Hikmat Ilahi dalam Ketidakpastian Hidup: Sebuah Khotbah tentang Yakobus 4:13-17

Jam pasir dan tangan yang menunjuk, melambangkan waktu, rencana, dan tindakan di bawah kedaulatan Tuhan.

Saudara-saudari yang terkasih dalam Tuhan, kehidupan ini adalah sebuah perjalanan yang penuh dengan ketidakpastian. Kita membuat rencana, menetapkan tujuan, dan berangan-angan tentang masa depan, seringkali dengan keyakinan penuh bahwa segala sesuatu akan berjalan sesuai kehendak kita. Namun, setiap hari, realitas hidup terus-menerus mengingatkan kita akan kerapuhan keberadaan kita dan keterbatasan kendali kita. Dalam dunia yang serba cepat, di mana kita didorong untuk merencanakan setiap langkah, Yakobus, hamba Yesus Kristus, datang dengan sebuah teguran keras namun penuh kasih yang menyoroti akar permasalahan kita: keangkuhan dalam perencanaan dan kelalaian dalam berbuat baik.

Pembacaan kita hari ini, dari Kitab Yakobus pasal 4, ayat 13 sampai 17, adalah sebuah permata kebijaksanaan ilahi yang menantang perspektif duniawi kita dan memanggil kita pada sebuah hidup yang sepenuhnya bergantung kepada Tuhan. Ini bukan sekadar nasihat praktis, melainkan sebuah seruan untuk memeriksa kembali hati kita, motif kita, dan cara kita menjalani hidup di hadapan Allah yang mahakuasa.

Yakobus 4:13-17 (TB)
13 Jadi sekarang, hai kamu sekalian yang berkata: "Hari ini atau besok kami akan pergi ke kota ini, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung,"
14 sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.
15 Sebenarnya kamu seharusnya berkata: "Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan akan berbuat ini dan itu."
16 Tetapi sebaliknya kamu memegahkan diri dalam omonganmu yang congkak. Semua kemegahan yang demikian adalah jahat.
17 Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.

Mari kita selami lebih dalam setiap bagian dari ayat-ayat ini, dan biarlah Roh Kudus membuka mata hati kita untuk menerima kebenaran-Nya.


I. Kritik Terhadap Keangkuhan Perencanaan Manusia (Yakobus 4:13-14)

A. Gambaran Perencana Tanpa Allah: "Hari Ini atau Besok Kami Akan Pergi ke Kota Ini..." (Ayat 13)

Yakobus membuka tegurannya dengan sebuah skenario yang sangat familiar, bahkan di zaman modern ini. Ia menggambarkan sekelompok orang—mungkin para pedagang, pengusaha, atau bahkan siapa saja—yang merencanakan masa depan mereka dengan detail dan penuh keyakinan. Mereka berkata, "Hari ini atau besok kami akan pergi ke kota ini, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung."

Perhatikanlah frasa-frasa yang digunakan: "akan pergi," "akan tinggal," "akan berdagang," "akan mendapat untung." Semua ini adalah pernyataan yang bersifat definitif, seolah-olah masa depan sudah sepenuhnya ada dalam genggaman mereka. Ini adalah contoh dari perencanaan yang berpusat pada diri sendiri, di mana sang perencana menjadi subjek utama dari semua tindakan dan hasil yang diharapkan. Tidak ada sedikit pun pengakuan akan kedaulatan yang lebih tinggi, tidak ada jeda untuk mempertimbangkan faktor-faktor eksternal yang tak terduga, dan yang paling penting, tidak ada Tuhan dalam persamaan tersebut.

Ini bukan berarti bahwa perencanaan itu sendiri adalah dosa. Alkitab justru mendorong kita untuk menjadi bijaksana dan merencanakan (misalnya, Amsal 6:6-8 yang memuji semut yang mempersiapkan makanan di musim panas, atau Lukas 14:28-30 yang berbicara tentang menghitung biaya sebelum membangun menara). Masalahnya bukanlah pada tindakan merencanakan, melainkan pada sikap hati di balik perencanaan tersebut. Masalahnya adalah pada asumsi kontrol penuh, keangkuhan diri, dan pengabaian Tuhan dalam setiap perhitungan kita.

