Khotbah: Kasih Sejati dan Pengorbanan yang Mengubah Hidup

Saudara-saudari yang terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus,

Pagi ini, hati kita dibawa untuk merenungkan dua konsep fundamental yang menjadi inti dari keberadaan kita sebagai umat manusia dan lebih khusus lagi sebagai pengikut Kristus: kasih dan pengorbanan. Kedua kata ini seringkali disebut bersamaan, seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Kita tidak bisa benar-benar memahami satu tanpa yang lain. Kasih yang sejati, yang mendalam, yang mengubah, selalu menuntut dan menghasilkan pengorbanan. Dan pengorbanan yang bermakna, yang penuh kekuatan, selalu berakar pada kasih yang tulus.

Dalam dunia yang serba cepat ini, di mana kepentingan pribadi seringkali diangkat tinggi, di mana kenyamanan menjadi berhala, dan di mana setiap tindakan seringkali diukur dari keuntungan yang akan didapat, konsep kasih dan pengorbanan kadang terasa asing, bahkan memberatkan. Namun, Kitab Suci kita, Firman Tuhan yang hidup, terus-menerus memanggil kita kembali kepada inti kebenaran ini. Ia menunjukkan kepada kita bahwa inilah jalan kehidupan, jalan kebahagiaan sejati, dan jalan menuju Tuhan sendiri.

Mari kita selami lebih dalam makna kasih dan pengorbanan ini, melihat bagaimana keduanya terjalin erat dalam rencana ilahi, dalam kehidupan Kristus, dan bagaimana hal itu harus termanifestasi dalam kehidupan kita sehari-hari.

Simbol salib dan hati, mewakili kasih ilahi dan pengorbanan Kristus yang merupakan inti iman Kristen.

I. Memahami Kasih Sejati: Bukan Sekadar Emosi

A. Kasih Ilahi: Agape

Ketika kita berbicara tentang kasih, Alkitab memperkenalkan kita pada berbagai nuansa, tetapi yang paling menonjol dan relevan dengan pengorbanan adalah kasih agape. Ini bukan sekadar perasaan hangat atau ketertarikan romantis (eros), juga bukan kasih persahabatan (philia) semata. Kasih agape adalah kasih yang tanpa syarat, yang tidak mencari keuntungan diri, yang rela memberi, dan yang aktif dalam kebaikan.

Yohanes 3:16 mengatakan, "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal."

Ayat ini adalah fondasi dari pemahaman kita tentang kasih ilahi. Kasih Allah kepada kita begitu besar sehingga mendorong-Nya untuk melakukan tindakan pengorbanan terbesar yang pernah ada. Kasih-Nya bersifat inisiatif, proaktif, dan bukan responsif terhadap kebaikan atau kelayakan kita. Dia mengasihi kita ketika kita masih berdosa, ketika kita masih musuh-Nya.

Kasih agape adalah kasih yang memutuskan untuk mengasihi, terlepas dari objek kasihnya. Ini adalah kasih yang bertahan di tengah kesulitan, yang sabar, yang murah hati, yang tidak memegahkan diri, tidak cemburu, tidak melakukan yang tidak sopan, tidak mencari keuntungan diri, tidak pemarah, dan tidak menyimpan kesalahan orang lain (1 Korintus 13:4-7). Ini adalah deskripsi yang sangat menantang bagi kita, karena ini menuntut lebih dari sekadar emosi yang datang dan pergi; ini menuntut komitmen kehendak dan tindakan nyata.

B. Kasih Sebagai Tindakan, Bukan Hanya Kata

Dalam masyarakat kita, kasih seringkali diidentikkan dengan kata-kata manis atau perasaan yang bergelora. Namun, Alkitab menegaskan bahwa kasih sejati harus termanifestasi dalam tindakan. Rasul Yohanes menulis:

1 Yohanes 3:18, "Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran."

Ayat ini adalah panggilan untuk otentisitas. Kasih yang tidak disertai perbuatan adalah kasih yang hampa. Perbuatan kasih tidak selalu harus besar dan heroik; seringkali, itu termanifestasi dalam hal-hal kecil sehari-hari: mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan dukungan, memaafkan, berbagi waktu, atau membantu beban seseorang. Setiap tindakan kecil yang dilakukan dengan motivasi kasih sejati memiliki dampak yang besar.

