Khotbah Markus 10:13-16: Kerajaan Allah Milik Orang yang Seperti Anak Kecil

Perikop Markus 10:13-16 merupakan salah satu bagian yang paling menyentuh dan mendalam dalam Injil. Di dalamnya, kita diperkenalkan pada gambaran Yesus yang penuh kasih, revolusioner, dan sangat peduli terhadap mereka yang dianggap remeh oleh masyarakat—terutama anak-anak. Namun, lebih dari sekadar kasih sayang kepada anak-anak, perikop ini juga memberikan sebuah kunci fundamental untuk memahami hakikat Kerajaan Allah dan syarat untuk menjadi warganya. Kita akan menjelajahi setiap ayat, menggali konteksnya, implikasi teologisnya, dan relevansinya bagi kehidupan iman kita hari ini.

Ilustrasi Yesus sedang merangkul dan memberkati anak-anak kecil dengan tangan terangkat, menunjukkan kasih dan penerimaan.

I. Konteks dan Latar Belakang Perikop (Markus 10:13-16)

Untuk memahami sepenuhnya makna Markus 10:13-16, penting untuk melihatnya dalam konteks naratif Injil Markus. Perikop ini muncul setelah Yesus mengajarkan tentang pernikahan dan perceraian, dan sebelum perjumpaan-Nya dengan orang muda yang kaya. Ini adalah bagian dari perjalanan Yesus menuju Yerusalem, di mana Ia akan menggenapi misi penyelamatan-Nya melalui penderitaan, kematian, dan kebangkitan. Sepanjang perjalanan ini, Yesus terus-menerus mengajarkan murid-murid-Nya tentang hakikat Kerajaan Allah dan apa artinya menjadi pengikut-Nya. Namun, seringkali, murid-murid menunjukkan kesalahpahaman yang mendalam tentang ajaran-Nya, terutama mengenai siapa yang berharga di mata Allah dan apa itu kepemimpinan sejati dalam Kerajaan-Nya.

A. Pandangan Umum Terhadap Anak-Anak di Zaman Yesus

Di dunia kuno, termasuk masyarakat Yahudi, anak-anak tidak memiliki status sosial yang tinggi. Mereka seringkali dianggap sebagai properti orang tua, tanpa hak atau suara yang signifikan. Anak-anak kecil dipandang sebagai beban, belum produktif, dan tidak memiliki kearifan atau status untuk berpartisipasi dalam urusan orang dewasa. Mereka berada di bagian paling bawah hierarki sosial. Dalam banyak budaya, termasuk di Timur Tengah, anak-anak akan mendapatkan tempat yang lebih tinggi seiring bertambahnya usia, terutama anak laki-laki. Namun, status mereka sebagai "anak kecil" biasanya identik dengan ketidakberdayaan, ketidakpentingan, dan ketergantungan penuh. Oleh karena itu, bagi orang dewasa untuk membawa anak-anak mereka kepada seorang rabi terhormat seperti Yesus untuk diberkati atau dijamah adalah tindakan yang cukup revolusioner, menunjukkan iman atau harapan yang mendalam dari para orang tua tersebut.

B. Harapan Para Orang Tua

Para orang tua yang membawa anak-anak mereka kepada Yesus tentu memiliki motivasi yang kuat. Mereka mungkin telah mendengar tentang mukjizat dan ajaran Yesus yang luar biasa. Mereka percaya bahwa sentuhan atau doa dari seorang rabi yang dihormati dapat membawa berkat atau kesembuhan bagi anak-anak mereka. Ini adalah ekspresi iman yang murni dan tulus, sebuah kerinduan agar anak-anak mereka menerima sesuatu yang baik dari Yesus, mungkin perlindungan ilahi, kesembuhan, atau sekadar berkat untuk masa depan mereka. Tindakan ini menunjukkan bahwa, meskipun anak-anak mungkin tidak dihargai oleh masyarakat umum, di mata orang tua mereka, mereka adalah harta yang berharga dan layak menerima perhatian Yesus.

