Pengantar: Panggilan untuk Mengasihi
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, marilah kita merenungkan salah satu pilar utama iman kita, yaitu kasih. Kasih bukanlah sekadar emosi yang datang dan pergi, bukan pula perasaan yang hanya muncul pada momen-momen tertentu. Lebih dari itu, kasih adalah identitas kita sebagai pengikut Kristus, sebuah perintah ilahi, dan kekuatan transformatif yang mampu mengubah dunia di sekitar kita. Di tengah hiruk pikuk kehidupan, di tengah perbedaan pandangan, di tengah konflik dan perpecahan, panggilan untuk mengasihi sesama tetap bergema kuat, menyerukan kita untuk menjadi agen-agen kasih di dunia yang sangat membutuhkannya.
Kita hidup di era di mana konektivitas teknologi mencapai puncaknya, namun seringkali kita merasa terputus satu sama lain. Media sosial menghubungkan kita dengan orang-orang di seluruh dunia, tetapi ironisnya, kita seringkali kesulitan untuk benar-benar terhubung dengan tetangga sebelah atau bahkan anggota keluarga sendiri. Ada begitu banyak informasi, namun kadang kekurangan empati. Ada banyak opini, namun sedikit kerendahan hati untuk mendengarkan. Dalam konteks inilah, ajaran Kristus tentang mengasihi sesama menjadi semakin relevan, mendesak, dan fundamental bagi keberadaan kita sebagai manusia, terlebih sebagai umat beriman.
Khotbah kali ini akan membawa kita menyelami lebih dalam makna, tantangan, dan kekuatan dari mengasihi sesama. Kita akan melihat bagaimana Alkitab mengajarkan kita tentang kasih ini, bagaimana kasih itu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, dan bagaimana Roh Kudus memampukan kita untuk hidup dalam kasih yang sejati. Ini bukan hanya sekadar teori, melainkan sebuah panggilan untuk bertindak, untuk mewujudkan kasih Allah yang telah kita terima ke dalam setiap interaksi dan relasi kita. Mari kita buka hati dan pikiran kita untuk tuntunan firman Tuhan.
Simbol hati yang berisi salib, melambangkan kasih ilahi dan pengorbanan yang menjadi dasar kasih kita kepada sesama.
I. Fondasi Alkitabiah Kasih Sesama
Untuk memahami kasih sesama, kita harus kembali kepada sumber utamanya, yaitu Firman Tuhan. Alkitab dengan jelas dan berulang kali menekankan pentingnya kasih ini, menjadikannya bukan sekadar anjuran, melainkan sebuah perintah yang mengikat.
1. Perintah Terbesar: Kasih kepada Allah dan Sesama
Dalam Injil Markus 12:30-31, Yesus Kristus menyatakan perintah terbesar ketika seorang ahli Taurat bertanya kepada-Nya. Jawab Yesus:
“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.”
Ayat ini sungguh fundamental. Yesus tidak hanya mengulang Hukum Taurat, tetapi juga memberikan penekanan bahwa kedua perintah ini tidak dapat dipisahkan. Kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama adalah dua sisi mata uang yang sama. Anda tidak bisa mengklaim mengasihi Allah yang tidak terlihat jika Anda tidak mengasihi sesama yang terlihat. Bagaimana mungkin kita mengaku mencintai Pencipta alam semesta jika kita mengabaikan, membenci, atau menyakiti ciptaan-Nya yang adalah sesama kita, yang diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya?
Kasih kepada Allah adalah sumber, sedangkan kasih kepada sesama adalah manifestasi dan bukti dari kasih itu. Jika akar kita tertancap kuat pada kasih Allah, maka buah-buah kasih kepada sesama akan tumbuh secara alami dari kehidupan kita. Perintah ini menuntut kasih yang menyeluruh, melibatkan hati (emosi), jiwa (kehidupan), akal budi (pikiran), dan kekuatan (tindakan).
2. Perintah Baru: Kasih Sebagai Identitas Kristen
Pada malam terakhir bersama murid-murid-Nya, sebelum penyaliban, Yesus memberikan sebuah perintah yang disebut-Nya "perintah baru" dalam Yohanes 13:34-35:
“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.”
Mengapa ini disebut "perintah baru"? Bukan karena kasih itu baru, tetapi karena standar kasih yang diberikan sekarang adalah kasih Kristus sendiri. Bukan lagi "kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri" (yang sudah sulit), tetapi "kasihilah sesamamu sama seperti Aku telah mengasihi kamu." Ini adalah standar yang jauh lebih tinggi, sebuah kasih yang rela berkorban, tidak mementingkan diri sendiri, dan tanpa syarat. Kasih Kristus, yang membawa-Nya ke kayu salib demi penebusan umat manusia, adalah tolok ukur bagi kasih kita satu sama lain.
