. Mazmur ini melukiskan gambaran tentang berkat-berkat yang melimpah bagi mereka yang menaruh kepercayaan pada-Nya, bahkan ketika mereka harus melewati "lembah air mata" atau masa-masa sulit dalam hidup. Ini adalah mazmur yang merayakan sukacita berada di dekat Allah, kekuatan yang ditemukan dalam perjalanan iman, dan anugerah yang mengalir dari hadirat-Nya. Melalui metafora yang indah dan janji-janji yang menguatkan, Mazmur 84 mengajak kita untuk meninjau kembali prioritas hidup kita dan mencari hadirat Allah sebagai sumber kebahagiaan dan keamanan yang sejati.
Membaca dan merenungkan Mazmur 84 adalah sebuah undangan untuk menenggelamkan diri dalam samudra spiritualitas yang kaya, di mana setiap ayat adalah mutiara kebijaksanaan. Ini adalah sebuah pengingat bahwa di tengah hiruk pikuk dunia modern, di mana perhatian kita sering terpecah belah oleh berbagai tuntutan dan distraksi, ada sebuah tempat yang stabil dan abadi—hadirat Allah—yang selalu siap menerima kita. Mari kita telusuri lebih dalam setiap baris Mazmur ini, membiarkan firman-Nya meresap ke dalam jiwa dan membangkitkan kerinduan yang sama dalam hati kita akan Allah yang hidup.
Membedah Setiap Ayat: Sebuah Perjalanan Rohani
Ayat 1-2: Betapa Menyenangkan Kediaman-Mu, Ya TUHAN Semesta Alam!
Betapa disenangi tempat kediaman-Mu, ya TUHAN semesta alam!
Jiwaku merana karena merindukan pelataran-pelataran TUHAN;
hatiku dan dagingku bersorak-sorai kepada Allah yang hidup.
Pembuka Mazmur 84 segera menarik kita ke dalam inti emosional dari pemazmur: sebuah kerinduan yang mendalam dan tulus akan tempat kediaman Tuhan. Kata "disenangi" (Ibrani: `yedidot`) tidak hanya berarti menyenangkan, tetapi juga dicintai, dihargai, dan dirindukan dengan sungguh-sungguh. Ini bukan sekadar tempat yang nyaman atau indah secara arsitektur, melainkan tempat yang memiliki nilai spiritual yang tak terhingga karena di sanalah hadirat Tuhan bersemayam. Bagi bani Korah, Bait Allah di Yerusalem adalah pusat dari segala penyembahan, tempat di mana langit dan bumi bertemu, di mana manusia dapat mengalami kekudusan dan kemuliaan Allah.
Kerinduan ini digambarkan dengan intensitas fisik dan emosional: "Jiwaku merana karena merindukan pelataran-pelataran TUHAN; hatiku dan dagingku bersorak-sorai kepada Allah yang hidup." Kata "merana" (Ibrani: `kasaf`) menggambarkan keinginan yang begitu kuat sehingga menyebabkan kelemahan fisik, seperti rasa haus yang hebat. Ini adalah kerinduan yang memakan habis, yang menguasai seluruh keberadaan pemazmur—jiwa, hati, dan bahkan dagingnya. Ini bukan sekadar keinginan intelektual, melainkan sebuah hasrat holistik dari seluruh diri manusia. Pelataran Bait Allah adalah tempat di mana orang-orang beriman berkumpul, mempersembahkan korban, berdoa, dan mengalami persekutuan dengan Allah dan sesama.
Penting untuk dicatat bahwa objek kerinduan pemazmur bukanlah hanya "pelataran-pelataran TUHAN" sebagai struktur fisik, tetapi juga "Allah yang hidup." Ini adalah inti dari kerinduan sejati. Bangunan itu sendiri, betapapun megahnya, hanyalah simbol. Yang dicari adalah Dia yang bersemayam di dalamnya—Allah yang aktif, yang berinteraksi, yang tidak mati atau diam seperti berhala. Kerinduan akan Bait Allah adalah kerinduan akan Allah itu sendiri, akan persekutuan yang tak terhalang dengan-Nya. Ini mengajarkan kita bahwa fokus utama dalam setiap ibadah dan pencarian spiritual kita seharusnya selalu tertuju pada pribadi Allah, bukan hanya pada ritual atau tempatnya.
Dalam konteks modern, di mana kita mungkin tidak memiliki Bait Allah fisik yang sama, ayat ini menantang kita untuk bertanya: apa yang menjadi pusat kerinduan spiritual kita? Apakah kita merindukan hadirat Allah dengan intensitas yang sama? Apakah seluruh keberadaan kita—jiwa, hati, dan tubuh—bersorak-sorai kepada Allah yang hidup, ataukah kita sering kali puas dengan sekadar ritual atau pengalaman keagamaan yang dangkal? Kerinduan pemazmur ini adalah model bagi kita, sebuah panggilan untuk mencari hubungan yang lebih dalam, lebih intim, dan lebih menyeluruh dengan Tuhan, di mana pun kita berada.
Ayat-ayat pembuka ini dengan indah menetapkan nada untuk seluruh mazmur. Ini adalah pernyataan iman yang kuat, sebuah deklarasi cinta dan pengabdian yang tak tergoyahkan kepada Allah. Ini adalah kerinduan yang mendorong, yang memberikan kekuatan, dan yang menjanjikan kepuasan yang mendalam. Kerinduan ini bukanlah beban, melainkan anugerah, karena ia mengarahkan hati kita kepada sumber kehidupan yang sejati.
Ayat 3-4: Berkat bagi Penghuni Bait Allah
Bahkan burung pipit pun mendapat tempat,
dan burung layang-layang sebuah sarang untuk anak-anaknya,
pada mezbah-mezbah-Mu, ya TUHAN semesta alam,
Rajaku dan Allahku!
Berbahagialah orang-orang yang diam di rumah-Mu;
mereka terus-menerus memuji-muji Engkau. Sela.