II. Analisis Ayat Per Ayat

A. Markus 10:13: Murid-murid Menghalangi

"Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu."

Ayat ini memperkenalkan drama yang akan segera terjadi. Orang-orang membawa anak-anak kepada Yesus. Kata Yunani yang digunakan, paidia, merujuk pada anak-anak kecil, mungkin bahkan bayi atau balita. Mereka ingin Yesus menjamah mereka—sebuah tindakan yang diyakini dapat membawa berkat dan kesembuhan, menunjukkan penghormatan dan pengakuan atas otoritas rohani Yesus.

Namun, respons murid-murid sangat kontras. Mereka memarahi orang-orang yang membawa anak-anak itu. Ada beberapa kemungkinan alasan di balik tindakan murid-murid:

  1. Kesalahpahaman Status Sosial: Murid-murid mungkin beranggapan bahwa Yesus terlalu penting dan sibuk untuk diganggu oleh anak-anak yang tidak memiliki status. Mereka mungkin berpikir bahwa waktu Yesus lebih baik dihabiskan untuk orang dewasa yang "serius" atau "penting."
  2. Melindungi Reputasi Yesus: Mereka mungkin khawatir bahwa asosiasi Yesus dengan anak-anak kecil akan merendahkan status-Nya sebagai rabi yang dihormati atau Mesias yang dinanti-nantikan. Seorang Mesias yang kuat dan perkasa tidak seharusnya "buang waktu" dengan anak-anak.
  3. Kelelahan atau Ketidaksabaran: Murid-murid mungkin merasa lelah dari perjalanan dan pelayanan yang panjang. Gangguan dari anak-anak dan kerumunan yang menyertainya bisa jadi dilihat sebagai hal yang tidak perlu dan mengganggu.
  4. Kurangnya Empati: Mungkin mereka belum sepenuhnya memahami kasih dan kerahiman Yesus yang radikal, yang menjangkau semua orang tanpa memandang status.

Tindakan murid-murid ini mencerminkan mentalitas dunia yang seringkali mengabaikan atau meremehkan mereka yang lemah dan tidak berdaya. Mereka menciptakan penghalang antara Yesus dan anak-anak, antara rahmat ilahi dan mereka yang paling membutuhkannya.

B. Markus 10:14: Kemarahan dan Undangan Yesus

"Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah dan berkata kepada mereka: "Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah."

Ini adalah salah satu dari sedikit kali dalam Injil di mana Yesus digambarkan secara eksplisit menunjukkan kemarahan (aganakteo dalam bahasa Yunani, yang berarti "marah" atau "geram"). Kemarahan Yesus bukanlah karena gangguan pribadi atau kelelahan, melainkan karena melihat penghalang yang dibuat oleh murid-murid-Nya terhadap mereka yang mencari-Nya. Kemarahan ini bukan hanya sekadar emosi manusiawi; ini adalah kemarahan kudus yang berasal dari hati Allah yang melihat ketidakadilan, kesombongan, dan kekerasan hati yang menghalangi kasih karunia-Nya sampai kepada yang membutuhkan.

Yesus menegaskan dua hal penting:

  1. Undangan yang Jelas: "Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka." Ini adalah perintah langsung kepada murid-murid-Nya. Yesus dengan tegas menolak pandangan sosial yang meremehkan anak-anak. Ia mengundang mereka, menunjukkan bahwa kasih-Nya mencakup setiap pribadi, tanpa diskriminasi usia, status, atau kemampuan. Ini adalah pernyataan radikal tentang inklusivitas Kerajaan Allah.
  2. Pernyataan Fundamental: "Sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah." Ini adalah inti dari perikop ini. Yesus tidak mengatakan bahwa Kerajaan Allah adalah milik anak-anak karena mereka anak-anak, tetapi karena mereka memiliki kualitas "seperti itulah." Ini bukan tentang usia fisik, melainkan tentang sifat-sifat rohani. Apa saja sifat-sifat itu? Kerendahan hati, ketergantungan, ketidakbersalahan, kepolosan, kepercayaan mutlak, dan tidak adanya pretensi. Anak-anak kecil tidak memiliki status, kekuatan, atau kekayaan untuk ditawarkan; mereka datang dengan tangan kosong dan hati yang terbuka, sepenuhnya bergantung pada orang dewasa. Inilah gambaran sempurna tentang bagaimana seseorang seharusnya datang kepada Allah.