Kasih yang sejati, kasih agape, pada hakikatnya adalah kasih yang berkorban. Jika kita mengasihi seseorang, kita akan rela melepaskan sesuatu demi kebaikan mereka, entah itu waktu, kenyamanan, uang, atau bahkan keinginan pribadi kita. Tanpa kesediaan untuk berkorban, kasih hanyalah retorika belaka, sebuah hiasan kata yang tidak memiliki substansi.

II. Pengorbanan: Harga dari Kasih Sejati

A. Prinsip Pengorbanan dalam Perjanjian Lama

Konsep pengorbanan sudah ada sejak awal sejarah manusia dalam Alkitab. Dari persembahan Habel yang lebih baik (Kejadian 4), hingga sistem kurban dalam Taurat Musa, pengorbanan adalah cara manusia mendekat kepada Allah dan mengakui dosa-dosa mereka. Namun, lebih dari sekadar ritual, banyak kisah dalam Perjanjian Lama menunjukkan pengorbanan yang didasari kasih dan ketaatan kepada Allah.

1. Abraham dan Ishak: Pengorbanan Puncak Kepercayaan

Kisah Abraham dan Ishak (Kejadian 22) adalah salah satu contoh pengorbanan yang paling menyentuh. Allah meminta Abraham untuk mempersembahkan anak tunggalnya, Ishak, sebagai korban bakaran. Ishak adalah anak perjanjian, anak yang lahir dari mujizat, harapan masa depan Abraham. Permintaan ini adalah ujian terberat bagi iman dan kasih Abraham kepada Allah.

Bayangkan pergumulan batin Abraham. Kasihnya kepada Ishak pasti tak terhingga. Namun, kasihnya kepada Allah lebih besar. Dengan ketaatan yang luar biasa, Abraham berangkat untuk melaksanakan perintah itu. Di sini kita melihat bahwa pengorbanan sejati lahir dari kasih yang mendalam kepada Allah, yang mengatasi kasih alamiah kita kepada hal-hal duniawi, bahkan kepada anak kita sendiri.

Akhirnya, Allah menyediakan domba jantan sebagai pengganti Ishak, menunjukkan bahwa Allah tidak pernah menginginkan kematian yang tidak bersalah, melainkan hati yang taat dan percaya sepenuhnya. Kisah ini adalah gambaran awal dari pengorbanan Kristus yang akan datang, di mana Allah sendiri menyediakan Anak Domba-Nya.

2. Musa dan Pengorbanan Diri demi Umat

Musa adalah contoh pemimpin yang berkorban. Ia melepaskan kenyamanan istana Firaun demi mengidentifikasi diri dengan bangsanya yang tertindas (Ibrani 11:24-27). Lebih jauh, setelah Israel membuat anak lembu emas dan murka Allah menyala-nyala, Musa rela berkorban demi umatnya. Ia berseru kepada Allah:

Keluaran 32:32, "Maka sekarang, kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu, dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis itu."

Ini adalah seruan pengorbanan diri yang luar biasa. Musa rela nama-Nya dihapus dari kitab kehidupan, rela binasa, jika itu bisa menyelamatkan bangsanya. Kasih Musa kepada umatnya dan kepada Allah begitu besar sehingga ia bersedia menanggung konsekuensi terburuk sekalipun. Ini adalah cerminan dari hati yang mengasihi dengan kasih agape.

Pengorbanan dalam Perjanjian Lama mengajarkan kita bahwa kasih kepada Allah dan sesama seringkali menuntut harga. Harga itu mungkin berupa kenyamanan, keamanan, atau bahkan kehidupan itu sendiri. Namun, pengorbanan itu tidak pernah sia-sia di mata Allah.

B. Puncak Kasih dan Pengorbanan: Yesus Kristus

Semua kisah pengorbanan dalam Perjanjian Lama, semua sistem kurban, menunjuk kepada satu titik sentral: kasih dan pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib. Inilah manifestasi kasih agape yang paling agung dan pengorbanan terbesar yang pernah disaksikan alam semesta.