Lebih lanjut, ayat ini menegaskan bahwa kasih adalah tanda pengenal utama bagi pengikut Kristus. Dunia tidak akan mengenali kita dari logo gereja, denominasi, atau bahkan banyaknya khotbah yang kita dengar, melainkan dari cara kita mengasihi satu sama lain. Kasih yang tulus, otentik, dan terlihat dalam tindakan kita adalah khotbah paling kuat yang dapat kita sampaikan kepada dunia yang skeptis.
3. Kasih Sebagai Esensi Kehidupan Kristen
Rasul Yohanes, yang sering disebut "rasul kasih," juga memberikan penekanan yang kuat dalam surat-suratnya. Dalam 1 Yohanes 4:7-8, 11-12, 19-21, ia menulis:
“Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih… Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah demikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi. Tidak ada seorangpun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita… Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita. Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah,’ dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.”
Ayat-ayat ini adalah penegasan yang tak terbantahkan. Yohanes menyatakan bahwa kasih itu berasal dari Allah, dan bahwa mengasihi adalah bukti kita lahir dari Allah dan mengenal-Nya. Jika kita tidak mengasihi, kita tidak mengenal Allah, sebab Allah sendiri adalah kasih. Ini adalah deklarasi teologis yang mendalam dan sekaligus tantangan moral yang besar. Kasih bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan bagi setiap orang yang mengaku sebagai anak-anak Allah.
Lebih jauh lagi, Yohanes memperingatkan dengan sangat tajam: jika seseorang mengaku mengasihi Allah tetapi membenci saudaranya, ia adalah pendusta. Ini menunjukkan bahwa iman kita tidak boleh hanya berhenti pada ritual atau pengakuan lisan. Iman yang sejati termanifestasi dalam kasih yang nyata terhadap sesama. Kasih kepada sesama bukan hanya cara untuk menunjukkan kasih kita kepada Allah, tetapi juga cara Allah menyatakan kehadiran-Nya dan kesempurnaan kasih-Nya di dalam kita.
Dengan fondasi Alkitabiah yang kuat ini, jelaslah bahwa mengasihi sesama bukanlah sekadar saran moral yang baik, melainkan inti dari iman Kristen itu sendiri, sebuah perintah yang diberikan oleh Tuhan kita, dan tanda pengenal yang membedakan kita sebagai pengikut-Nya.
II. Makna Kasih yang Sejati: Lebih dari Sekadar Perasaan
Seringkali, di dunia kita, kata "kasih" direduksi menjadi sekadar perasaan romantis, gairah, atau emosi sesaat. Namun, Alkitab menyajikan definisi kasih yang jauh lebih dalam, kompleks, dan menuntut. Kasih yang Alkitab maksud, khususnya kasih agape, adalah sesuatu yang melampaui perasaan belaka; itu adalah pilihan, tindakan, dan komitmen.
1. Kasih Agape: Kasih Tanpa Syarat
Dalam bahasa Yunani, ada beberapa kata untuk kasih, seperti eros (kasih romantis), philia (kasih persahabatan), dan storge (kasih keluarga). Namun, ketika Alkitab berbicara tentang kasih yang diperintahkan kepada kita, terutama dalam konteks kasih Allah dan kasih sesama, kata yang paling sering digunakan adalah agape. Kasih agape adalah kasih yang paling tinggi dan paling murni.
- Tidak Bersyarat: Agape tidak bergantung pada nilai atau kelayakan orang yang dikasihi. Ia mengasihi terlepas dari siapa orang itu, apa yang telah ia lakukan, atau apa yang ia miliki. Ini adalah kasih yang berinisiatif, seperti kasih Allah kepada kita saat kita masih berdosa (Roma 5:8).
- Rela Berkorban: Agape selalu siap memberikan dan berkorban demi kebaikan orang lain. Ini adalah kasih yang memberikan diri, seperti Kristus yang memberikan nyawa-Nya.
- Aktif dan Bertindak: Agape bukan pasif. Ia mewujud dalam tindakan nyata, bukan hanya dalam kata-kata atau perasaan belaka.
- Mengutamakan Orang Lain: Agape mencari kebaikan orang lain, bahkan jika itu berarti mengesampingkan kepentingan diri sendiri.
Memahami kasih agape ini sangat penting karena itu membentuk dasar dari bagaimana kita seharusnya mengasihi sesama. Ini bukan berarti kita harus "merasakan" kasih yang romantis kepada setiap orang, tetapi kita harus memilih untuk bertindak dalam kebaikan, pengorbanan, dan kemurahan hati terhadap mereka, seperti yang Kristus lakukan terhadap kita.