Kemarahan Yesus menggarisbawahi betapa seriusnya tindakan menghalangi orang lain untuk datang kepada-Nya, terutama mereka yang paling rentan dan polos. Murid-murid gagal memahami bahwa Kerajaan Allah bukanlah tentang kekuatan, status, atau kekuasaan, melainkan tentang kerendahan hati dan penerimaan yang sederhana.

C. Markus 10:15: Syarat Memasuki Kerajaan Allah

"Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya."

Ayat ini memperdalam dan memperluas pernyataan sebelumnya. Jika di ayat 14 Yesus mengatakan bahwa Kerajaan Allah adalah milik orang-orang yang "seperti anak kecil," di ayat 15 Ia menjelaskan bahwa setiap orang dewasa harus menjadi "seperti anak kecil" untuk bisa masuk ke dalamnya. Ini adalah sebuah paradoks yang menantang kebijaksanaan duniawi.

Menyambut Kerajaan Allah "seperti seorang anak kecil" berarti:

  1. Kerendahan Hati: Anak-anak tidak memiliki kebanggaan, harga diri yang berlebihan, atau pretensi. Mereka tidak berpikir bahwa mereka tahu segalanya atau mampu melakukan segalanya sendiri. Orang dewasa seringkali terbebani oleh kebanggaan, prestasi, atau status mereka, yang menghalangi mereka untuk mengakui kebutuhan mereka akan Allah.
  2. Ketergantungan Penuh: Anak-anak sepenuhnya bergantung pada orang tua atau pengasuh mereka untuk makanan, pakaian, perlindungan, dan kasih sayang. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Demikian pula, untuk masuk Kerajaan Allah, kita harus mengakui ketergantungan total kita kepada Allah untuk keselamatan, pemeliharaan, dan arah hidup.
  3. Kepercayaan Sederhana: Anak-anak cenderung percaya pada apa yang dikatakan oleh orang dewasa yang mereka percayai. Mereka tidak memiliki keraguan yang rumit, skeptisisme, atau rasionalisasi yang menghambat iman. Iman seperti anak kecil adalah iman yang tulus, tidak rumit, dan menerima kebenaran Allah apa adanya.
  4. Keterbukaan dan Ketidakbersalahan: Anak-anak seringkali memiliki hati yang terbuka untuk belajar, menerima, dan berinteraksi tanpa prasangka atau agenda tersembunyi. Mereka tidak membawa "beban" dosa atau kekecewaan hidup yang menghalangi mereka dari menerima kasih karunia Allah.

Yesus menekankan ini dengan kata "Sesungguhnya" atau "Amin," menandakan sebuah pernyataan yang sangat penting dan pasti. Tanpa perubahan hati yang radikal ini, tanpa meninggalkan arogansi dan kemandirian orang dewasa, seseorang tidak akan dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Ini adalah panggilan untuk metanoia, perubahan pikiran dan hati yang mendalam.

D. Markus 10:16: Kasih dan Berkat Yesus

"Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka."

Ayat ini menutup perikop dengan gambaran yang sangat kuat dan mengharukan tentang kasih Yesus. Setelah menegur murid-murid-Nya dan mengajarkan tentang hakikat Kerajaan Allah, Yesus tidak hanya mengizinkan anak-anak datang, tetapi Ia secara aktif mendekati mereka. Ia "memeluk" mereka—sebuah tindakan keintiman dan kasih sayang yang mendalam. Kata Yunani enagkalizomai berarti merangkul atau memeluk dengan erat.