Dalam konteks zaman Yakobus, para pedagang memiliki kehidupan yang penuh risiko. Perjalanan berbahaya, pasar tidak stabil, dan persaingan ketat. Namun, dalam ayat ini, Yakobus menggambarkan mereka seolah-olah mereka adalah penguasa takdir mereka sendiri. Ini adalah cerminan dari hati yang percaya pada diri sendiri, pada kecerdasan, kekuatan, dan kemampuan mereka untuk memanipulasi keadaan demi keuntungan pribadi. Mereka melihat diri mereka sebagai arsitek mutlak dari kesuksesan dan kekayaan mereka, tanpa menyadari bahwa napas hidup mereka sendiri adalah anugerah yang setiap saat bisa diambil kembali.

Mari kita jujur kepada diri kita sendiri. Seberapa sering kita merencanakan hidup kita—karir, keuangan, pendidikan, pernikahan, bahkan liburan—dengan semangat yang sama? Kita mungkin tidak mengatakannya dengan lantang, tetapi di dalam hati kita, kita sering kali mengadopsi mentalitas yang sama: "Saya akan melakukan ini, saya akan mencapai itu, saya akan mendapatkan ini." Kita mengorganisir jadwal, mengisi kalender, dan menetapkan target, seolah-olah kita memiliki kuasa penuh atas waktu dan hasilnya. Kita lupa bahwa waktu kita terbatas, kekuatan kita rapuh, dan kendali kita semu.


B. Realitas Kerapuhan Hidup: "Kamu Tidak Tahu Apa yang Akan Terjadi Besok." (Ayat 14)

Jam dinding yang berdetak dengan bayangan jam pasir di latar belakang, melambangkan waktu yang terus berjalan dan kerapuhan hidup.

Setelah menggambarkan mentalitas perencana yang angkuh, Yakobus dengan tajam menyentak realitas dengan pertanyaan retoris: "sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap."

Ini adalah salah satu penggambaran paling puitis dan menusuk tentang kerapuhan dan singkatnya hidup manusia dalam seluruh Alkitab. Yakobus mengingatkan kita bahwa kita tidak memiliki jaminan atas hari esok. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi dalam hitungan jam, apalagi setahun ke depan. Semua rencana kita bisa hancur berantakan oleh satu peristiwa tak terduga: penyakit, kecelakaan, bencana alam, krisis ekonomi, atau bahkan kematian.

Hidup kita, kata Yakobus, adalah seperti "uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap." Bayangkan uap yang keluar dari cangkir kopi panas atau kabut pagi yang menyelimuti lembah. Ia muncul sesaat, terlihat indah, lalu dalam sekejap menghilang tanpa jejak. Demikianlah hidup manusia. Sebuah napas singkat di antara keabadian. Mazmur 103:15-16 mengatakan, "Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berkembang; apabila angin lewat atasnya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi."

Penggambaran ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menakut-nakuti atau membuat kita putus asa, melainkan untuk menimbulkan kerendahan hati yang mendalam. Ini adalah panggilan untuk mengenali dan menghormati kedaulatan Allah atas waktu, kehidupan, dan segala sesuatu. Jika kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok, bagaimana mungkin kita merencanakan seolah-olah kita yang memegang kendali penuh?

Kerapuhan hidup adalah sebuah kebenaran universal yang seringkali kita lupakan dalam kesibukan sehari-hari. Kita mengejar ambisi, menumpuk harta, dan membangun kerajaan kita seolah-olah kita akan hidup selamanya. Namun, kematian adalah satu-satunya kepastian dalam hidup ini. Dan datangnya kematian tidak pernah bisa kita ramalkan atau tunda. Setiap detik yang kita jalani adalah anugerah, bukan hak. Setiap rencana yang kita buat adalah potensi, bukan jaminan.

Menyadari bahwa hidup kita adalah "uap" seharusnya tidak membuat kita menjadi pasif atau apatis. Sebaliknya, itu seharusnya memotivasi kita untuk hidup dengan lebih bijaksana, lebih bermakna, dan lebih fokus pada hal-hal yang kekal. Jika waktu kita di bumi ini singkat, bukankah seharusnya kita menginvestasikan waktu, talenta, dan sumber daya kita pada hal-hal yang memiliki nilai abadi?