2. Kasih Itu Tindakan, Bukan Sekadar Kata-kata
Banyak bagian Alkitab menegaskan bahwa kasih sejati harus diwujudkan dalam tindakan. Rasul Yakobus menekankan hal ini dalam Yakobus 2:15-16, ketika ia berbicara tentang iman tanpa perbuatan:
“Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan setiap hari, dan seorang di antara kamu berkata: ‘Selamat jalan, kenakanlah pakaian yang hangat dan makanlah sampai kenyang!’, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu?”
Demikian juga dengan kasih. Mengatakan "Aku mengasihi kamu" atau "Tuhan memberkati" tanpa ada tindakan nyata yang menyertainya adalah kosong. Kasih sejati akan mendorong kita untuk memenuhi kebutuhan, menghibur yang berduka, menolong yang lemah, dan berdiri bersama yang tertindas. Ini bukan tentang seberapa besar kita merasa sayang, tetapi seberapa besar kita bersedia bertindak untuk kebaikan orang lain.
Puncak dari penjelasan tentang kasih ini ada di 1 Korintus 13, yang sering disebut "pasal kasih". Rasul Paulus menggambarkan karakteristik kasih agape dengan sangat indah dan mendalam. Ia tidak berbicara tentang perasaan, tetapi tentang kualitas karakter dan tindakan:
“Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan.” (1 Korintus 13:4-8a)
Setiap sifat yang disebutkan Paulus ini adalah tindakan atau pilihan sikap. Kesabaran adalah tindakan menahan diri. Kemurahan hati adalah tindakan memberi. Tidak mencari keuntungan diri sendiri adalah tindakan penolakan egoisme. Ini semua adalah pilihan yang kita buat setiap hari dalam interaksi kita dengan sesama. Jadi, kasih bukanlah sekadar emosi; itu adalah cara hidup, sebuah komitmen yang diwujudkan dalam setiap aspek keberadaan kita.
Memahami kasih sebagai tindakan berarti kita harus terus-menerus mengevaluasi diri: Apakah kasih saya nyata? Apakah ia terlihat dalam cara saya memperlakukan orang lain, dalam kata-kata yang saya ucapkan, dalam waktu dan sumber daya yang saya berikan? Jika tidak, maka kita perlu berdoa agar Roh Kudus memampukan kita untuk mewujudkan kasih agape yang sejati dalam hidup kita.
III. Mengasihi Sesama dalam Praktik: Melampaui Batasan
Memahami fondasi dan makna kasih adalah satu hal, tetapi mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari adalah tantangan lain. Yesus tidak hanya mengajarkan tentang kasih, tetapi Dia juga menghidupinya dan memberikan contoh bagaimana mengasihi sesama tanpa batasan. Kasih ini harus melampaui batasan keluarga, teman, atau kelompok kita sendiri.
1. Mengasihi Mereka yang Dekat: Keluarga dan Komunitas
Tempat pertama untuk mempraktikkan kasih adalah di lingkaran terdekat kita: keluarga. Seringkali, justru di sinilah kasih menjadi paling sulit. Keakraban bisa memunculkan kelemahan dan gesekan. Mengasihi anggota keluarga berarti kesabaran, pengampunan, pengertian, dan pelayanan tanpa pamrih. Itu berarti mendengarkan, menghargai, dan mendukung satu sama lain, bahkan ketika ada perbedaan.
Selain keluarga, komunitas iman kita – gereja – adalah tempat yang krusial. Gereja adalah tubuh Kristus, dan kita dipanggil untuk saling mengasihi sebagai saudara dan saudari seiman. Ini berarti menanggung beban satu sama lain (Galatia 6:2), saling mendoakan, saling menguatkan, dan melayani dengan talenta yang kita miliki. Dalam 1 Petrus 4:8, kita diajarkan, "Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa." Kasih di antara umat percaya menjadi kesaksian kuat bagi dunia.
2. Mengasihi Mereka yang Sulit: Musuh dan Orang yang Menyakiti
Inilah salah satu aspek kasih yang paling menantang dan membedakan ajaran Kristus dari filosofi lain. Yesus memerintahkan dalam Matius 5:44:
“Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.”
Ini terdengar mustahil secara manusiawi. Bagaimana mungkin kita mengasihi orang yang telah menyakiti kita, mengkhianati kita, atau bahkan membenci kita? Namun, inilah inti dari kasih agape – kasih yang melampaui keadilan, mematahkan lingkaran kebencian, dan mencerminkan karakter Allah sendiri. Mengasihi musuh bukan berarti menyetujui tindakan mereka, melainkan memilih untuk tidak membalas dendam, mendoakan kebaikan mereka, dan membuka diri pada kemungkinan rekonsiliasi. Ini adalah tindakan radikal yang hanya mungkin dengan kekuatan Roh Kudus.