Kemudian, Ia "meletakkan tangan-Nya atas mereka dan memberkati mereka." Ini adalah tindakan doa dan berkat yang kuat, menegaskan nilai dan martabat anak-anak di mata Allah. Melalui tindakan ini, Yesus tidak hanya menyatakan bahwa anak-anak adalah warga Kerajaan Allah, tetapi Ia juga secara pribadi memberikan berkat ilahi kepada mereka. Ini adalah bukti nyata bahwa Kerajaan Allah adalah tempat di mana yang lemah dan tidak berdaya mendapatkan kehormatan tertinggi dan kasih yang tak terbatas dari Raja.

Adegan ini menjadi sebuah ilustrasi sempurna dari seluruh pengajaran Yesus: Kerajaan Allah terbuka bagi mereka yang datang dengan kerendahan hati dan ketergantungan, dan Raja sendiri menyambut mereka dengan kasih dan berkat yang tak terhingga. Ini juga menunjukkan karakter Yesus sebagai Gembala yang baik, yang peduli pada setiap domba, bahkan yang terkecil sekalipun.

III. Implikasi Teologis dan Praktis

Perikop Markus 10:13-16 ini jauh lebih dari sekadar cerita manis tentang Yesus dan anak-anak. Ini adalah fondasi teologis yang mengajarkan kita banyak hal tentang Allah, Kerajaan-Nya, dan tuntutan-Nya terhadap umat manusia.

A. Sifat Allah dan Karakter Yesus

Perikop ini mengungkapkan karakter Yesus yang penuh kasih dan radikal. Kemarahan-Nya terhadap murid-murid menunjukkan bahwa Ia tidak akan mentolerir penghalang yang diciptakan oleh manusia antara Allah dan ciptaan-Nya. Kasih-Nya yang inklusif menantang norma-norma sosial yang meremehkan. Yesus menunjukkan bahwa Allah tidak memandang muka, dan nilai seorang pribadi tidak ditentukan oleh status, usia, kekayaan, atau kekuatan, melainkan oleh posisi hati yang rendah hati dan bergantung.

Kisah ini juga menunjukkan Yesus sebagai Mesias yang berbeda dari harapan banyak orang Yahudi pada waktu itu. Mereka mengharapkan seorang Mesias politis yang kuat, yang akan menyingkirkan penjajah Roma dengan kekuatan militer. Namun, Yesus menunjukkan Mesias yang datang dengan kerendahan hati, melayani, dan merangkul mereka yang lemah. Ini adalah gambar Allah yang berpihak kepada yang kecil, yang terpinggirkan, dan yang paling rentan.

B. Hakikat Kerajaan Allah

Pernyataan Yesus, "orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah," adalah kunci untuk memahami Kerajaan-Nya. Kerajaan Allah bukanlah kerajaan kekuasaan duniawi, prestise, atau dominasi, melainkan kerajaan di mana kerendahan hati, ketergantungan, dan kepercayaan sederhana menjadi nilai-nilai utama. Ini adalah kerajaan yang terbalik dari sistem nilai dunia.

Pintu masuk ke Kerajaan ini tidak terbuka bagi mereka yang merasa diri sudah benar, mandiri, atau berprestasi, melainkan bagi mereka yang mengakui kemiskinan rohani mereka dan datang dengan tangan kosong, seperti seorang anak kecil. Ini berarti meninggalkan ego, kebanggaan, dan upaya untuk 'mendapatkan' keselamatan melalui perbuatan sendiri, dan sebaliknya, menerima anugerah Allah dengan iman yang polos.

Kerajaan Allah juga adalah sebuah komunitas yang inklusif. Tidak ada batasan usia, ras, gender, atau status sosial yang dapat menghalangi seseorang untuk masuk, selama mereka datang dengan sikap hati yang benar. Ini adalah berita baik bagi setiap orang yang merasa tidak layak atau terpinggirkan.