Ayat 3 memperkenalkan gambaran yang sangat puitis dan mengharukan tentang betapa istimewanya tempat kediaman Tuhan. Pemazmur menggunakan analogi burung pipit dan burung layang-layang—makhluk kecil yang sering dianggap remeh—yang menemukan tempat tinggal yang aman dan sarang untuk anak-anak mereka "pada mezbah-mezbah-Mu, ya TUHAN semesta alam." Mezbah adalah titik fokus Bait Allah, tempat kudus di mana kurban persembahan dilakukan dan kehadiran Allah dirasakan paling intens. Fakta bahwa burung-burung kecil ini, secara kiasan, dapat menemukan perlindungan dan kediaman permanen di tempat suci ini menekankan kehangatan dan kemurahan hati Allah.
Metafora ini memiliki beberapa lapisan makna. Pertama, ini menyoroti betapa Allah peduli bahkan terhadap ciptaan-Nya yang paling kecil dan tak berdaya. Jika burung-burung pun bisa menemukan keamanan dan tempat untuk membangun keluarga di hadirat-Nya, betapa lebihnya manusia yang diciptakan menurut gambar-Nya. Kedua, ini menggarisbawahi paradoks: pemazmur, seorang manusia yang merindukan, iri pada burung-burung yang tampaknya memiliki akses yang lebih mudah dan permanen ke hadirat Allah. Ini memperdalam rasa kerinduan pemazmur, menunjukkan betapa berharganya memiliki tempat permanen di hadirat Tuhan.
Pernyataan "Rajaku dan Allahku!" adalah seruan pribadi yang mendalam, menunjukkan hubungan yang intim dan pengakuan akan kedaulatan Tuhan. Ini bukan sekadar Allah yang abstrak, tetapi Tuhan yang secara pribadi diakui sebagai penguasa dan sumber keberadaan pemazmur. Ini adalah deklarasi iman yang kuat di tengah kerinduan yang mendalam, sebuah jaminan bahwa meskipun ia merana, imannya kepada Allah tetap tak tergoyahkan.
Ayat 4 kemudian menegaskan sebuah kebenaran universal: "Berbahagialah orang-orang yang diam di rumah-Mu; mereka terus-menerus memuji-muji Engkau." Kata "berbahagialah" (Ibrani: `ashre`) berarti diberkati, sejahtera, atau memiliki sukacita yang mendalam. Kebahagiaan ini bukan sementara, melainkan berkelanjutan ("terus-menerus"), karena didasarkan pada keberadaan di hadirat Allah. Ini mengacu pada para imam, Lewi, atau mereka yang memang tinggal dan melayani di Bait Allah. Namun, secara rohani, ini juga dapat diterapkan pada siapa pun yang "diam" di hadirat Allah secara metaforis—mereka yang hidup dalam persekutuan yang berkelanjutan dengan-Nya, menjadikan-Nya pusat hidup mereka.
Memuji-muji Tuhan adalah respons alami dari hati yang menyadari berkat dan keindahan hadirat-Nya. Pujian yang "terus-menerus" ini adalah tanda dari sukacita yang tak pernah pudar, sebuah kehidupan yang senantiasa diarahkan kepada kemuliaan Allah. Ini bukan sekadar tindakan ritual, tetapi gaya hidup yang merayakan kebaikan dan keagungan Tuhan setiap saat. Frasa "Sela" yang mengakhiri ayat ini adalah instruksi musik atau jeda untuk merenungkan kebenaran yang baru saja disampaikan, mengundang kita untuk berhenti sejenak dan merasakan kebahagiaan dari keberadaan di hadirat ilahi.
Pada zaman modern, "tinggal di rumah Tuhan" dapat diinterpretasikan sebagai hidup dalam iman yang teguh, memelihara hubungan pribadi yang erat dengan Yesus Kristus, dan menjadi bagian aktif dari tubuh-Nya, yaitu Gereja. Kebahagiaan yang dijanjikan di sini adalah damai sejahtera yang melebihi segala pengertian, sukacita yang tidak bergantung pada keadaan eksternal, dan kekuatan yang ditemukan dalam kebergantungan total kepada Allah. Ini adalah panggilan untuk menjadikan hadirat Tuhan sebagai tempat kediaman rohani kita, di mana kita dapat menemukan perlindungan, kepuasan, dan tujuan hidup yang sejati.
Ayat 5-7: Kekuatan di Lembah Baka
Berbahagialah orang-orang yang kekuatannya di dalam Engkau,
yang berhasrat mengadakan ziarah!
Apabila melintasi lembah Baka,
mereka membuatnya menjadi tempat yang berair;
bahkan hujan awal menyelubunginya dengan berkat.
Mereka berjalan makin lama makin kuat,
hendak menghadap Allah di Sion.
Setelah berbicara tentang kebahagiaan mereka yang tinggal di Bait Allah, pemazmur beralih ke kebahagiaan mereka yang dalam perjalanan menuju Bait Allah, menyoroti kekuatan yang ditemukan dalam perjalanan iman. Ayat 5 dimulai dengan sebuah pernyataan yang kuat: "Berbahagialah orang-orang yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berhasrat mengadakan ziarah!" Ini adalah kebahagiaan yang berbeda, bukan dari mereka yang sudah tiba, melainkan dari mereka yang sedang berjuang dalam perjalanan. Sumber kekuatan mereka bukanlah pada diri sendiri, melainkan sepenuhnya pada Tuhan. Ini adalah pengakuan akan keterbatasan diri dan kebergantungan total pada Allah untuk setiap langkah perjalanan.
Keinginan untuk "mengadakan ziarah" tidak hanya merujuk pada perjalanan fisik ke Yerusalem, tetapi juga perjalanan rohani menuju hadirat Allah. Ini adalah hati yang memiliki kerinduan membara untuk mendekat kepada Tuhan, tidak peduli apa pun rintangan di depan. Perjalanan iman seringkali penuh tantangan dan kesulitan, namun bagi mereka yang kekuatannya ada pada Tuhan, setiap langkah adalah kesempatan untuk mengalami anugerah-Nya.