Roma 12:20 menambahkan, “Jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum; dengan berbuat demikian kamu menumpuk bara api di atas kepalanya.” Ini adalah strategi ilahi untuk mematahkan kejahatan dengan kebaikan, menunjukkan bahwa kasih lebih kuat dari kebencian.
3. Mengasihi Mereka yang Marginal: Kisah Orang Samaria yang Baik Hati
Yesus juga mengajarkan kita untuk mengasihi mereka yang dipinggirkan, diabaikan, atau dianggap rendah oleh masyarakat. Kisah Orang Samaria yang Baik Hati dalam Lukas 10:25-37 adalah ilustrasi yang sempurna. Seorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus, "Siapakah sesamaku manusia?" Yesus menjawab dengan sebuah perumpamaan:
Seorang pria dirampok, dipukuli, dan ditinggalkan setengah mati di pinggir jalan. Seorang imam dan seorang Lewi, tokoh-tokoh agama yang seharusnya menunjukkan belas kasihan, melewatinya begitu saja. Namun, seorang Samaria – kelompok yang dibenci oleh orang Yahudi – berhenti, mengobati lukanya, membawanya ke penginapan, dan bahkan membayar biayanya. Yesus kemudian bertanya kepada ahli Taurat itu, "Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" Ahli Taurat itu menjawab, "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Kata Yesus kepadanya, "Pergilah, dan perbuatlah demikian!"
Pesan dari perumpamaan ini sangat jelas: sesama kita adalah siapa pun yang membutuhkan pertolongan kita, terlepas dari latar belakang etnis, sosial, agama, atau bahkan hubungan pribadi. Kasih kita harus melampaui batasan-batasan yang kita ciptakan sendiri. Ini adalah panggilan untuk melihat kebutuhan orang lain dan bertindak dengan belas kasihan, bahkan jika itu merepotkan atau melibatkan risiko pribadi.
Matius 25:31-46 menguatkan ini ketika Yesus berbicara tentang penghakiman terakhir. Ia berkata bahwa apa pun yang kita lakukan kepada "saudara-saudara-Ku yang paling hina ini," kita melakukannya untuk-Nya. Ketika kita memberi makan yang lapar, memberi minum yang haus, menampung orang asing, memberi pakaian yang telanjang, mengunjungi yang sakit dan yang di penjara, kita sedang melayani Kristus sendiri. Ini adalah pengingat kuat bahwa kasih praktis kepada sesama adalah pelayanan langsung kepada Tuhan.
4. Mengasihi dalam Kebenaran dan Kejujuran
Kasih tidak berarti menyetujui atau menoleransi dosa atau ketidakbenaran. Kasih sejati juga mencakup keberanian untuk berbicara kebenaran, menegur dengan kasih, dan mencari pemulihan. Efesus 4:15 mengatakan, "Dengan berpegang teguh pada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala." Mengasihi berarti ingin yang terbaik bagi orang lain, dan terkadang yang terbaik adalah menantang mereka untuk hidup dalam kebenaran dan kesucian.
Ini membutuhkan hikmat dan kerendahan hati. Teguran yang penuh kasih tidak merendahkan atau menghakimi, tetapi membangun dan memulihkan. Tujuannya bukan untuk mempermalukan, melainkan untuk membantu orang lain mendekat kepada Tuhan dan hidup yang lebih baik.
5. Mengasihi dalam Pengampunan
Pengampunan adalah bagian integral dari mengasihi sesama, terutama ketika kita disakiti. Tanpa pengampunan, kepahitan dan dendam akan meracuni hati kita, menghalangi kita untuk mengasihi, dan merusak hubungan kita dengan Tuhan dan sesama. Matius 6:14-15 mengajarkan bahwa jika kita mengampuni kesalahan orang lain, Bapa kita di surga juga akan mengampuni kita. Tetapi jika kita tidak mengampuni, Bapa juga tidak akan mengampuni kesalahan kita.
Pengampunan bukanlah melupakan apa yang terjadi, atau menyetujui kesalahan. Pengampunan adalah pilihan untuk melepaskan hak kita untuk membalas dendam dan menyerahkan beban itu kepada Tuhan. Ini adalah tindakan kasih yang membebaskan baik pemberi maupun penerima, membuka jalan bagi penyembuhan dan rekonsiliasi. Pengampunan adalah jembatan yang dibangun oleh kasih untuk melintasi jurang pemisah yang diciptakan oleh dosa dan luka.
6. Mengasihi Tanpa Pamrih
Kasih sejati tidak mengharapkan balasan. Yesus mengajarkan hal ini dalam Lukas 6:32-34, menantang kita untuk mengasihi bukan hanya mereka yang mengasihi kita atau memberi kepada mereka yang dapat membalas:
“Sebab jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepadamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian. Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang-orang berdosa lain, supaya mereka menerima kembali sama banyak.”