C. Panggilan untuk Disiplin dan Pertobatan

Perikop ini memberikan panggilan yang jelas untuk disiplin dan pertobatan bagi murid-murid, dan bagi kita semua. Murid-murid Yesus yang seharusnya menjadi teladan kasih dan penerimaan, malah menjadi penghalang. Ini adalah peringatan bagi setiap orang percaya dan gereja: kita harus berhati-hati agar tidak menciptakan penghalang buatan manusia yang menghalangi orang untuk datang kepada Kristus.

Panggilan untuk menjadi "seperti anak kecil" adalah panggilan untuk evaluasi diri yang jujur. Apakah kita datang kepada Allah dengan hati yang rendah hati, penuh ketergantungan, dan percaya sepenuhnya? Atau apakah kita membawa beban kebanggaan, kesombongan, keraguan, dan upaya untuk mengendalikan hidup kita sendiri? Pertobatan sejati berarti melepaskan sikap-sikap "dewasa" yang menghalangi kita dari pengalaman Kerajaan Allah.

Ilustrasi anak kecil dengan tangan terbuka dan halo di atas kepalanya, melambangkan iman yang polos, keterbukaan, dan berkat Kerajaan Allah.

IV. Karakteristik "Iman Seperti Anak Kecil"

Yesus tidak menyuruh kita menjadi kekanak-kanakan (childish), tetapi seperti anak kecil (childlike). Ada perbedaan besar antara keduanya. Kekanak-kanakan seringkali berarti tidak bertanggung jawab, egois, dan kurang dewasa. Sementara itu, menjadi seperti anak kecil berarti memiliki kualitas-kualitas positif yang Yesus ingin kita teladani:

A. Ketergantungan Total

Anak kecil tidak bisa mandiri. Mereka sepenuhnya bergantung pada orang tua mereka untuk segala hal: makanan, pakaian, perlindungan, pendidikan, dan kasih sayang. Mereka tahu bahwa tanpa orang dewasa, mereka tidak akan bertahan hidup. Demikian pula, iman seperti anak kecil berarti mengakui ketergantungan total kita kepada Allah. Kita tidak dapat menyelamatkan diri sendiri, tidak dapat menjalani hidup dengan kekuatan sendiri, dan tidak dapat memahami tujuan kita tanpa bimbingan-Nya. Ini adalah pengakuan akan kelemahan dan keterbatasan diri, serta kepercayaan penuh pada kekuatan dan kasih Allah.

Dalam dunia yang menghargai kemandirian, otonomi, dan "self-made man," seruan untuk ketergantungan ini adalah sebuah tantangan. Namun, inilah kunci untuk memasuki Kerajaan Allah, karena hanya ketika kita mengakui ketidakmampuan kita, kita membuka diri untuk menerima kemampuan Allah yang tak terbatas.

B. Kepercayaan Sederhana dan Ketulusan

Anak kecil memiliki kecenderungan untuk percaya pada apa yang dikatakan oleh orang yang mereka percayai. Mereka tidak memiliki filter skeptisisme, sinisme, atau pengalaman buruk yang membuat orang dewasa seringkali ragu. Iman seperti anak kecil adalah iman yang tulus, tidak rumit, yang menerima Firman Allah apa adanya, tanpa harus meragukan atau mencoba menganalisis secara berlebihan. Ini bukan berarti iman yang buta, melainkan iman yang memilih untuk percaya pada otoritas dan kebaikan Allah, bahkan ketika kita tidak memahami segalanya.

Ketika Yesus mengatakan sesuatu, anak kecil akan cenderung percaya. Orang dewasa mungkin bertanya, "Bagaimana itu bisa terjadi?" atau "Apakah itu realistis?" Iman seperti anak kecil memungkinkan kita untuk menerima misteri ilahi dan janji-janji Allah dengan hati yang terbuka.