Pusat dari bagian ini adalah gambaran yang sangat metaforis tentang "lembah Baka" (Ibrani: `emek habaka`). Kata "Baka" (baca) dapat berarti "tangisan" atau "ratapan," atau bisa juga merujuk pada pohon-pohon yang tumbuh di daerah kering, menghasilkan getah seperti air mata. Jadi, "lembah Baka" adalah lembah air mata, lembah kekeringan, lembah penderitaan, atau tempat yang sulit dan tidak menyenangkan. Ini melambangkan masa-masa sulit, cobaan, kesedihan, atau kekeringan rohani yang kita alami dalam hidup.
Namun, yang menakjubkan adalah respons dari mereka yang beriman: "mereka membuatnya menjadi tempat yang berair; bahkan hujan awal menyelubunginya dengan berkat." Ini bukan berarti lembah itu secara ajaib berubah menjadi taman, tetapi bahwa melalui iman dan ketekunan, para peziarah mengubah pengalaman penderitaan itu. Air mata mereka, doa-doa mereka, dan air mata dukacita mereka sendiri menjadi sumber air yang menyegarkan. Atau, lebih tepatnya, Allah-lah yang menyediakan air di tempat yang kering. "Hujan awal" (Ibrani: `moreh`), yang sangat penting di Israel untuk memulai musim tanam, melambangkan berkat dan kesegaran ilahi yang datang tepat pada waktunya, mengubah penderitaan menjadi kesaksian akan anugerah Allah.
Ayat ini mengajarkan kita bahwa penderitaan dan kesulitan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan dapat menjadi titik tolak bagi berkat yang lebih besar. Melalui penderitaan, kita belajar bergantung sepenuhnya pada Tuhan, dan di situlah kita menemukan kekuatan sejati. Allah dapat mengubah "lembah tangisan" kita menjadi "lembah mata air," di mana kita tidak hanya menemukan penghiburan tetapi juga menjadi berkat bagi orang lain yang melewati lembah yang sama. Pengalaman sulit dapat menyuburkan iman kita, memperkuat karakter kita, dan memperdalam hubungan kita dengan Tuhan.
Sebagai hasil dari ketekunan dan anugerah ilahi ini, "Mereka berjalan makin lama makin kuat, hendak menghadap Allah di Sion." Perjalanan yang awalnya melelahkan justru membuat mereka semakin kuat. Ini adalah paradoks iman: dalam kelemahan, kita menjadi kuat; dalam kesulitan, kita bertumbuh. Setiap langkah yang diambil dalam ketaatan dan kepercayaan kepada Tuhan menambahkan kekuatan baru, membawa mereka lebih dekat kepada tujuan akhir: hadirat Allah di Sion, gunung kudus-Nya. Ini adalah janji bahwa setiap langkah iman, bahkan melalui lembah-lembah yang paling gelap, akan membawa kita semakin dekat kepada Tuhan dan memperkuat roh kita.
Ayat-ayat ini adalah sumber penghiburan dan motivasi bagi setiap orang yang sedang berjuang. Mereka mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati tidak datang dari diri sendiri, tetapi dari Allah. Bahwa penderitaan tidak harus menghancurkan kita, melainkan dapat menjadi jalan menuju berkat. Dan bahwa setiap langkah dalam perjalanan iman, bahkan yang paling sulit, adalah langkah menuju hadirat Allah yang mulia.
Ayat 8-9: Doa dalam Kerinduan
Ya TUHAN, Allah semesta alam, dengarkanlah doaku;
berilah telinga, ya Allah Yakub. Sela.
Ya Allah, perisai kami,
pandanglah dan perhatikanlah wajah orang yang Kauurapi!
Pada titik ini dalam Mazmur, setelah menyatakan kerinduan yang mendalam dan berkat bagi mereka yang mencari dan bergantung pada-Nya, pemazmur mengalihkan perhatiannya kepada Allah dalam sebuah doa yang tulus dan mendesak. Ayat 8 adalah seruan langsung: "Ya TUHAN, Allah semesta alam, dengarkanlah doaku; berilah telinga, ya Allah Yakub. Sela." Penggunaan dua nama Allah di sini sangat signifikan. "TUHAN semesta alam" (YHWH Sabaoth) menekankan kedaulatan dan kuasa-Nya yang tak terbatas atas seluruh alam semesta dan segala isinya, termasuk bala tentara surgawi. Ini adalah Allah yang Maha Kuasa, yang memiliki kemampuan untuk menjawab setiap doa.
Sementara itu, "Allah Yakub" mengingatkan kita pada sejarah perjanjian Allah dengan Israel, sebuah hubungan pribadi dan setia yang dimulai dengan Yakub, seorang individu yang penuh kelemahan namun dipilih dan diubahkan oleh Allah. Ini adalah Allah yang peduli secara pribadi, yang mendengar ratapan umat-Nya dan campur tangan dalam sejarah mereka. Dengan memanggil Allah dengan kedua nama ini, pemazmur mengungkapkan keyakinannya pada kuasa Allah yang universal sekaligus keintiman-Nya yang pribadi. Ini adalah model doa yang menggabungkan rasa hormat akan keagungan Allah dengan keyakinan akan kedekatan-Nya.
Permintaan "dengarkanlah doaku; berilah telinga" bukan hanya permohonan agar Allah mendengar suara pemazmur, tetapi juga agar Ia memberikan perhatian penuh dan bertindak berdasarkan apa yang didengar-Nya. Ini adalah doa yang didorong oleh keyakinan bahwa Allah peduli dan akan merespons. Kembali frasa "Sela" hadir, mengundang jeda untuk merenungkan makna dari seruan doa yang mendesak ini, memperkuat intensitas permohonan.
Ayat 9 kemudian melanjutkan dengan permohonan spesifik: "Ya Allah, perisai kami, pandanglah dan perhatikanlah wajah orang yang Kauurapi!" Di sini, Allah digambarkan sebagai "perisai kami." Perisai adalah alat pelindung dalam peperangan, menyiratkan bahwa pemazmur dan umatnya menghadapi ancaman atau kesulitan. Penggunaan kata "kami" menunjukkan bahwa ini adalah doa kolektif, mewakili seluruh umat. Allah adalah pelindung mereka dari segala bahaya, sumber keamanan dan pertahanan mereka. Keyakinan akan Allah sebagai perisai ini memberikan keberanian dan ketenangan di tengah ketidakpastian.