II. Solusi: Sikap Hati yang Benar dalam Perencanaan (Yakobus 4:15)

A. Mengakui Kedaulatan Allah: "Jika Tuhan Menghendakinya..."

Setelah mengkritik keangkuhan dan mengingatkan akan kerapuhan hidup, Yakobus kemudian memberikan solusi, yaitu bagaimana seharusnya sikap hati kita dalam menghadapi masa depan. Ia berkata, "Seharusnya kamu berkata: Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan akan berbuat ini dan itu."

Frasa "Jika Tuhan menghendakinya" (dalam bahasa Yunani: ean ho Kyrios thelē, atau sering disingkat Deo volente dalam bahasa Latin) adalah ekspresi kerendahan hati dan penyerahan total kepada kedaulatan Allah. Ini bukan sekadar ucapan kosong yang ditambahkan sebagai formalitas religius, melainkan sebuah pengakuan yang tulus dari hati bahwa segala sesuatu—bahkan napas kita sendiri—berada di bawah kendali dan izin Tuhan.

Ini bukan fatalisme, bukan berarti kita tidak perlu berusaha atau merencanakan. Sebaliknya, ini adalah sebuah panggilan untuk mengintegrasikan iman kita ke dalam setiap aspek kehidupan, termasuk perencanaan. Ini berarti bahwa ketika kita membuat rencana, kita melakukannya dengan kesadaran penuh bahwa ada tangan yang lebih besar dan lebih berkuasa yang memegang kendali atas hasil akhirnya. Kita melakukan bagian kita, tetapi kita menyerahkan hasilnya kepada Tuhan.

Contoh yang luar biasa adalah pelayanan Paulus. Ia seringkali menyatakan rencananya untuk mengunjungi suatu tempat, tetapi selalu dengan kualifikasi "jika Tuhan menghendakinya." Misalnya, dalam 1 Korintus 4:19, ia berkata, "Aku akan segera datang kepadamu, jika Tuhan menghendakinya." Atau di Roma 15:32, "agar aku dapat datang kepadamu dengan sukacita atas kehendak Allah." Paulus, meskipun seorang rasul yang memiliki visi dan misi yang jelas, tidak pernah berani mengasumsikan bahwa rencananya akan terlaksana tanpa izin ilahi.

Mengakui kedaulatan Allah dalam perencanaan kita memiliki beberapa implikasi penting:

  1. Doa: Perencanaan kita harus selalu didahului dan disertai dengan doa. Kita mencari hikmat Tuhan, meminta petunjuk-Nya, dan memohon agar kehendak-Nya yang terjadi, bukan kehendak kita semata (Matius 6:10).
  2. Kerendahan Hati: Ini menyingkirkan kesombongan dan keangkuhan. Kita menyadari bahwa kita adalah makhluk terbatas yang bergantung sepenuhnya pada Pencipta kita. Ini adalah sikap hati yang berlawanan dengan apa yang dikritik Yakobus di ayat 13.
  3. Ketergantungan: Kita belajar untuk tidak bersandar pada pemahaman kita sendiri (Amsal 3:5-6), melainkan pada hikmat dan kekuatan Tuhan. Ini memberikan kita kedamaian, karena kita tahu bahwa bahkan jika rencana kita tidak berjalan sesuai harapan, Tuhan tetap memegang kendali.
  4. Fleksibilitas: Jika kita mengakui kedaulatan Tuhan, kita akan lebih siap untuk mengubah arah atau menerima hasil yang berbeda dari yang kita bayangkan. Kita percaya bahwa jalan Tuhan lebih baik daripada jalan kita.
  5. Motivasi yang Benar: Perencanaan kita tidak lagi didorong oleh keinginan egois untuk keuntungan pribadi atau pengakuan diri, melainkan oleh keinginan untuk memuliakan Tuhan dan melayani sesama.

Dengan demikian, Yakobus memanggil kita untuk sebuah paradigma perencanaan yang baru: perencanaan yang berani, tetapi selalu diwarnai dengan kerendahan hati yang mendalam dan ketergantungan penuh pada Allah. Ini adalah perencanaan yang mengakui bahwa masa depan bukan milik kita untuk diklaim, melainkan milik Allah untuk diungkapkan.