C. Kerendahan Hati dan Tidak Ada Pretensi

Anak kecil tidak peduli dengan status sosial, kekayaan, atau prestasi. Mereka tidak mencoba untuk mengesankan orang lain atau memposisikan diri mereka sebagai orang penting. Mereka datang apa adanya, tanpa topeng atau pretensi. Kerendahan hati seperti anak kecil berarti melepaskan kebanggaan, kesombongan, dan keinginan untuk menjadi yang pertama atau yang paling hebat. Ini berarti mengakui bahwa di hadapan Allah, kita semua adalah sama, membutuhkan anugerah dan belas kasihan-Nya.

Sikap ini sangat kontras dengan semangat dunia yang seringkali mendorong kita untuk berkompetisi, menonjol, dan membangun citra diri yang sempurna. Yesus mengajarkan bahwa di dalam Kerajaan-Nya, yang terbesar adalah mereka yang melayani dan yang merendahkan diri.

D. Keterbukaan dan Kemauan untuk Belajar

Anak kecil adalah pembelajar yang alami. Mereka penuh rasa ingin tahu, terbuka terhadap pengalaman baru, dan siap menerima pengetahuan dari orang dewasa. Mereka tidak berpikir bahwa mereka sudah tahu segalanya. Iman seperti anak kecil berarti memiliki hati yang terbuka untuk diajar oleh Roh Kudus dan oleh Firman Allah. Ini adalah kerinduan untuk terus bertumbuh, belajar, dan diubah, tanpa merasa puas dengan pengetahuan yang sudah ada atau menolak kebenaran baru.

Ketika kita menganggap diri kita sudah "cukup tahu" atau "tidak perlu belajar lagi," kita menutup diri dari pertumbuhan rohani. Iman yang seperti anak kecil mendorong kita untuk selalu menjadi murid, siap untuk menerima kebenaran ilahi dan mengizinkannya membentuk hidup kita.

E. Hati yang Murni dan Ketidakbersalahan

Meskipun anak-anak memiliki potensi untuk berbuat dosa, mereka belum membawa beban dosa dan kekecewaan hidup seperti orang dewasa. Ada kemurnian dan ketidakbersalahan dalam pandangan dunia mereka yang Yesus hargai. Hati yang seperti anak kecil adalah hati yang rindu untuk bersih dari dosa, yang dengan cepat mengakui kesalahan dan mencari pengampunan, serta yang tidak membiarkan kepahitan atau kebencian mengakar.

Ini adalah ajakan untuk membersihkan hati kita dari beban-beban masa lalu, untuk memaafkan sebagaimana kita diampuni, dan untuk menjaga hati kita tetap murni di hadapan Allah.

V. Aplikasi dalam Kehidupan Kontemporer

Ajaran Yesus dalam Markus 10:13-16 ini memiliki relevansi yang sangat mendalam bagi kehidupan kita sebagai individu, keluarga, dan gereja di zaman modern.

A. Untuk Individu: Menyelidiki Hati Kita

Setiap dari kita dipanggil untuk mengintrospeksi diri: Apakah hati kita benar-benar seperti anak kecil di hadapan Allah? Apakah kita datang kepada-Nya dengan kerendahan hati dan ketergantungan total, ataukah kita masih berpegang pada kebanggaan, kemandirian, dan upaya diri sendiri?

B. Untuk Keluarga dan Orang Tua: Membimbing Anak-anak ke Hadapan Yesus

Perikop ini adalah pengingat kuat bagi orang tua akan pentingnya membawa anak-anak mereka kepada Yesus, bukan hanya secara fisik ke gereja, tetapi juga secara rohani dalam doa, pengajaran Firman, dan teladan hidup. Orang tua memiliki tanggung jawab utama untuk menciptakan lingkungan di mana anak-anak dapat bertumbuh dalam iman yang sederhana dan tulus.

C. Untuk Gereja: Menjadi Komunitas yang Inklusif dan Mendorong Iman yang Sederhana

Gereja sebagai Tubuh Kristus memiliki panggilan untuk mencerminkan hati Yesus dalam perikop ini. Kita harus menjadi komunitas yang menyambut semua orang, tanpa memandang usia, latar belakang, atau status.