Permohonan untuk "memandang dan memperhatikan wajah orang yang Kauurapi" adalah inti dari doa ini. "Orang yang Kauurapi" (Ibrani: `meshiah`) secara langsung merujuk kepada raja Israel saat itu, yang diurapi oleh Tuhan untuk memimpin umat-Nya. Namun, secara tipologis, ini juga menunjuk kepada Mesias yang akan datang, Yesus Kristus, Sang Raja yang diurapi secara sempurna. Pemazmur memohon agar Allah melindungi dan memberkati raja mereka, karena kesejahteraan raja sangat terkait dengan kesejahteraan seluruh bangsa.
Mengapa pemazmur memohon agar Allah memandang wajah mereka? Di budaya kuno, "memandang wajah" seseorang seringkali melambangkan perhatian, perkenanan, dan berkat. Jika Allah memandang dengan perkenanan kepada raja yang diurapi-Nya, itu berarti Ia akan mengabulkan doanya, memberikan kebijaksanaan, dan melindunginya dari musuh. Ini juga bisa diartikan sebagai permohonan agar Allah menunjukkan kemuliaan dan kehadiran-Nya melalui raja, yang adalah perwakilan-Nya di bumi. Bagi kita saat ini, doa ini mengajarkan kita untuk mendoakan pemimpin-pemimpin kita dan juga untuk meminta perkenanan Allah atas hidup kita sebagai orang-orang yang telah diurapi oleh Roh Kudus melalui Kristus.
Doa ini adalah pengingat penting bahwa di tengah kerinduan dan perjalanan iman kita, kita selalu dapat berpaling kepada Allah dengan keyakinan. Dia adalah Allah yang mendengar, Allah yang berkuasa, dan Allah yang setia pada perjanjian-Nya. Dia adalah perisai kita, pelindung kita, dan Dia akan memperhatikan mereka yang mencari wajah-Nya dengan tulus, terutama mereka yang telah diurapi dan dipercayakan dengan kepemimpinan atau pelayanan. Ini adalah jembatan antara kerinduan pribadi dan doa syafaat, menunjukkan bahwa iman tidak hanya bersifat individual tetapi juga komunal.
Ayat 10: Prioritas Kehadiran-Nya
Sebab lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain;
lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku
dari pada diam di kemah-kemah kefasikan.
Ayat 10 adalah salah satu pernyataan paling terkenal dan paling mendalam dalam Mazmur 84, yang secara jelas mengungkapkan skala prioritas dan nilai-nilai pemazmur. Dengan penuh keyakinan, ia menyatakan: "Sebab lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain." Ini adalah perbandingan yang ekstrem, sebuah hiperbola yang bertujuan untuk menekankan betapa tak ternilainya hadirat Allah. Satu hari di tempat ibadah Tuhan, di mana hadirat-Nya dapat dirasakan dan dihormati, jauh lebih berharga daripada seribu hari (kira-kira tiga tahun) di mana pun di dunia ini.
Pernyataan ini bukan sekadar puitis, melainkan juga filosofis dan teologis. Ini menunjukkan bahwa nilai sejati kehidupan tidak diukur dari kuantitas waktu atau kenyamanan materi, melainkan dari kualitas keberadaan di hadapan Allah. Kehadiran di pelataran Tuhan membawa sukacita, kedamaian, pengharapan, dan kekuatan yang tidak dapat ditawarkan oleh seribu hari kemewahan duniawi atau hiburan apa pun. Ini adalah pengakuan bahwa hidup sejati, hidup yang bermakna, ditemukan dalam persekutuan dengan Sang Pencipta. Hal ini juga menegaskan kembali inti dari kerinduan pemazmur yang disebutkan di ayat-ayat awal: kerinduan ini adalah untuk sesuatu yang memiliki nilai tertinggi.
Bagian kedua dari ayat ini semakin memperkuat prioritas ini dengan kontras yang lebih tajam: "lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku dari pada diam di kemah-kemah kefasikan." "Berdiri di ambang pintu" melambangkan posisi yang rendah hati, mungkin bahkan sebagai penjaga pintu, orang yang paling rendah dalam hierarki di Bait Allah. Ini adalah posisi pelayanan yang sederhana, namun karena ia berada di hadirat Allah, posisi ini dianggap jauh lebih mulia daripada "diam di kemah-kemah kefasikan."
"Kemah-kemah kefasikan" adalah metafora untuk tempat-tempat di mana kejahatan, dosa, dan ketidaktaatan kepada Allah merajalela. Ini adalah tempat-tempat di mana kekayaan, kekuasaan, dan kesenangan duniawi mungkin berlimpah, tetapi tanpa hadirat Allah, semuanya adalah kesia-siaan. Pemazmur dengan tegas memilih kemiskinan dan kerendahan hati di hadirat Allah daripada kemewahan dan kekuasaan yang diperoleh melalui dosa dan ketidaksetiaan. Ini adalah pernyataan keberanian moral dan spiritual, sebuah penolakan terhadap nilai-nilai dunia yang bertentangan dengan kehendak Allah.
Ayat ini mengajak kita untuk mengevaluasi kembali di mana kita menaruh nilai. Apakah kita lebih menghargai kesibukan dunia, pencapaian materi, atau status sosial daripada waktu yang dihabiskan dalam doa, studi firman, atau pelayanan di gereja? Apakah kita rela berkompromi dengan prinsip-prinsip iman demi kenyamanan atau keuntungan sesaat? Mazmur 84:10 menantang kita untuk memilih dengan bijak, untuk menempatkan hadirat Allah sebagai prioritas utama dalam setiap aspek kehidupan kita, dan untuk selalu mengutamakan hubungan kita dengan-Nya di atas segalanya.