Kasih yang sejati, kasih agape, adalah kasih yang melampaui motif pribadi. Ia memberi dan melayani karena itu adalah sifatnya, mencerminkan sifat Allah. Ia tidak menghitung-hitung keuntungan atau kerugian, tetapi berfokus pada kebutuhan dan kebaikan orang lain. Ini adalah kasih yang membebaskan kita dari ekspektasi dan kekecewaan, karena motivasi kita murni untuk memuliakan Tuhan dan memberkati sesama.
Dua figur manusia abstrak saling menjangkau, melambangkan kepedulian dan kasih antar sesama tanpa memandang perbedaan.
IV. Tantangan dan Rintangan dalam Mengasihi Sesama
Meskipun perintah untuk mengasihi sesama itu jelas dan mendalam, kita harus jujur mengakui bahwa ini adalah salah satu panggilan yang paling sulit untuk dijalani. Ada banyak rintangan yang seringkali kita hadapi, baik dari dalam diri kita maupun dari dunia di sekitar kita. Mengidentifikasi tantangan ini adalah langkah pertama untuk mengatasinya.
1. Egoisme dan Sifat Dosa Manusia
Rintangan terbesar untuk mengasihi sesama adalah sifat dosa yang melekat dalam diri kita, yang cenderung egois dan berpusat pada diri sendiri. Sejak kejatuhan manusia, kita cenderung memprioritaskan "aku" di atas "kita". Kita ingin diakui, dihargai, dilayani, dan seringkali enggan untuk memberi atau berkorban. Egoisme membuat kita sulit melihat kebutuhan orang lain, dan bahkan ketika kita melihatnya, kita mungkin tidak tergerak untuk bertindak karena beranggapan itu bukan urusan kita atau akan merepotkan diri kita.
Ini adalah perjuangan seumur hidup. Untuk mengasihi sesama dengan sejati, kita harus terus-menerus memerangi egoisme kita, menyerahkan keinginan-keinginan pribadi kita di bawah kehendak Kristus. Ini membutuhkan kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita tidak selalu benar, dan keberanian untuk menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri.
2. Prasangka dan Penghakiman
Kita semua memiliki kecenderungan untuk menghakimi orang lain berdasarkan penampilan, latar belakang, status sosial, suku, agama, atau kesalahan masa lalu. Prasangka adalah tembok yang kita bangun di antara diri kita dan orang lain, mencegah kita untuk melihat mereka sebagaimana Allah melihat mereka – sebagai pribadi yang berharga dan diciptakan menurut gambar-Nya. Ketika kita menghakimi, kita menutup pintu untuk mengasihi.
Yesus sendiri sangat menentang penghakiman. Matius 7:1-2 mengingatkan kita: "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu." Untuk mengasihi, kita harus belajar melepaskan prasangka dan melihat setiap orang dengan mata kasih dan belas kasihan Kristus.
3. Ketakutan dan Ketidaknyamanan
Mengasihi seringkali berarti melangkah keluar dari zona nyaman kita. Itu bisa berarti berbicara dengan orang asing, membantu seseorang yang mungkin berbeda dari kita, atau bahkan menghadapi situasi yang membuat kita tidak nyaman. Kita mungkin takut ditolak, disalahpahami, dimanfaatkan, atau bahkan terluka. Ketakutan ini seringkali melumpuhkan kita, mencegah kita untuk menunjukkan kasih yang seharusnya.
Namun, Alkitab berkata, "Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih" (1 Yohanes 4:18). Ketika kita berani melangkah dalam kasih, didorong oleh kasih Kristus yang sempurna, ketakutan itu akan sirna. Kita menyadari bahwa kasih lebih kuat dari ketidaknyamanan, dan bahwa sukacita memberi jauh melampaui risiko yang mungkin ada.
4. Pengalaman Pahit di Masa Lalu
Banyak dari kita membawa luka dari masa lalu – pengkhianatan, penolakan, atau kekecewaan yang mendalam. Pengalaman pahit ini dapat membuat kita enggan untuk membuka hati lagi, membangun tembok pertahanan, dan menjadi sinis terhadap konsep kasih. Kita mungkin berpikir, "Jika aku mengasihi, aku akan terluka lagi." Ini adalah luka yang nyata dan membutuhkan penyembuhan. Memproses luka ini melalui pengampunan dan penyembuhan rohani adalah penting agar kita dapat mengasihi dengan bebas lagi.