III. Dosa Keangkuhan dan Kesombongan (Yakobus 4:16)

A. Kesombongan yang Diingkari: "Tetapi Sekarang Kamu Memegahkan Diri dalam Omonganmu yang Congkak."

Sosok berdiri tegak, memandang ke atas, melambangkan keangkuhan dan kemegahan diri.

Setelah memberikan solusi, Yakobus kembali menegaskan masalahnya dengan lebih tajam. "Tetapi sebaliknya kamu memegahkan diri dalam omonganmu yang congkak. Semua kemegahan yang demikian adalah jahat."

Di sini, Yakobus mengidentifikasi apa yang menjadi akar dari perencanaan tanpa Tuhan: yaitu kemegahan diri atau kesombongan. Kata Yunani untuk "memegahkan diri" di sini adalah kauchaomai, yang berarti membual, menyombongkan diri, atau bermegah. Ini adalah tindakan mengklaim kehormatan atau keunggulan untuk diri sendiri, biasanya dengan meremehkan orang lain atau melupakan asal usul kekuatan sejati.

Kemegahan yang dikutuk Yakobus ini bukanlah sekadar percaya diri yang sehat atau penghargaan yang layak atas prestasi. Sebaliknya, ini adalah jenis kesombongan yang mengabaikan campur tangan ilahi, yang mengklaim kredit atas segala sesuatu untuk diri sendiri, dan yang menempatkan "aku" di atas "Tuhan." Ini adalah sikap hati yang secara implisit mengatakan, "Saya tidak butuh Tuhan; saya bisa melakukannya sendiri."

Yakobus menyebut omongan yang congkak ini sebagai "jahat" (ponēra). Mengapa jahat? Karena kesombongan adalah dosa yang sangat mendasar dan berbahaya. Ini adalah dosa yang paling pertama, yang menyebabkan kejatuhan Lucifer dan dosa asal manusia di Taman Eden. Kesombongan adalah musuh utama dari kerendahan hati dan penyerahan kepada Allah. Ketika kita memegahkan diri, kita secara efektif menempatkan diri kita di takhta Allah, mencoba merebut kedaulatan yang hanya milik-Nya.

Amsal 16:18 menyatakan, "Keangkuhan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan." Allah menentang orang yang sombong, tetapi mengasihi orang yang rendah hati (Yakobus 4:6, 1 Petrus 5:5). Kesombongan memisahkan kita dari anugerah Allah. Ketika kita mengklaim bahwa kita berhasil karena kekuatan kita sendiri, kita menutup diri dari berkat-Nya dan menolak untuk mengakui bahwa setiap kebaikan datang dari Dia.

Dalam konteks Yakobus 4, kemegahan diri ini termanifestasi dalam asumsi kontrol atas masa depan. Ketika seseorang berkata, "Hari ini atau besok kami akan pergi... dan akan berdagang serta mendapat untung," tanpa mengakui Tuhan, ia sedang bermegah dalam kemampuan dirinya untuk menentukan takdirnya. Ini adalah sebuah bentuk keangkuhan yang meremehkan kerapuhan hidup dan mengabaikan kekuasaan Tuhan.

Seringkali, kesombongan ini tidak nampak dalam kata-kata yang terang-terangan, melainkan dalam sikap hati. Kita mungkin tidak berkata, "Saya tidak butuh Tuhan," tetapi cara kita hidup, cara kita merencanakan, dan cara kita mengambil keputusan seringkali mencerminkan mentalitas tersebut. Ketika kita merasa frustrasi atau marah karena rencana kita tidak berjalan sesuai keinginan, itu bisa menjadi tanda bahwa kita telah memegahkan diri dalam kendali kita sendiri, bukan menyerahkan semuanya kepada Tuhan.

Penting bagi kita untuk merenungkan, di area mana dalam hidup kita kita mungkin memegahkan diri? Apakah dalam karir, keuangan, hubungan, bahkan pelayanan rohani kita? Apakah kita sering mengambil pujian untuk diri kita sendiri, atau apakah kita selalu bersedia mengembalikan kemuliaan kepada Allah yang adalah sumber dari segala kebaikan?


IV. Dosa Kelalaian atau Dosa Tidak Berbuat (Yakobus 4:17)

A. Definisi Dosa Omission: "Jadi Jika Seorang Tahu Bagaimana Ia Harus Berbuat Baik, Tetapi Ia Tidak Melakukannya, Ia Berdosa."