Bagi orang percaya, ayat ini adalah seruan untuk menjadikan hadirat Tuhan sebagai rumah rohani kita, sebagai tempat perlindungan dan sukacita yang sejati. Di dalam Kristus, kita memiliki akses langsung kepada hadirat Allah melalui Roh Kudus. Oleh karena itu, kita tidak perlu merindukan Bait Allah fisik, melainkan dapat mengalami kepenuhan hadirat-Nya di mana pun kita berada, asalkan hati kita bersekutu dengan-Nya. Ini adalah kebenaran yang membebaskan dan memberdayakan, sebuah janji bahwa sukacita terbesar dan keamanan terdalam ditemukan hanya di dalam Allah yang hidup.
Ayat 11-12: Allah Sumber Anugerah dan Kemuliaan
Sebab TUHAN Allah adalah matahari dan perisai;
kasih karunia dan kemuliaan dianugerahkan-Nya;
Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela.
Ya TUHAN semesta alam, berbahagialah manusia yang percaya kepada-Mu!
Mazmur 84 mencapai puncaknya dengan sebuah deklarasi yang agung tentang karakter Allah dan berkat-berkat-Nya. Ayat 11 dimulai dengan metafora ganda yang kuat: "Sebab TUHAN Allah adalah matahari dan perisai." Allah disebut sebagai "matahari" yang menerangi dan memberi kehidupan. Seperti matahari yang memberikan cahaya, kehangatan, dan energi yang esensial bagi kehidupan di bumi, demikian pula Allah adalah sumber segala kehidupan, pencerahan rohani, dan sukacita. Dia adalah terang yang menghilangkan kegelapan, petunjuk jalan di tengah kebingungan, dan kekuatan yang menghidupkan jiwa. Tanpa matahari, bumi akan mati; tanpa Allah, jiwa manusia akan layu.
Pada saat yang sama, Ia juga adalah "perisai." Kita telah melihat gambaran Allah sebagai perisai di ayat 9, melambangkan perlindungan dan keamanan dari segala bahaya dan musuh. Gabungan "matahari dan perisai" ini menunjukkan Allah sebagai sumber yang lengkap: Dia tidak hanya memberi kehidupan dan pencerahan, tetapi juga melindungi dan memelihara kehidupan yang Dia berikan. Dia adalah penyedia dan pelindung, sumber segala yang baik dan pertahanan dari segala yang jahat. Ini adalah gambaran Allah yang menyeluruh dan Mahakuasa.
Selanjutnya, pemazmur menyatakan bahwa "kasih karunia dan kemuliaan dianugerahkan-Nya." "Kasih karunia" (Ibrani: `hen`) adalah anugerah ilahi yang tidak layak kita terima, kemurahan hati-Nya yang tak terbatas. "Kemuliaan" (Ibrani: `kavod`) merujuk pada kehormatan, martabat, dan keagungan Allah yang dicerminkan pada orang-orang yang mengasihi-Nya. Allah tidak hanya memberikan apa yang kita butuhkan untuk hidup, tetapi juga memperkaya hidup kita dengan anugerah-Nya yang melimpah dan kehormatan untuk bersekutu dengan-Nya. Ini adalah janji bahwa hubungan dengan Allah membawa lebih dari sekadar kebutuhan dasar; ia membawa pemenuhan yang mendalam dan sukacita yang sejati.
Dan janji yang menguatkan ini diikuti dengan jaminan: "Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela." Kata "tidak bercela" (Ibrani: `tamim`) berarti utuh, jujur, murni, atau tidak bercacat. Ini tidak berarti kesempurnaan tanpa dosa, tetapi hati yang tulus, yang berusaha hidup sesuai dengan kehendak Allah, yang memiliki integritas dan komitmen kepada-Nya. Bagi mereka yang berjalan dalam ketulusan hati, Allah tidak akan menahan kebaikan atau berkat-Nya. Ini adalah penegasan akan kesetiaan Allah pada perjanjian-Nya: Dia akan memberkati mereka yang hidup dalam ketaatan dan integritas.
Ayat terakhir Mazmur ini, ayat 12, merangkum seluruh pesan dengan sebuah berkat yang menggema: "Ya TUHAN semesta alam, berbahagialah manusia yang percaya kepada-Mu!" Ini adalah kesimpulan yang indah dan penuh kuasa, yang mengulang kembali tema kebahagiaan (berbahagialah) yang telah muncul di awal dan di pertengahan mazmur. Namun, kali ini kebahagiaan itu diperluas untuk setiap "manusia" (tidak hanya mereka yang tinggal di Bait Allah atau yang sedang berziarah) yang "percaya kepada-Mu." Kepercayaan (`batah` dalam bahasa Ibrani) berarti menaruh harapan, bersandar, dan mengandalkan sepenuhnya pada Allah.
Kebahagiaan ini, pada akhirnya, adalah hasil dari iman dan kepercayaan kepada Allah semesta alam. Ini adalah kebahagiaan yang tidak bergantung pada keberadaan di Bait Allah fisik, tetapi pada relasi pribadi dengan Allah yang hidup. Ini adalah janji yang menghibur dan menantang: setiap orang yang menaruh seluruh kepercayaannya kepada Tuhan akan mengalami kebahagiaan yang sejati, kedamaian yang mendalam, dan berkat yang tak terhingga.
Dengan demikian, Mazmur 84 berakhir dengan catatan yang penuh harapan dan keyakinan, mengundang setiap pembaca untuk menemukan kebahagiaan dan kepenuhan hidup dalam Allah, yang adalah Matahari yang menerangi, Perisai yang melindungi, sumber kasih karunia, dan kemuliaan, serta pemberi kebaikan bagi setiap hati yang tulus dan percaya.