Penyembuhan dari luka masa lalu adalah perjalanan, bukan sebuah kejadian instan. Itu membutuhkan doa, bimbingan, dan terkadang bantuan profesional. Namun, melalui proses ini, kita dapat menemukan bahwa kasih Allah lebih besar dari luka terdalam kita, dan Ia dapat memulihkan hati kita untuk mengasihi kembali.
5. Kurangnya Pemahaman tentang Kasih Allah
Paradoksnya, salah satu rintangan terbesar untuk mengasihi sesama adalah kurangnya pemahaman atau pengalaman pribadi yang mendalam tentang kasih Allah yang tak terbatas kepada kita. Jika kita belum sepenuhnya merasakan dan menerima kasih Allah yang tanpa syarat, sulit bagi kita untuk mengalirkan kasih itu kepada orang lain.
Kita mengasihi karena Dia lebih dahulu mengasihi kita (1 Yohanes 4:19). Kasih kita kepada sesama adalah respons terhadap kasih-Nya. Jika wadah kita belum dipenuhi oleh kasih-Nya, bagaimana mungkin kita dapat menuangkannya kepada orang lain? Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus-menerus berakar dalam firman Tuhan, menghabiskan waktu dalam doa dan persekutuan dengan-Nya, dan membiarkan Roh Kudus membanjiri hati kita dengan kasih ilahi-Nya. Ketika kita mengalami betapa besar kasih Allah kepada kita yang tidak layak, kita akan terdorong dan dimampukan untuk mengasihi sesama kita.
V. Kuasa Roh Kudus dalam Mengasihi
Mengasihi sesama, terutama dengan standar kasih Kristus, bukanlah sesuatu yang bisa kita lakukan dengan kekuatan kita sendiri. Ini adalah panggilan supernatural yang membutuhkan kuasa supernatural. Dan kuasa itu tersedia bagi kita melalui Roh Kudus.
1. Kasih Sebagai Buah Roh
Dalam Galatia 5:22-23, Rasul Paulus mencantumkan kasih sebagai yang pertama dan paling utama dari buah-buah Roh:
“Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.”
Ini adalah poin yang sangat penting. Kasih bukanlah sesuatu yang kita hasilkan dengan usaha keras semata, melainkan buah yang tumbuh dari keberadaan Roh Kudus yang tinggal di dalam diri kita. Ketika kita menyerahkan hidup kita kepada Kristus dan membiarkan Roh Kudus memimpin kita, Ia akan mulai menghasilkan buah-buah ini dalam hidup kita secara alami, seperti buah yang tumbuh di pohon. Artinya, kita tidak perlu berjuang mati-matian untuk "merasa" mengasihi atau "mencoba" mengasihi; sebaliknya, kita perlu menyerah kepada Roh Kudus, membiarkan Dia bekerja di dalam kita, dan Dia akan menumbuhkan kasih itu.
Kasih yang dihasilkan oleh Roh Kudus adalah kasih agape, kasih ilahi, yang mampu melampaui batas-batas kemanusiaan kita. Ini adalah kasih yang sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan, tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah, tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran, menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, dan sabar menanggung segala sesuatu (1 Korintus 13:4-7). Ini adalah kasih yang hanya bisa datang dari Allah.
2. Roh Kudus Memampukan Kita Melampaui Keterbatasan
Tanpa Roh Kudus, upaya kita untuk mengasihi sesama akan seringkali berakhir dengan frustrasi dan kegagalan. Kita mungkin bisa mengasihi orang-orang yang mudah dikasihi, tetapi bagaimana dengan musuh kita? Bagaimana dengan orang yang menjengkelkan? Bagaimana dengan orang yang terus-menerus mengecewakan kita? Di sinilah Roh Kudus datang untuk memampukan kita.
- Memberi Kekuatan untuk Mengampuni: Roh Kudus memberikan kita kekuatan untuk melepaskan dendam dan mengampuni mereka yang telah menyakiti kita, bahkan ketika hati kita menolak.
- Membuka Mata Hati untuk Empati: Roh Kudus membantu kita melihat orang lain dengan mata Kristus, merasakan belas kasihan terhadap mereka, dan memahami penderitaan atau pergumulan mereka.
- Memberi Keberanian untuk Bertindak: Roh Kudus menggerakkan kita untuk melangkah dalam kasih, bahkan ketika itu berarti melangkah keluar dari zona nyaman kita, berbicara kebenaran dalam kasih, atau melayani mereka yang paling membutuhkan.
- Mengubah Hati yang Keras: Roh Kudus bekerja di dalam hati kita, melunakkan kekerasan, menghancurkan prasangka, dan mengganti egoisme dengan altruisme.
Rasul Paulus menulis dalam Roma 5:5, “Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” Ini adalah janji yang luar biasa! Kasih Allah, kasih agape, telah dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus. Itu berarti kita tidak berjuang sendirian; kita memiliki kekuatan ilahi yang bekerja di dalam kita untuk memampukan kita mengasihi sebagaimana Kristus mengasihi.