Dalam dunia yang semakin kompleks, pragmatis, dan skeptis, panggilan untuk memiliki iman seperti anak kecil adalah sebuah kontras yang radikal. Ini adalah sebuah jalan menuju kebebasan sejati, kedamaian, dan sukacita yang hanya ditemukan dalam ketergantungan total pada Allah.

VI. Tantangan dan Kesalahpahaman

Tentu saja, konsep "iman seperti anak kecil" ini dapat menimbulkan beberapa tantangan dan kesalahpahaman yang perlu kita luruskan:

A. Bukan Berarti Tidak Berpikir Kritis atau Naif

Iman seperti anak kecil tidak berarti kita harus menjadi bodoh atau berhenti berpikir kritis. Allah memberikan kita akal budi, dan Ia ingin kita menggunakan kemampuan kita untuk memahami Firman-Nya dan dunia di sekitar kita. Iman yang sejati bukanlah iman yang buta atau naif, melainkan iman yang memilih untuk percaya bahkan ketika ada hal-hal yang tidak kita pahami sepenuhnya, atau ketika iman kita diuji. Ini adalah tentang menempatkan Allah di atas kemampuan intelektual kita, bukan menggantinya dengan kebodohan.

Sebagai orang dewasa, kita memiliki tanggung jawab untuk mencari kebenaran, untuk belajar teologi yang sehat, dan untuk bertanya. Namun, pertanyaan-pertanyaan ini haruslah muncul dari kerendahan hati yang ingin memahami lebih dalam, bukan dari kesombongan yang meragukan setiap kebenaran ilahi.

B. Bukan Berarti Melepaskan Tanggung Jawab Dewasa

Panggilan untuk menjadi seperti anak kecil dalam iman tidak berarti kita harus melarikan diri dari tanggung jawab kita sebagai orang dewasa dalam kehidupan. Kita masih memiliki keluarga untuk diasuh, pekerjaan untuk dilakukan, dan komunitas untuk dilayani. Iman seperti anak kecil justru memberdayakan kita untuk memenuhi tanggung jawab ini dengan lebih baik, karena kita melakukannya dalam ketergantungan pada Allah, bukan kekuatan kita sendiri. Ini membebaskan kita dari beban perfeksionisme dan memungkinkan kita untuk melayani dengan sukacita dan damai sejahtera.

C. Pergumulan untuk Menerapkan

Bagi banyak orang dewasa, terutama mereka yang telah mengalami banyak kekecewaan, trauma, atau telah diajarkan untuk mandiri sejak dini, kembali kepada iman yang seperti anak kecil bisa menjadi pergumulan yang sangat besar. Lingkungan dunia yang kompetitif dan seringkali kejam dapat mengikis kepolosan dan kepercayaan. Oleh karena itu, kembali kepada iman seperti anak kecil seringkali memerlukan proses penyembuhan, pelepasan luka lama, dan pembelajaran ulang tentang siapa Allah sebenarnya. Ini adalah perjalanan seumur hidup yang membutuhkan kesabaran, doa, dan komunitas yang mendukung.

Kita perlu terus-menerus bertanya kepada diri sendiri: Apa yang telah membuat hati saya keras? Apa yang menghalangi saya untuk percaya sepenuhnya kepada Allah? Apa yang perlu saya lepaskan agar bisa datang kepada Yesus dengan tangan terbuka dan hati yang murni?

VII. Kisah Paralel dan Penguatan

Penting untuk diingat bahwa ajaran Yesus tentang anak-anak dan Kerajaan Allah tidak hanya muncul di Markus 10. Ada perikop paralel di Injil Matius dan Lukas yang memperkuat pesan ini, menunjukkan betapa sentralnya ajaran ini bagi pelayanan Yesus.