Tema-tema Utama Mazmur 84: Pesan yang Abadi
Kerinduan yang Tak Terpadamkan akan Hadirat Allah
Salah satu tema sentral dan paling dominan dalam Mazmur 84 adalah kerinduan yang mendalam dan tak terpadamkan akan hadirat Allah. Pemazmur tidak sekadar "ingin" berada di Bait Allah; ia "merana" karena kerinduan itu, sampai seluruh jiwanya, hati, dan dagingnya bersorak-sorai kepada Allah yang hidup. Kerinduan ini bukanlah hasrat sesaat, melainkan sebuah hasrat yang memakan habis, yang menguasai seluruh keberadaan. Ini adalah sebuah pengingat bahwa manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, memiliki kekosongan dalam jiwanya yang hanya dapat dipenuhi oleh persekutuan dengan Sang Pencipta.
Kerinduan ini melampaui keinginan akan ritual atau bangunan fisik. Ini adalah kerinduan akan pribadi Allah itu sendiri, akan kehangatan, keamanan, dan kebenaran yang hanya ditemukan dalam kehadiran-Nya. Mazmur ini mengajak kita untuk bertanya kepada diri sendiri: apakah kita merasakan kerinduan yang sama terhadap Allah? Ataukah hati kita telah terlalu terbiasa dengan hal-hal duniawi sehingga kerinduan akan hadirat ilahi menjadi tumpul? Kerinduan yang tulus adalah tanda dari hati yang hidup, yang menyadari nilai tertinggi dari hubungan dengan Tuhan. Ini adalah kerinduan yang sehat, yang mendorong kita untuk mencari-Nya dengan lebih sungguh-sungguh.
Dalam konteks modern, di mana kita memiliki akses kepada Allah melalui Kristus dan Roh Kudus tanpa perlu Bait Allah fisik, kerinduan ini bermanifestasi dalam hasrat untuk mendekat kepada-Nya melalui doa, studi firman, ibadah pribadi, dan persekutuan dengan orang percaya. Ini adalah kerinduan untuk mengalami kehadiran-Nya dalam hidup sehari-hari, dalam setiap keputusan, dan dalam setiap tantangan. Kerinduan ini adalah bahan bakar bagi perjalanan iman kita, yang mendorong kita untuk terus mencari wajah-Nya dan hidup dalam ketaatan kepada-Nya.
Perjalanan Hidup dan Ketekunan Iman
Mazmur 84 tidak hanya berbicara tentang mereka yang sudah berada di rumah Tuhan, tetapi juga tentang mereka yang sedang dalam perjalanan menuju ke sana. Gambaran tentang mereka yang "berhasrat mengadakan ziarah" dan "melintasi lembah Baka" adalah metafora yang kuat untuk perjalanan iman kita di dunia ini. Hidup adalah sebuah ziarah, sebuah perjalanan dari satu titik ke titik lain, dengan tujuan akhir untuk menghadap Allah di Sion.
Lembah Baka, atau lembah air mata, mewakili berbagai kesulitan, penderitaan, kesedihan, dan kekeringan rohani yang tak terhindarkan dalam hidup. Namun, mazmur ini memberikan pengharapan yang luar biasa: orang-orang yang kekuatannya di dalam Tuhan tidak hanya melewati lembah itu, tetapi mereka "membuatnya menjadi tempat yang berair" dan menerima "hujan awal" berkat. Ini mengajarkan kita bahwa penderitaan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan dapat menjadi katalisator untuk pertumbuhan dan berkat. Melalui air mata dan kesusahan, iman kita diuji dan diperkuat, dan kita belajar untuk lebih bergantung sepenuhnya pada Allah.
Pernyataan "mereka berjalan makin lama makin kuat" adalah janji yang menguatkan bagi setiap orang percaya. Setiap langkah dalam perjalanan iman, bahkan yang paling sulit sekalipun, memberikan kekuatan baru. Ketekunan di tengah pencobaan tidak akan sia-sia, karena Allah memakai setiap pengalaman untuk membentuk karakter kita dan membawa kita semakin dekat kepada-Nya. Ini adalah undangan untuk merangkul perjalanan, dengan segala pasang surutnya, dengan keyakinan bahwa Allah berjalan bersama kita dan akan membawa kita sampai tujuan.
Allah sebagai Sumber Perlindungan, Berkat, dan Kebaikan
Sepanjang Mazmur 84, karakter Allah ditegaskan sebagai sumber segala kebaikan. Dia adalah "TUHAN semesta alam," "Rajaku dan Allahku," "Allah Yakub," dan "Allah, perisai kami." Puncaknya adalah gambaran Dia sebagai "matahari dan perisai." Sebagai matahari, Dia adalah sumber terang, kehidupan, energi, dan pencerahan rohani. Dia adalah Dia yang menghilangkan kegelapan dan memberikan arah dalam hidup. Tanpa-Nya, kita akan tersesat dan layu.
Sebagai perisai, Dia adalah pelindung yang tak tergoyahkan. Di tengah ancaman, kesulitan, dan peperangan rohani, Allah adalah benteng pertahanan kita. Kita dapat bersandar sepenuhnya pada-Nya untuk keamanan dan perlindungan dari segala musuh, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Metafora ganda ini menunjukkan Allah sebagai penyedia yang lengkap—Dia memberi kehidupan dan Dia melindungi kehidupan yang Dia berikan.
Lebih lanjut, Mazmur ini menegaskan bahwa Allah menganugerahkan "kasih karunia dan kemuliaan" dan "tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela." Ini adalah janji tentang kemurahan hati Allah yang tak terbatas dan kesetiaan-Nya kepada mereka yang mencari-Nya dengan hati yang tulus. Kasih karunia adalah anugerah yang tidak layak kita terima, sementara kemuliaan adalah kehormatan dan martabat yang Allah berikan kepada umat-Nya. Kebaikan Allah adalah pasti bagi mereka yang berjalan dalam integritas dan ketaatan. Ini adalah tema kepercayaan dan timbal balik: ketika kita setia kepada Allah, Dia akan lebih dari setia kepada kita.
Kehidupan Berintegritas dan Kepercayaan kepada Allah
Meskipun Mazmur ini berfokus pada kerinduan akan Allah, ia juga secara implisit dan eksplisit menekankan pentingnya kehidupan yang berintegritas dan kepercayaan penuh kepada Allah. Ayat 11 secara khusus menyebutkan "orang yang hidup tidak bercela" sebagai penerima kebaikan Allah yang tak tertahan. Ini bukan tentang kesempurnaan manusia, tetapi tentang kesetiaan hati, kejujuran, dan kesungguhan dalam berusaha menyenangkan Allah.