1. Inkarnasi: Pengorbanan Status dan Kemuliaan

Pengorbanan Yesus dimulai jauh sebelum kayu salib. Itu dimulai dengan inkarnasi-Nya. Filipi 2:6-8 dengan indah menggambarkan hal ini:

Filipi 2:6-8, "Yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib."

Yesus, yang adalah Allah sejati, rela melepaskan kemuliaan ilahi-Nya untuk mengambil rupa manusia. Ini adalah pengorbanan status yang tak terbayangkan. Ia yang menciptakan alam semesta, memilih untuk lahir dalam palungan sederhana, hidup sebagai tukang kayu, dan melayani di tengah-tengah orang-orang biasa. Ini adalah tindakan kasih yang murni, datang kepada kita bukan dalam kekuasaan, melainkan dalam kerendahan hati dan kesediaan untuk melayani.

Setiap langkah hidup-Nya di bumi adalah pengorbanan: pengorbanan kenyamanan, pengorbanan reputasi (Ia sering dicemooh dan ditolak), pengorbanan waktu dan energi untuk mengajar, menyembuhkan, dan melayani orang banyak. Ia tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya (Matius 8:20), menunjukkan bahwa Ia rela melepaskan kenyamanan pribadi demi misi kasih-Nya.

2. Pelayanan: Pengorbanan Diri Setiap Hari

Sepanjang pelayanan-Nya, Yesus secara konsisten menunjukkan kasih yang berkorban. Ia mengulurkan tangan kepada orang-orang buangan, menyentuh yang najis, makan bersama pemungut cukai dan orang berdosa, dan menghabiskan waktu dengan orang-orang yang dianggap tidak penting oleh masyarakat. Ia mengesampingkan kebutuhan dan keinginan pribadi-Nya demi kebutuhan orang lain.

Setiap mujizat yang Ia lakukan – penyembuhan orang sakit, pemberian makan lima ribu orang, membangkitkan orang mati – adalah tindakan kasih yang membutuhkan pengorbanan energi ilahi-Nya. Ia bahkan berkorban untuk mendidik murid-murid-Nya, dengan sabar mengulang ajaran dan menoleransi keterbatasan pemahaman mereka. Kasih-Nya adalah kasih yang terus-menerus memberi.

3. Getsemani: Pengorbanan Kehendak

Puncak dari pengorbanan Yesus, sebelum penyaliban, terjadi di Taman Getsemani. Di sana, Ia bergumul dalam doa dengan Bapa-Nya. Ia tahu apa yang akan terjadi: penderitaan fisik yang tak terbayangkan, penolakan, dan yang terburuk, pemisahan dari Allah Bapa karena dosa-dosa umat manusia yang akan Ia pikul.

Lukas 22:42, "Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi."

Di sini kita melihat pengorbanan kehendak yang paling mendalam. Sebagai manusia sejati, Yesus merasakan ketakutan dan keinginan untuk menghindari penderitaan yang akan datang. Namun, kasih-Nya kepada Bapa dan kepada kita mendorong-Nya untuk menundukkan kehendak-Nya sendiri kepada kehendak Bapa. Ia memilih untuk menanggung penderitaan demi kasih, sebuah pilihan yang memerlukan kekuatan rohani yang luar biasa.

4. Kayu Salib: Pengorbanan Teragung

Dan kemudian, tibalah saatnya pengorbanan yang paling agung: kematian Yesus di kayu salib. Ini bukan sekadar kematian seorang martir. Ini adalah kematian Anak Allah yang sempurna, yang mengambil dosa seluruh umat manusia atas diri-Nya.

Mengapa semua ini terjadi? Karena kasih. Kasih Allah kepada kita begitu besar sehingga Ia rela mengorbankan Anak-Nya yang tunggal. Kasih Yesus kepada Bapa dan kepada kita begitu besar sehingga Ia rela menanggung semua penderitaan dan pemisahan itu. Salib adalah bukti tak terbantahkan dari kasih yang berkorban.

Roma 5:8, "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa."

Ini adalah pengorbanan yang sempurna, sekali untuk selamanya, yang menebus kita dari dosa, memperdamaikan kita dengan Allah, dan membuka jalan bagi kita untuk beroleh hidup yang kekal. Tidak ada kasih yang lebih besar dari ini.