Jadi, untuk hidup dalam kasih sesama, kita perlu terus-menerus bergantung pada Roh Kudus. Ini berarti berdoa memohon pimpinan-Nya, mendengarkan suara-Nya, dan menyerahkan diri kita untuk menjadi alat-Nya. Ketika kita mengizinkan Roh Kudus untuk bekerja di dalam dan melalui kita, kasih Kristus akan mengalir seperti sungai dari hidup kita kepada orang lain, mengubah tidak hanya mereka tetapi juga diri kita sendiri.
VI. Dampak dan Berkat Mengasihi Sesama
Ketika kita memilih untuk hidup dalam kasih sesama, dampaknya tidak hanya terbatas pada orang yang kita kasihi, tetapi juga memengaruhi diri kita, komunitas, dan bahkan dunia di sekitar kita. Berkat-berkat dari kehidupan yang dipenuhi kasih sangatlah berlimpah, jauh melampaui apa yang dapat kita bayangkan.
1. Kesaksian Injil yang Hidup
Seperti yang Yesus katakan dalam Yohanes 13:35, "Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi." Kasih yang nyata di antara umat percaya adalah khotbah terbaik. Dalam dunia yang penuh kebencian, perpecahan, dan konflik, kasih yang tulus dan tanpa syarat akan bersinar terang seperti mercusuar. Itu menarik orang kepada Kristus, membuat mereka bertanya tentang sumber kasih itu, dan membuka pintu bagi Injil untuk diberitakan tidak hanya dengan kata-kata, tetapi dengan kehidupan.
Ketika orang melihat kasih dalam tindakan – kesabaran, kebaikan, pengampunan, dan pelayanan – mereka akan melihat bayangan Kristus dan tertarik kepada-Nya. Ini adalah evangelisasi yang paling otentik dan efektif.
2. Pemulihan Hubungan dan Pembangunan Komunitas
Kasih memiliki kekuatan untuk menyembuhkan luka dan memulihkan hubungan yang rusak. Pengampunan yang didorong oleh kasih dapat menjembatani jurang pemisah, meruntuhkan tembok permusuhan, dan membuka jalan bagi rekonsiliasi. Dalam keluarga, di tempat kerja, dan di gereja, kasih adalah perekat yang menyatukan orang, membangun ikatan yang kuat, dan menciptakan komunitas yang sehat dan mendukung.
Kasih menciptakan lingkungan di mana setiap orang merasa dihargai, diterima, dan aman. Ini mendorong kolaborasi, saling mendukung, dan pertumbuhan bersama, membangun komunitas yang mencerminkan kerajaan Allah di bumi.
3. Kedamaian dan Sukacita Pribadi
Mungkin terdengar paradoks, tetapi ketika kita berfokus untuk mengasihi dan melayani orang lain, kita sendiri mengalami kedamaian dan sukacita yang mendalam. Kebencian, dendam, dan egoisme adalah racun bagi jiwa, membawa kegelisahan dan kepahitan. Sebaliknya, kasih membebaskan kita dari beban-beban ini. Ada sukacita yang tak terlukiskan dalam memberi, dalam melihat orang lain diberkati melalui tindakan kasih kita.
Kisahnya adalah, kita dirancang untuk mengasihi. Ketika kita hidup sesuai dengan tujuan kita, hati kita menemukan kepenuhan. Kedamaian batin datang bukan dari menerima, tetapi dari memberi. Sukacita sejati ditemukan dalam mengikuti teladan Kristus, yang datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya.
4. Pertumbuhan Rohani Individu
Mengasihi sesama adalah latihan rohani yang membentuk karakter Kristus di dalam kita. Setiap kali kita memilih kasih daripada egoisme, kesabaran daripada kemarahan, pengampunan daripada dendam, kita bertumbuh dalam kemiripan dengan Yesus. Ini adalah proses penyucian yang terus-menerus, di mana Roh Kudus mengikis sifat-sifat lama kita dan membentuk kita menjadi pribadi yang lebih penuh kasih.
Melalui tindakan kasih, kita belajar untuk lebih bergantung pada Tuhan, untuk mempercayai kuasa-Nya, dan untuk melihat dunia dari perspektif-Nya. Ini memperdalam iman kita dan memperkuat hubungan pribadi kita dengan Pencipta.
5. Memuliakan Allah
Pada akhirnya, tujuan utama dari semua yang kita lakukan sebagai orang percaya adalah untuk memuliakan Allah. Dan ketika kita mengasihi sesama, kita memuliakan Dia. Kasih kita mencerminkan karakter-Nya yang adalah kasih itu sendiri. Ketika dunia melihat kita mengasihi dengan cara yang tidak lazim, mereka melihat tangan Allah yang bekerja, dan nama-Nya ditinggikan.