Integritas dalam konteks ini berarti hidup secara konsisten dengan iman kita, di mana perkataan dan perbuatan kita selaras dengan kehendak Allah. Ini adalah penolakan terhadap "kemah-kemah kefasikan" dan pemilihan yang tegas untuk berdiri di hadirat Allah, betapapun sederhana atau rendahnya posisi kita. Ini adalah panggilan untuk hidup yang otentik di hadapan Allah dan manusia, di mana kita tidak berkompromi dengan dosa atau nilai-nilai dunia yang bertentangan dengan firman-Nya.
Puncak dari semua tema ini adalah ajakan untuk "percaya kepada-Mu!" (ayat 12). Kebahagiaan sejati, damai sejahtera, dan berkat yang tak terhingga ditemukan oleh mereka yang menaruh seluruh iman dan harapan mereka kepada Allah. Kepercayaan ini melampaui sekadar pengetahuan intelektual tentang Allah; ini adalah penyerahan diri total, sebuah keyakinan bahwa Allah baik, berkuasa, dan setia untuk memenuhi janji-Nya. Kepercayaan inilah yang mengubah perjalanan melalui lembah air mata menjadi sumber kekuatan dan sukacita.
Dengan demikian, Mazmur 84 bukan hanya sebuah lagu tentang kerinduan, tetapi juga sebuah panduan praktis untuk menjalani kehidupan yang penuh makna, berintegritas, dan penuh berkat di hadirat Allah.
Dari Bait Fisik ke Hadirat Rohani
Meskipun Mazmur 84 secara harfiah berbicara tentang Bait Allah di Yerusalem, relevansinya melampaui batas-batas bangunan fisik. Dengan kedatangan Yesus Kristus, konsep Bait Allah telah diubah secara radikal. Yesus sendiri adalah Bait Allah yang sejati (Yohanes 2:19-21), dan melalui Dia, kita memiliki akses langsung kepada hadirat Bapa. Lebih lanjut, setelah Pentakosta, Roh Kudus berdiam di dalam setiap orang percaya, menjadikan tubuh kita "bait Roh Kudus" (1 Korintus 6:19) dan Gereja sebagai "bait Allah yang kudus" (Efesus 2:21-22).
Oleh karena itu, kerinduan pemazmur akan Bait Allah kini dapat dipahami sebagai kerinduan akan hadirat Allah yang bersemayam dalam diri kita melalui Roh Kudus, dan dalam persekutuan orang percaya. "Diam di rumah-Mu" (ayat 4) sekarang berarti hidup dalam persekutuan yang intim dengan Kristus setiap saat, menjadikan hadirat-Nya sebagai pusat kehidupan kita, dan aktif dalam tubuh Kristus, yaitu Gereja. Ini adalah pergeseran dari ketergantungan pada lokasi geografis atau struktur fisik kepada pengalaman rohani yang pribadi dan komunal.
Tema ini sangat penting bagi Kekristenan, karena menegaskan bahwa hadirat Allah tidak terbatas pada satu tempat, tetapi dapat dialami di mana pun dan kapan pun oleh mereka yang percaya. Ini adalah pemenuhan janji Allah untuk menyertai umat-Nya, yang memungkinkan kita untuk selalu memiliki "satu hari di pelataran-Mu" dalam arti rohani, betapapun sibuknya hidup kita di "tempat lain." Kerinduan akan Bait Allah tetap relevan karena sekarang ia menunjuk pada kerinduan akan Allah itu sendiri, yang hadir secara nyata di tengah-tengah umat-Nya.
Relevansi Mazmur 84 di Dunia Modern: Suara di Tengah Kebisingan
Di tengah hiruk pikuk dan tuntutan hidup modern yang serba cepat, Mazmur 84 menawarkan sebuah oasis spiritual, sebuah suara yang relevan dan menenangkan bagi jiwa-jiwa yang haus. Kerinduan akan hadirat Allah yang diungkapkan oleh pemazmur lebih dari sekadar emosi kuno; itu adalah kebutuhan dasar manusia yang abadi, yang sering kali terabaikan di zaman kita.
1. Mengatasi Distraksi Digital dan Keterputusan: Dunia modern dipenuhi dengan distraksi—media sosial, berita tanpa henti, hiburan digital—yang menjanjikan kepuasan instan tetapi seringkali meninggalkan kita dengan rasa hampa. Mazmur 84 mengingatkan kita bahwa kepuasan sejati tidak ditemukan dalam koneksi digital atau pengakuan virtual, melainkan dalam hubungan yang mendalam dengan "Allah yang hidup." Kerinduan pemazmur akan pelataran TUHAN menantang kita untuk menarik diri dari kebisingan dan mencari ruang sunyi untuk bersekutu dengan Tuhan.
2. Menghadapi Tekanan dan Kecemasan: Kehidupan modern seringkali dibebani oleh tekanan pekerjaan, keuangan, hubungan, dan ketidakpastian masa depan. "Lembah Baka" adalah metafora yang sempurna untuk menggambarkan pengalaman-pengalaman ini. Mazmur 84 memberikan pengharapan bahwa bahkan di lembah air mata sekalipun, Allah dapat mengubahnya menjadi sumber air, artinya penderitaan dapat menjadi jalan menuju berkat dan kekuatan. Bagi mereka yang merasa lelah dan terbebani, mazmur ini adalah pengingat bahwa kekuatan sejati ditemukan "di dalam Engkau," bukan pada diri sendiri atau kemampuan kita mengatasi segala sesuatu.