Dua tangan yang saling memberi, melambangkan tindakan kasih, pelayanan, dan pengorbanan kepada sesama.

III. Respons Kita: Hidup dalam Kasih dan Pengorbanan

Setelah merenungkan kasih dan pengorbanan yang begitu agung ini, pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana kita meresponsnya? Bagaimana kita menghidupi panggilan ini dalam kehidupan kita?

A. Mengasihi Tuhan dengan Sepenuh Hati (Pengorbanan Pertama)

Perintah terbesar adalah mengasihi Tuhan Allah kita dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan (Markus 12:30). Ini adalah pengorbanan pertama dan paling fundamental. Mengasihi Tuhan sepenuh hati berarti menyerahkan diri kita sepenuhnya kepada-Nya, menjadikan-Nya prioritas utama dalam segala hal.

Pengorbanan ini termanifestasi dalam:

Ketika kita mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati, pengorbanan bukanlah beban, melainkan sukacita. Kita berkorban karena kita ingin menyenangkan Dia yang telah lebih dulu mengasihi dan berkorban untuk kita.

B. Mengasihi Sesama Seperti Diri Sendiri (Pengorbanan Kedua)

Perintah kedua, kata Yesus, adalah "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Markus 12:31). Ini adalah konsekuensi alami dari kasih kita kepada Tuhan. Kita tidak bisa benar-benar mengasihi Tuhan yang tidak terlihat jika kita tidak mengasihi sesama yang terlihat (1 Yohanes 4:20).

Mengasihi sesama seperti diri sendiri juga menuntut pengorbanan. Ini adalah panggilan untuk melihat orang lain melalui mata Tuhan, dengan empati, belas kasihan, dan kesediaan untuk melayani.

1. Pengorbanan dalam Pelayanan

Pelayanan adalah ekspresi konkret dari kasih yang berkorban. Ini bisa berarti:

Yesus sendiri datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang (Matius 20:28). Kita dipanggil untuk meneladani-Nya.

2. Pengorbanan dalam Hubungan

Hubungan interpersonal, terutama dalam keluarga, pernikahan, dan persahabatan, adalah ladang subur bagi kasih dan pengorbanan. Dalam hubungan, pengorbanan termanifestasi sebagai:

Pernikahan adalah sekolah pengorbanan terbaik. Suami dipanggil untuk mengasihi istrinya seperti Kristus mengasihi jemaat dan menyerahkan diri-Nya baginya (Efesus 5:25). Istri dipanggil untuk tunduk kepada suami, sebuah pengorbanan ego yang juga mulia (Efesus 5:22). Ini adalah panggilan untuk terus-menerus memberikan yang terbaik dari diri kita untuk pasangan kita, bahkan ketika itu sulit.

3. Mengasihi Musuh

Mungkin bentuk kasih dan pengorbanan yang paling menantang adalah mengasihi musuh kita. Yesus mengajarkan:

Matius 5:44, "Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu."

Ini adalah perintah yang menuntut pengorbanan luar biasa. Ini adalah pengorbanan hak kita untuk membalas dendam, pengorbanan keinginan untuk membenci, dan pengorbanan kenyamanan emosional kita. Ini adalah tindakan kasih agape murni yang hanya mungkin dilakukan dengan kekuatan Roh Kudus. Mengasihi musuh berarti mendoakan mereka, berharap yang terbaik bagi mereka, dan jika memungkinkan, melakukan kebaikan kepada mereka. Ini adalah bukti nyata bahwa kita telah diubahkan oleh kasih Kristus.

C. Memikul Salib Kita Sendiri (Pengorbanan Diri)

Yesus memanggil kita untuk memikul salib kita setiap hari dan mengikut Dia (Lukas 9:23). Memikul salib bukan berarti mencari penderitaan yang tidak perlu, melainkan berarti menyangkal diri, menyerahkan keinginan daging, dan mengutamakan kehendak Allah dalam hidup kita.

Pengorbanan diri berarti kita tidak lagi hidup untuk diri kita sendiri, tetapi untuk Dia yang telah mati dan bangkit bagi kita (2 Korintus 5:15). Ini adalah proses seumur hidup di mana kita terus-menerus menyerahkan aspek-aspek kehidupan kita kepada Tuhan, membiarkan-Nya membentuk kita, dan membiarkan-Nya memakai kita sesuai kehendak-Nya.