Ayat terakhir dari perikop ini adalah sebuah pernyataan yang sangat kuat dan seringkali diremehkan: "Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa." Ini adalah definisi klasik dari dosa kelalaian, atau sins of omission.

Seringkali, ketika kita memikirkan dosa, kita cenderung memikirkan "dosa perbuatan" (sins of commission), yaitu melakukan sesuatu yang dilarang Allah, seperti berbohong, mencuri, atau berzinah. Namun, Yakobus mengingatkan kita bahwa ada jenis dosa lain yang sama seriusnya—yaitu tidak melakukan apa yang seharusnya kita lakukan, meskipun kita tahu itu benar dan baik.

Dosa kelalaian bukanlah ketidaktahuan. Ayat ini secara spesifik menyatakan "jika seorang tahu." Pengetahuan menjadi tanggung jawab. Jika kita tahu apa yang baik dan benar, dan kita memiliki kesempatan serta kemampuan untuk melakukannya, tetapi kita memilih untuk tidak melakukannya, maka itu adalah dosa di mata Allah.

Prinsip ini sangat penting karena ia memperluas pemahaman kita tentang apa artinya hidup kudus. Kekudusan bukan hanya tentang menghindari kejahatan, tetapi juga tentang secara aktif mengejar kebaikan. Ini bukan hanya tentang tidak melakukan hal-hal buruk, tetapi juga tentang melakukan hal-hal yang baik dan benar.

Yesus sendiri mengajarkan prinsip ini dalam perumpamaan tentang domba dan kambing (Matius 25:31-46). Mereka yang pergi ke neraka bukanlah mereka yang secara aktif melakukan kejahatan terhadap Yesus, tetapi mereka yang gagal melayani "saudara-saudara-Ku yang paling hina ini"—tidak memberi makan yang lapar, tidak memberi minum yang haus, tidak menjamu orang asing, tidak memberi pakaian yang telanjang, tidak mengunjungi yang sakit dan di penjara. Kelalaian mereka adalah dosa yang membawa konsekuensi kekal.


B. Konteks Dosa Kelalaian dalam Yakobus 4:13-17

Tanda tanya besar di tengah lingkaran, melambangkan pertanyaan tentang apa yang harus kita lakukan dan konsekuensi dari kelalaian.

Penting untuk memahami bahwa ayat 17 ini bukan berdiri sendiri. Ia adalah kesimpulan dari seluruh argumen Yakobus dari ayat 13. Jadi, "berbuat baik" dalam konteks ini secara spesifik merujuk pada kebenaran-kebenaran yang baru saja dia sampaikan:

  1. Mengakui kedaulatan Allah dalam perencanaan: Kita seharusnya berkata, "Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan akan berbuat ini dan itu." Jika kita tahu bahwa kita harus merencanakan dengan kerendahan hati ini, tetapi kita terus merencanakan dengan keangkuhan dan asumsi kontrol penuh, maka kita berdosa.
  2. Menghindari kemegahan diri: Kita tahu bahwa memegahkan diri dalam omongan yang congkak adalah jahat. Jika kita tahu ini, tetapi kita terus melakukannya dalam kata-kata atau sikap hati kita, maka kita berdosa.
  3. Menyadari kerapuhan hidup: Kita tahu bahwa hidup kita seperti uap. Jika kita tahu ini, tetapi kita hidup seolah-olah kita akan hidup selamanya dan menimbun harta duniawi tanpa mempertimbangkan kekekalan, maka kita berdosa.

Dosa kelalaian di sini adalah kegagalan untuk mengaplikasikan kebenaran yang kita sudah tahu. Kita tahu kebenaran ini bukan hanya dari Yakobus, tetapi dari seluruh Alkitab. Kita tahu siapa yang memegang kendali atas hidup dan mati. Kita tahu bahwa segala kemuliaan harus dikembalikan kepada Tuhan. Jika kita memilih untuk mengabaikan pengetahuan ini dan hidup sebaliknya, maka kita berdosa.