3. Prioritas di Tengah Kesibukan: Ayat 10, "lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain," sangat menohok di era di mana produktivitas dan kesibukan sering diagungkan. Mazmur ini menantang kita untuk mengevaluasi kembali prioritas kita. Apakah kita mengalokasikan waktu dan energi kita untuk hal-hal yang benar-benar abadi, ataukah kita terjebak dalam perlombaan tanpa akhir untuk mendapatkan lebih banyak hal-hal duniawi? Ini adalah seruan untuk memberikan tempat utama bagi hadirat Allah dalam jadwal kita, dalam keputusan kita, dan dalam hati kita, bahkan jika itu berarti mengorbankan hal-hal yang dianggap penting oleh dunia.
4. Pentingnya Komunitas dan Ibadah: Meskipun hadirat Allah dapat dialami secara pribadi, Mazmur ini juga menyoroti pentingnya tempat ibadah dan persekutuan. Pelataran Bait Allah adalah tempat di mana umat berkumpul. Di zaman modern, ini menekankan relevansi Gereja lokal sebagai tempat di mana kita dapat bersama-sama memuji Tuhan, belajar firman-Nya, dan saling menguatkan dalam perjalanan iman. Di tengah individualisme yang merebak, Mazmur 84 mengingatkan kita bahwa ada berkat yang unik dalam persekutuan komunal dan ibadah bersama.
5. Integritas di Dunia yang Rentan Kompromi: Pernyataan tentang "tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela" adalah tantangan moral yang penting. Di dunia yang penuh dengan berita bohong, korupsi, dan tekanan untuk berkompromi dengan nilai-nilai etis, Mazmur ini mendorong kita untuk hidup dengan integritas. Ini adalah panggilan untuk menjadi "tidak bercela" dalam karakter dan perbuatan, untuk berdiri teguh pada kebenaran Allah, bahkan ketika itu tidak populer atau sulit.
6. Kepercayaan Penuh kepada Allah: Terakhir, Mazmur 84 berakhir dengan berkat bagi "manusia yang percaya kepada-Mu." Di era skeptisisme dan ketidakpastian, Mazmur ini mengundang kita untuk menaruh seluruh kepercayaan kita pada Allah yang adalah "matahari dan perisai." Ini adalah seruan untuk melepaskan kekhawatiran dan menyerahkan kendali hidup kita kepada Dia yang Maha Kuasa dan Maha Kasih. Kepercayaan ini bukan berarti menolak akal sehat, melainkan mengakui bahwa ada kekuatan yang lebih tinggi yang memegang kendali atas segala sesuatu, dan bahwa Dia peduli pada kita.
Singkatnya, Mazmur 84 adalah sebuah lagu kebangkitan rohani yang tak lekang oleh waktu. Ia menggugah jiwa kita untuk kembali kepada sumber kehidupan, untuk mencari kepuasan yang sejati dalam hadirat Allah, dan untuk menjalani hidup dengan iman yang teguh di tengah segala tantangan zaman. Pesannya yang abadi mengingatkan kita bahwa di balik segala hiruk pikuk dan kemajuan teknologi, hati manusia tetap haus akan Allah yang hidup, dan bahwa di dalam Dia saja kita menemukan kedamaian, kekuatan, dan kebahagiaan yang sejati.
Kesimpulan: Sebuah Pesan Abadi tentang Hadirat Allah
Mazmur 84 berdiri sebagai salah satu mahakarya sastra dan spiritual dalam Alkitab, sebuah ekspresi murni dari kerinduan jiwa manusia akan hadirat Allah. Dari setiap ayatnya, mengalir sebuah pesan yang tak lekang oleh waktu, relevan bagi setiap generasi dan di setiap zaman. Kita telah melihat bagaimana pemazmur, bani Korah, mengungkapkan hasrat yang membara untuk berada di pelataran Tuhan, sebuah kerinduan yang melampaui keinginan akan sebuah bangunan fisik, tetapi menunjuk kepada persekutuan yang mendalam dengan "Allah yang hidup."
Mazmur ini adalah pengingat yang kuat tentang kebahagiaan dan berkat yang melimpah bagi mereka yang menjadikan hadirat Allah sebagai pusat kehidupan mereka. Baik mereka yang "diam di rumah-Mu" maupun mereka yang "berhasrat mengadakan ziarah," semuanya menemukan kekuatan dan sukacita dalam Tuhan. Kita belajar bahwa bahkan melalui "lembah Baka" atau masa-masa sulit dalam hidup, Allah dapat mengubah air mata menjadi mata air, mengubah penderitaan menjadi berkat, dan memperkuat kita dari satu tingkat ke tingkat berikutnya.
Ayat-ayat Mazmur 84 juga menegaskan karakter Allah sebagai sumber segala kebaikan: Dia adalah "matahari" yang menerangi dan memberi kehidupan, serta "perisai" yang melindungi dan membela umat-Nya. Dia menganugerahkan "kasih karunia dan kemuliaan" dan tidak menahan kebaikan dari "orang yang hidup tidak bercela." Pada akhirnya, Mazmur ini bermuara pada sebuah kebenaran fundamental: "berbahagialah manusia yang percaya kepada-Mu!" Kepercayaan kepada Allah adalah kunci menuju kebahagiaan sejati, damai sejahtera yang mendalam, dan pemenuhan spiritual yang tak terbatas.
Di era modern ini, di mana banyak jiwa merasa terputus, lelah, dan tanpa arah, Mazmur 84 berseru sebagai suara kenabian yang menawarkan arah dan pengharapan. Ini adalah undangan untuk meninggalkan distraksi duniawi dan mencari hadirat Allah dengan sungguh-sungguh. Ini adalah dorongan untuk menjalani hidup dengan integritas, menaruh prioritas pada hal-hal yang abadi, dan menaruh seluruh kepercayaan kita kepada Dia yang adalah sumber segala kekuatan dan kebaikan.
Semoga Mazmur 84 ini terus menggugah hati kita untuk merindukan hadirat Allah dengan intensitas yang sama seperti pemazmur. Kiranya setiap dari kita menemukan kekuatan dalam perjalanan iman, mengalami berkat-Nya di tengah setiap lembah air mata, dan pada akhirnya, mendapati kebahagiaan sejati dalam bersandar sepenuhnya kepada Allah yang hidup, Rajaku dan Allahku.