Ini mungkin berarti mengorbankan popularitas, keuntungan finansial, ambisi pribadi, atau bahkan impian yang mulia jika semua itu bertentangan dengan kehendak Allah. Ini adalah panggilan untuk menaruh Kristus di atas segalanya, di atas apa pun yang dunia tawarkan.

IV. Tantangan dan Berkat dalam Kasih dan Pengorbanan

A. Tantangan: Mengapa Sulit?

Mengapa kasih yang berkorban begitu sulit untuk dihidupi? Ada beberapa alasan:

Menyadari tantangan-tantangan ini adalah langkah pertama. Kita tidak bisa menghidupi kasih dan pengorbanan dengan kekuatan kita sendiri. Kita membutuhkan Roh Kudus untuk memperbaharui hati dan pikiran kita setiap hari.

B. Berkat: Buah dari Kasih dan Pengorbanan

Meskipun sulit, hidup dalam kasih dan pengorbanan membawa berkat yang melimpah, baik bagi kita maupun bagi orang lain:

Berkat-berkat ini jauh melampaui harga yang kita bayar. Kehidupan yang berpusat pada kasih dan pengorbanan adalah kehidupan yang paling kaya, paling memuaskan, dan paling bermakna yang bisa kita jalani.

V. Panggilan untuk Bertindak

Saudara-saudari yang terkasih,

Kasih dan pengorbanan bukanlah sekadar konsep teologis yang indah untuk direnungkan. Itu adalah panggilan hidup, jalan yang harus kita tempuh setiap hari. Ini adalah inti dari iman Kristen kita, gambaran nyata dari Kristus yang hidup di dalam kita.

Mari kita memulai minggu ini, bukan dengan bertanya "Apa yang bisa saya dapatkan?" tetapi "Apa yang bisa saya berikan?" Bukan dengan bertanya "Bagaimana saya bisa dilayani?" tetapi "Bagaimana saya bisa melayani?"

Saya mendorong setiap kita hari ini untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini secara pribadi:

  1. Di area mana dalam hidup saya, kasih saya kepada Tuhan perlu diwujudkan dalam pengorbanan yang lebih besar? Apakah itu dalam hal waktu, sumber daya, atau ketaatan?
  2. Bagaimana saya bisa lebih mengasihi sesama saya dengan cara yang berkorban? Siapa yang Tuhan tempatkan di jalan saya hari ini atau minggu ini yang membutuhkan sentuhan kasih saya, yang mungkin membutuhkan pengorbanan waktu, perhatian, atau sumber daya saya?
  3. Adakah hubungan dalam hidup saya (pasangan, anak, teman, rekan kerja) di mana saya perlu lebih mempraktikkan kasih yang berkorban, melalui kesabaran, pengampunan, atau mendahulukan kepentingan mereka?
  4. Apakah ada ketakutan atau keegoisan yang menghalangi saya untuk memberikan diri saya sepenuhnya dalam kasih dan pengorbanan? Bagaimana saya bisa menyerahkannya kepada Tuhan?

Ingatlah, kita tidak dipanggil untuk berkorban dengan kekuatan kita sendiri, melainkan dengan kekuatan Roh Kudus yang tinggal di dalam kita. Roh Kuduslah yang akan menguatkan kita, memberikan kita belas kasihan, dan memungkinkan kita untuk mengasihi seperti Kristus mengasihi.

Biarlah kita menjadi gereja yang dikenal bukan hanya karena ajaran kita, tetapi karena kasih kita yang nyata dan pengorbanan kita yang tulus. Biarlah dunia melihat Kristus melalui cara kita mengasihi dan berkorban satu sama lain, dan bagi mereka yang belum mengenal Dia.

Marilah kita berkomitmen kembali untuk meneladani Yesus Kristus, Sang Teladan Kasih dan Pengorbanan Tertinggi. Dia telah menunjukkan jalannya. Mari kita ikuti jejak-Nya, dengan hati yang penuh syukur dan rela berkorban.

Amin.