A. Matius 18:1-4

"Pada waktu itu datanglah murid-murid itu kepada Yesus dan bertanya: 'Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?' Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka lalu berkata: 'Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga.'"

Perikop Matius ini terjadi di konteks yang sedikit berbeda (murid-murid bertanya tentang kebesaran), tetapi inti pesannya sama: kerendahan hati seperti anak kecil adalah syarat untuk masuk Kerajaan, dan bahkan menjadi yang terbesar di dalamnya. Ini menegaskan bahwa nilai-nilai Kerajaan Allah berlawanan dengan nilai-nilai dunia. Di dunia, yang terbesar adalah yang berkuasa; di Kerajaan Allah, yang terbesar adalah yang melayani dengan kerendahan hati.

B. Lukas 18:15-17

"Orang-orang membawa pula anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka. Melihat itu murid-murid-Nya memarahi orang-orang yang membawanya. Tetapi Yesus memanggil mereka dan berkata: 'Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, dan jangan kamu menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.'"

Lukas memberikan narasi yang hampir identik dengan Markus, menunjukkan konsistensi dalam pesan Yesus ini di antara para penulis Injil. Kehadiran perikop ini di ketiga Injil Sinoptik menggarisbawahi urgensi dan pentingnya ajaran ini bagi setiap pengikut Kristus.

C. Implikasi dari Pengulangan

Fakta bahwa cerita dan ajaran ini diulang dalam Injil Matius, Markus, dan Lukas menunjukkan bahwa ini adalah ajaran yang krusial bagi Yesus dan penting bagi pemahaman Kekristenan awal. Ini bukan hanya sebuah anekdot, melainkan sebuah prinsip Kerajaan yang fundamental. Para penulis Injil ingin memastikan bahwa pesan ini tidak terlewatkan atau disalahpahami oleh pembaca mereka.

Pengulangan ini juga menegaskan bahwa Yesus secara konsisten menantang pandangan duniawi tentang kekuasaan, status, dan kehormatan. Ia secara konsisten mengangkat mereka yang diremehkan dan mengajar bahwa jalan menuju kebesaran sejati adalah melalui kerendahan hati, pelayanan, dan ketergantungan pada Allah.

VIII. Kesimpulan: Undangan Kerajaan Allah

Khotbah dari Markus 10:13-16 adalah undangan yang kuat dan mengharukan dari Yesus Kristus kepada kita semua. Ia menantang asumsi-asumsi kita tentang siapa yang berharga di mata Allah dan bagaimana seseorang dapat masuk ke dalam Kerajaan-Nya. Para murid, yang seharusnya menjadi pembawa pesan Kerajaan, justru menjadi penghalang. Yesus, dengan kasih dan kemarahan yang kudus, menegaskan bahwa Kerajaan Allah adalah milik mereka yang datang dengan hati yang rendah hati, penuh ketergantungan, dan kepercayaan sederhana—seperti anak kecil.

Ini adalah seruan bagi setiap individu, setiap keluarga, dan setiap gereja untuk merangkul sifat-sifat rohani dari seorang anak kecil: kerendahan hati yang tulus, ketergantungan penuh pada Allah, kepercayaan yang sederhana, dan hati yang terbuka. Jika kita datang kepada-Nya dengan sikap seperti ini, kita tidak hanya akan diizinkan masuk ke dalam Kerajaan-Nya, tetapi kita juga akan disambut dengan pelukan kasih dan berkat-Nya yang tak terbatas.

Marilah kita merenungkan kembali hati kita di hadapan Firman ini. Apakah kita masih membawa beban kesombongan, kemandirian, atau skeptisisme yang menghalangi kita dari sepenuhnya mengalami Kerajaan Allah? Ataukah kita siap untuk melepaskan semuanya itu dan datang kepada Yesus dengan iman yang polos, menerima kasih-Nya, dan membiarkan Dia memberkati hidup kita? Undangan Kerajaan Allah terbuka lebar bagi semua yang bersedia menjadi seperti anak kecil. Amin.