Ini adalah teguran yang tajam bagi mereka yang mungkin merasa sudah cukup "baik" hanya karena tidak melakukan hal-hal yang terang-terangan jahat. Yakobus berkata, itu tidak cukup! Kita dipanggil untuk aktif dalam kebaikan, aktif dalam kerendahan hati, aktif dalam ketergantungan pada Tuhan. Pasifitas spiritual di hadapan kebenaran yang kita ketahui adalah dosa.

Berapa banyak kesempatan untuk berbuat baik yang kita lewatkan setiap hari? Kesempatan untuk berbicara tentang Tuhan, untuk melayani sesama, untuk memberi, untuk mendoakan, untuk mengampuni, untuk menegur dengan kasih, untuk mendorong, untuk menunjukkan belas kasihan. Jika kita tahu ini adalah hal yang benar untuk dilakukan, tetapi kita memilih untuk diam, untuk acuh tak acuh, atau untuk menunda, kita sedang melakukan dosa kelalaian.

Dosa kelalaian juga bisa berarti tidak menggunakan karunia dan talenta yang Tuhan berikan kepada kita untuk kemuliaan-Nya. Kita tahu kita memiliki kemampuan, kita tahu kita bisa berkontribusi, tetapi kita menyimpannya untuk diri sendiri atau menguburnya karena ketakutan, kemalasan, atau keegoisan. Perumpamaan tentang talenta di Matius 25:14-30 adalah peringatan keras tentang dosa kelalaian ini.


C. Aplikasi Luas Dosa Kelalaian dalam Kehidupan Kristen

Prinsip dosa kelalaian dalam Yakobus 4:17 ini memiliki aplikasi yang sangat luas dalam setiap aspek kehidupan Kristen:

Dosa kelalaian seringkali lebih sulit dikenali karena ia tidak memiliki "bukti" yang jelas seperti dosa perbuatan. Tidak ada tindakan aktif yang dilakukan. Namun, di mata Allah, kelalaian dalam melakukan kebaikan yang kita tahu harus dilakukan adalah sama seriusnya. Ini menunjukkan hati yang tidak sepenuhnya tunduk kepada kehendak Allah, hati yang tidak mencintai-Nya dan sesama seperti yang seharusnya.

Peringatan Yakobus ini adalah panggilan untuk hidup yang proaktif dalam kebenaran, untuk menjadi pelaku firman, bukan hanya pendengar (Yakobus 1:22). Ini adalah seruan untuk mengenakan iman kita, bukan hanya di bibir, tetapi dalam setiap keputusan dan tindakan kita.


V. Hidup yang Berhikmat di Tengah Ketidakpastian

Jadi, bagaimana kita dapat merespons teguran yang kuat ini dari Yakobus? Ini adalah panggilan untuk sebuah transformasi mendalam dalam cara kita melihat hidup, merencanakan, dan bertindak. Ini adalah panggilan untuk hidup yang berhikmat.

A. Kerendahan Hati sebagai Fondasi

Inti dari pesan Yakobus di sini adalah kerendahan hati. Kita harus merendahkan diri di hadapan Allah yang Mahakuasa. Kerendahan hati bukanlah merendahkan diri sendiri secara tidak wajar, melainkan melihat diri kita secara akurat di hadapan keagungan Allah. Itu berarti mengakui keterbatasan kita, kerapuhan kita, dan ketergantungan kita yang mutlak kepada-Nya. Ketika kita benar-benar rendah hati, kita akan secara alami menyerahkan setiap rencana dan harapan kita kepada kehendak-Nya.

Yakobus 4:6 mengatakan, "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati." Jika kita ingin menerima anugerah dan bimbingan Allah, kita harus menanggalkan setiap jejak kesombongan dan kemegahan diri dari hati kita.

B. Perencanaan yang Terbuka dan Berserah

Kita tidak dipanggil untuk berhenti merencanakan. Tuhan memberi kita akal budi dan kemampuan untuk berpikir ke depan. Tetapi kita dipanggil untuk merencanakan dengan hati yang terbuka, selalu menambahkan "Jika Tuhan menghendakinya" bukan hanya sebagai frase, tetapi sebagai keyakinan batin yang mendalam. Setiap rencana harus dipegang longgar, dengan kesadaran bahwa Tuhan memiliki rencana yang lebih besar dan lebih baik.