Hidup dalam kasih adalah persembahan yang hidup dan harum bagi Tuhan. Ini adalah cara kita menyatakan rasa syukur atas kasih-Nya yang telah menyelamatkan kita, dan cara kita menjadi alat-Nya untuk menyebarkan kerajaan-Nya di bumi. Jadi, marilah kita senantiasa ingat bahwa setiap tindakan kasih, sekecil apa pun, adalah pujian bagi nama Tuhan yang Maha Kasih.
VII. Panggilan untuk Bertindak
Saudara-saudari, setelah merenungkan begitu banyak tentang pentingnya dan kedalaman kasih sesama, pertanyaannya sekarang adalah: Apa yang akan kita lakukan? Khotbah ini bukan hanya untuk didengar dan dianggukkan, tetapi untuk menggerakkan hati kita dan mendorong kita kepada tindakan nyata.
1. Renungkanlah Hati Anda
Luangkan waktu untuk memeriksa hati Anda. Apakah ada kepahitan, dendam, atau prasangka terhadap seseorang? Apakah ada tembok-tembok yang Anda bangun di antara diri Anda dan orang lain? Berdoalah agar Roh Kudus mengungkapkan area-area di mana Anda perlu bertumbuh dalam kasih. Pengakuan adalah langkah pertama menuju penyembuhan dan pemulihan.
2. Bergantunglah Sepenuhnya pada Roh Kudus
Ingatlah, mengasihi dengan kasih agape bukanlah kekuatan kita sendiri. Kita membutuhkan Roh Kudus. Setiap pagi, sebelum Anda memulai hari, berdoalah agar Roh Kudus memenuhi Anda dengan kasih-Nya, memimpin langkah-langkah Anda, dan memberi Anda mata untuk melihat kebutuhan orang lain serta keberanian untuk bertindak. Minta Dia untuk menumbuhkan buah kasih dalam hidup Anda.
3. Mulailah dengan Langkah Kecil
Tidak perlu menunggu kesempatan besar untuk menunjukkan kasih. Kasih seringkali terwujud dalam hal-hal kecil sehari-hari: senyum kepada orang asing, kata-kata penyemangat kepada rekan kerja, membantu tetangga, mendengarkan seorang teman yang sedang berjuang, atau sekadar menahan amarah dalam kemacetan lalu lintas. Setiap tindakan kasih, sekecil apa pun, adalah benih yang dapat menumbuhkan hal-hal besar.
Identifikasi satu orang hari ini atau minggu ini yang mungkin Anda bisa tunjukkan kasih kepadanya. Mungkin seseorang yang Anda temui setiap hari, tetapi tidak pernah Anda sapa dengan tulus. Mungkin seorang anggota keluarga yang perlu lebih banyak perhatian Anda. Atau bahkan seseorang yang sulit Anda kasihi, namun Anda bisa mendoakannya secara khusus.
4. Berkomitmen untuk Hidup dalam Kasih
Mengasihi sesama adalah pilihan dan komitmen seumur hidup. Itu berarti kita harus secara sadar memilih kasih setiap hari, bahkan ketika sulit, bahkan ketika kita tidak merasakannya. Ini adalah gaya hidup yang kita panggil untuk jalani sebagai pengikut Kristus. Biarlah kasih menjadi prinsip yang memandu setiap keputusan dan setiap interaksi Anda.
Dalam segala hal yang kita lakukan, baik dalam perkataan maupun perbuatan, biarlah kasih Kristus terpancar. Karena pada akhirnya, bukan kekayaan kita, bukan kesuksesan kita, bukan kepintaran kita, yang akan menjadi warisan sejati, tetapi seberapa besar kita telah mengasihi – Allah dan sesama kita.
Mari kita doakan bersama:
“Ya Tuhan, kami bersyukur atas kasih-Mu yang tak terbatas yang telah Engkau curahkan kepada kami melalui Yesus Kristus. Ampunilah kami atas kegagalan kami dalam mengasihi sesama kami seperti Engkau telah mengasihi kami. Penuhi kami dengan Roh Kudus-Mu, ya Tuhan, agar kasih-Mu boleh melimpah dalam hati kami. Beri kami mata untuk melihat orang lain dengan belas kasihan-Mu, tangan untuk melayani mereka yang membutuhkan, dan hati yang rela mengampuni. Biarlah hidup kami menjadi kesaksian nyata akan kasih-Mu yang mengubah dunia. Dalam nama Yesus Kristus, kami berdoa. Amin.”
Semoga kita semua dimampukan untuk menjadi saluran kasih Allah yang hidup di tengah dunia yang sangat membutuhkan.