Ini membebaskan kita dari kecemasan. Jika kita telah menyerahkan rencana kita kepada Tuhan, maka kita bisa tenang, mengetahui bahwa apa pun yang terjadi, itu ada dalam kendali-Nya dan akan bekerja bersama untuk kebaikan kita (Roma 8:28).

C. Proaktif dalam Kebaikan

Ayat 17 menuntut kita untuk menjadi orang Kristen yang proaktif, bukan pasif. Kita tidak bisa bersembunyi di balik alasan "saya tidak melakukan kejahatan." Tuhan memanggil kita untuk melakukan kebaikan yang kita ketahui harus kita lakukan. Ini menuntut kita untuk aktif mencari tahu kehendak Tuhan, untuk menjadi peka terhadap kebutuhan di sekitar kita, dan untuk dengan berani melangkah dalam iman untuk melakukan apa yang benar.

Setiap hari adalah kesempatan untuk berbuat baik. Apakah kita menggunakan kesempatan itu? Apakah kita mengasihi sesama kita secara praktis? Apakah kita menggunakan karunia kita untuk membangun Kerajaan Allah? Dosa kelalaian adalah peringatan keras bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang mati (Yakobus 2:17).


Kesimpulan

Tanda seru di dalam lingkaran, melambangkan panggilan untuk bertindak dan kejelasan akan kehendak Tuhan.

Saudara-saudari, khotbah Yakobus 4:13-17 adalah sebuah panggilan yang menantang dan transformatif. Ini adalah sebuah teguran terhadap mentalitas duniawi yang mengagungkan kendali diri dan mengabaikan kedaulatan Allah. Ini adalah sebuah ajakan untuk hidup dengan realisme yang sehat tentang kerapuhan hidup, namun dengan iman yang teguh pada Tuhan yang memegang masa depan.

Mari kita renungkan pertanyaan-pertanyaan ini dalam hati kita:

Allah tidak memanggil kita untuk hidup dalam ketakutan atau pasifitas, melainkan dalam iman, kerendahan hati, dan ketaatan yang aktif. Dia memanggil kita untuk menyerahkan setiap rencana, setiap harapan, setiap impian kita ke tangan-Nya yang penuh kasih dan mahakuasa. Dia memanggil kita untuk menjadi pelaku firman, yang dengan sukarela dan proaktif melakukan kebaikan yang kita tahu harus kita lakukan, untuk kemuliaan nama-Nya.

Ketika kita hidup dengan sikap hati seperti ini—merencanakan dengan kerendahan hati, menyerahkan kepada kedaulatan Tuhan, dan bertindak dalam kebaikan—kita tidak hanya akan menemukan kedamaian di tengah ketidakpastian hidup, tetapi kita juga akan menghormati Allah dan menjadi alat yang efektif dalam tangan-Nya. Amin.

Marilah kita berdoa:

Ya Bapa Surgawi, kami datang di hadapan-Mu dengan hati yang rendah. Kami mengaku bahwa seringkali kami telah merencanakan hidup kami dengan keangkuhan, seolah-olah kami yang memegang kendali atas hari esok. Ampunilah kami atas kesombongan kami dan atas kelalaian kami dalam melakukan kebaikan yang kami tahu harus kami lakukan.

Tolonglah kami untuk selalu mengingat bahwa hidup kami hanyalah seperti uap, yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Biarlah kesadaran ini mendorong kami untuk hidup dengan bijaksana, dengan prioritas yang benar, dan dengan hati yang sepenuhnya bergantung kepada-Mu.

Ajarlah kami untuk berkata, "Jika Tuhan menghendakinya," bukan hanya di bibir, melainkan dengan keyakinan yang mendalam di dalam hati kami. Beri kami keberanian untuk merencanakan, tetapi juga kerendahan hati untuk menyerahkan segala hasilnya kepada tangan-Mu yang berdaulat.

Dan yang terakhir, Bapa, bukakan mata kami untuk melihat kesempatan-kesempatan untuk berbuat baik di sekitar kami setiap hari. Beri kami kekuatan untuk melangkah maju, untuk melakukan apa yang benar, untuk mengasihi sesama, dan untuk menggunakan karunia-karunia kami untuk kemuliaan nama-Mu.

Semoga hidup kami menjadi kesaksian akan keindahan penyerahan kepada-Mu. Dalam nama Tuhan Yesus Kristus kami berdoa. Amin.